Skip to Content

Cindelaras

Foto Lian
files/user/3789/379351_208745285938428_1481055619_n.jpg
379351_208745285938428_1481055619_n.jpg

Cindelaras

Oleh Lian

 

Alunan musik dangdut terdengar sayup-sayup. Entah apa judul lagu yang diputar. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan dangdut koplo. Perkembangan dari musik dangdut, yang orang bilang musik asli negeri ini. Koplo berarti mabuk, begitu idiom bahasa slang yang berkembang dari sebuah masyarakat Pulau Jawa bagian timur. Mungkin penamaan itu bersifat simplifikasi. Orang mabuk minuman menjadi identik dengan musik dangdut koplo. Aku sering melihat waktu usia kanak-kanak, pementasan-pementasan dangdut di kampung tidak pernah sepi dari para pemabuk. Seakan music dan mabuk menjadi bagian yang saling tali-temali.

Kini, setelah aku beranjak ke usia yang sudah lumayan banyak, jarang kujumpai panggung-panggung dangdut di kampung. Tentu bukannya hilang sama sekali. Masih ada satu-dua yang bertahan. Dulu, saat kampung masih kental dengan suasana kampungnya, tak terlewatkan satu pun penduduk yang punya gawe menanggap dangdut. Lebih-lebih mereka yang abangan. Kalau agak santri sedikit nanggapnya kosidah atau pengajian. Kalau yang kejawen, kejawa-jawaan, nanggapnya wayang atau kethoprak. Panggung dangdut digemari para pemuda. Ya, mungkin pemuda di kampungku memang identik dengan mabuk. Entah apa sebab, usiaku dulu yang masih kanak-kanak tak pernah mampu untuk menyelidik sampai ke sana. Yang jelas aku dan teman-teman sebayaku begitu sering melihat anak-anak kampung yang usianya lebih banyak dari kami sedang menenggak minuman keras. Waktu itu kami mengenal dengan sebutan toak. Setelah aku agak dewasa aku tahu sebutan untuk minuman beralkohol sejenis itu bermacam-macam di berbegai tempat. Ada yang menyebutnya arak, putihan, cukrik, dan mungkin masih banyak lagi.

Pernah suatu kali, seingatku aku masih berusia sekitar tujuh tahun, tetangga satu RTku menanggap dangdut. Sebenarnya bukan musik dangdut, atau orang  bilang orkes. Setelah kutahu, dulu yang ditanggap adalah musik campursari. Musik tradisional Jawa yang menggunakan gamelan campur gitar dan organ. Tapi, karena musik dangdut lebih populer di kampungku, maka lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu dangdut. Dangdut koplo. Meskipun tidak menggunakan gendang koplo, melainkan dengan gendang gamelan, atau kami mengenalnya kendang. Oh, ya. Konon, perbedaan musik dangdut klasik dengan dangdut koplo adalah pada suara gendangnya. Musik dangdut klasik, atau disebut juga dangdut asli, itu lho yang dibawakan Bang Haji Rhoma Irama, suara gendangnya lebih kalem. Sedangkan dangdut koplo lebih keras dan menghentak. Mungkin memang harus keras, karena kalau yang mabuk sudah mencapai ke titik teller, sukanya yang keras-keras. Apalagi kalau penyanyi dangdutnya kelewat tidak seronok. Makin gemuruh saja tingkah-polah penonton.

Tetangga satu kampongku itu terkenal sebagai orang yang termasuk kaya satu desa. Si suami seorang pedagang gabah. Salah satu pedagang gabah terbesar di kecamatanku. Si istri punya sawah warisan berhektar-hektar. Sedangkan anaknya hawa dua. Perempuan semua. Waktu itu aku tahu dari ibuku, tetanggaku itu sedang mengawinkan anaknya yang barep. Orang Jawa kalau ada yang kawinan, yang membuat perayaan kebanyakan pihak mempelai perempuan. Kalau aku tidak salah ingat, grub campursari yang manggung waktu itu bernama Cindelaras. Dulu belum ada benner seperti sekarang. Sekarang panggung-panggung pertunjukan pasti ada bennernya, bertuliskan grub musik apa yang tampil, pengajian siapa yang sedang berlangsung, dan sejenisnya. Kalau dulu belum ada yang seperti itu. Di belakang panggung sebagai back ground hanya ada geber. Geber ya back ground itu. Bisa putih bisa hitam. Tergantung selera.

Cindelaras grub campursari yang terkenal waktu itu. Penyanyinya cantik-cantik. Karena musik campursari, penyanyinya lebih sopan disbanding musik dangdut. Tapi kalau Cindelaras yang main, penyanyinya memakai pakaian yang sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan penyanyi dangdut. Meskipun mereka memakai rok panjang, tapi roknya robek di pinggir dari bawah bokong bagian samping sampai bawah. Kalau mereka bergoyang, maka rok seakan-akan melambai kepada petonton mengajak masuk ke dalamnya. Penonton yang hampir semua pemuda-pemuda tanggung, yang telah menenggak toak, makin birahi melihat hal itu. Ini kuketahui setelah aku berumur lumayan banyak.

Cindelaras memang terkenal bertarif mahal. Maka tak hayal kalau yang mampu menanggapnya hanya orang berduit saja. Meskipun orang berduit itu untuk ukuran kampung. Setelah aku berumur lumayan banyak, aku tahu beberapa fakta tentang grub musik yang lahir sekitar tahun 80-an tersebut. Cindelaras dari kelahirannya mengusung musik campursari asli. Segala hal yang mereka usung ke panggung masih serba tradisional. Dari alat musik yang dipakai, murni gamelan yang hanya ditambah organ (campur alat musik modern mejadi ‘campursari’), pakaian atau kostum yang mereka kenakan waktu manggung juga kostum tradisional Jawa. Penyanyinya memakai kebaya. Lebih terkesan sopan, kan? Pemain musiknya juga memakai pakaian traisional Jawa. Waktu aku masih kanak-kanak, yang kutahu tentang pakaian tradisional Jawa hanya blangkon dan jarik saja. Sampai pada suguhan musiknya pun musik-musik langgam Jawa yang halus dan rata-rata bercerita tentang percintaan itu.

Tapi, Cindelaras yang manggung di acara pernikahan tetanggaku waktu itu tidak demikian. Lebih mirip orkes. Hanya beberapa lagu memang lagu campursari yang aslinya dari langgam Jawa. Itupun diaransemen agar penonton bisa goyang sebagaimana musik dangdut. Selebihnya lagu dangdut yang populer waktu itu, seperti lagunya Bang Haji Rhoma Irama yang berjudul Mandul, Mengapa, dan Malam Terhakir.

Ketika masih kanak-kanak, aku tidak terlalu mengerti tentang lagu-lagu. Anak-anak kampung seperti kami mana mengerti lagu-lagu. Kami hanya dibawa budaya dan adat kebiasaan. Mungkin anak-anak yang usianya di atas kami waktu itu juga tidak mengerti mabuk. Mereka hanya dibawa budaya dan adat kebiasaan, sehingga mereka menurut begitu saja. Aku dan teman-teman kampungku merasa senang saat ada orang punya gawe dan ada tanggapannya. Kami menyenangi tontonan apa saja. Wayang dan kethoprak juga kami sering menonton. Tapi, kalau ada tontonan orkes kami pasti antusias. Meskipun orang tua kami mencak-mencak saat kami bilang akan nonton orkes, tapi pikiran kanak-kanak kami tak menggubrisnya. Kami lari tunggang langgang sambil tertawa cekikikan sambil berteriak, “Nanti pasti pulang. Gak sampai larut malam,” begitu kata kami sambil ambil langkah seribu menghindari hadangan dari bapak ibu.

Nonton orkes lebih menantang bagi kami daripada nonton wayang atau kethoprak. Penontonnya lebih ramai, berdesak-desakan, senggol kanan senggol kiri. Dan, ada rahasianya. Mungkin bukan rahasia, tapi untuk kanak-kanak kami dulu ini hal yang asik, dan kalau sampai pengalaman ini jadi konsumsi banyak pihak, rasanya ada yang mencuri pengalaman kami. Ada dua hal pengalaman asik itu. Pertama, penyanyi orkes cantik-cantik, molek-molek, dandanannya menor, dan pakaiannya serba tipis. Memakai rok mini yang menunjukkan bokong menonjol dan paha mulus. Dan, pakaian bagian atas pasti menonjolkan belahan dada, yang, menurut penglihatan kanak-kanakku, besar dan montok. Meskipun aku belum faham benar apa artinya itu semua, tapi aku seakan terseret oleh pemahaman umum sesama penonton orkes yang rata-rata telah mengerti bahwa penyanyi orkes yang sedang menari meliuk-liuk di atas panggung, menggairahkan. Bukan berarti aku yang masih kanak-kanak bergairah seperti halnya anak-anak yang umurnya jauh lebih banyak dari aku, tapi hal itu tidak kupungkiri menjadi semacam daya tarik bagi kanak-kanak sepertiku untuk lebih senang menonton orkes. Kedua, suasana ketika menonton orkes lebih menyenangkan. Entahlah, apa yang dimaksud menyenangkan atau membosankan. Sampai aku berumur lumayan banyakpun, aku tak dapat memberi ukuran yang riil tentang menyenangkan dan membosankan. Tapi itu aku rasakan. Rasa senangku yang masih kanak-kanak. Berada di kerumunan orang-orang yang hampir semuanya bertubuh jauh lebih besar dari aku dan bersama berjingkrak-jingkrak mengikuti musik yang menghentak. Menurut pemahaman kanak-kanakku, itu menyenangkan. Makanya aku dan teman-teman kampungku lebih senang menonton orkes.

Makanya aku dan teman-teman kampungku gembira waktu mendengar kabar bahwa tetanggaku akan menanggap Cindelaras pada acara mantunya. Aku belum pernah menonton pementasan Cindelaras sebelumnya. Teman-temanku juga tak satupun yang pernah. Tapi aku mendengar sayup-sayup orang mengatakan bahwa Cindelaras adalah grub campursari. Tapi, karena musik campursari kalah dengan musik dangdut, Cindelaras semacam berbelok aliran ke musik dangdut. “Orisinalitas yang digadaikan,” pikirku setelah aku berumur lumayan banyak.

Waktu aku masih kanak-kanak, mana mengerti aku hal-hal yang seperti itu. Orang-orang dewasa saja aku yakin tak sampai pada pemahaman seperti itu. Ini kampung, kawan! Yang kami mengerti adalah Cindelaras menghibur. Masalah mereka berbelok aliran, tidak bertahan pada pakem identitas kesenian mereka, itu sama sekali di luar jangkauan kami. Kami senang dengan musik yang mereka bawakan, yang bisa membuat kami bergoyang. Kami senang melihat penyanyi-penyanyinya, yang berwajah manis tetapi memakai rok panjang yang bedah sampai bawah. Yang kelihatan pahanya, yang mulus tapi harus menunggu sampai penyanyi bergoyang supaya kain rok yang dipakai tersingkap ke kiri dank ke kanan.

Para pemuda mulai menghabiskan toak mereka. Aku tak tahu dari mana mereka mendapatkan minuman, yang setelah aku berumur lumayan banyak, kutahu rasanya pahit dan panas di tenggorokan. Waktu itu kulihat mereka menghabiskan bersloki-sloki minuman beralkohol itu yang dikemas memakai botol minuman air mineral. Satu dua pemuda yang tidak kuat mabuk, mulai mendem. Mendem, menurut idiom bahasa masyarakat kami berasosiasi pada kata mabuk, atau kehilangan kesadaran akibat pengaruh alkohol. Pemuda-pemuda yang mendem tersebut satu per satu mulai berjatuhan. Tergeletak di tanah, muntah-muntah mengeluarkan entah apa dari dalam perutnya, dan beberapa saat kemudian kalau sudah benar-benar lemas akan diseret temannya yang masih sadar ke pinggir kerumunan dan mereka akan tertidur di sana sampai pagi. Sedangkan yang masih kuat minum, alias belum mendem, akan meneruskan goyang bersama penyanyi yang roknya terbelah di bagian paha, sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan kalau musik berirama keras menghentak.

Pemandangan seperti itu menjadi hal yang menyenangkan bagi kami yang masih kanak-kanak. Tidak ada rasa takut sedikitpun di benak kami berada di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang kesadarannya teracuni oleh alkohol. Ya, benar! Kebrutalan memang menjadi hal yang lumprah di sana. Tawuran tak terelakkan. Kami para kanak-kanak, langsung menyingkirkan diri waktu tawuran pecah. Aku ingat, waktu iu begitu terdengar baku hantam di antara kerumunan pasukan goyang di bagian tenagh, musik langsung dihentikan. MC berkoar-koar. Sepertinya ia berusaha memadamkan amarah pemuda-pemuda mabuk, dan menyadarkan mereka kalau tawuran sama sekali tidak dibenarkan. Tapi, seperti yang kulihat, Mc tidak pernah bisa berbuat apa-apa selain berkoar-koar melalui corong pengeras suara dari tempatnya yang aman, di atas panggung. Sementara apa yang ia katakan malah seakan menjadi musik pengiring bagi para terlibat tawur setelah musik yang sebelumya menghentak dihentikan. Tawuran tetap berlangsung.

Waktu aku masih kanak-kanak, setiap ada pementasan musik, terutama di kampungku, tidak ada penjagaan keamanan. Tidak seperti setelah aku berumur lumayan. Setiap ada pementasan musik, atau pementasan apa pun, pasti terlihat pihak keamanan. Kalau tidak petugas Polsek, ya hansip desa. Tapi, dulu tidak ada! Tawuran yang terjadi di biarkan begitu saja. Itu menjadi hal yang lumprah. Bahkan, aku mendengar dari selentang-selenting omongan orang, tawuran di acara orkes atau sejenisnya, seringkali memakan korban jiwa. Banyak di antara pemuda kampung satu dan lainnya saling memendam dendam gara-gara tawuran yang sampai menelan korban.

Waktu itu aku ingat Cindelaras langsung bubar sesaat setelah tawuran berhenti. Kabarnya ada tiga pemuda yang yang luka parah. Beruntung langsung ada yang segera membawanya ke rumah sakit. Atas rekomendasi dari yang punya gawe akhirnya Cindelaras bubar setelah hanya menyelesaikan setengah pekerjaannya. Banyak penonton yang kecewa dan memaki MC yang berusaha memahamkan keadaan. Para penyanyi juga terlihat kecewa. Tapi mereka tetap menerima bayaran sebagaimana mestinya. Mungkin kecewa karena penonton, sebagai fans tidak resminya, merasa kecewa.

Aku dan teman-teman kampungku lantas pulang ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan pulang aku melihat pecahan botol beling berserakan di berbagai tempat. Juga ada pecahan gelas belimbing. Kursi dan meja tempat suguhan berantakan. “Pasti bekas digunakan tawuran tadi,” gumamku dalam hati. Waktu usiaku masih kanak-kanak, aku tidak merasa takut kalau terjadi tawuran. Malah itu semacam tontonan. Meskipun hal itulah yang membuat orang tua anak-anak menjadi kawatir kalau akanknya menonton orkes dan campursari Cindelaras. Mereka takut anaknya terjadi apa-apa, karena tontonan seperti itu rawan kekerasan.

Aku mencibir diriku sendiri waktu perjalanan menuju rumah. Aku tak tahu apa-apa waktu itu. Pikiran kanak-kanakku tidak sampai lari sampai sejauh itu. Orkes, campurasi, atau pertunjukan musik apapun di kampung-kampung seakan-akan sudah menjadi milik kami. Mereka hidup bersama kami. Kalau pun itu ada buruknya, seperti tawuran, tidak akan ada kehidupan yang hanya satu sisi. Sisi baiknya adalah pertunjukannya itu, namun juga ada sisi buruknya seperti tawuran. Itu kuketahui setelah umurku lumayan banyak.

 

⃰            ⃰            ⃰

Alunan musik dangdut masih terdengar sayup-sayup. Tapi kini bervariasi juga. Kadang terdengar sayup, kadang meninggi dan lebih keras. Mungkin terbawa angin, yang, rasanya malam ini bertiup agak kencang. Aku masih menunggu di bagian depan ruangan itu. Tepat di atas kepalaku menyala lampu yang tak kutahu namanya, tapi seperti yang pernah kulihat di film-film, lampu disko. Cahaya yang keluar dari lampu yang berbentuk bulat dan berputar-putar itu, beraneka warna. Ya, itu yang kutahu disebut lampu disko.

Cukup lama aku menunggu. Aku masih sabar. Biasanya juga begini, dan aku selalu sabar. Ah, sial! Aku selalu lupa untuk sekedar mengirim pesan singkat di ponselnya kalau aku ingin berkunjung. Ya, ada seseorang yang aku tunggu di sini. Di sebuah tempat karaoke dangdut. Aku cukup sering berkunjung ke sini. Bukan apa-apa. Tapi ada yang kusuka dari tempat ini. Ada dua hal. Pertama, aku suka namanya. Cindelaras. Mengingatkanku pada sekelompok grub musik campursari yang kata orang berbelok aliran menjadi kedangdut-dangdutan, di kamungku dulu. Kedua, aku suka menunggu di sini. Menunggu seseorang. Alasannya? Sampai detik ini, saat umurku sudah lumayan banyak, aku tak tahu mengapa menunggunya memberi kenikmatan. Mungkin saat sedang menunggunya, di ruangan yang memang diperuntukkan untuk sekedar duduk dan bersantai di Cindelaras ini, aku mendapatkan sayup-sayup alunan musik dangdut yang memberi kebebasan kepadaku untuk bermain dengan pikiranku, menelusup kembali apa yang bisa kutelusup jejaknya.

Itu bisa apa saja! Aku bisa memikirkan dia. Dia itu pun masih dapat di belah lagi. Dia yang tak mencintaiku. Dia yang telah diceraikan suaminya. Dia yang kini menghidupi ibunya yang telah masuk usia renta, dan anaknya dari perkawinannya dengan mantan suami yang kini telah berusia 14 tahun. Atau dia yang selalu menggandeng tamunya setelah keluar dari ruang karaoke, yang menjadi pemandangan menyakitkan bagiku meskipun aku tidak dalam kuasa untuk berbuat apa-apa.

Di tempat ini aku dengan bebas memikirkan dia, dan alunan musik dangdut yang menjadi kenangan masa kanak-kanakku, di kampung dulu.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler