Skip to Content

CINTA, JANGAN BURU-BURU ( Part 3 )

Foto Boma Damar

Hari terus berlalu, minggu ketemu minggu dan bulan berganti bulan, tak terasa dua minggu lagi Denta dan kawan-kawannya akan meninggalkan sekolah yang telah menggembleng mereka menjadi generasi muda yang lebih cerdas, cakap, dan bermoral, tempat di mana mereka telah mengukir kisahnya masing-masing selama tiga tahun lamanya. Di bawah salah satu pohon Sawo yang banyak tumbuh subur di halaman sekolah tersebut tampak Denta beserta dua sahabatnya; Togar dan Agus sedang berbncang-bincang, sesekali mereka terlihat tertawa dan menikmati pembicaraan mereka.

“Nggak terasa ya bentar lagi kita akan berpisah sob, senang sih bisa lulus tapi sedih juga pisah sama kalian, dua makhluk astral yang nemenin aku selama tiga tahun ini.” kata Denta pada dua sahabatnya yang selama ini selalu menemaninya. Mereka yang suka buat dia tertawa, jengkel, kesel, ngambek, dan kadang-kadang membuat dia jadi stress dengan tingkah laku mereka.
“hahaha gila kau ini, masih sempat-sempatnya kau bilang kami ini makhluk astral bah!” kata Togar sambil memukul pelan lengan Denta.
“hehehe, habisnya aku gak nyangka aja bisa bertemu, malah bersahabat dengan manusia-manusia aneh seperti kalian ini, hahaha..” imbuhnya.
“Asem!” Damprat Agus singkat.
“hahaha ojo nesu to pakde.” ledek Denta.

“Ah kau ini Denta, kau tidak lihat ya kalau kawan kita ini sedang dirundung duka yang mendalam tuh! alias galau total!” kata Togar.
“loh kamu ada masalah ta Gus?” Tanya Denta.
“Ya begitulah..”
“Ayo cerita dong!” desak Denta.
“Aku putus sama Putri.”
“loh kok bisa?”
“Kami putus karena beda keyakinan.”
“Apa? Beda keyakinan?! loh kok?” Tanya Denta dengan ekspresi muka seperti orang bodoh yang disertai kebingungan tingkat tinggi. “Hei aku tidak salah dengar Gus?” kembali dia bertanya dengan tidak yakin. “Bukankah kalian satu keyakinan?” imbuhnya ngotot.
“Nggak sob, kami beda.” Jawab Agus sambil menundukkan kepalanya.
“Emang bedanya di mana pakdeeee?!” tanya Denta semakin ngotot.
“Bedanya itu aku sangat yakin kalau aku ini ganteng, tapi dia tidak pernah yakin kalau aku ini ganteng! hahaha…” Jawab Agus terpingkal-pingkal.

“hahaha kau rasakan itu dikerjai Agus!” Togar menimpali.
“Edaan! Kena juga aku sama kamu Gus, hahaha..” Denta pun ikut tertawa terbahak-bahak.

Kehangatan persahabatan mereka itulah yang sebenarnya membuat mereka sedih untuk meninggalkan sekolah itu, berpisah satu sama lainnya untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Selain karena persahabatan, Togar dan Agus juga punya alasan lain, mereka enggan meninggalkan sekolah itu karena mereka belum siap berpisah dengan soulmate mereka. Intinya mereka takut tidak bisa bertemu dengan pasangannya setiap hari seperti saat dimana mereka masih bersekolah di sekolah tersebut.

“Gar, jadi kamu lanjut ke mana nanti?” Tanya Denta pada Togar.
“Aku mau kuliah di Jakarta, tinggal sama tulangku di sana.” Jawab Togar dengan bangga.
“Wow keren Gar bisa-bisa jadi orang penting kamu di sana nantinya.” Balas Denta.
“Amin! Keturunanku kan keturunan orang-orang besar semua, siapa tahu kelak aku bisa jadi Presiden hehehe..” jawabnya semakin sombong.

“hahaha, Gar.. Gar.. aku akui memang orang Batak itu bisa jadi apa saja, pintar jadi apa saja, ya aku akui itu Gar, tapi kalau untuk jadi Presiden.. aku sangsi deh.” Kali ini Agus langsung menyela.
“Lho kenapa emangnya Gus, wah diskriminasi ini namanya, aku kan juga warga negara indonesia sama dengan kau! Memangnya orang Jawa saja yang boleh jadi presiden?” Protes Togar dengan gencar.
“Hahaha gak usah pakai marah kale Gar, hehehe, maaf, maaf bukan begitu maksudku gar, aku tidak yakin aja kamu bakalan jadi presiden kelak.”
“Kenapa?” Tanya Togar dengan mata melotot dan semakin penasaran.
“Wah bisa gawat tuh kalau beneran kamu jadi presidennya! Bisa-bisa api emas yang ada di Tugu Monas itu kamu ganti pakai kepala babi Gar hahaha..” jawabnya sambil menjulurkan lidahnya.
“Ah sialan kau ini Gus, aku pikir apaan, hahaha.., apalagi kalau Denta yang jadi wakilku ya, bisa-bisa kepala anjing, kepala kucing, dan kepala tikus juga ikutan dipajang, hahaha..”

Demikianlah kelakar mereka bertiga yang tak pernah habisnya untuk mereka nikmati menjelang perpisahan mereka yang semakin mendekat.

Hari itu suasana di sekolahnya Denta tidak seperti biasanya. Sekolah tersebut terlihat lebih ramai dari biasanya, banyak hiasan dan dekorasi yang tertata di mana-mana. Demikianlah, akhirnya acara pesta perpisahan sekolah untuk siswa kelas 3 yang telah dinyatakan lulus diselenggarakan cukup meriah, dan cukup berhasil walaupun hanya diorganisir sepenuhnya oleh pihak OSIS sekolah tersebut. Susunan acara pun tersusun rapi dari awal acara hingga akhir. Setelah acara perpisahan sekolah itu selesai Yolanda dan sahabatnya menghampiri Denta dan kawan-kawan.

“Hai, selamat ya kalian telah lulus dan berhasil melawati masa-masa sulit yang kalian jalani tiga bulan belakangan ini.” Kata Yolanda sambil menyalami ketiganya, diikuti juga oleh teman-teman lainnya.
“Sama-sama, sekarang giliran kalian yang harus mempersiapkan diri untuk menyongsong masa-masa sulit itu ya” jawab Denta.
“Hei kawan, aku pinjam Butet dulu, aku butuh bicara sama dia” potong Togar sambil menggapai tangan Butet lalu meninggalkan tempat itu.
“Oiii Gar tunggu!” kata Agus lalu menggapai tangan Putri, “ayo kita susul mereka Put!” sambungnya sambil membimbing Putri meninggalkan tempat itu.

“Jiah tinggal kita bertiga nih.” Ujar Dwi, “oh iya Dwi ke depan dulu ya mau nemuin bli Kadek di depan kebetulan dia yang lagi ngatur lalu-lintas di depan sekolah kita, bye..” katanya, sambil berlalu.
“Eh Wi, aku gimana?!” Teriak Yola, namun Dwi tidak menggubrisnya sama sekali dan terus ngeloyor bebas.

“Sudahlah Yol, kita duduk di sana yuk!” ajak Denta sambil berjalan menuju tempat yang ditunjuknya tersebut, diikuti Yola di belakangnya. Lalu mereka duduk berhadapan, untuk beberapa saat lamanya mereka saling pandang seolah-olah mereka saling menyelidiki satu dan lainnya.
Beberapa saat kemudian..

“Den..”
“Yol..” terdengar suara mereka terlontar hampir bersamaan dari bibir mereka.
“Upss! Hehe, ya udah kamu aja yang bicara lebih dulu.” Kata Yola.
“Opsss, maaf.. ladies first deh” Denta mempersilahkan.
“Oke, hmm.. well, aku cuma mau tanya aja Den, kurang lebih tujuh bulan kita sudah saling mengenal, dekat, akrab, bahkan kita sering ke luar bareng. Ke mall, nonton cinemax, berenang dan masih banyak lagi hal-hal lain yang telah kita lakukan berdua. Dari kamu buat aku ketawa dengan gurauanmu hingga kamu buat aku menangis dengan kejahilannmu. Iya kan?”
“Hu-um.. terus?” Jawab Denta singkat.
“Yang serius dong Den! Aku bingung, sebenarnya hubungan kita ini apa?! Mamaku dan Mamamu bahkan berpikir kalau kita ini pacaran, padahal kenyataannya tidak pernah sekali pun kata jadian terucap di antara kita!” keluh Yolanda.
“Hmm, Yola.” Kata Denta, menghampirinya, lalu ia duduk di sampingnya dan meraih tangan Yolanda kemudian meletakkannya di atas telapak tangannya dengan penuh kehangatan.

“Yola, mungkin sebagian besar dari apa yang kamu pikirkan dan rasakan terhadapku demikian juga halnya seperti yang aku rasakan ke kamu.” Sambungnya.
“Denta..”
“Ssst..” ia melarang Yolanda meneruskan kata-katanya sembari jari telunjuknya menempel pada bibir Yolanda. Yolanda tampak tak berdaya, sukmanya serasa terkunci dan ia hanya bisa memandangi wajah tampan yang ada di hadapanya itu.

“Yola, terima kasih kamu sudah mau bersabar menemani aku selama ini. Sampai sejauh ini akhirnya kita bisa saling mengenal dengan lebih baik bukan? Sejujurnya dari awal akulah yang terbakar olehmu Yol, tapi aku berusaha mengendalikannya, mendinginkan, dan menetralkannya, tapi tak pernah aku berusaha untuk memadamkannya. Aku tidak yakin dengan perasaanku saat itu Yol, dan aku juga tidak tahu bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya padaku. Akhirnya aku berusaha menjalin persahabatan denganmu hanya untuk meyakinkan perasaanku, dan untuk menyaksikan sendiri bagaimana kamu dapat meyakinkan aku tentang cinta ini.” Dia menatap wajah cantik itu dengan lembut.

“Yola, aku tidak ingin cinta yang terburu-buru, cinta yang hanya mengenal kulitnya dan tak pernah siap untuk merasakan manis atau getirnya cinta itu. Aku juga tidak ingin cinta yang buru-buru karena ia tidak dapat memilih dengan seksama dan tentunya kurang pertimbangan, itu bukan cinta  yang cerdas Yola.
Lihatlah mereka, teman-teman kita yang terjebak dalam cinta yang masih mentah itu Yol, banyak dari mereka yang jadi stress bukan? Pada dasarnya kebanyakan orang yang mengaku jatuh cinta hanyalah melibatkan perasaannya saja. Mereka lupa untuk melibatkan pikiran dan pengenalan yang seksama dalam hal ini. Jadi kebanyakan dari mereka tidak bertahan lama karena pondasi mereka bangun tidaklah kuat, semuanya serba instan. Pacaran bukanlah sekedar untuk happy kan Yol? Pacaran itu adalah proses yang pematangan menuju komitmen yang lebih besar lagi.” Terang Denta padanya.

Yolanda nampaknya tak mampu lagi untuk membendung air matanya yang sedari tadi berkaca-kaca di pelupuk matanya karena merasa terharu sekaligus bahagia mendengar semua yang diucapkan oleh Denta. Ia merasa betapa dewasanya sosok pria yang saat itu ada di hadapannya.

“Denta..” terdengar suaranya perlahan, dengan suara yang sedikit parau disertai linangan iar mata bahagia yang mulai  tanpa sungkan membasahi pipinya. Lalu ia merangkul Denta dengan erat dan tenggelam dalam pelukan hangat pria yang ia cintai itu. Sementara Denta membiarkan gadis itu menumpahkan air matanya sambil membelai rambutnya yang hitam panjang terurai. Sesaat kemudian Denta mendongakkan wajah Yolanda tepat di bawah wajahnya, menatap wajah cantik itu penuh kehangatan lalu ia mencium kening gadis manis itu penuh kasih. Seraya berkata ;
"Aku sayang kamu."

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler