Skip to Content

CERPEN: CINTA JANGAN DIKEJAR

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/Foto-1136A.jpg
Foto-1136A.jpg

SECARA tiba-tiba pergelangan tanganku digenggam sebuah tangan mungil dan menarikku dari tempat dudukku. Aku segera berdiri dengan tarikan tangan itu karena tidak menduga sebelumnya.

“Syam, kamu ikut aku sebentar!” katanya sambil terus menarik tanganku.

“Iya, aku ikut tapi lepaskan tanganku dulu! Aku bisa jalan sendiri dan gak bakal nyasar di kampus ini.” balasku pada Dian. Dian sahabatku sejak kecil, dia orangnya energik, ceria dan selalu mamerin senyum manis ama siapa saja, gak pandang bulu. Semua dipukul rata. Tapi kali ini tak seperti  biasanya, wajahnya keliatan kusut dan rambutnya agak sembraut. Aku berpikir, kenapa dia.

“Gak. Emang napa kalo aku megang tangan kamu?” balasnya masih tetap menarik tanganku.

“Lo kenapa, Di. Kusut banget, mana wajah kamu pucat lagi?” kataku ketika kami sampai di tempat yang agak sepi, di situ hanya ada kami berdua.

Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung berhambur ke pelukanku dengan tangisnya. Perlakuannya jelas membuat aku bingung, tapi aku tak tau harus berbuat apa-apa selain membiarkannya berbuat sesukanya.

Rasa ingin tauku memaksa aku menggenggam kedua bahunya dan melepaskan dekapannya padaku.

“Kamu, napa nangis gak jelas gini?”

Dia memalingkan mukanya dan membelakangiku, tapi apa yang ingin aku tau darinya belum juga terjawab. Ia menggigit bibirnya sebelah bawah seolah ia sedang melepaskan sebuah beban yang tak sanggup dipikulnya. Beban yang aku tak tau apa. Aku hanya manusia biasa yang tak bisa membaca semua tingkah lakunya.

“Lo napa, sih?” tanyaku kembali sedikit emosi setelah pertanyaanku tidak dijawab olehnya. “Lo udah sinting kali ya, nongol di depan aku, narik tangan aku membawa ke tempat ini dan di sini lo nangis dipelukan aku tanpa jelas sebabnya?” protesku. “Kalau lo punya masalah, lo boleh cerita ama sahabat lo ini. Aku siap jadi teman curhat kamu dan sebiasaku akan aku bantu. Toh, sejak dulu lo juga gitu, kan. Gak ada masalah lo yang gak lo certain ke aku.” lanjutku mencoba memancingnyauntuk bercerita.

“Tapi ini beda, Syam. Ini gak kek masalah yang dulu-dulu.” jawabnya. Jawaban yang membuat tanda tanya dibenakku semakin gede. “Aku gak tau apa komentar lo ama aku ntar dan aku yakin lo gak bakal bisa bantu aku.” lanjutnya.

“Oh, gitu, ya!” sahutku singkat. Tanpa menoleh dia mengangguk. “Kalau gitu aku cabut, ya! Kebetulan aku gak bisa dan  kayaknya bukan aku yang tepat ngedengar masalah lo.” kataku. Kata-kataku cukup ampuh untuk membuatnya sekedar berbalik dan menghadap ke aku.

Sesaat dia menatapku dengan perasaan kecamuk yang tak bisa kutangkap apa yang sedang dihadapinya.

“Mungkin aku bukan sahabat yang baik buat kamu, karena tanpa ngomong aku gak bisa tau apa yang terjadi ama lo. Yang jelas, aku bukan malaikat yang tau tanpa lo ceritain apa masalah lo meskipun kita udah cukup lama bersahabat, tapi tetap aku punya keterbatasan. Meskinya lo bersahabat ama peri seperti yang ada dalam khayalan lo itu, bersahabat ama mimpi-mimpi lo yang  nurut aku sangat mustahil itu.” kataku menatapnya tajam. “Dari awal aku udah bilang ama lo, jangan terlalu kebawa mimpi, gak baik meskipun mimpi itu bisa beri kita semangat.”

Dia masih menatap aku dengan perasaan kecamuk. Sesaat ia menengadah ke atas langit sambil memejamkan matanya. Digigitnya bibirnya bagian bawah menahan tangis yang hampir pecah. Sesaat dia kembali menegakkan kepalanya sambil membuka matanya dan menatap aku.

“Kenapa mentapku seperti itu?”

Tak ada jawaban yang kudengar darinya.

Akhirnya aku mendekatinya dan mulai melunakkan hatiku. Kuraih tangannya dan menggenggamnya berharap memberikannya sedikit ketenangan, meskipun entah ketenangan seperti apa yang dia harapkan dariku saat itu, yang pasti hanya itu yang bisa kuperbuat saat ini sebelum dia menceritakan masalahnya kepadaku. Aku berharap dengan berbuat demikian aku bisa mendengar ceritanya tentang masalah yang dihadapinya saat itu.

“Di, mau nggak kita ke suatu tempat?”

“Ke mana?”

“Yuk…!” kini aku yang menarik tangannya tapi dengan lembut seperti menggandengnya. Sedikitpun aku tidak menimbulkan kesan memaksa. Setelah sampai di motor bututku kunyalakan mesin dan menyuruhnya naik. Kupacu motor bututku itu hingga sampai ke tempat yang aku tuju. Di situ aku menghentikan laju motor bututku dan mematikannya.

“Masih ingat tempat ini?” tanyaku sambil menatapnya dengan sedikit senyum. Dia balik menatapku setelah memandangi hamparan air yang menggenang di danau yang tenang.

Ia tersenyum. Hanya sedikit. Cukup tipis dan itulah senyum khasnya yang membuat aku kagum dengan sahabat kentalku satu ini. Aku sedikit lega karena ia masih punya senyum itu. Aku pikir senyum itu ikut pudar saat ia menghadapi masalah yang aku juga tidak tau masalahnya apa.

“Dulu tempat ini adalah tempat paforit kita. Waktu SD kita sering belajar di sini, mancing di sini dan aku selalu kalah dengan hasil pancingan yang lo dapat meskipun akhirnya hasilnya kita satukan dan kita bagi dua.” kenangku padanya. “Di sini juga kita menyepakati sebuah nama yang kita sandang, lo dipanggil ‘Marmut’ dan aku dipanggil ‘Bodat’. Waktu SMP kita pernah bolos kemari dan kerja kita hanya duduk-duduk saja sampai tiba-tiba kedua orang tua kita mengejar-ngejar kita.” lanjutku.

Tiba-tiba dia tertawa kecil, suara tawanya cukup membuat aku menoleh padanya.

“Ya…!” aku masih ingat itu. “Sampai di rumah, aku dituduh ibu sebagai dalang semuanya, ibu menuduh akulah yang mengajakmu kemari.”

“Aku juga dituduh seperti itu. Ayah menuduhku kalau akulah yang mengajakmu kemari.” balasku. “Sampai sekarang aku belum tau kenapa mereka jadi tau kalau kita ada di sini waktu itu, padahal tempat ini hanya tau kita berdua.”

Sesaat dia terdiam, pandangan matanya terlihat kosong dan jauh. Seolah ada sesuatu yang sangat berat menghimpitnya, sayangnya sampai saat ini dia belum mau cerita tentang masalah yang terjadi padanya.

“Aku heran, kok tadi tiba-tiba aja lo nangis tanpa sebab yang jelas. Sebenarnya ada apa ama lo. Aku bingung. Benar-benar gak ngerti dengan sikap lo tadi, tapi ada untungnya juga buat aku, kejadian tadi adalah saat yang pertama kali aku dipeluk ama lo.” kataku sambil meliriknya.

Dia tidak menolehku. Pandangan matanya tetap kosong. Sikapnya membuat aku semakin bingung.

“Gimana hubungan kamu ama Gery, baik-baik aja, kan?” akhirnya kuputuskan saja menanyakan hal itu siapa tau dari situ ada celah buat dia menceritakan masalahnya.

Dia segera menolehku dan menatapku dengan muka yang paling kusut yang dimilikinya menurutku, selama ini dia tak pernah menatapku seperti itu.

“Inilah masalahnya, Dat!” akhirnya dia buka bicara dengan panggilan khas yang kami miliki dan hanya kami gunakan saat kami berdua.

“Kok bilang gitu, Mut, emang hubungan kamu ama Gery….”

“Dia menghilang dan ninggalin aku. Sudah seminggu komunikasi terputus dengannya dan ini yang buat aku bingung.”

“Kok bisa?” tanyaku dengan sedikit lega, mungkin ini kesempatanku buat memilikinya dan mengungkapkan perasaan aku ke dia, tapi gak mungkin secepat ini.

“Ntahlah…!” balasnya pendek. Air mukanya seketika tambah keruh sambil memegang perutnya dan memukul-mukulnya dengan pelan.

“Lo lapar, Mut?”

Ia tak menjawab hanya menggeleng.

“Trus? Masuk angin?” lanjutku ketika kuliat wajahnya pucat dan tiba-tiba ia mual. Aku yang duduk di sampingnya langsung melingkarkan tanganku ke pundaknya. “Lo kenapa, sih, sebenarnya?” tanyaku agak kesal sambil menyodorkan sapu tang padanya.

“Dat, apa lo masih nganggap aku sahabat lo jika aku certain semua ke lo?” tanyanya setelah menyeka mulutnya dengan sapu tangan yang kuberikan tadi.

“Marmut…Marmut…, kek lo baru kenal aku aja.” balasku menanggapi pertanyaannya, meskipun bukan jawaban itu yang diharapkannya.

“Ini sangat memalukan, Syam. Mungkin setelah lo dengar, lo langsung ninggalin aku di sini tanpa pernah mau ketemu aku lagi.”

“Anggap aku sahabat lo, dan ceritain semua, ya meskipun tanpa menganggap pun kita emang udah sahabat sejak kita kecil dulu.”

“Perut aku, Syam…!” katanya. Dia tidak lagi menggunakan panggilan ‘Bodat’ ke aku. Tapi kini ia memanggil nama yang diberikan kedua orang tuaku.

“Kenapa dengan perutmu, Di?”

“Syam…!” katanya ragu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku udah stress banget mikirin ini, sementara Gery nggak tau di mana.”

“Tunggu…tunggu…, jangan bilang ke aku kalo lo…lo….” Aku memberanikan diri memegang perutnya dengan penuh harap kalau itu tidak benar-benar terjadi. Aku menatapnya dengan raut tanya yang …., ah, entahlah.

“Syam…, itulah yang terjadi….” tangisnya pecah tanpa sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Ia segera menghambur kepelukanku.

Air mataku tak dapat kubendung. Dian yang ada dalam dekapanku kudekap seerat-eratnya. Dua bulir air mataku telah mengalir sampai pada daguku, dan bulir-bulir yang lain segera saling susul dan jatuh ke punggungnya. Aku tak tau apakah ia merasakan air mataku yang jatuh kepunggungnya atau tidak.

“Sejak awal aku udah ngeliat gelagat yang tak bersahabat dari Gery, tapi untuk mengatakannya ke lo aku gak bisa. Aku takut kalo kamu anggap aku yang gak bersahabat. Aku udah pernah pengen tulis semua ini dan ngasih ke lo. Tapi aku takut, hal itu akan merenggangkan hubungan persahabatan kita. Sementara, aku gak ngelakuin itu aja hubungan kita udah terbentang jauh.” kataku terbata-bata sambil mempererat dekapanku padanya.

Ia tak menggubris kata-kataku. Ia malah memperkeras tangisnya. Jelas aku gak tau apa yang bisa kuperbuat saat ini. Aku tak tau harus cari Gery ke mana.

“Di, apa dia pernah nyeritain tentang asal usulnya ke lo?” tanyaku untuk mencari ide apa yang harus kuperbuat.

Aku merenggangkan pelukanku dan berusaha menatap wajahnya. Baru beberapa saat ia menangis tapi wajahnya telah sekuyu itu. Sesaat ia menyeka air matanya dengan sapu tangan yang tadi kuberikan.

“Aku tak pernah menanyakan hal itu padanya.” katanya setelah air matanya kering.

“Lantas ke mana aku akan mencarinya, Di? Sementara ini tak bisa kita anggap sepele, apalagi menunda-nundanya.”

Ia tak menjawab. Wajahnya dialihkan ke hamparan danau yang luas dan berair bening serta tenang. Lama kami terdiam, bermain dengan jalan pikiran masing-masing.

“Apa dia sudah tau?”

“Aku baru cek kemarin, sementara dia udah menghilang selama dua minggu ini. Semua nomornya telah aku hubungi tapi usahaku sia-sia.”

Otakku segera kuputar mencari tau apa yang harus aju lakukan sebagai sahabatnya. Tentu bukan hanya sebatas sahabat saja, tapi lebih dari itu.

“Mungkin lebih baik kita pulang saja agar kita berpikir secara jernih dan besok aku jemput ke rumahmu.” kataku akhirnya. Dia hanya mengikut saja tanpa memberi komentar apa-apa.

Setelah mesin motor bututku nyala, ia naik dan kami segera meninggalkan tempat itu

***

MALAM akhirnya tinggalkan siang. Sesuatu yang berat kini menghimpit dadaku. Aku harus berpikir keras agar bisa membantu Dian lepas dari masalahnya. Masalah yang aku anggap tak sepele, bahkan cukup serius, menurutku. Otakku terus kuputar mencari berbagai macam ide. Sungguh sejak siang tadi aku tak mampu menemukan ide apa-apa. Bahkan aku malah ketiduran tadi setelah lama berpikir.

Ah, Di…, kenapa sih mesti kek gini? Kenapa dengan gamblangnya lo nyerahin semuanya ama laki-laki yang gak jelas asal usulnya? Lo liat sekarang hasil mimpi-mimpi lo, semua bikin hidup lo berantakan, pikirku.

Aku keluar dari kamar dan mencari ibu. Tapi aku tak mungkin menceritakan hal ini pada ibuku. Itu sama saja menceritakan pada orangtua Dian. Apa bedanya, toh antara mereka juga tak ada yang namanya rahasia. Sama antara aku dan Dian.

Aku kembali berbalik dan masuk ke kamarku, tapi sebelum pintu aku kunci, ibu malah memanggilku.

“Syam!”

“Ya, Bu!” aku kembali keluar dari kamar.

“Kamu kenapa, sejak pulang dari kampus tadi kok ngurung diri terus?”

“Eh…, anu, Bu. Ini, ngoreksi tugas siswaku!” jawabku asal. Ini pertama kalinya aku bohong pada ibu sejak aku kuliah. Padahal waktu aku lulus SMA dulu aku sudah berjanji untuk tidak bohong lagi pada ibu, tapi aku tidak mungkin menceritakan masalah Dian ke ibu.

Aku memang seorang guru di sebuah SMP, tempatku dulu sekolah. Kepala Sekolah mempercayakan aku mata pelajaran Bahasa Indonesia dan kepercayaan itu memang aku buktikan dengan meningkatnya prestasi siswaku. Aku memang berprinsip, mereka harus punya kreativitas dan setelah aku mengajar di sana, satu persatu karya siswaku mulai bermunculan di berbagai surat kabar lokal dan nasional. Bahkan aku telah ditawari kepala sekolah untuk membuka kelas menulis di luar jam sekolah. Aku hanya bisa member janji kepada Kepala Sekolah itu nanti, kalau aku sudah selesai kuliah, karena siang aku terpaksa kuliah.

“Oh…! Ibu pikir kamu sakit.” balas ibu. “Tadi kamu nggak ngajar?”

“Hari Senin kan aku nggak nggak ngajar, Bu!” kataku mendekat pada ibu dan duduk di samping ibu. “Bu, bagaimana menurut ibu kalau aku menikah sekarang?”

“Eh, kenalkan dulu sama ibu baru ibu menjawab pertanyaan kamu.”

“Masalahnya ku juga belum nyinggungnya ama dia, Bu. Cuman kalau ibu kasih lampu hijau, aku berencana menceritakannya dengannya dan menemui orangtuanya.”

“Ya, kalau ibu, sih, lebih cepat lebih baik. Rasanya ibu sudah rindu tangisan anak bayi di rumah ini. Tapi, apa kamu gak tunggu kuliahmu selesai, biar di undanganmu nanti ada embel-embel S.Pd-nya?”

“Ya, aku tanya dia dulu, Bu. Kalau masalah embel-embel kayaknya tak perlu, Bu.”

“Ya, terserah kamu sajalah. Kalau ibu sangat setuju, cuman ibu hanya kasih pertimbangan. Ntar kamu perlu biaya besarkan waktu mau selesai.”

“Ya, pakai uang ibu dulu, kalau ibu gak kasih cuma-cuma, ya dipinjam.” kataku bangkit. “Syam ke kamar, Bu.” kataku dan ibu hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Syam, kalau udah ada kesepakatan, mungkin bulan ini udah rame ya di rumah kita.”

“Satu bulan…?” kataku berbalik sambil berpikir kalau sebulan keburu terbongkar neh, bisa-bisa gawat.

“Kenapa? Terlalu cepat?”

“Kelamaan, Bu!”

“Ha….?”

Kutinggalkan ibu dengan kebingungannya mendengar ucapanku.

***

SEPULANG ngajar aku segera menemui Dian dan mengajaknya ke tempat kemarin sesuai janji. Selama diperjalanan aku belum menyinggung rencanaku yang aku pikir merupakan jalan satu-satunya menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari aib dan aku harap semua berjalan sempurna. Di tempat kami kemaren, kami duduk menghadap ke danau yang tenang dan bening, tak ada gemuruh di sana. Hanya sedikit bergelombang mengikuti simpony alam yang bernyanyi yang dibwa oleh hembusan angin siang itu.

“Gimana keadaanmu, Di?”

“Baik-baik saja, Syam.”

“Aku udah usaha nyari cara untuk bantu kamu dari masalah ini, tapi satu ide pun gak bisa aku temukan, Di. Sebagai sahabat aku ngerasa gak berarti apa-apa buat kamu, saat kamu dapat masalah aku gak bisa ngapa-ngapain.” ungkapku berbias kecewa.

“Gak apa-apa, Syam. Meskinya aku juga gak terlalu percaya dengan laki-laki kek Gery. Aku juga gak mestinya memperturutkan mimpi-mimpiku.”

“Di, bagaimana nanti kalau Om tau semua ini?”

“Ntahlah, Syam! Mungkin aku akan diusir dari rumah dan mau tak mau aku harus pergi.” balasnya pasrah. Matanya mulai berkaca-kaca menghadapi kenyataan yang telah dihadapinya dan semua telah terlanjur.

“Bagaimana kalau….” aku ragu meneruskan kata-kataku. Aku takut dia tersinggung dan menuduhku memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

“Kalau apa, Syam?” tanyanya dengan suara yang sudah mulai bergetar.

Rupanya kesedihannya telah sampai pada titik didih hingga dalam beberapa saat, dua bulir air mata telah mengalir dengan derasnya hingga ke dagunya yang indah.

“Bagaimana kalau aku menikahimu?” akhirnya kalimat itu mampu kuucapkan juga.

“Apa? Lo mau nikahi aku yang udah ternoda ini? Maksud lo?” tanyanya menolehku dengan ekspresi wajah yang dapat ku tatap. Aku menunduk.

“Sebagai sahabat, aku pengen bantu lo dan aku hanya dapat ide ini. Semalam aku udah ngobrol ama ibu dan dia nyerahin ke aku. Aku gak peduli ama keadaan lo saat ini, karena udah cukup lama aku mendam perasaan aku, sayangnya aku kalah ama Gery dan selama ini aku udah berusaha tegar, tapi ketegaran itu malah ngelempar aku dalam sepi yang entah kek gimana aku ngelaluinya. Sebenarnya udah sejak lama aku ada rasa ama kamu tapi sepertinya kamu memang gak ada rasa ama aku.”

“Lo emang sahabat terbaik aku, Syam. Tapi gak adil rasanya jika lo ngedapatin cewek kek aku, yang udah jadi barang bekas. Sementara lo, jalan ama cewek aja gak pernah. Selama ini lo terus bangun imej positif ama semua orang dan gak mungkin lo ngedapatin balasan semua itu dengan beristri perempuan kek aku.”

“Di, aku gak peduli.”

“Gak peduli apanya?” teriaknya. “Jika lo ngedapatin aku, mana keadilan Tuhan, Syam?”

“Tapi aku cinta ama lo, Di!”

“Hentikan omong kosongmu, Syam! Jangan sebut-sebut lagi kata cinta di depanku!” dia berlari meninggalkanku.

Aku tak mengejarnya. Aku tetap duduk di tempatku semula hingga malam menyelimuti siang, ia tak kembali dan aku tetap duduk di tempatku. Tak berbuat apa-apa selain menatapi hamparan danau yang tenang tanpa gemuruh, yang hening tanpa gairah, yang sepi tanpa naluri, yang diam tanpa hasrat, yang dalam tanpa gejolak, dan yang bening tanpa birahi.

Aku bangkit sambil berujar lirih, “Dalam keadaan gimanapun, lo gak pernah ada rasa ama aku, Di!”

***


Andam Dewi.

Minggu, 17 April 2011

Pukul 00.16 WIB

Komentar

Foto Diyan Fauziyah

kereeennnnnn ....

kereeennnnnn ....

starlight

Foto SIHALOHOLISTICK

Teima Kasih

Terima kasih atas kunjungannya dan apresiasinya....

Salam Jendela Sastra/Media Sastra Indonesia

=@Sihaloholistick=

Foto arni djenita ludji

cool

aku suka cerpennya... bagus banget!!! :)

Foto Anonymous

terharuuu juga bacanya...

terharuuu juga bacanya...

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler