Skip to Content

CINTA TAK TERTAMBATKAN

Foto Ida Bagus Gde Parwita

Cerpen Remaja: Ida Bagus Gde Parwita

CINTA TAK TERTAMBATKAN

Panas telah mulai menipis, sebentar lagi matahari akan turun ke peraduannya. Namun nelayan – nelayan di pantai itu masih setia mengayuh perahu – perahunya sambil menarik jaring yang menjadi harapannya. Harapan hidup yang memberinya suguhan dari karunia Sang Maha Kuasa. Aku menatap hampran bukit – bukit di kejauhan yang mulai menghitam. Lampu – lampu mercusuar dan puluhan cahaya mulai nampak bagai menyembul dari laut. Ada secercah kenangan di sana, ketika pesona muda masih bersarang kuat dalam pribadiku. Walau bermula dari ketidak sengajaan ataukah karena kebetulan aku menjadi akrab dengan Ningsih, anak salah seorang PNS di desa Kusamba itu.

Dari batas perkenalan itu, aku semakin terasa akrab. Akhirnya setiap sore hari aku selalu datang ke pantai itu, entah sendiri atau dengan teman yang penting aku bisa bertemu dengannya, atau bila telah terlalu sore cukup aku mendapatkan senyumannya dari depan pintu masuk rumahnya yang tak jauh ke jalan menuju pantai itu. Ini terasa aneh tapi sungguh mengasyikkan. Aku bertanya dalam diriku, apakah ini aku sudah jatuh cinta, dan apakah dia juga mencintaiku. Padahal aku belum pernah mengutarakan rasa cintaku kepadanya.

Lama kurenungkan hidupku, mungkinkah aku akan mendapatkan cintanya. Dia memang hidup sederhana dalam pandanganku, tapi aku tak dapat menerka entah apa yang akan menjadi harapannya soal lelaki. Tidakkah dia memiliki harapan lebih tinggi dalam angannya. Mungkinkah aku bisa diterimanya, jangan – jangan keramahannya adalah keramahan biasa sebagai teman. Aku menjadi semakin ragu.

Dalam pertemuan berikutnya di pesisir pantai yang makin sunyi itu aku bertekad, aku harus beranikan diriku untuk menyatakan maksud hatiku. Kata orang kalau tidak diungkapkan tak akan tahu orang – orang apa yang ada di benak kita. Dudukku kudekatkan di samping kirinya, sambil memandang laut yang sesekali menempiaskan ombak-ombak kecil membasahi pasir pesisir. Ku gandeng tangan kirinya dengan tangan kananku, namun masih tetap duduk tanpa bergeser. “Ningsih, aku sudah lama sangat mencintaimu” !. Dia menoleh ke arahku, lalu menatap wajahku. Aku seperti tersentak menunggu reaksinya. Sambil tersenyum dia menjawab, Nampak sungguh – sungguh. “Kenapa kau katakana itu?” Sepintas jawaban ini mengejutkan aku, apakah aku akan ditolaknya. Tapi….”sejak kita akrab aku telah mencintaimu”. Jawaban itu akhirnya membuat pikiranku plong. Saat itu aku merasa sebagai orang yang paling berbahagia di muka bumi ini. Angin laut berembus pelan, ombak menggapai pesisir seakan ikut berbahagia merasakan cinta kami yang baru saja ditambatkan.

Hari – hari selanjutnya selalu terasa penuh keceriaan. Hampir setiap sore aku sempatkan mengunjungi pantai itu. Terkadang aku, terkadang dia lebih dahulu duduk-duduk menunggu. Jika karena suatu kesibukan aku tak datang dan tak sempat berkhabar, maka pertemuan berikutnya pasti ditanyakan. Apakah aku sakit atau ada alasan keterpaksaan yang tak memungkinkan berkhabar, maklum belum ada HP seperti sekarang ini. Sebaliknya bila dia tak bisa datang biasanya ada pesan lewat temannya apakah dia ke Denpasar menjenguk keluarga atau kegiatan lain yang tak bisa ditinggalkannya.

Perjalanan cintaku semakin akrab, dan aku telah mulai berani mengajaknya bepergian walau dengan sepeda motor butut yang aku miliki, sudah tentu dia harus membuat alasan apakah ke pasar membeli sesuatu atau alas an lainnya. Dalam suatu perjalanan ke Tirtagangga di wilayah Karangasem dengan sejumlah teman aku ingin mereguk kehangatan cinta kami, bercakap berdua saling berpelukan, ataukah mengungkapkan rasa pribadi yang dapat menjadi perekat rasa cinta. Dia mengutarakan rasa pribadinya, bahwa keluarganya terlebih ayahnya tak mau putrinya bercinta secara diam – diam. “Ayah ingin orang yang berani datang di hadapannya” ungkapnya dalam perbincangan yang sangat serius. Dalam pandangan ayahnya gadis-gadis yang bepergian tanpa diketahuinya adalah kurang baik, apalagi berani ke rumah lelaki secara diam-diam adalah gadis yang tak punya harga diri.

Pandangan demikian dalam pikiranku ada benarnya. Sebab bagaimana seseorang bertanggung jawab kalau dia tidak berterus terang pada pemilik gadis itu. Suatu tantangan baru berkecamuk dalam pikiranku. Kapan aku bisa mewujudkan itu.

Hari mulai beranjak sore, di bawah pohon ini masih terasa teduh. Aku masih duduk berdua memandang kolam Tirtagangga dengan airnya yang jernih. Aku pandangi gumpalan – gumpalan air yang jatuh dari monument di dalam kolam itu. Riaknya membuat bayangan matahari memantul  bergerak – gerak. Sesekali aku merasakan pantulan itu menempias mukaku. Lalu aku katakana kepada Ningsih kekasihku :”kalau aku ke rumahmu mungkinkah ayahmu tidak marah?” “atau aku harus berterus terang, atau mencari alasan apa?” sementara dia nampak memandangku dengan pertanyaan memenuhi benaknya.

Belakangan ini hari-hariku terasa makin sibuk, beberapa kali aku tak sempat datang ke pantai. Hingga hari ke empat aku mengusahakan untuk datang. Dia menyambutku dengan temannya dengan muka masam, jauh dari biasanya yang penuh ceria dan penuh senyuman. Aku bertanya dalam diri, apakah karena tiga kali ketidak hadiranku telah membuatnya marah, atau ada masalah lain yang akan disampaikannya. Aku terdiam sambil memandang jalannya yang tidak  fokus,  seakan ada beban yang menghimpit di atasnya. Begitu dia duduk di sampingku, temannya memandang dari kejauhan. Aku berbisik “maafkan aku beberapa kali tak menemuimu” “apakah kau marah karena aku belum juga datang ke rumahmu bertemu ayah?”. Dia jawab “tidak, bukan itu persoalannya!”. “Aku sangat ingin menemuiku karena persoalan ini tak bisa kupendam sendiri” imbuhnya. Aku merasa ada sesuatu yang telah terjadi. Aku merasa tak sabar ingin tahu penyebabnya. “Ayahku minta aku harus melanjutkan kuliah ke Denpasar setamat SMAku ini, dan celakanya harus tinggal di rumah paman”. Katanya dengan penuh rasa tidak enak. Aku balik bertanya: “Lantas persoalannya apa?, bukankah kendati  di Denpasar aku bisa datang menemuimu?” jawabku. “Tidak, masalahnya keponakan paman dari pihak istrinya ini pernah mengatakan cinta padaku, yang saat itu aku tolak karena aku telah mencintaimu” jawabnya.

Pikiranku menjadi kacau, sebab untuk menikah tak mungkin dalam usia semuda ini, lagi pula tak ada sama sekali persiapan untuk itu. Lama aku terdiam, lamunanku penuh ketidak pastian. Lalu aku bertanya dimana keponakan bibinya itu bekerja. Ningsih menjawab “Dia baru saja tamat dari sebuah Universitas”. Aku merasa rendah diri, karena aku hanya seorang pegawai honorer yang hanya tamat Diploma Satu, sementara sainganku nantinya seorang Sarjana. Dia mendesakku untuk memberikan pertimbangan. Dalam keadaan terdesak aku katakan: “Kau harus mengikuti orang tuamu, masalahnya ada pada dirimu bila kau tidak mencintainya kau harus katakana terus terang” kataku. Dia menimpali dengan sengitnya: “Bagaimana aku harus terus mengelak bila setiap saat aku dihadapkan pada godaan, dan terlebih pamanku pasti akan membelanya”.

Sore kini telah beranjak petang, samar-samar lampu mercusuar dan lampu-lampu lainnya mulai nampak berderet di tepi lautan. Keputusan akhir aku serahkan kepadanya apakah harus melanjutkan kuliah ke Denpasar atau mencari pekerjaan di Klungkung ini. Akupun tak mungkin menghalangi niat orang tuanya, ataukah menyuruh-nyuruh melakukan sesuatu yang bukan menjadi hakku. Hari kini makin gelap, dia sendiri telah lebih dahulu meninggalkanku, dan akupun pulang dengan sepeda motor bututku penuh pertanyaan dan kemungkinan.

Setahun telah berlalu Ningsih tak pernah memberi khabar kepadaku. Apakah kemungkinan yang dulu disampaikannya kepadaku menjadi benar adanya. Aku masih berdiri di depan toko di sekitar perempatan Klungkung ketika itu. Hari sedikit panas, namun amgin sepoi mengalir member sedikit kesejukan. Saat lamunanku makin jauh, tak kusangka seorang lelaki mendekatiku. Aku terkejut. Ternyata dia adalah tetangga Ningsih yang mengenalku sejak lama. Dari dia aku banyak tahu tentang Ningsih yang telah kawin dengan seseorang yang masih keluarga isteri pamannya. Ya… tiada lain memang yang semula menjadi kekhawatirannya. Dan kini bahkan dia telah menetap di Lombok, karena suaminya bekerja di sana. Berarti pupuslah semua harapanku. Inilah akhir dari perjalananku dengannya.

Pandanganku masih menatap laut yang makin menghitam. Aku tersadar dari semua lamunanku. Nelayan-nelayan dengan jukungnya yang tadi sibuk di lautan kini telah menepi. Jukung – jukung itu ditambatkannya kuat – kuat agar bila ombak laut yang besar menghantam ke tepian tak menggoyahkannya. Tidak seperti cintaku yang tidak tertambatkan, begitu cepatnya goyah dan hanyut. Selamat kekasihku, semoga kau bahagia selamanya.  ( 2017 )

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler