Skip to Content

"dear : Raina "

Foto Gama Ahmad D'Lovers
files/user/2558/Secret-Diary_.jpg
Secret-Diary_.jpg

Hari yang begitu kelam.

Bahkan matahari takut di caci para peri jika ia muncul, amarah dan kesedihan para awan riuh lantah menangis sejadi-jadinya, senada dengan kepedihan jiwaku yang sedang meradang. Bulir-bulir bening air, menetes, menyelimuti para pengantar. Aku benar – benar benci hujan senja ini, teramat benci.

“Gina…. Anakku, jangan tinggalkan ayah nak, maafkan ayah! Ampuni kesombongan ayah, ampuni kesalahan ayah yang menolak kenyataan bahwa ayah begitu menyayangimu, bangun nak… bangun…. Ayah belum siap nak, ayah belum siap…. Argh…. Argh…!”

Pak tua itu, benar-benar tidak tahu diri, akhirnya, suasana yang begitu abu ini mampu menyadarkannya, ku sangka ia tak kan pernah mau ikut campur dalam hidup Gina, anaknya, yang juga adalah perempuan pertama yang membuat aku jatuh cinta. Namun, Gina sudah melupakan aku. Ia sudah disana, bersama ibunya. Aku yakin, ia tak lagi mengingat ku, tak lagi menatapku.  Hanya saja, tak hanya pak tua yang ego itu, aku pun begitu, aku tak rela melepas Gina begitu saja. Baru saja aku merasakan cinta darinya, baru saja. Rasanya masih hangat. Entah mengapa, di dada ini begitu sakit.

 Sesak.

Rasanya begitu sempit. Ku rasa, tubuh ku sudah tak bertulang. Raungan sial pak tua itu, di tambah gelap suram nya dunia, menyergapku dalam kerinduan. Kerinduan yang begitu mendalam. Tetes air mataku, mengalir tanpa otak ku tugaskan, merusak kemurnian air hujan yang begitu riang. Gina, aku sungguh merindumu, sangat… sangat… dan sangat…..  hanya buku ini, catatan yang kau berikan padaku saat kau sekarat, saat kau di ambang kematian. Catatan yang merupakan sebagian dirimu. Tidak, aku tak bisa berdiam lama disini, tak bisa. Gina, aku minta maaf, yang tak berani memeluk mu, yang tak sanggup mencium mu. Aku akan pulang, tidur lah yang lelap. Tidur lah Gina.

 

 

*

catatan apa ini? Pastinya ini bukan buku rekening, karena ia begitu lusuh,kulitnya yang berwarna kuning, telah memudar. Sekilas, Nampak seperti catatan kematian, memang. Rasa penasaran membujuk, aku pun gelisah,ku angkat luka ini. Lalu,ku buka lembar pertama.

 

Minggu, 25  januari 2004

 

Dear : Raina

          Raina, hari ini aku berulang tahun yang ke-8, dan aku bertemu denganmu Berkat tante Rahma yang telah memperkenalkan kita. Kau mengingat kan ku pada perempuan yang fotonya bersama ayah terpampang di ruang tamu, yang tante Rahma bilang adalah ibu . Aku setuju kalau ia jadi ibuku, mengapa tidak? Ia begitu cantik, rambutnya lurus,matanya bulat hitam, pipinya merah, dan senyum itu…. Sangat menawan. Tapi, kemana ibu? Ia tak pernah mau menemui ku.Tante bilang, Ia tak bisa datang, karena ibu sedang berada di suatu tempat yang begitu indah,yang sangat hangat,begitu teduh. Tapi, aku kan anaknya, seharusnya ia datang ke sini, atau ia sudah lupa padaku? Atau dia juga tak memperdulikanku, sama seperti ayah, yang selalu menangis dan meminum minuman botol yang dilarang tante untuk ku minum. Ayah terlihat begitu sedih, entah mengapa. Padahalkan hari ini ulang tahun ku? Foto itu, foto ibu ku yang cantik, selalu ia peluk. Tapi, aku takut. Ayah selalu marah-marah, mengamuk pada ku. Aku merasa ia jijik pada ku. Dan bila ayah sedang marah, ia selalu berteriak:

“ Anak sial! Kau bunuh istri ku.. dasar kau anak haram, anak setan, anak iblis,……”  dan sebagainya, yang aku bahkan tak mau menulisnya. Raina, apa kau tahu dimana ibu sekarang, sampaikan padanya kalau aku dan ayah di sini sangat merindukan nya, aku mohon Raina, karena tuhan belum memunculkan ibu, padahal aku selalu meminta. Semoga ibu cepat datang.

 

Amin.

 

*

“Selamat ulang tahun Gina, semoga panjang umur dan sehat selalu. Ini tante bawa sesuatu?’’

“terima kasih,tante. Ehehe. Emangnya tante bawa apa an? Boneka ya?”

“bukan. Ini tante bawa ini.” Ku tunjukkan itu pada Gina.

“Apa ini tante?  Buku?  Ini buku apa tante?”

“yah, buku. Tapi, kamu bisa tulis apa yang kamu rasakan di buku itu.”

“wah, kayaknya asik. Makasih banyak ya tante? Tante Rahma emang yang paling baik.” Anak ini tersenyum, mata nya sangat polos. Suci tanpa noda. Senyum nya sangat manis, sama seperti Kak Raina. Tapi, kasihan anak ini. Mas Adun sangat menolak kelahirannya, ia sangat membenci Gina. ” 

 

“hei Rahma, kenapa kau begitu membangkang? Bukan kah sudah ku ingat kan, tak perlu kau rayakan lagi ulang tahun anak bedebah itu”  Tiba-tiba lelaki bermata merah dan sempoyongan itu mengagetkan ku

“tidak Mas, Rahma  Cuma mengucapkan kok.”

“Sama saja… kenapa kau sangat perhatian dengan binatang itu?”

“karena dia anak kakak ipar ku Mas, Kak Raina, istri mu mas!”

“Dia memang anak Raina, tapi dia bukan anak ku! Aku bukan ayah nya, dia adalah anak kelima lelaki bajingan yang telah merenggut kehormatan istriku, yang dengan paksa memerintah istri ku menjadi budak nafsu mereka. lalu, mereka bakar rumah ku. Dan, meninggal kan bayi laknat itu di kandungan istriku. Sudah lama aku ingin membunuhnya, jauh sebelum Ia berbentuk. Tapi, Raina selalu menyebut anak itu tak berdosa, mengganggap anak itu adalah berkat. Hingga tepat hari ini, delapan tahun yang lalu, istriku harus meregang nyawa demi dia, demi hidupnya gundukan dosa itu. Dan ketika bayi itu menatap dunia, ia menangis, memompa emosi ku, tapi Raina malah tersenyum, dan memanggilnya “Gina”, hingga akhirnya mati dalam senyuman itu?  Apakah itu yang namanya rahmat? Apa itu yang namanya mukjizat? Apa dia adalah anak ku? Tentu saja bukan, dia adalah batu neraka yang diturunkan Tuhan untuk membunuh istriku!”

“Mas, sadar lah mas… sadar!”

“Rahma, aku sudah tak bisa, dan tak akan pernah bisa menerima tinja itu.. Sekarang kau pergi, pergi… jangan pernah kau kembali!”

            Lelaki ini memang telah jadi setan. Ia begitu marah, aku tak sanggup melihat mas ku jadi budak iblis. Hatiku pedih, sakit, dan nyeri.  Aku tak tahan, dan aku ingin segera pergi.

“Tante? Tante Rahma mau kemana tante?” Gina memeluk erat kaki ku dan menangis, Ia ketakutan.

“Gina, tante Cuma mau ke pasar kok… tapi kamu jangan ikut ya?”

“tante bohong… tante bohong!”

            Hati ku luluh lantah, begitu teriris. Hanya saja, aku tak mungkin terus disini, aku tak tahan menatap lelaki bodoh itu. Aku harus pergi, entah kapan aku bisa untuk ikhlas menatap lelaki itu lagi. Akhirnya, ku lepaskan pelukan Gina, lalu aku pergi secepat mungkin, ku lihat Gina masih meraung, tak lama hilang setelah ayahnya menutup pintu. Gina, bertahanlah. Bertahanlah, karena Tante tak akan ada untuk mu lagi, karena ayah mu sungguh membenci tante. Maaf Gina.

            Ku tinggalkan rumah biadab itu beserta Gina di dalamnya. Namun, aku sungguh gelisah. Tak bisa ku bayangkan betapa akan menderitanya keponakan ku karena lelaki keparat itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku sudah berusaha semampuku.

“Mbak Raina.. maafkan Rahma, Mbak. Rahma tak bisa menyadarkan Mas Adun, maaf kan Rahma, Mbak…”

Kegelisahan membawa ku termenung dalam imaginasi busuk nya penyesalan.

Tiba-tiba... punggung ku terasa berat. Nafas ku sesak dan sakit. Apa kah bumi menggilas ku? Alam menggelap.

 

 

*

 

Kamis, 15 Maret 2012

 

Dear : Raina

 

          Raina, maaf kan aku yang sudah menelantarkanmu, hanya saja, jika aku melihat mu, aku akan teringat dengan kematian tante Rahma setelah pulang dari ulang tahun ku delapan tahun lalu. Kau pasti mengerti kan,Raina? Kenapa harus Tante Rahma yang pergi, padahal aku selalu meminta kepada tuhan agar tuhan segera mengambil ayah, tapi Ia tak peduli. Aku benci Dia. Tapi, mau bagaimana lagi, aku tak mungkin menghina tuhan.

          Oh iya, Raina…

Hari ini kelas ku kedatangan murid baru, seorang laki-laki yang aneh. Wajahnya memang manis, tapi dia sombong . aku kesal. Yang ku tahu tentangnya hanyalah namanya, kalau tak salah, Aiharn Tresdmort, panggilannya “Buyung”.

          Entah mengapa, anak perempuan lain dikelas ku bersorak mendengarkan ia bicara, seperti artis ternama saja, dan ia tak menghiraukan pujian-pujian itu.  Dia pula yang membuat aku begitu marah, dan berkelahi dengan Bu Jamila. Lalu, mengusir diri dari sekolah.

*

“Ayah, aku kan sudah bilang! Aku tak mau bersekolah disini.. kenapa ayah begitu memaksa ku?”

“dengar, Nak! Jika kau tak pergi ke sana, ayah tak akan menyekolahkan mu!”

“apa? Jika orang-orang di sini membuat aku merasa terganggu, aku lebih baik tak bersekolah!” ku banting pintu mobil ayah, lalu berjalan perlahan ke sekolah asing ini. Sebelum ia pergi, ku lirik wajahnya, Nampak mimic lega yang begitu lepas, tapi aku benar-benar kesal. Jika aku bertanya : mengapa? Ayah pasti menjawab :

“Ini karena bisnis, nak. Demi penunjang hidup kita.” Lalu ibu pasti akan mengelus kepala ku dan bilang :

“semuanya akan baik-baik saja, tak usah khawatir…”

            Itu kan menurud mereka.

Bagi ku, pindah-pindah sekolah itu sangat mengesalkan. Bagaimana tidak?  Setiap kali aku pindah, setiap itu lah aku wajib hukumnya mengenal suasana berbeda dan sekarang, aku berhadapan dengan seorang lelaki jelek berperut buncit yang ketagihan memainkan kumisnya.

“oh.. jadi ini dirimu, selamat datang di sekolah ini. Bapak harap kamu betah disini.”

            Betah?  Sinting mungkin laki-laki ini. Tak lama, pasti aku di suruh pindah lagi, wajah koruptor nya bahkan membuat ku terusir.

“ayo, bapak tunjukkan kelas baru mu..”

            Aku dan si wajah koruptor berjalan menaiki beberapa anak tangga, dan selalu saja. Aku benci ketika anak perempuan menatap ku seperti ini. Apa yang salah dengan ku? Entah lah.

“ini kelas mu , nak.”

“baik pak..”

            Lalu ia pergi, dan semoga terpeleset ditangga itu. Sedangkan aku, aku bergegas masuk.

“anak-anak.. perkenalkan teman baru kalian, namanya Buyung Al’Somad ! Somad,ucapkan salam pada teman baru mu!”

“panggil saja aku Buyung bu, Hai.. te… teman..”

“wow, suaranya, wajahnya, gaya nya, namanya… Luar biasa…”

            Aku sudah menduga. Dimana pun aku berada, perempuan nya sama: mencari perhatian, dan itu membuat aku jijik.

“Buyung, kursi mu disana. Silahkan duduk, kita lanjutkan pelajaran!”

            Sial. Mengapa aku harus duduk di situ? Di sebelah perempuan yang mungkin sama, dan benar saja, ketika aku mendekat ia memandangiku dari atas kebawah. Sepertinya dia juga ingin mencari perhatian.

“hei, bocah manja. Kenapa kau kesini? Aku tidak rela jika kau duduk di sebelahku. Cari kursi lain!”

            Apa? Bagaimana mungkin? Aku bingung. Mungkin dia sudah tidak normal, atau mungkin justru dia yang saraf nya tak sumbang. Beraninya dia merendahkan aku.

“kau tahu, aku juga tak mau. Bu guru yang menyuruhku duduk didekatmu..” ku letakkan telunjuk di depan matanya. bocah itu menampar tangan ku, mendorong meja, lalu berdiri,memukul punuk meja dan berteriak.

“aku tidak peduli, bukan urusan ku..” 

            Seluruh kelas tercengang dan hening, lalu perempuan yang berdiri dari tadi memukulnya.

“ Kurang ajar sekali kau, Gina! Buyung baru saja datang ke sekolah kita, dan kau bukan menyambutnya, justru mengusirnya!”

“Buk.. Aku mengerti. Semua di sekolah ini sama saja. Semuanya akan ramah pada anak – anak orang kaya, sedangkan aku yang anak seorang lelaki tua miskin, tak pernah di hargai. Semua membuangku, semua mengusirku!” tetes matanya cukup untuk membagi ku kenyataan tentang hidupnya, sekarat.

“kau! Sekarang keluar! Jangan pernah ikut pelajaran ini lagi, ibu tidak akan mengganggap mu.”

“baik. Aku akan keluar. Aku juga pasti besok di keluarkan dari sekolah karena masalah ini. Aku juga sudah muak pada anda.” Bocah perempuan setengah gila itu mengusap air matanya,menarik tas nya, lalu pergi keluar kelas sembari membanting pintu.

“Giiiiiinaaaaaaaa!”

*

            Sial. Kenapa aku harus duduk di depan lelaki berwajah koruptor ini, dan di sebelah ku ada setan perempuan.

“Gina, bapak dengar kamu berulah di kelas. Mengapa kamu tidak menerima kehadiran Buyung?” Gina kemudian memppelototi helaian kumis lebat si koruptor dan berperut buncit, kemudian menatap ku, seram.

“Benar, Pak Kepala Sekolah yang terhormat! Tapi, aku bukan berulah, hanya memprotes, dan yang ku protes bukan lah kedatangan bocah manja yang sok ganteng ini, melainkan paham yang di anut di sekolah ini. Mungkin paham yang bapak tanam kan di keluarga bapak, juga bapak perkenalkan di lembaga pendidikan yang murid nya mayoritas anak orang kaya ini, Benar kan, Pak?”  Gila, berani sekali Gina berkata seperti itu. Perkataannya membuat kumis pak kepala sekolah mengkerut, menandakan betapa tersinggungnya Ia, dan aku senang sekali. Di tengah kekesalan dan kediaman pak kepala sekolah, Gina kembali berkata:

“kenapa, pak? Hati anda baru menyadari? Tentu saja. Mungkin karena bapak terbiasa menutupi kejelekan yang ada pada diri bapak dan sekolah ini, yang selalu ingin di pandang hebat, dipandang sempurna? Sadar, pak!”

Mata si koruptor memerah, ia mengusap dadanya, lalu serapahnya meledak.

“kurang ajar kau, Gina! Jangan pernah berharap kau akan ku izinkan belajar di sekolah ini lagi, terhitung hari ini, kau dikeluarkan!”

“Terima kasih, pak. Anda memberikan apa yang paling saya inginkan. Lebih baik saya berhenti sekolah, dari pada menjadi orang berpendidikan tetapi sakit moral seperti anda, yang memikirkan perut sendiri, tapi tugas dan abdi nya untuk bangsa, sama sekali tidak ada, Permisi, Pak!”

            Aku tercekik. Tak ku sangka, leher ku berputar mengiringi kepergian Gina dari ruangan ini, sedang di depan ku, si wajah koruptor tersandar. Ia memegang dadanya, mungkin ia baru sadar telah di bom nukir oleh Gina. Aku terpesona, aku heran dengan gadis itu. Apa isi otaknya? Mungkin sudah benar-benar gila. Aku tak tahan, aku harus mengenalnya. Harus.

 

*

            Ku tatap ia secara sembunyi-sembunyi. Tiang-tiang penyangga jembatan besi dan desus angin Nampak tertawa mengejek ku, pemuda yang tak pernah memandang hal dengan serius, takluk dan takjub dengan seorang perempuan setengah gila. Perlahan, ku hampiri Ia yang terisak di sisi jembatan.

“mengapa kau mengikuti ku? Ingin menertawakan ku?”

“hei, perempuan sinting, orang tua ku tak menyekolah kan ku untuk menertawakan perempuan yang sedang bertahan mencoba tegar, sedangkan ia menagis sedih karena sakit hati.”

“apa kau mencoba menghiburku?” Gina menatapku, mata nya bening. Permata yang jatuh mengalir itu ku usap, ia terkejut dengan sikap ku.

“kau gadis cerdas, Gina. Sudah lah. Aku yakin kau yang telah memilih. Maaf karena aku berpikir kau adalah gadis gila. Apa kita bisa berteman?” aku benar-benar berharap dia mau menjabat tangan ku, ayo Gina, Jawab!

“ tentu, kita berteman.” Ia menampar tangan ku, dan memberi hadiah special : Senyuman yang terpaksa. Luar biasa, Ia cantik sekali. Aku terhenyak, tenggelam. Ku rasa kan damai menjalar jiwa ku. Lagi-lagi, aku tak menyangka aku akan mmerasa kan sebuah kelainan penyakit yang biasa hinggap pada remaja seusia kami.

“Buyung? Hei… Buyung!”

“ah? Iya, Gina? Maaf..”

“terserahlah, aku mau pulang.”

“baik, aku juga Mau pulang.”

            Lalu Gina meninggalkan ku, dan aku juga pergi, tapi bukan pulang kerumah. Aku mengikutinya, aku ingin tahu dimana rumahnya. Ku coba berjalan tanpa mengeluarkan derap, aku gengsi jika Gina heran mengetahui aku mengikutiinya.

            Langkahku, ku tahan ketika sudah berada dirumah kayu dengan ukuran tak begitu besar. Ternyata, Gina sangat berbeda dengan ku. Aku yakin, pasti Ia bukan lah perempuan yang sibuk mengurusi trend, takut matahari seperti vampire, atau pun perempuan yang heboh ketika jerawat bersarang di wajahnya. Aku percaya, dia gadis yang apa adanya, terkesan polos. Sempurna.

“ mengapa kau cepat sekali pulang, Gina?” Tanya seorang laki – laki yang muncul dari rumah, agak tua, dengan mata merah dan sempoyongan.

“em… Gina di keluarkan dari sekolah, yah.”

“apa? Dasar anak sial! Dari awal kau lahir, kau selalu merusak keadaan. Kau sama jahanam nya dengan darah yang mengalir di dirimu, darah binatang., uhuk… uhuk… aku sudah muak berbicara pada mu,setan!” pekik lelaki tua itu. Urat nadi nya mencuat, kejang.

“maaf, ayah, tapi, Gina berjanji, Gina tak akan lagi mengulanginya.”

“Diam kau! Masuk! Cuci piring – piring, dan buat kan aku masakan!”

“Baik,Yah!”

 

 

 

 

 

 

Dear: Raina

          Raina, Aku benar-benar merasa sakit hari ini. Aku merasa dunia mengusir aku… Aku benci aku, Raina. Mengapa aku harus terlahir? Ibu. Mengapa kau lahirkan aku? Aku benci kau, ibu! Benci!

 

 

*

            Sepi, dunia ini benar-benar sepi, tiba-tiba kenangan itu:

“Mas, bayi nya menendang! Seperti nya Ia sedang bahagia, oh iya, mas. Ini udah bulan ke berapa?”

“udah ke delapan, Na….”

“wah, berarati sebentar lagi Ia akan menatap dunia ini, dan tentunya akan jadi anak yang sangat baik, kalau dia laki-laki, pasti tampan, dan kalau perempuan, pasti sangat cantik.”

            Perempuan itu, perempuan yang sangat aku cintai, tersenyum indah. Ia asik mengusap perutnya yang membuncit, yang di dalamnya daging neraka itu tumbuh, mengisap darah istri ku, parasit yang selalu saja membuat istri ku sakit dan meraung, yang istriku sebut dengan “bayi”.Bayi itu, aku sangat membencinya. Dia memang anak istriku, tapi dia bukan anak ku. Dia adalah anak lima orang setan yang merampok rumah ku, lalu membuahi istriku, menikmati skujur tubuhnya, menjadikan istriku sarang nafsu, lalu meninggalkan setan kecil itu meringkuk di rahim istri ku.

            Tapi entah mengapa, Raina selalu saja memanjakan setan itu. Ia sangat bahagia ketika setan itu menunjukkan tanda kehidupan. Ia selalu saja mengajari ku:

“Bayi ini suci, Mas. Dia sama sekali tak berdosa, tidak setitik tetes pun.”

Aku tak merasa begitu. Bagi ku, tetap saja, darah yang mengalir pada setan itu, bukan lah darah dagingku, bahkan aku tak sudi. Tuhan pasti ingin menghina ku dengan rasa malu hassil kemaluan yang menjijikkan itu. Aku tak heran. Tuhan memang tak pernah menghiraukan ku. Do’a ku untuk jadi orang kaya, tak sedikit pun dia mau. Malam itu……….

“Mas… Mas Adun? Bangun, Mas!”

“ada apa,Raina?”

“Perutku, Perutku, Mas! Sakit… Tolong, Mas! Tooo..looong!”

            Musibah apalagi? Pasti karena setan berulah. Mata ku kabur, tapi setelah jelas, apa yang sudah terjadi? Raina lemas kesakitan. Cairan kebeningan keluar dari selangkangannya. Jangan – jangan setan itu, akan bangkit. Aku harus membawa nya ke puskesmas, tapi itu terlalu jauh, sedangkan aku tak punya sepeda motor, ini juga sedang tengah malam. Lalu, kuputuskan mengambil kain sarung, dan ku ikat Raina di sadel boncengan sepeda ontel ku yang reyot. Ku kayuh sepeda itu semampuku, karena aku takut, takut Raina mati.

 Ku lihat sebaris pohon beringin, hati ku sedikit lega karena tepat di ujung barisan itu lah rumah Nek Minah berada, seorang dukun beranak yang hidup disini.

“Tok.. Tok… Tok.. Nek? Nek Minah?” Tidak ada yang menjawab, hati ku semakin tak kuat, aku menangis.

“Nek, Tolong!”

“ Ada Apa?”

“Nek, tolong Nek…Istri ku.. Sepertinya akan melahirkan…”

“Bawa masuk Ke dalam!”

            Waktu terus berjalan, aku gemetar. Di otak ku muncul hal-hal yang ku takutkan. Raina menjerit, menahan sakit dari perutnya itu. Keringat dingin keluar dari pori wajahku. Sumpah. Aku takut, teramat takut.

“Argh… Sakit, Nek! Sakit!”

“terus , Nak! Terus!”

“ARGH!”

“Oek… Oek…. “

            Tidak, ku rasa petir membelah bumi. Malapetaka itu telah bersuara. Kaki ku lemas, lalu aku masuk. Ku lihat Raina terkapar. Ia dan bayinya tergeletak bersimbah darah. Merah!

“M.. M.. Mas.. Kemari lah, lihat lah mas. D.. Dia begitu cantik, sangat suci.”

“Lepaskan iblis itu, Raina! Lepaskan…”

“ Tidak, Mas.. M.. Mas.. Dia sangat cantik, Mas!”

“Raina? Raina? Jangan terpejam! Sadarlah Raina! Sadarlah! Raina! Raina!”

 

*

            Untunglah Pak tua jelek itu tak ada di rumah dari pagi tadi, jadi aku bisa bertemu Gina. Aku sudah tak sabar ingin bertemu Ia, menatap kecantikannya. Tapi, ada yang janggal. Mengapa Gina tak keluar rumah? Aku penasaran.

“Gina? Gina? Apa kau ada di dalam?” Tak ada yang merespon, kecuali keheningan. Aku bergegas ke belakang rumah, mencoba mengintip ke dalam. Apa itu? Sebuah tali panjang Nampak terikat di palang rumah, dan dalam keadaan tegang, pasti ada beban yang tergantung. Mungkin Gina sedang membuat penggantung karung. Ku coba mencari celah lain, dan benar saja, ada sedikit lubang kecil yang bisa meneruskan sudut pandang. Begitu sulit, posisi ku tidak mantap dan kurang mendukung. Tapi, siapa tahu Gina disana, sedang bekerja layaknya gadis desa. Tapi, setelah ku lihat lagi. Mata ku terbelalak, jantung ku terhenyak, nafas ku sesak, aku terkejut, karena tak percaya akan apa yang ku lihat. Beban itu… beban yang tergantung itu…

 Gina.

 

Dear : Raina

 

          Raina, hari ini aku putuskan untuk menemui ibu. Tolong sampaikan pada Buyung dan Ayah bahwa aku mencintai mereka. terima kasih Raina, kau sudah jadi sahabat ku.

 Terima kasih.

 

Hari yang begitu kelam.

Bahkan matahari takut di caci para peri jika ia muncul, amarah dan kesedihan para awan riuh lantah menangis sejadi-jadinya, senada dengan kepedihan jiwaku yang sedang meradang.  Selamat malam Gina, Mimpi indah. Tunggu aku, aku berjanji. Kita akan bertemu.

                                                                                                Penulis

 

Ahmad Tastika

Komentar

Foto edi sst

menarik sekali ...

ahahay ...

cara penceritaan cerpenmu ini cukup eksperimental
si tokoh aku berubah-ubah
awalnya si aku adl Buyung, lalu Rahma, lalu Gina
asal pembaca ttp nyaman & tidak bingung mk itu tdk masalah
konflik cerita mnjadi semacam sebuah potret yg tersusun dari beberapa 'angel' yg berbeda-beda, macam mozaik. bagus

teruslah berkarya, Gama ... :))

Foto Gama Ahmad D'Lovers

Kehadiran..

Biarlah jumpa belum terbangun dari tidurnya... ananda belum siapa2, hanya bocah lusa yang bermimpi membuka sandi hati diri,masyarakat,penguasa,bahkan dunia dalam sastra.. bocah yang memakai tulisan sebagai pedangnya, lalu tekad sebagai tamengnya.... yah. .. bocah biasa.. akhirnya, kedataaangan sang idola yang begitu di nanti, tercapai dari dinginnya asa.. terimalah kasih ini pak,, atas kedatangannya...

D'LOVERS

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler