Skip to Content

Debu

Foto Qiu Alfa

 

Akulah debu yang diberi mukjizat lebih oleh Tuhanku untuk menyusup ke segala celah, segala yang tampak atau ke segala yang tersembunyi. Akulah debu, yang bisa membuat segalanya hancur menjadi kacau. Kumasuki ruang terlarang saat aku berhasil menyusup angin yang berhembus pelan atau kencang. Tapi akulah debu, riwayat jelmaan terakhir dari segala kehidupan atau kematian yang pernah abadi. Akulah sisa terakhir dari ciptaan Tuhanku yang terabaikan yang selalu dipakai dalam segala kesucian. Akulah debu, yang selalu ada bersama seutuh nyawa atau separuh nyawa yang masih bernapas atau terputus napas. Akulah debu, yang selalu memperhatikan wajah-wajah segala rupa. Yang tidak akan pernah lenyap sedebu pun dari segala permukaan.

Akulah debu, yang beberapa hari yang lalu masih dapat menikmati jerit dan tawa kanak-kanak di sebuah gubuk yang berdiri kokoh, yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Akulah debu, yang kemarin itu diberi kesempatan bermain oleh tangan-tangan kecil mereka. Anak-anak itu  membentuk sebuah rumah dari pasir yang ada aku di dalamnya. Mereka membuat sebuah piringan dari daun kering yang juga ada aku di dalamnya. Mereka berlari, saling mengejar, bertangkap-tangkap, berlempar-lempar lumpur kering yang ada aku di dalam semuanya. Akulah debu, yang mencoba menjaga perasaan mereka agar tidak tersakiti sebab aku, sekalipun ibu-ibu mereka akan datang dengan wajah cemas sebab melihat aku yang sudah penuh menempel di tubuh dan baju anak-anak mereka. Lalu ibu-ibu itu akan mengusirku, menyuruhku pergi. Padahal aku hanya ingin bermain, mencoba menyenangkan perasaan hati anak-anak mereka. Bukan malah menyakiti.

Akulah debu, yang tidak akan pernah asing dalam sepintas pemikiran pun. Yang sekalipun terabaikan, aku tidak akan pernah terlepas dari segala aktivitas. Akulah debu, yang beberapa siang yang lalu sempat singgah di ujung sepatu seorang ibu. Aku melihat perempuan itu bersama seorang anaknya berbelanja di sebuah mini market. Akulah debu, yang melihat anak itu menangis sebab menginginkan sepotong cokelat yang tersusun rapi di sebuah rak jajanan. Anak itu terus memaksa dan merengek pada ibunya agar dibelikan satu hingga membuat ibunya kesal lalu mencubit pantat anaknya hingga biram. Akulah debu, yang mengetahui bila perempuan itu tidak akan pernah mengizinkan bila anaknya harus mencicipi sepotong cokelat pun. Akulah debu, yang sejatinya tidak tega melihat anaknya menangis sampai dadanya berguncang-guncang. Aku tahu bila sesungguhnya perempuan itu masih membutuhkan beberapa belanjaan yang banyak. Sebab anaknya terus menangis, dia lebih memilih mempercepat waktunya untuk pulang. Akulah debu, yang ditatap sinis oleh perempuan itu di ujung sepatunya, lalu aku disingkirkan dengan ujung keempat jarinya hingga aku terbaur dengan angin yang berhembus pelan. Akulah debu, yang masih dapat melihat anak itu menahan tangis yang ingin terus berguncah berjalan di samping ibunya.

Akulah debu, yang sempat ikut berpartisipasi bersama beribu mahasiswa di depan gedung DPR. Mereka memegang spanduk dan papan-papan pemberontakan. Akulah debu, yang juga akan ikut bergerak kencang disaat sekelilingku merasakan perasaan yang menggebu-gebu. Aku juga ikut berteriak saat beribu mahasiswa itu berteriak agar harga BBM diturunkan, bukan malah harus dinaikkan! Akulah debu, yang tanpa mereka sadari berhasil menyusup masuk ke dalam tubuh mereka lewat lobang mulut, lobang hidung, dan lobang mata mereka yang bercelah. Maka di dalam tubuh mereka aku semakin membakar perasaan, agar mereka terus menjerit dan berteriak. Aku mengintip dari dalam lensa mata gemuruh yang membahana di depan gedung DPR. Aku juga melihat beribu polisi dengan beribu tameng mereka untuk menentramkan beribu demon dari beribu mahasiswa.

Akulah debu, yang tidak terhiraukan dan tidak mungkin dapat dihentikan dalam aksi membosankan ini. Akulah debu, yang tidak sengaja melihat seorang pemuda yang disikut, dihajar, dilibas oleh beberapa polisi yang sudah habis kesabarannya untuk menenangkan mereka. Kudengar bisik-bisik mereka bila pemuda itu mencoba masuk ke dalam gedung dan mencoba menghancurkan gerbang besi yang berdiri kokoh bersama sekawanannya. Akulah juga sebagai saksi sejarah setiap tahun ini yang selalu dituliskan dalam beribu artikel anak Indonesia atau setumpuk naskah yang akan disiarkan dalam siaran berita televisi atau radio. Akulah debu, yang tiba-tiba melihat beribu kawanan demonstrasi ini ikut menyerang, menyerbu, membela teman mereka yang dihajar oleh polisi.

Akulah debu, yang tiba-tiba membenci aksi ini, yang tidak tahu lagi entah siapa yang harus aku bela di antara dua pihak. Akulah debu, yang sesungguhnya sangat mengerikan bila aku sudah marah sebab benci. Kemudian kupanggil angin agar bertiup kencang. Aku berbaur dengan angin dan memerintahkan angin agar menghembuskanku ke mata dan hidung mereka dengan kejam, agar mereka benar-benar berhenti dan diam. Akulah debu, yang merasa cukup puas ketika mereka mencoba lari menyelamatkan diri dari amarahku.

Akulah debu, yang tiba-tiba angin membawaku pada suatu ruangan pengadilan yang penuh di dalamnya orang-orang. Aku melihat seorang hakim duduk dengan wibawa sebab pakaian toga kebesaran yang dikenakannya. Lalu aku meminta pada angin agar aku dibawa saja ke mulut microfon di depan hakim, biar aku dapat tahu dengan jelas apa yang tengah terjadi. Akulah debu, yang melihat di tengah ruangan seorang tersangka yang kabarnya akan divonis sekarang juga. Dalam diam akhirnya dapat kuperoleh informasi, bila tersangka telah mencabuli seorang anak gadis hingga hamil. Ada sirat risau saat kutatap bola mata tersangka yang gelisah itu.

Akulah debu, yang sesekali kulihat bola mata sang hakim di balik kaca matanya. Kulihat dia ingin marah besar sebab perlakuan zina. Kemudian kutatap satu persatu bola mata pada hadirin yang hadir dalam ruang pengadilan ini. Akulah debu, yang tidak asing lagi dengan kabar pencabulan atau asusila seperti ini. Akulah debu, yang hampir setiap malam menyaksikan gerakan pasangan muda mudi menikmati malam-malam terlarang mereka sampai subuh. Akulah debu, yang tiba-tiba membuat microfon menjadi mati saat hakim mencoba memutuskan vonis. Akulah debu, yang pada akhirnya membuat hakim sampai jengkel melihat aku yang menempel di mulut microfonnya, lalu hakim itu menghembusku sampai aku terjatuh dan terdengar suara gemuruh dari toak.

Akulah debu, yang pernah dibawa berkelana oleh angin pada sebuah telaga kecil, yang terdapat air tenang di dalamnya. Kulihat sepasang insan muda duduk di  sebuah pohon yang cukup rimbun. Aku melihat mereka duduk saling berjauhan dan saling membisu. Akulah debu, yang hampir tidak bisa membaca pikiran dan hati mereka sebab mereka terlalu membisu. Lalu kupilih menjatuhkan diriku ke atas paha sang gadis yang dilapisi oleh rok panjangnya hingga ke mata kakinya. Aku terkejut ketika melihat sang gadis menitikkan air matanya hingga terjatuh di atas pahanya yang membuat aku hampir basah oleh air mata. Kulihat sang lelaki ingin mendekati gadisnya, tapi sang gadis menyuruhnya untuk pergi dan tidak sudi bila dia disentuh olehnya.

Akulah debu, yang mendengar maaf beribu maaf dari sang lelaki untuk gadisnya. Dia menyesali semua perbuatannya. Entah perbuatan apa, aku tidak tahu. Aku mendengar sang gadis berkata sekali lagi agar lelaki itu pergi darinya, dan lelaki itu benar-benar pergi setelah menyatakan masih cinta pada gadisnya. Akulah debu, yang pada akhirnya basah oleh air mata sang gadis yang terus bercucuran. Sejatinya diriku tidak tega melihat air matanya terus berlinang. Kucoba untuk menghiburnya, tapi aku gagal. Air matanya semakin menderas sampai dadanya berguncah. Akulah debu, yang pada air matanya terjatuh dari pangkuannya sampai kepada air telaga. Akulah debu, yang bukan pada kemauanku pergi meninggalkannya, membiarkannya menangis seorang diri.

Akulah debu, yang apabila datang malam beranjak tua, maka aku panggil angin yang penuh persahabatan untuk membawa aku berkeliling menemui orang-orang yang telah aku temui sebelum matahari terbenam. Aku masuk ke dalam sebuah kamar lewat lobang ventilasi. Dari dalam kamar  dapat kurasakan betapa nikmatnya tidur si anak yang tadi siangnya pernah bermain bersamaku berlempar-lempar lumpur kering. Akulah debu, yang menatap wajahnya penuh sungguh. Wajah yang begitu arif, terkesan tenang, lelah, dan menyenangkan. Pelan-pelan aku masuk ke dalam kamar ibunya. Akulah debu, yang dapat melihat wajah yang terlelap tidur. Akulah debu, yang dapat menilai wajah itu yang jauh sangat berbeda saat wajah itu menatap cemas padaku saat aku ikut bermain dengan anaknya. Wajah itu sungguh sangat tenang.

Akulah debu, yang kemudian dengan ketenanganku beralih ke rumah seorang anak yang pernah meminta sepotong cokelat kepada ibunya. Aku masih menaruh rasa iba kepada wajahnya yang terlelap tenang. Lalu kupanggil angin agar aku dibawa kepada seorang ibu yang mencubit pantat anaknya yang tengah terbaring di sebuah bilik yang teduh. Akulah debu, yang pada wajah perempuan itu dapat melihat ketenangan yang sama.

Akulah debu, yang masih ingin bermain dari subuh ke subuh. Mencoba berhembus sendiri masuk ke dalam kamar beribu mahasiswa, beribu polisi, seorang hakim, seorang tersangka, dan sepasang kekasih. Akulah debu, yang tanpa sepengetahuan mereka asyik menatap wajah lelah mereka yang tenang. Akulah debu, yang lebih mencintai ketenangan ini dari pada huru hara, hingga aku selalu mengajak angin agar berhembus sepoi biar pemilik-pemilik nyawa itu tertidur lelap dan sangat tenang. Akulah debu, yang dapat menilai wajah-wajah mereka lewat aura mereka disaat mereka tertidur. Akulah debu, yang sesungguhnya sangat tahu, bila insan yang bernyawa itu sesungguhnya sangat arif. Dapat aku nilai dari garis wajah mereka disaat mereka tertidur pula. Akulah debu, yang sangat mengetahui titik kelemahan insan disaat mereka tersadar dan tertidur.

Akulah debu, yang sebelum malam menjelma menjadi subuh akan pergi berlalu dari kamar-kamar tidur mereka. Akulah debu, yang tidak akan pernah luput dari gerak mereka, yang selalu ada untuk bersama mereka sekalipun mereka tidak membutuhkanku.

Akulah debu, yang selalu merindu subuh hingga subuh kembali.

 

Sei Balai, 01 Agustus 2012

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler