Skip to Content

Di Antara Dua Sisi

Foto Steven Sitohang

Delapan jam sudah sang surya bersembunyi di balik sana. Menerangi sisi lain dari dunia sama, tangan-tangan sinarnya menembus awan. Meletupkan pistol tanda dimulainya sandiwara manusia. Yang dipenuhi peristiwa: senyum, tangis dan darah.

Berbagai alasan untuk bernafas, beberapa dengan payung berlindung dari panas. Rutinitas yang membosankan seperti permainan roulette. Tapi, manusia bertahan agar terus bernafas, bertahan dari sengatan panas. Dan, manusia memiliki alasannya masing-masing setelah letupan pistol, memilih sandiwara mana yang disuka. Apapun berlaku untuk menukar tangis menjadi senyum walau darah sebagai harga.

Tapi.. itu di balik sana..

Delapan jam sudah suara burung hantu sedang asik bercinta, tiupan angin memaksa pepohonan meluapkan emosi, menunjukan jati diri. Nampak dari jendela tua sang manusia sedang bermimpi, mimpi menjadi sang surya. Yang menjadi saksi mahkota pada banyak peristiwa.

Sunyi senyap diselimuti embun lembut. Suara jangkrik dan katak yang penuh ketidakrelaan akan hidupnya, didengarkan oleh sang bulan. Dan sang bulan hanya menjadi pendengar yang baik tanpa memberikan kata-kata berwarna.

Wahai malam kekecewaan. Kenapa engkau sangat mendadak untuk datang?. Kami belum sempat mempersiapkan segala, kami belum sempat membuatkan secangkir kopi. Untuk menemani tugasmu sebelum mimpi manusia menjadi kenyataan. Di mana sebenarnya mimpi itu?

Wahai malam penuh gelisah. Kenapa engkau jinjit menyelinap datang tanpa pemberitahuan? Lagi pula kami belum sempat bersihkan sarang laba-laba yang baru dibangun itu. Dan kenapa engkau datang membawa aroma tua seperti seorang nenek yang ditinggalkan suaminya setelah 60 tahun menikah? Kami ingin tahu dimana mimpi itu!

Sekarang suara burung hantu itu seperti tangisan, tangisan yang keluar dari dalam, amat dalam seperti lautan. Tangis yang ditinggalkan belahan jiwanya, dan malam pun seperti roulette yang tak ingin berputar lagi, sebab tiap lembar uang sudah masuk kantong sang bandar sekaligus tuan rumah. Tuan rumah yang sangat angkuh, tak peduli sang tamu haus karena berjalan kaki, merasa tak diterima, lalu sang tamu pun pulang tanpa pamit.

Ya, suara itu pun membuat sang angin lebih keras, lebih kuat bertiup hingga mematahkan beberapa ranting pohon yang merasa telah ditelanjangi. Tak ada satu telinga pun yang mendengar keluh-kesah sang pohon. Dan begitu juga sang jangkrik dan sang katak yang bosan berbicara dengan rembulan. Lalu sang jangkrik memakan anaknya, sang katak pun memakan anaknya.

Wahai malam penuh peristiwa. Kenapa engkau datang terhuyung-huyung? Kami sudah membuatkan secangkir kopi panas untukmu. Dan kenapa pula rembulanmu tak berkilau seperti biasanya? Ada apa dengan embunmu yang terasa sangat dingin dibandingkan sebelumnya? Kami ingin sang surya! Di mana sebenarnya mimpi itu?

Wahai malam bermata juling. Kenapa engkau masuk melalui pintu belakang dan tanpa mengetuk sebelumnya? Sudah kami bersihkan sarang laba-laba itu, sekaligus kami bunuh sang tarantula. Kenapa engkau tak mau bercerita? Ah! Aroma tua itu sangat sengit sekali. Ya, kami sudah tau bahwa nenek itu pun sudah tak ada, tadi sore dia sudah dikremasi. Pesan dari dia satu, dia ingin renkarnasi menjadi siang, karena rasa takut terhadap malam yang berlebihan dan kebenciannya terhadap cahaya bulan yang sombong. Suara burung hantu itu menghilang, sang jangkrik dan katak melihatnya bunuh diri, ia tak mau hidup sendiri membawa pembulu darah dan hati yang bolong. Nampak dari jendela tua semuanya sudah diramalkan dan sang manusia terbangun dengan senyum di bibirnya. Letupan pistol belum lagi terdengar.

Mimpi yang berlebihan indahnya. Seharusnya aku tidak hidup di dalam situ, dan hidup ini seperti mimpi. Aku ingin berada di antara dua sisi

 

(Kayu Agung, Palembang. 16 November 2014)

Komentar

Foto Boma Damar

Luar biasa!!! Tak pernah

Luar biasa!!! Tak pernah terpikirkan oleku untuk menulis prosa seperti ini.. Tulisan-tulisan bung Stev sangat membakar semangat dan imajinasi saya untuk terus belajar dan belajar lagi! Ya tanpa kita sadari, kita hanya berharap pada satu sisi, dan selalu memimpikan sisi itu. Sedangkan dua sisi itu memiliki satu kesatuan bentuk yang tidak bisa ditawar lagi. Kita sering kali memaksakan satu sisi yang kita inginkan itu, padahal bisa jadi itu sebuah jebakan.
tetapi jika kita mampu menerima kenyataan dan memandang kedua sisi dengan probabilitas yang sama besar mungkin itu akan melahirkan keputusan yang lebih jernih tanpa harus memaksakan dan mengikuti arus yang lebih kuat. Dengan melihat dua sisi, kita sebenarnya diajar untuk lebih bijak menimbang dan mengetahui nilai atau manfaat yang sesungguhnya. Wah saya jadi kebanyakan mengigau ini bung, maaf tulisan anda yang merangsang saya untuk berkicau.. Ha ha ha padahal masih dangkal tapi sok jadi komentator :D

Pokoknya Nice!!!!
Salam sastra

Foto Steven Sitohang

Terima Kasih Bung Boma Damar . . .

Wahhhhh... Bung Boma terlalu memuji, aku pun juga masih merasa sangat dangkal sekali untuk urusan "probabilitas yang seimbang" dan untuk tulisan sendiri aku adalah orang yang sangat setuju bahwa menulis adalah sarana yang bermanfaat untuk mendidik, menegur, mendisiplinkan, mencinta, mengkritik, berkeluh kesah, dbs. Maka karena alasan itu semua aku akan terus menempatkan diri dalam proses belajar tanpa batas. Namun aku turut senang jika tulisan sederhana ini dapat dimanfaatkan dengan baik, terima kasih sekali lagi atas komentar yang mantab ini bung boma! aku takkan pernah bosan jika mendapatkan masukan dan dapat sharing seperti ini dengan anda.

Pokoknya kita sesama pencinta sastra, saling belajar.. hehehe.. Salam Sastra bung.. :)

Foto Zed

Baper

Ah.. ini prosa ke sekian yang membuatku baperan, om. Heu.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler