Skip to Content

Di Bibir Muara

Foto Ucha Zelebour

Menurut para nelayan yang pernah memergokinya, ikan itu sejenis hiu. Terkesan cool, angkuh dan meremangkan, namun juga menawan, sebab di bagian punggungnya dipenuhi bercak atau tutul berwarna putih—dan pada malam hari apabila tersaput sinar bulan tutulnya akan memancarkan cahaya, berbelik-belik. Seperti flouresen atau laksana lintang-gumintang yang berpendar-pendar di petala langit tertinggi. Dramatis. Sebab itulah kalangan nelayan menyebutnya ikan gigirlintang.

Bagi mereka ikan itu amatlah misterius. Konon, gigirlintang dipercaya merupakan ikan tunggangan sebangsa sileman dan para dewa. Oleh sebab itu tak seorang pun yang berani mengusik apalagi menangkapnya jika tak ingin cilaka. Mitos mengenainya berkembang secara turun-menurun di kalangan nelayan, dan menjadi suatu larangan yang membatasi perilaku mereka agar tidak berbuat macam-macam terhadap ikan tersebut.

Karena mitos yang begitu memengaruhinya, bukan mustahil bila kemudian Darsan tak dapat menguasai kesadarannya ketika mendapati gigirlintang itu tersangkut di jaringnya. Besarnya seukuran tubuhnya. Dan entah sejak kapan ikan itu telah kehabisan tenaga. Hingga pada saat mendapatinya, ikan itu sudah dalam keadaan mati. Teronggok seperti segumpal lemak yang menggilakan. Ia benar-benar terkejut dan merasakan sekujur tubuhnya gemetaran sebelum kemudian terkulai di lambung perahunya. Cukup lama Darsan menata kembali kesadarannya yang sempat lindap.

“Masya Allah—gusti pengeran.” Serta-merta Darsan menciduk air laut. Lalu air yang berkadar garam itu diusapkan ke wajahnya berkali-kali. Sejauh itu ia benar-benar berharap agar apa yang sedang dialaminya hanyalah serupa mimpi.

“Alamat apa ini? Semoga bukan pertanda buruk bagi keluargaku.”

Untuk beberapa saat lamanya Darsan terjebak oleh pikirannya yang tak menentu. Sementara detak jantungnya meloncat-loncat tidak normal. Seperti bola pingpong yang memantul-mantul. Seiring itu sebuah pertanyaan tiba-tiba melintas di benaknya. Rasanya mustahil jika ikan sebesar itu sampai terperangkap ke dalam jaringnya yang kusus dibuat untuk menangkap rajungan atau hewan pengetam yang sejenisnya. Seandainya ikan itu mau berontak, tentunya hanya dengan sekali kibas jaring yang terbuat dari senar plastik berukuran sangat kecil itu tak sangsi lagi bakalan meretas. Tetapi Darsan berusaha memahami segala apa yang dikehendakiNya niscaya bakal terjadi sekalipun tak dapat dicerna oleh akal manusia.

Dengan angas-angasan Darsan berusaha melepaskan gigirlintang itu dari pilinan jaringnya. Lalu ia mengucapkan doa-doa sebisanya sebagai penolakbala. Perasaan tak menentu masih menyelimuti pikirannya sampai ia kemudian memutuskan pulang tanpa peduli dengan hasil tangkapannya yang memang sama-sekali tak diperolehnya. Sesampainya di rumah ia sempat gelisah, namun ia tak berani menceritakan kejadian itu pada keluarganya, apalagi dengan teman-temannya sesama nelayan. Seolah-olah peristiwa yang baru saja dialaminya adalah sesuatu yang tabu untuk diketahui orang lain. ***

Nyaris tak dapat dipercaya bila tiga malam berturut-turut Darsan selalu saja mendapati ikan gigirlintang itu tersampang di jaringnya. Entah ikan yang sama atau ikan lainnya yang masih sejenis. Meski tidak sekali itu tetap saja Darsan diselimuti rasa takut akan sesuatu yang menimpa keluarganya. Perasaan takut bertambah menjadi tatkala Darsan mengetahui bahwa gigirlintang yang ketiga kalinya ia dapati ternyata ukurannya lebih besar dibanding sebelumnya, pun dibanding tubuhnya tiga kali lebih besar ukurannya.

“MasyaAllah,” Darsan menghela nafas berat sebelum kemudian tubuhnya terduduk di lambung perahu.

“Cecoba apa lagi yang akan Kau berikan pada kami ya Gusti Pengeran, hingga aku mengalaminya lagi kejadian ini, kejadian yang sesungguhnya mengusik ketenangan hambaMu ini yang lemah. Andai kata kehadiran ikan ini sebagai pertanda buruk, aku mohon dengan kehendakMu berilah kami ketabahan untuk melampauinya tanpa harus mendustakanMu ya Gusti Pengeran.” Tanpa terasa seembun airmata bergulir ke pipinya. Sesaat lamanya Darsan tak henti-hentinya berdoa, tentunya dengan sebisanya.

“Gusti, sekarang berilah aku petunjuk bagaimana menangani seonggok ikan ini?” pintanya. Lalu ia memejamkan matanya, meyakinkan bahwa dengan cara demikian ia akan menemukan sebuah jawaban. Sementara ikan itu masih terjerat di jaringnya dan dibiarkannya kambang-kampul di permukaan air.

Tak lama berselang ia membuka matanya kembali seraya berkata dalam hati: “Semoga apa yang akan aku lakukan merupakan petunjuk yang tak keliru.”

Lalu dengan mengawali ucapan Basmalah ia tambat jaringnya perlahan-lahan. Sekalipun membutuhkan tenaga yang kuat namun Darsan tak habis akal bagaimana caranya agar ikan yang segede gelugu kelapa tersebut dapat terangkat ke perahunya. Perahunya sempat terombang-ambing saat Darsan menghempaskan tubuh ikan itu ke lambungnya. Setelah mengatur jalan nafasnya kemudian tanpa pertimbangan lagi Darsan menghidupkan mesinnya. Seketika perahu itu meluncur dengan tertatih-tatih akibat beban yang dibawanya.

Sepanjang perjalanan sejujurnya pikirannya tak karu-karuan. Bulu kuduknya tak henti-hentinya meremang. Untuk mengurangi perasaan itu ia mencoba untuk tidak melirik ke bangkai ikan itu. Sekali waktu ia bersenandung berusaha menyiasati pikirannya. Sampai akhirnya tak terasa perahunya telah memasuki muara.

Di sekitar muara itu ia mencari-cari tempat yang mudah dilaluinya. Adalah di suatu tempat yang masih ditumbuhi ilalang dan pepohonan yang meliar Darsan mengarahkan perahunya untuk menepi. “Kurasa tempat ini sangat cocok.” Begitu batinnya. Lalu ia menambatkan perahu itu di antara akar ilalang. Sedikit payah Darsan membuat liang di sekitar muara. Dan tak lama setelah dirasa cukup dalam liangnya lalu Darsan mengubur ikan itu.

Setelah peristiwa itu, seperti orang yang diselimuti rasa bersalah, sekali dalam sebulan Darsan kemudian menyempatkan waktu untuk mengunjungi kuburan itu (perlu dicatat: tanpa membawa sesaji). Selain membersihkan rumput-rumput liar di sekitarnya, ia pun berdoa semata-mata agar apa yang diperbuat terhadapnya tidak berdampak buruk pada keluarganya. ***

Beberapa tahun kemudian lambat-laun kehidupan Darsan telah berubah. Rumahnya sudah mentereng dengan pekarangan yang lumayan luas. Sampannya bertambah dua—yang kemudian salah satunya digolang oleh tetangganya. Ia sendiri masih bertahan dengan pekerjaannya sebagai nelayan rajungan.

Darsan kaya mendadak, begitu orang-orang kampung menyimpulkannya. Meski kaya tak membuatnya lupa diri. Justru kedermawanan Darsan terasakan oleh beberapa tetangganya yang tak mampu. Ia sadar jika sebagian hartanya adalah hak fakir miskin dan anak yatim. Keduanya tak pernah luput dari perhatiannya. Dan setiap kali ada acara apa pun di desanya ia selalu menyumbang tanpa harus diminta.

Namun demikian, keberhasilannya pada akhirnya membuat tak sedikit orang menaruh curiga dan iri hati. Tidak semua tetangga-tetangganya menyukainya. Bahkan belakangan mulai berhembus desas-desus bahwa kekayaan Darsan semata-mata berkah karena selalu mengunjungi kuburan gigrilintang.

Entah siapa yang pertama kali menyebarkan sasus itu. Dan mengapa pula mereka percaya akan hal itu. Hingga kemudian orang-orang yang merasa iri itu ikutan-ikutan mengunjungi kuburan ikan itu. “Siapa tahu kita juga bisa kaya seperti Darsan.” Kata seseorang dari mereka. Sebentar saja apa yang mereka lakukan seperti garu—menyeret tetangga lainnya. Satu per satu mereka ikut-ikutan mengunjungi kuburan itu.

Dan hanya dalam sekejap bertambah banyaklah orang-orang yang mendatangi kuburan itu dengan maksud tertentu. Beragam-macam sesaji telah berserakan di sekitar pekuburan itu. Bahkan ada juga yang melakukan tapa atau semedi di situ. Entah apa yang mereka inginkan. Pendek kata, masyarakat di perkampungan nelayan benar-benar telah teracuni oleh anggapannya sendiri; bahwa siapa pun orangnya yang sering mengunjungi kuburan itu niscaya akan mendapatkan berkah yang melimpah, seperti Darsan.

“Ini sudah keterlaluan. Mereka lupa jika jodoh, pati dan rizki semuanya atas kehendak Gusti Allah. Saya kawatir mereka mendewakan kuburan itu. Bagaimana menurut Wak Kaji?” Ujar Darsan saat menemui seseorang yang dituakan dan selalu dimintai nasehatnya.

“Bagaimana dengan kamu sendiri, sewaktu mengunjungi kuburan itu apakah kamu juga meminta-minta sesuatu?”

“Saya masih memiliki iman, Wak. Saya mengunjungi kuburan itu semata-mata saya merasa bersalah.”

“Bukankah kau tak sengaja menangkapnya?” Darsan mengangguk pelan.

“Seperti halnya kamu. Mereka melakukan sesuatu tentunya ada penyebabnya. Mereka memuja-muja karena ada benda maupun zat selain Allah yang dijadikan objek pemujaannya. Maka menurut pendapatku, satu-satunya cara untuk mencegah mereka agar tidak kebablasan, sebaiknya kita bongkar saja kuburan itu. Mumpung belum terlambat. Bagaimana?” Sekilas Darsan seperti kebingungan dengan usulan Wak Kaji.

“Kenapa, kamu keberatan?”

“Bagaiman dengan mitos itu, Wak?” Kata Darsan ragu-ragu.

“Kamu percaya akan mitos?”

“Kalau boleh jujur saya tak mempercayai akan hal itu. Hanya saja, saya tumbuh di lingkungan nelayan—dengan sudut pandang nelayan, dan hidup sebagai nelayan. Sehingga saya merasa mitos itu telah menyatu semenjak pertama kali saya dilahirkan. Jujur saja Wak, saya sedikit takut.”

“Sebagai orang yang beriman sudah semestinya kita menyampingkan hal-hal yang berbau mitos maupun takhyul. Mitos hanya menimbulkan sugesti bagi mereka. Dan seharusnya mereka paham bahwa sugesti itu tak lebih hanyalah pendapat maupun dorongan yang seharusnya dipertimbangkan. Bukannya ditanggapi secara mentah-mentah. Dan kadangkala mereka salah kaprah mengartikannya.” Darsan hanya dapat terdiam.

“Bagaimana, kau setuju untuk membongkar kuburan itu? Bila masih terdapat tulang-belulangnya kita buang saja ke laut.” Darsan menggaruk-garuk kepalanya, seolah keraguan telah menadiri pendapatnya.

“Percayalah Allah akan selalu melindungi keluargamu.” Sesaat mereka saling bertukar pandang.

“Jika itu jalan yang terbaik saya menyetujuinya.”

“Tapi jangan karena terpaksa kau melakukannya. Ingat San, apa yang kita lakukan semata-mata untuk mencegah agar mereka tidak terjerumus lebih dalam lagi sehingga mendewakan kuburan itu.”

“Tidak Wak, saya sudah yakin, seyakinnya saya menyerahkan segalanya pada sang kuasa—Gusti Allah semata. lalu kapan kita melakukannya?”

“Secepatnya. Besok, sebelum orang-orang menjalankan aktifitasnya.” ***

Besoknya orang-orang yang biasa berkunjung ke kuburan itu tiba-tiba terkejut mendapati seonggok kuburan yang telah menghilang. Hanya sebuah liang yang kosong melompong, laiknya lubang pembuangan sampah dan telah bersih dari segala macam sesaji. Beberapa orang yang merasa kecewa kembali mencurigai Darsan. Menyimpulkan bahwa Darsanlah yang sengaja membongkarnya, persisnya memindahkan kuburan itu. Semata-mata ia tak rela bila mereka terbawa-bawa kaya sepertinya. *****  

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler