Skip to Content

Dia Kakakku

Foto Kusuma Kalbu

Hai. Namaku Sara. Aku hanya seorang gadis SMA biasa dengan kehidupan yang juga biasa. Datar. Kurasa aku belum pernah menemukan konflik yang cukup pelik seperti yang terdapat dalam novel-novel remaja zaman sekarang ini bahkan yang sangat berat seperti roman Sitti Nurbaya. Oh tidak, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau orang tuaku memiliki utang pada seorang kakek tua dan mereka tidak bisa membayar utang mereka kemudian memberikan aku untuk dinikahkan dengan kakek tua tersebut sebagai ganti utang-utang mereka. Padahal aku kan masih muda.

Oke, sekarang perkenalan yang sesungguhnya. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Aku mempunyai kakak perempuan, namanya Nila. Entahlah, sepertinya Mama mengidam ikan nila waktu mengandung bayi Kak Nila. Ia sekarang sudah kuliah. Keluargaku bisa dibilang cukup harmonis. Hanya saja terkadang Kak Nila bisa menjadi sangat menyebalkan jika sedang ada masalah dengan pacarnya. Dia juga kadang mempunyai hasrat untuk menjadi Mama, menyuruh dan memerintahku seenak jidatnya yang lebar itu. Ya, kuakui jidatku juga lebar. Tapi setidaknya jidatku masih lebih sopan daripada jidatnya.

Siang ini matahari sepertinya sangat marah. Terlihat dari caranya memancarkan sinar yang tidak mengenal ampun panasnya. Aku yang dari sekolah sudah sudah merasa terbakar otakku dijejali rumus rumus fisika Pak Hendri merasa makin terbakar seluruh badanku, apalagi tadi aku melihat Kak Bian, gebetan baruku, memboncengkan pacarnya pulang sekolah. Rasanya ingin sekali segera membaringkan badanku di tempat tidurku yang empuk. Melepas penat hari ini.

“Minggir, Kak. Aku mau tidur siang,” Kak Nila sedang main sebuah game di laptopku dan duduk dengan nyamannya di tempat tidurku.

“Ah, nanggung tahu,” dia bahkan tidak menoleh padaku sedikit pun. Saking enggan konsentrasinya nge-game terpecah karena menoleh padaku. Lalu apa gunanya tombol pause?

Padahal, laptop Kak Nila sendiri menganggur manis di meja belajarnya. Tidak dipakai. Tempat tidurnya pun utuh, rapi, tidak menunjukkan tanda-tanda rawan rusak jika dipakai. Ah, menyebalkan sekali. Ingin mengajaknya berdebat tapi aku sedang tidak berada pada mood yang bagus untuk berdebat. Terpaksa aku berbaring di tempat tidur Kak Nila.

Oh ya, aku memang satu kamar dengan Kak Nila. Menyenangkan? Tidak. Sama. Sekali.

* * *

“Sebel,” ucapku sambil mengutak-atik ponselku, SMS-an tepatnya. 

“Kenapa?” Kak Nila bertanya datar. Tetap sambil main game. Oh, bukan. Online ternyata sekarang.

“Tadi lihat Kak Bian tapi sama pacarnya,”

“Oh. Gebetanmu sebenernya siapa, sih? Awan atau Bian? Terus itu sekarang Aldo gimana?” Kak Nila bukannya menghiburku malah menanyakan hal lain. Entah benar-benar bertanya atau hanya menyindir.

“Aldo? Tahu. Punya pacar kali, udah nggak kedengeran gimana rimbanya. Awan jutek, nggak jadi ngegebet aja, deh. Kalo Kak Bian ini, beda, Kak,”

“Ih, gebetan kok banyak banget, sih. Cewek itu harus jual mahal, tahu.” Oke, dia mulai menyebalkan lagi.

“Yee, suka-suka, dong. Sirik aja,” aku kembali menekuni ponselku.

Kami kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tidak ada percakapan. Selang lima menit kemudian..

“Heh, itu gelas tehmu taruh dapur sana dulu, semutnya pada dateng, tuh,” hasrat Kak Nila yang ingin seperti Mama muncul lagi. Aku menghela nafas.

“Bentar,” aku hanya menjawab singkat.

“Sekarang. Itu jaketmu juga, taruh yang bener kenapa? Seenaknya aja naruh jaket di tempat tidurku,” nadanya datar, tapi entah kenapa terdengar sangat menjengkelkan.

“Iya, iya. Cerewet banget jadi orang,” gerutuku pelan. Aku berdiri menyambar jaket dan gelasku. Kugeletakkan jaket hitam itu di tempat tidurku begitu saja. Aku keluar menuju wastafel untuk menaruh gelas bekas tehku.

“Dicuci sekalian ya, Nak,” Mama tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Menaruh gelas-gelas kotor dari meja makan. Aku hanya menghela nafas dan pasrah mencuci piring dan gelas kotor yang ada di situ.

Selesai dengan cucian piring, aku masuk kembali ke kamar. Lagi-lagi aku disambut dengan ocehan hangat Kak Nila. “Itu jaketnya jangan di tempat tidur dong, Ra. Jadi cewek itu yang rapi sedikit kenapa, sih?” Kalau kau mau tahu pendapatku yang sebenarnya tentang ocehan Kak Nila itu, itu bukan ocehan hangat, tapi memuakkan.

“Oke, Nyonya. Apalagi yang bisa saya kerjakan untuk Anda?” Aku bertanya kepadanya sambil tersenyum. Dia hanya memicingkan matanya tanda tak suka. Lalu dia diam saja sepanjang malam itu. Aku tak tahu bahwa dia sangat marah terhadap perkataanku baru saja dan dia akan mendiamkan aku selama berhari-hari ke depan.

* * *

Ini sudah minggu kedua aku tidak bicara dengan Kak Nila. Dia tidak menganggapku ada walaupun kenyataannya kami selalu tidur satu kamar. Aku sih, cuek saja. Aku cewek mandiri yang tidak perlu menyuruh-nyuruh orang lain untuk membantuku mengerjakan atau mengambilkan sesuatu, seperti dia.

Dia akhir-akhir ini menjadi lebih dekat dengan Mama. Aku benci jika dia sudah sok dekat seperti itu dengan Mama Papa. Terlihat seperti penjilat. Memang, Mama tidak secara terang-terangan membelanya dan memarahiku atau bagaimana. Bahkan Mama lebih sering memperhatikan aku kini. Tapi aku tetap merasa sendirian jika dia sudah ngobrol dengan Mama, entah apa yang dibicarakan.

Puncaknya terjadi pada malam itu. Aku sedang menonton televisi di ruang tengah tiba-tiba aku mendengar suara tangisan dari ruang tamu. Aku hapal betul itu suara isak tangis Kak Nila. Hebat sekali dia. Pintar mengambil hati Mama Papa. Pakai acara menangis juga sekarang. Apa-apaan sekali ini?

“Saraa,” Mama memanggilku dengan nada datar. Aku mengela nafas panjang. Oh iya, hobiku memang menghela nafas, memang kenapa? Kalau kita tidak menghela nafas, kita ini mati, kan? Oke, intermezzo.

Aku berjalan gontai menuju ruang tamu. Sesuai dugaanku, Kak Nila sedang menangis di pelukan Mama. Aku duduk di sofa pendek. Mama dan Kak Nila di sofa panjang. Aku menyandarkan badanku di sofa.

“Kalian ini sebenarnya kenapa?” Mama memulai sidang sore itu.

“Apanya yang kenapa? Orang nggak kenapa-napa,” jawabku sambil memainkan ponselku.

“Kamu itu kalau ngomong sama orang yang lebih tua itu yang lebih sopan dong, Ra,” Mama memulai nasihatnya, “sama Mama, sama Papa, sama Kak Nila juga.”

“Kak Nila duluan yang nyari masalah,”

“Aku? Aku cuma bilangin kamu biar beresin barang-barangmu biar lebih rapi. Emangnya siapa yang suruh beresin? Aku? Mama? Kita tuh nggak punya pembantu, Ra. Peduli sedikit sama lingkungan, dong,” Kak Nila sesenggukan memberikan pembelaannya.

“Biarin aja, kali. Orang itu barangku sendiri, di tempatku juga. Ganggu apanya kamu, sih?”

“Tapi alangkah baiknya kalau kamu sedikit lebih rapi,”

“Terserah aku, dong. Aku lebih suka begitu. Mau protes?”

“Iya! Itu kamar kita bersama dan pandanganku terganggu dengan pemandangan yang nggak sedap kayak gitu! Dan berhentilah menganggapku sebagai majikanmu yang nyuruh kamu terus ini itu..”

“Emang gitu kenyataannya!”

“Aku cuma ngasih tahu kamu hal-hal yang perlu kamu lakukan dan itu baik buat kamu!”

“Aku nggak suka disuruh-suruh! Titik!”

Aku berdiri dari sofa. Menghentakkan kakiku dan setengah berlari masuk ke kamarku. Pintu kamar menjadi korban kemarahanku. Dia kubanting tanpa ampun. Masa bodoh dengan sopan santun!

* * *

Aku baru saja pulang dari study tour ke Jakarta selama tiga hari. Aku sibuk mengeluarkan barang bawaanku dari dalam koper. Baju kotor. Handuk. Make up. Peralatan ibadah. Peralatan mandi..

“Hai! Mana pesenanku kemarin?” tanya Kak Nila tiba-tiba yang baru saja pulang kuliah. Untung aku tidak punya penyakit jantung atau penyakit latah. Oh iya, aku sudah akur dengannya bahkan sebelum aku berangkat ke Jakarta. Meski begitu dia masih sering menyebalkan. Bukan tipe kakak yang kuharapkan sebenarnya. Tapi apa daya, aku muncul ke bumi lebih akhir, aku tidak bisa memilih kakak yang benar-benar kuinginkan.

“Nih. Satu buat kamu, satu buat Kak Pras. Sorry, cuma kaos biasa, ada yang lebih bagus sebenernya. Tapi waktunya mepet banget, udah buru-buru pulang, jadi nggak bisa leluasa milih oleh-olehnya,” aku menjelaskan panjang lebar.

Dia hanya manggut-manggut sambil mencoba kaos itu di depan cermin.

“Ngomong-ngomong, Aldo nggak kamu beliin oleh-oleh?”

“Buat apa? Dia udah kejam banget sama aku. Masa’ iya aku dituduh bikin akun twitter yang username-nya ‘loveyoualdo’? Padahal tahu sendiri aku sekarang udah nggak pernah buka profil twitter atau facebook dia. Jahat banget tahu, nggak? Bahkan dia sendiri dulu yang bilang, kita bakal sahabatan selamanya, walaupun dia tahu kalau aku suka sama dia,” aku curhat pada Kak Nila tanpa sadar.

“Sok kecakepan banget sih, idih. Mentang-mentang banyak yang naksir dimana-mana. Sok laku. Terus ngasih harapan kosong sama cewek-cewek itu,” Kak Nila ikut menghujat Aldo. Aku juga tak percaya mendengarnya. Biasanya dia tak acuh mendengarkan keluh kesahku.

“Iya. Makanya aku mau move on. Aku nggak mau lagi berurusan sama dia dan segala sesuatu yang berhubungan sama dia.” Aku sudah membulatkan tekadku untuk melupakan Aldo. Bahkan sebagai sahabat.

“Sip. Nggak usah lagi deh, kamu mikirin cowok kecakepan kayak gitu, apalagi coba-coba hubungin dia lagi. Nggak usah.”

“Iya.”

* * *

Langit begitu mendung siang itu. Matahari seakan malu menyinari dunia, bersembunyi di balik awan kelabu yang menggantung dan tampaknya menutupi seluruh kota. Angin pun melengkapi suasana ini menjadi semakin dramatis. Berhembus kesana kemari tak tentu arah. Mungkin tak sampai sepuluh menit, hujan deras akan segera mengguyur bumi ini.

Aku berdiri di depan sekolahku. Bersama anak-anak SMA-ku yang lain yang juga sedang menunggu jemputan mereka masing-masing. Aku sedang menunggu Kak Nila. Katanya, dia yang akan menjemputku siang ini, Mama sedang sibuk, entah urusan apa.

Setelah menunggu sekitar lima menit, akhirnya aku melihat Kak Nila dan motor merahnya di persimpangan jalan dekat sekolahku. Dia melihatku, terbukti dia langsung memberhentikan motornya tepat di depanku.

“Pake jas hujan, ya, sana tadi udah hujan,” katanya lalu turun dari motor dan membuka bagasi motor tanpa menunggu persetujuanku.

“Iya, deh,” jawabku sedikit enggan. Masalahnya jas hujan Kak Nila itu jas hujan batman yang berkibar itu kalau naik motor.

Tanpa babibu lagi, Kak Nila melajukan motornya setelah aku mendapatkan posisi duduk yang pas di belakangnya. Tak lama kemudian hujan turun cukup deras. Agak ngeri rasanya, hujan-hujan diboncengkan naik motor dengan ngebut. Padahal tahu sendiri hari itu sedang hujan yang berarti jalanan menjadi licin dan rawan terpeleset.

Kak Nila benar-benar ngebut. Bahkan sampai meliuk-liuk mendahului beberapa mobil. Aku tak tahu dia sedang mengejar apa. Bolak-balik kukatakan padanya, “Hati-hati, Kak. Nggak usah ngebut-ngebut kenapa?” Tapi dia tidak memedulikanku.

Aku pun diam saja di bawah jas hujan batman itu, mencoba menikmati perjalanan pulang ke rumah yang hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit. Tiba-tiba aku merasa motor yang kunaiki ini menyodok sesuatu dengan cukup keras. Sepersekian detik kemudian motor ini oleng dan ada tambahan sodokan lain lagi yang sangat keras dari belakang. Aku tidak bisa apa-apa. Semua itu terjadi begitu cepat. Aku hanya sempat melihat Kak Nila yang menangis menjerit-jerit melihatku saat itu. Kemudian aku tidak ingat apa-apa.

* * *

“Eh? Aku dimana? Rumah sakitnya kok mirip sama kamarku?” aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Ada Mama, Papa, dan Kak Nila di samping tempat tidurku.

“Dih, sadar-sadar pinginnya di rumah sakit,” kulihat Kak Nila mencibir. Ada beberapa goresan lecet di pipi kanannya.

“Syukurlah, Nak, kamu nggak apa-apa. Dahi kamu dijahit lima tadi. Tapi kata dokter boleh rawat jalan. Jadi, kamu di rumah sekarang.” Mama menjelaskan dengan sedikit raut khawatir yang masih tersisa di wajahnya.

“Tadi darahmu banyak banget,” ujar Kak Nila. Apa itu yang dimatanya? Terlihat seperti berkaca-kaca. Seperti ingin menangis.

“Aku nggak apa-apa kok, Kak, hehe. Ngapain tuh, nangis?” Aku malah cengengesan. Ingin ikut menangis melihat Kak Nila menitikkan airmata. Dia hanya menggeleng sambil menyeka butiran airmatanya yang jatuh.

“Lain kali hati-hati, Nil, kalau bawa motor. Untung kalian masih dilindungi Allah.” Kali ini giliran Papa yang angkat bicara.

“Ya sudah, kalian berdua istirahat dulu aja sekarang. Udah malem.” Perintah Mama halus. Aku hanya mengangguk. Kak Nila juga. Ia beranjak menuju tempat tidurnya. Melihat kepalaku yang dijahit dan mataku yang membengkak, lalu matanya berkaca-kaca lagi dan akhirnya membalikkan badan membelakangiku.

“Jangan nangis, Kak. Aku nggak apa-apa,”

 

Ponselku bergetar. Aku meraihnya dari meja belajar di sebelah tempat tidurku. SMS. Dari Aldo. Isinya membuatku mengerutkan kening tak mengerti.

 

hey ra, blg sm kakakmu deh, ga usah ikut campur urusan kita

aku ga suka di-judge sbg playboy yg tega nyakitin perasaan cewe2

dia blg ke aku, jgn nyakitin perasaan km lg

OK, mulai skrg aku ga akan pernah hubungin km lg, sampein ke kakakmu, biar puas 

 

Jadi, diam-diam Kak Nila menghubungi Aldo dan memarahinya tanpa sepengetahuanku? Aku memandang sosok gadis itu dari belakang. Sedang terisak-isak pelan. Dia tidak tega, ya, melihat keadaanku yang seperti ini? Dia juga nggak tega, ya, melihat aku disakiti laki-laki tak tahu sopan santun macam Aldo? Aku tersenyum.

Kalau kalian mempunyai kakak yang sangat menyebalkan, ya, aku setuju. Sangat setuju bahkan. Semua kakak itu memang sangat menyebalkan. Mereka itu sok tahu segalanya dan tukang ngatur. Tapi kini aku tahu fakta lain selain itu, di balik sikapnya yang menyebalkan, mereka—para kakak itu—sebenarnya menyayangi kita—adiknya. 

Komentar

Foto Septi Rizki Wijayanti

AKU JUGA

aku punya kaka cowo, ga sering berantem juga sih. malah saling cuek. satu rumah kadang ga saling sapa. parah mana?? hehe
salam kenal ya? :)

srw

Foto Kusuma Kalbu

salam kenal juga :)

waah...
kakak cowok, ga tahu juga sih, mungkin sebenernya sayang, cuma gengsi kali ya? hehe
btw, cerpen itu kisah nyata dan aku si kakak kok :)

Foto Septi Rizki Wijayanti

IYA SEBETULYA

Iya sebetulnya sayang loh. Pernah suatu ketika, aku lg sakit dan tugas sekolah udah deadline semua, eeh waktu bangun pagi tau-tau udah beres, yah dikerjain si kaka itu.. hehe
waah hebat lanjutkan ya kak... hhe :D

srw

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler