Skip to Content

Do'a Seorang Guru

Foto Subhan Palsu

Aku terlahir dari kutukan seorang guru, karena semenjak dilahirkan di bumi pertiwi ini, aku tidak pernah bercita-cita menjadi guru, kalau kenyataan yang membuatku berdiri di depan kelas, itu hanya berawal dari sebuah kutukan yang pernah dilontarkan seorang guru kepadaku. Aku pernah dilimpahi dengan berbait-bait do’a, yang aku anggap ini sebagai dosa terbesar seorang guru kepadaku.

Begini ceritanya, saat itu pelajaran Pendidikan Agama Islam, Ibu Sri Lisdianingsih sedang menerangkan materi Iman Kepada Qadha dan Qadar di kelas yang begitu suram dan membosankan, kapur tulis berdecit menjilat papan tulis, aku bersama murid lainya hanya ribut di dalam kelas, ada yang menggebug-gebug meja, bagai bermain alat musik drum, dan ada yang asik dengan obrolan antar teman. Secara tiba tiba Ibu Sri berhenti sejenak dan membalikan badan, lantas melemparkan kapur tulis tepat dimukaku, ‘Plaakk!!’.

Kelas jadi hening, semua murid mendadak jadi bisu, dan diam bagai patung. “Kalian bisa diam tidak?, ini kelas bukan pasar, yang masih ribut jangan harap bisa naik kelas!”, nada Ibu Sri agak sinis disertai ancaman. Itulah kebiasaan yang sering dilakukan ibu Sri ketika semua penghuni kelas bertindak semena mena. Dahulu kala, memang pernah ditindak dengan cara halus, namun tak mempan, betapa bengalnya murid seperti ini. Ibu Sri pun berkata “Pakai cara halus tidak mempan, dikerasin semakin menjadi-jadi, dasar kalian anak orang!”.

Seisi kelas bungkam, dan tiba-tiba mencekam.

“Sekarang catat semua yang ada di papan tulis, ini penting!” titah Ibu Sri kepada kami. Sejujurnya aku bosan mencatat, tapi sekolah tak selalu menyediakan pilihan lain, semua tenggelam dalam buku catatan masing-masing, terkecuali aku yang asyik dengan menggambar, saat itu aku belajar dengan caraku sendiri, aku menggambar sosok Ibu Sri yang berperawakan semok, berukuran XL (Extra large) , dengan ekspresi marah, sambil tangannya menunjuk-nunjuk papan tulis yang berisi tulisan arab, surat Ar-Ra’d ayat sebelas.

Semua sudah hanyut dan terbawa arus pembelajaran.

Singkat kisah singkat cerita, seusai jam pelajaran tuntas, buku catatan kami dikumpulkan, dan hanya berselang beberapa menit sekolah menjadi geger, suasana mendadak heboh karena Ibu Sri tidak terima atas laku lampah yang kuperbuat. “Ini penghinaan dan pencemaran nama baik saya sebagai seorang guru,” katanya dengan penuh amarah. Kejadian ini pun dilaporkan ke kepala sekolah dan menyebabkan aku masuk ke ruang BP lagi, untuk kesekian kali aku disidang dan di bombardir dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

Aku melakukan perlawanan dan mencoba membela diri, “Aku bosan mencatat, jadi belajar dengan menggambar, apa ini salah?” Jurus berkelit dari kesalahan. Aku mencoba membenarkan kekeliruan, karena yang terpenting bagiku, aku paham dengan yang diajarkan, dari gambar itu terpampang jelas Ibu Sri menerangkan surat Ar-Ra’d ayat sebelas yang berarti, Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, bukan begitu. “Sekolah tidak selalu harus mencatat dan menulis bukan?.” Kataku.

Namun, perlawanan tidak selalu melahirkan perdamaian, aksi yang aku lakukan menghasilkan reaksi yang lebih besar. Aku dihukum dengan hukuman atletik, harus lari sprint sertaus kali mengelilingi lapangan, dilanjutkan dengan hukuman agama, yaitu melaksanakan shalat taubat ditengah lapangan, dan ini dilakukan selama seminggu berturut turut. Hanya bisa pasrah dalam hukuman.

Tak heran jika Ibu Sri mendapat julukan sebagai guru tergalak di sekolah ini, demi menerapkan disiplin semua dilakukan, meski dengan cara sanksi yang tegas, karena baginya murid yang melakuakan indisipliner pantas untuk diperingatkan, jika tak mempan, ya dihukum, dan untuk murid yang berprestasi berhak mendapatkan dua acung jempol, itulah prinsip mengajar Ibu Sri, anak yang salah boleh dihukum, yang penting bukan dibunuh, anak yang benar dan berprestasi akan mendapat penghargaan, meski sebatas acungan jempol.

Aku mendapatkan yang lebih dari dihukum, yaitu dikutuk!. Mungkin karena Ibu Sri telah melangkahi batas kesabarannya, atau stok kesabaran Ibu Sri sebagai guru sudah habis, dan anggap saja jika dia sudah tidak sabar menghadapi murid seperti aku. Maka dikutuklah aku, agar kelak dikemudian hari harus menjadi guru, biar merasakan apa yang dia rasakan selama mendidik saya, “Ibu do’akan semoga besar nanti kamu jadi guru yang muridnya lebih nakal dari kamu sekarang!” kata ibu Sri kepadaku.

Aku sudah benar-benar dikutuk oleh guruku, aku dikutuk dengan cara yang santun dan elegan, saat itu aku mendapatkan banyak do’a dari guruku, lidah guruku memang tak bertulang, dan kata-katanya adalah senjata. Aku menganggap bahwa ini bukanlah do’a, tapi dosa seorang guru kepadaku, karena cita-citaku adalah menjadi pegawai bank, bukan seorang guru. Guruku sudah benar-benar berdosa dalam do’anya.

“Aku tidak suka dengan sekolah, dan guru yang seperti ini.” Celetuku, hingga adu mulut terjadi.

“Ibu juga tidak suka dengan murid seperti kamu.” Timpal Ibu Sri.

“Ibu Sri jahat!” Teriak aku.

“Ibu guru tidak jahat!, tapi ibu guru sayang sama kamu!.” Ibu Sri membalas berteriak.

“Lalu kenapa aku dihukum, terus dikutuk pula.” Mengeluh aku pada guruku.

“Tanda-tanda sayang antara lain saling mengingatkan, misalnya kamu mengetahui orang yang kamu sayangi melakuakan kesalahan, lantas kamu diam dan tidak kamu ingatkan. Berarti kamu tidak sayang, dan membiarkan orang yang kamu sayangi berkubang dalam kesalahannya.” Kata Ibu Sri.

“Aku tidak salah!.”

“Dasar murid berkepala batu, masih mending dikutuk jadi guru, bukan jadi batu” kata Ibu Sri sambil berlalu bersama angin, pergi.

Itu baru kutukan tahap pertama, yang kedua begini ceritanya. Dahulu, aku lebih banyak ngerjain guru, ketimbang ngerjain tugas dari guru, ini terjadi karena disekolahku masih ada guru yang masuk di kelas, yang penting mengajar, bukan mengajar yang penting, yang penting hadir di dalam kelas, bukan hadir di dalam hati siswa.

Masih lekat diingatan dengan seorang guru mata pelajaran olahraga yang asal-asalan saja saat mengajar, karena dari pertama aku diterima disekolah ini hingga mau menamatkan diri, materi yang diajarkan hanya itu-itu saja, lari-lari mengelilingi desa sekitar sekolah, tenis meja dan renang.

Parahnya, untuk olahraga cabang renang kita cukup bayar tiket masuk yang harganya dua kali lipat dari harga yang tertera di tiket, entah mencebur ke kolam renang atau sekedar lihat-lihat di tepian kolam sudah dijamin dapat nilai, dan untuk cabang tenis meja, cukup mengumpulkan bola yang bermerk yang telah ditentukan. Sang guru tak peduli apakah kita benar-benar lari mengelilingi desa, tak peduli dengan seberapa bagus permainan kita dalam berenang dan bermain tenis meja. Anehnya guru seperti ini masih bisa bertahan.

Aku bersama teman-teman memberanikan diri untuk menceritakan semua ini kepada kepala sekolah, guru olahraga yang sekaligus suami dari Ibu Sri Lisdianingsih kita jadikan tersangka utama, namun sial tak bisa di elak, bagai banjir yang tak terbendung, setelah kejadian itu dilaporkan ke kepala sekolah, ulah pak Yunus kepada kita semakin menjadi-jadi, dan melampiaskan ketidak terimaanya dengan lebih sadis. Kita hanya bisa pasrah menjadi korban yang abadi.

Lagi lagi kena hukum, atas nama olahraga cabang atletik, aku bersama teman lainya berdiri ditengah lapang saat pelajaran olahraga, saat itu kita disuruh berlari dengan lari sprint mengelilingi lapang, bergerak menantang panas matahari, dan berlari melawan arah jarum jam, sebanyak seribu kali tanpa alas kaki pula. Harus genap di angka seribu, yang lari asal-asalan dan tidak sesuai aturan lari sprint, maka siap-siap untuk dilipat gandakan. Keringat bercucuran membasahi seluruh tubuh, seketika jadi lumer dan runtuh.

Usai berlari kita berbaris, dan tiba-tiba Pak Yunus mendehem, lalu bertanya dengan tegasnya, “Siapa yang melapor ke kepala sekolah?”

Tatapan mata Pak Yunus membuat napas berhenti sejenak, dag.. dig.. dug.. irama jantung berdetak cepat, sangat cepat sekali, tubuh mendadak gemetar, hati berdebar-debar. Bersama nada-nada kekhawatiran aku mengatakan kejujuran, “Aku pak yang melaporkan ke kepala sekolah”, sambil mengacungkan tangan, tanda mempertegas bahwa akulah pelakunya.

Bola mata pak Yunus menancap ke bola mataku.

Pak Yunus mendekat.

Dalam khayal aku membayangkan apa yang akan diperbuat oleh Pak Yunus kepadaku, bisa jadi guru olahraga ini murka, bogem mentah bisa saja mendarat di kepala atau di tubuh. Mungkin juga sumpah serapah dalam caci maki akan menerjang hidupku, bagai disambar halilintar di siang bolong. Ini akan jadi akhir hidup, dan akhir dari sebuah cerita. Bisa saja aku akan terkapar meregang nyawa di tengah lapang sekolah, dan bisa dipastikan penghuni kelas di sekolah ini akan berkurang satu, sepeninggalnya aku. Aku ketakutan setengah mati, ini semua ulah guru olahragaku.

“Apa yang kamu mau dari saya?”, tanya Pak Yunus kepadaku.

Aku dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang membingungkan, sepertinya Pak Yunus memberikanku sebuah kebebasan untuk memilih sendiri hukuman yang diinginkan, mau hukuman yang ringan atau yang berat, hukuman fisik atau hukuman mental. Aku seperti mendapat penawaran untuk memilih tangan kanan atau tangan kiri, jika tangan kiri itu tanda kita akan masuk rumah sakit, dan jika kita memilih tangan kanan itu tanda bahwa kita sudah siap untuk masuk liang lahat dan dikubur.

“Aku ingin Pak Yunus berubah dalam cara mengajar, tidak selalu seperti begini” Jawabku berlindung di titik aman.

Ekspresi wajah Pak Yunus mulai terlongo-longo, kini dia disadarkan bahwa guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau, guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Bukankah sebaik-baik guru adalah guru yang menyalakan lilin, bukan mengutuk kegelapan. Memberi pencerahan, dan bukan mencaci maki kesalahan.

“Perlu kalian ketahui, dari zaman dulu waktu bapak sekolah budaya semacam ini sudah ada, setiap menjelang ujian praktik, semua murid diharuskan mengumpulkan sesuatu yang berhubungan dengan mata pelajaran, misalnya untuk pelajaran ilmu komputer harus mengumpulkan disket (penyimpan data), untuk pelajaran bahasa inggris harus mengumpulkan kamus, ini sudah jadi hukum alam, kalau kalian bisa merubahnya, silahkan rubah, dan kalian semua harus jadi guru”, kata guru olahraga.

Semua murid bersorak menolak, sembari berteriak serempak “Huuuu… Nggak mau pak, cita-cita saya bukan menjadi guru.” Disusul semua murid berceloteh menyebutkan cita-citanya, ada yang jadi dokter, penulis, penyanyi, pemain bola dan lain sebagainya, terkecuali jadi guru, cita-cita ini sepi peminat.

Mata Pak Yunus memandangku, lamat-lamat dia mendekat dan langsung bicara, “Oke, karena yang ingin perubahan besar terjadi pada sekolah itu kamu, maka mari kita berdo’a agar kamu besar nanti bisa jadi guru”. Dan tanpa ada komando semua teman-temanku bersahut mengucapkan, “Amin..”

Tentu saja aku marah, berontak dan memberi perlawanan, “Perlu kalian ketahui, cita-citaku adalah menjadi ….” Belum tuntas aku bicara, tiba-tiba Priitt… Prriiittt.. Priitt… terdengar suara sempritan dari peluit Pak Yunus, pertanda semua harus bubar dari tengah lapangan, karena jam pelajaran olahraga sudah usai dan sudah waktunya jam istirahat. Semua pergi berhamburan, menyisahkan aku sendiri yang berdiri terpaku di tengah lapangan sekolah, menyedihkan.

***

Beberapa waktu kemudian, terdengar kleneng-kleneng bunyi lonceng sekolah, suara yang meneriakan bahwa jam istirahat usai sudah. Semua murid digiring untuk masuk kelas, dengan berjalan setengah berlari aku terbirit-birit masuk kelas. Hal yang paling menyebalkan ketika masuk kelas adalah bertemu dengan Rizal Zaelani, anak nakal ini adalah hasil dari perkawinan antara Ibu Sri lisdianingsih dan Pak Yunus, perpaduan antara guru pendidikan agama islam dan guru olahraga, dua guru yang paling tidak aku suka.

Jika dahulu aku dididik oleh mereka berdua, maka sekarang aku yang mendidik anak dari Pak Yunus dan Ibu Sri Lisdianingsih, aku menjadi guru dari anak guruku, sungguh tak kusangka do’a mereka terkabul juga, yang mendo’akan agar aku dapat berdiri di depan kelas dan menjadi seorang guru.

Aku pun beruntung hanya menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, bukan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, atau juga guru mata pelajaran olahraga, karena dua mata pelajaran itu hanya bisa diajarkan oleh orang-orang yang lebih berotot dan lebih beriman, seperti Pak Yunus dan Ibu Sri Lisdianingsih.

Jika mendapatkan murid yang bernama Rizal Zaelani, entah ini termasuk dalam kategori beruntung atau belum beruntung. Tubuhnya gendut, turunan dari ibunya yang berperawakan semok dan berukuran XL (Extra Large), mentalnya pemberani dan tegas, inilah sifat yang diwarisi oleh ayanya, megenai tabiatnya yang malas belajar dan banyak ngomong entah diperoleh dari mana, ini masih jadi rahasia yang belum terungkap.

Ia hampir tidak naik kelas, namun setelah rapat guru pada akhirnya ia bisa naik kelas, meski naik bersyarat. Semua guru dan siswa punya penilaian yang sama terhadap Rizal, anaknya malas, nakal, dan tidak sopan. Rizal tidak pernah mencatat saat pelajaran, tugas pun tak pernah dikumpulkan, bahkan PR tidak pernah dikerjakan, yang lebih parah jawaban dari ulangan adalah hasil contekan, dia selalu mendapat nilai di bawah 50 karena asal-asalan saat mengerjakan soal.

Rizal seringkali bolos sekolah, ketika masukpun pasti banyak ulah. Selalu saja ada murid yang lapor ke kantor, ada yang bukunya di ambil, pulpennya di patahkan, sepatunya di umpetin, bahkan ban motor guru dikempesin. Tak heran jika tahun ini semua guru sudah sepakat, Rizal bakal tinggal kelas, ini akan jadi pelajaran berharga, bahwa betapa naik kelas itu butuh ketekunan belajar dan budi pekerti yang luhur.

Entah mengapa pada saat pelajaran berlangsung Rizal tak kunjung kembali lagi ke kelas, padahal ia hanya izin sebentar untuk pergi ke wc (weslich), aku penasaran dan mencari dimanakah dia berada. Aku pergi ke wc dan Rizal tidak ada, aku coba pergi ke perpustakaan sekolah juga tidak ada. Betapa terkejut ketika ternyata Rizal berada di kantin sekolah.

“Ngapain kamu disini?” tanyaku.

“Sedang makan Pak,” jawabnya dengan santai.

“Katanya mau ke wc, kenapa bisa ada disini?” timpalku dengan gaya menginterogasi.

“Tersesat pak”

“Sudah jangan ngarang, sekolah itu ada aturan, sekarang jam pelajaran bukan jam istirahat, ayo masuk kelas!” kataku dengan penuh emosi.

“Bapak nggak usah maksa, saya sekolah disini itu bayar, dan bapak itu dibayar oleh saya. Jadi jangan paksa saya untuk masuk kelas!”

“Dasar murid tidak sopan, Pak guru sumpahin kamu jadi menteri pendidikan.” Kataku sambil pergi, berlalu meninggalkan Rizal.

Dalam gamang aku terkenang pada Ibu Sri dan Pak Yunus, teringat pada do’a mereka. Kali ini aku mendo’akan Rizal Zaelani, aku mengutuk anak Ibu Sri dan Pak Yunus. Bukan menjadi guru, tapi jadi menteri pendidikan, berharap ketika Rizal Zaelani menjadi menteri pendidikan, sekolah akan gratis tanpa ada rupiah, dan pendidikan akan jadi lebih baik. Inilah do’a seorang guru.

Rizal terdiam seperti batu, padahal tidak dikutuk jadi batu.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler