Skip to Content

Hana Dan Sate Madura

Foto R'ainy Yusuf

Hana memandangi penjual sate yang sibuk mengipasi bara api agar tetap menyala. Aroma sate yang singgah ke hidungnya membawa angannya melayang membayangkan rasa daging sate dengan bumbu yang lezat itu di lidahnya. Lalu dengan satu gigitan, daging sate yang lembut akan menjelajah mulutnya. Dikunyah hingga benar-benar halus untuk kemudian meluncur masuk ke dalam kerongkongan. Pasti akan lebih nikmat lagi bila disambung dengan lontong sebagai teman sate itu. Lontongnya dipotong kecil-kecil. Disiram bumbu sate madura yang manis gurih. Lalu minta ditambah kecap cap Bango yang terkenal itu. Wuih, enak. Tanpa sadar jakun Hana turun naik.

“Kak Hana, dipanggil Ibu,” suara Sara menyadarkan Hana dari lamunannya.

“Iya,” jawab Hana seraya beranjak pelan dari tempatnya. Sara memperhatikan kakaknya masuk ke dalam warung. Sambil memeluk sebuah boneka teddy yang sudah lusuh, Sara melayangkan pandangannya ke tempat penjual sate. Penjual sate madura yang mangkal di depan warung nasi tempat ibu mereka bekerja sebagai buruh pencuci piring. Kemudian Sara masuk ke arah Hana menghilang tadi.

Ibu masih sibuk dengan piring-piring dan alat-alat makan lain yang berserakan di tempat pencucian. Tangan ibu bergerak dengan lincah tetapi tetap hati-hati membersihkan piring-piring itu satu per satu. Hana mendekat sambil membawa sehalai serbet untuk membantu ibu mengeringkan peralatan makan yang sudah dicuci oleh ibu.

“Tidak usah, Hana. Kamu baca saja surat dari Om Didik. Suratnya baru sampai tadi siang. Ada di tas ibu. Tadi ibu lupa memberitahumu,” ujar ibu.

“Dari Om Didik, Bu?” Tanya Hana dengan mata berbinar.

“Iya,” jawab ibunya. Cepat-cepat Hana mengambil tas ibu. Dari dalam tas biru yang sudah lusuh Hana mengeluarkan sehelai surat bersampul putih. Dibukanya sampul surat dengan hati-hati lalu mulai membaca.

“Baca yang keras, Kak,” Sara yang sudah duduk di dekat Hana buka suara.

“Kakak baca dulu, nanti baru kakak ceritakan isinya pada Sara dan Ibu, ya,” jawab Hana membujuk adiknya. Sara diam saja. Dia tetap duduk di dekat Hana dan memperhatikan Hana membaca surat dari Om Didik.

Wajah Hana terlihat serius ketika membaca surat itu. Sebentar-sebentar dahinya berkerut, lalu tersenyum sendiri. Tak lama kemudian kedua matanya bersinar. Setelah seluruh isi surat selesai dibacanya, tiba-tiba dia memeluk ibu.

“Eh, eh, ada apa ini?” ibu yang sedang menyusun alat-alat makan di rak piring jadi terkejut.

“Om Didik dapat cuti akhir tahun, Bu. Kata Om Didik, dia akan pulang ke rumah kita selama cuti,” kata Hana sambil berjingkrak kegirangan.

“Om Didik mau datang Kak Hana?” tanya Sara yang sedari tadi hanya bengong melihat kakaknya.

“Iya. Om Didik akan pulang pada liburan nanti,” jawab Hana.

“Hore, Om Didik mau datang!” Sara bersorak kesenangan. Sambil menimang boneka teddy-nya, Sara berlari-lari sekeliling ruangan.

“Sudah Sara, nanti kamu jatuh,” ujar ibu mengingatkan. Sara tidak peduli malah berlari ke halaman belakang. Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Sara.

“Kapan Om-mu akan datang, Hana?” tanya ibu setelah Sara tidak lagi terlihat.

“Menurut suratnya sekitar akhir Desember, Bu. Berarti Hana sudah libur sekolah,” jawab Hana sambil melipat surat itu kembali dan memasukkannya ke dalam tas ibu. Ibu kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Hana juga mulai mengeringkan piring-piring yang baru dicuci ibu.

Hana dan adiknya yatim piatu. Sejak Hana berusia lima tahun, ayah sudah kembali ke pangkuan Ilahi. Waktu itu Sara masih berusia setahun. Sejak saat itu Hana dan Sara hanya tinggal bersama ibu mereka. Karena tak memiliki keterampilan lain, ibu bekerja sebagai buruh pencuci piring di sebuah warung makan. Sejak pukul delapan pagi hingga pukul sepuluh malam ibu selalu berada di warung tersebut. Untung saja pemilik warung memperbolehkan ibu bekerja sambil mengasuh mereka. Walaupun penghasilan ibu tidak seberapa tetapi ibu merasa bersyukur dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.

Sekarang Hana sudah duduk di kelas lima sekolah dasar. Setiap pulang sekolah Hana selalu membantu ibunya di warung tempat ibu bekerja. Hana bertugas mengeringkan alat-alat makan yang sudah dicuci ibu. Setiap pulang dari warung, ibu masih menyempatkan diri menggoreng kerupuk. Kemudian kerupuk-kerupuk itu di bungkus plastik kecil. Keesokan harinya kerupuk-kerupuk itu dibawa ibu ke warung untuk dijual. Kata ibu, tahun pelajaran baru nanti Sara sudah harus masuk sekolah. Untuk biaya Sara masuk sekolah, ibu harus bekerja lebih keras. Ibu tidak mau menyusahkan Om Didik lagi.

Ibu mempunyai seorang adik lelaki bernama Om Didik. Om Didik bekerja sebagai buruh pada sebuah pabrik di kota. Ketika Hana sudah waktunya masuk sekolah, Om Didik mengirimkan sejumlah uang kepada ibu. Dalam surat yang dikirimkannya bersama uang itu, Om Didik minta agar ibu memasukkan Hana ke sekolah. Om Didik juga berjanji akan membantu biaya sekolah Hana.

Sudah sebulan ini ada pedagang sate madura yang mangkal di depan warung. Pemilik warung mengizinkan pedagang sate itu mangkal di sana setiap sore. Sudah lama Hana mengidamkan sate madura itu. Bila pedagang sate mulai menggelar dagangan, maka aroma sate akan menggodanya untuk datang ke depan warung. Dari emperan samping warung, Hana memperhatikan pedagang sate itu dengan kesibukannya. Pernah keinginan itu disampaikan pada ibu, tetapi ketika ibu memberitahu berapa harga seporsi sate, Hana langsung mengurungkan niatnya. Harga seporsi sate madura yang lezat itu ternyata sama dengan harga beras untuk kebutuhan mereka selama dua hari. Kasihan ibu kalau harus membeli dua porsi sate untuk dia dan Sara. Berarti mereka sudah kehilangan jatah beras untuk empat hari.

Ibu tahu kalau Hana dan Sara sering memperhatikan tukang sate yang mangkal di depan warung tampatnya bekerja. Tetapi ibu hanya dapat mengelus dada menanggapi keinginan putri-putri kecilnya. Penghasilannya sebagai buruh cuci hanya cukup untuk makan mereka sehari-hari. Sedangkan pendidikan Hana masih dibantu oleh adiknya, Didik.

Dalam surat terakhir yang dikirimkan Hana kepada Om Didik, Hana bercerita tentang pedagang sate yang baru mangkal di depan warung. Hana tidak mengatakan kalau dia dan adiknya sangat ingin makan sate madura itu. Tetapi Om Didik berjanji mengajaknya makan sate ketika pulang nanti. Sebagai hadiah karena Hana dan Sara rajin membantu ibu, tulis Om Didik dalam suratnya.

Hana baru saja membuka mukenanya seusai salat Isya ketika terdengar  suara orang memberi salam.

“Assalamualaikum,” ujar sebuah suara dari pintu depan.

“Wa’alaikum salam,” ibu menjawab.

Ibu membuka pintu depan untuk melihat siapa yang datang. Di depan pintu berdiri seorang pria berkulit hitam tetapi berwajah segar dan berpakaian rapi. Lelaki itu langsung menyalami ibu. Hana dan Sara langsung menghambur memeluk lelaki itu. Om Didik.

“Apa kabar, Hana, Sara?” tanya Om Didik sambil mengacak rambut Hana dan Sara.

“Baik, Om,” hampir serempak Hana dan adiknya menjawab.

“Om Didik jadi item,” celetuk Sara. Hana dan ibunya saling pandang sambil tersenyum mendengar celetukan Sara.

“Biar item tapi om Didik manis, kan?” balas om Didik, bercanda.

“Sudah jangan bercanda terus. Om kalian masih lelah. Biar dia istirahat dulu,” ujar ibu mengingatkan.

“Nggak apa-apa, Kak. Saya juga sudah kangen dengan keponakan saya yang lucu-lucu ini,” jawab Om Didik.

“Hana, Sara, om mau tanya siapa yang rajin membantu ibu?” tanya om Didik sambil berjongkok di samping Hana dan adiknya. Kedua tangan om Didik merangkul bahu mereka berdua.

“Sara, Om. Sara rajin bantuin ibu,” jawab Sara.

“Kak Hana juga rajin bantu ibu,” Hana tak mau kalah, “tapi sesudah pulang sekolah,” sambungnya lagi.

“Bagus kalau begitu. Om sangat senang kalian rajin membantu ibu. Tapi walaupun begitu tetap harus rajin belajar. Sara juga tahun depan sudah masuk sekolah. Jadi harus rajin-rajin belajar, jangan bermain dengan si teddy terus,” ledek om Didik karena Sara tak pernah mau melepaskan boneka teddy-nya.

Sara cemberut sambil menganggukkan kepalanya. Hana dan om Didik tertawa bersamaan melihat ekspresi wajah Sara.

“Nah sekarang siapa yang mau makan sate bersama om Didik?” tanya om Didik sambil melirik jenaka pada kedua keponakannya.

“Sara, Sara mau, om,” ujar Sara berjingkrak kegirangan.

“Hana mau, om,” ujar Hana. Mereka menjawab hampir berbarengan. Om Didik tertawa melihat ulah keduanya.

 Ibu yang sedari tadi hanya memandangi mereka jadi ikut tersenyum.

“Kalau begitu kita berangkat sekarang ke warung sate. Ayo!” ajak om Didik. Bertiga mereka bergandengan keluar dari rumah. Melewati gang sempit yang merupakan tempat tinggal mereka, Hana sempat bertegur sapa dengan beberapa teman sepermainannya.

“Om Didik baru datang dari kota,” jawab Hana ketika temannya Tuti menanyakan orang yang digandengnya.

Sesampai di warung sate madura, om Didik memesan tiga porsi sate untuk mereka. Hana dan Sara tak sabar menunggu sate-sate itu selesai dihidangkan. Berkali-kali mereka melihat ke arah tukang sate seolah ingin membantu mengipasi agar sate-sate itu lekas matang. Ketika akhirnya sate-sate itu terhidang dihadapan mereka, Hana dan Sara segera menyantap sate mereka. Sebentar saja beberapa tusuk sate sudah berpindah ke dalam perut Hana dan Sara. Ternyata benar-benar lezat. Sate yang dibakar dengan bumbu gurih terasa lembut di lidah. Dan lontongnya. Hmm, sedaaap.

“Boleh minta tambah kecapnya, pak,” pinta Hana pada penjual sate.

“Boleh,’ jawab penjual sate itu sambil tersenyum ramah.

“Sara juga mau, kak,” ujar Sara.

Om Didik memperhatikan tingkah keduanya dengan terharu. Sate-sate yang ada di piringnya dibagikan kepada Hana dan Sara.

“Tambah lagi satenya?” tanya om Didik begitu melihat piring Hana sudah kosong.

“Nggak, om. Sudah kenyang,” jawab Hana tersipu-sipu.

“Sara masih mau lagi satenya?” tanya om Didik pada Sara.

“Nggak,om. Tapi kita bawain untuk ibu, ya,” jawab Sara.

“Tentu saja,” jawab om Didik, “tolong satenya dibungkus satu porsi ya bang,” kata om Didik pada penjual sate. Setelah membayar, mereka pun pulang. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Hana dan Sara saling bercerita tentang segala hal kepada om Didik. Om Didik hanya mendengarkan celoteh keduanya dengan sabar.

“Wah sampai malam begini. Jalan kemana saja?” tanya ibu ketika mereka tiba di rumah.

“Tadi duduk-duduk di depan gang dulu, bu. Om sudah kangen dengan suasana kampung kita,” jawab Hana.

“Benar, kak. Tadi Hana dan Sara saya ajak menikmati suasana jalan raya di depan gang itu. Sekarang makin ramai saja kelihatannya,” timpal om Didik.

“Ya sudah. Kalau masih belum puas bermain dengan om kalian, besok masih bisa disambung lagi. Tapi sekarang kalian berdua harus tidur. Om juga tentu sudah lelah dari perjalanan seharian,” ibu mengingatkan anak-anaknya.

Hana dan Sara segera berpamitan kepada Om Didik. Tak lupa mereka mengucapkan terima kasih.

“Jangan lupa cuci kaki dan sikat gigi dulu sebelum tidur,” kata ibu sambil membelai rambut keduanya.

Ibu dan om Didik masih berbincang-bincang ketika Hana dan adiknya masuk ke kamar tidur. Ketika akhirnya ibu juga menyusul mereka untuk beristirahat, sempat ia melihat sesungging senyum di bibir Hana. Di sudut bibirnya masih tersisa kilatan minyak bumbu sate madura.

Kota pinang, 18 Juli 2012, Rabu. 10.13 WIB.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler