Skip to Content

Hari-hari di Sembalun (Part 1)

Foto Gellis

Ayam jago kokok di pagi buta. Merdu dan nyaring  bunyi  bak irama berdendang. Matari kian merangkak dari peraduan. Perlahan naik dan seketika timbul panas menyengat. Pagi ini begitu indah, begitu cerah. Pagi ini sekelompok mahasiswa study tour ke desa Sembalun. Ya-ya, desa yang konon diwartakan suhu hampir mencapai nol derajat celcius. Mencekam. Sekelompok mahasiswa sepakat kumpul di kampus putih. Mereka hendak ontime pukul dua tepat namun molor memang suatu kebiasaan yang sulit dibumihanguskan. Beratus alasan diutarakan untuk berdalih dari kebiasaan itu. Mereka ontime pukul tiga tepat. Ada dua kluter pickup yang akan mengantar mereka ke desa Sembalun. Kluter pertama dan kedua berkapasitas sama dua puluh lima orang maksimal. Sopir dan kondektur pickup paham rute yang akan dilalui, musabab muasal mereka dari sembalun. Ya-ya, Sembalun Bumbung.

Di kluter pertama over capasity sehingga terjadi desakan penumpang. Perut Ade mual, pun juga kawan-kawannya. Ingin muntah, dan lemas.

“Muntahkah?” tanya Ketut.

“Tidak. Mual,” jawab Ade sekenanya. Ade berkesah kakinya keram, bokongnya terjepit dan meminta Ketut bergeser duduk.

“Bagaimana?”

“Ya-ya, sedikit longgar.”                            

Detik kemudian kedua sopir pickup stop di Monjok Baru. Menjemput Dosen Seni mereka yang masih bujang. Namanya mba Piyo. Ade dan Rizal keluar pickup, berjalan ke gang jarak seratus meter, beri tahu kedatangan mereka.

“Rizal, tahu rumah mba Piyo?” tanya Ade memecah hening.

“Tidak. Kamu?” jawab Rizal.

“Ya, aku tahu rumahnya.”

which one?

“Itu! Rumah bermozaik.”

“Indah sekali.”

Ketika Ade dan Rizal tiba di pekarangan rumah mba Piyo mereka berucap salam “Assalamualaikum.” Samar-samar terdengar suara menyahut “Alaikumsalam. Wah-wah, jemputan datang. Masuklah!”

Matur nuwun,” kata Ade.

Ade dan Rizal duduk di atas kursi terbuat dari pecahan keramik yang dirangkai menjadi bentuk hiasan kepala binatang. Mozaik namanya. Mba Piyo berbenah, menuntun Bunda Piyo untuk ikut juga. Mereka lantas keluar bersama-sama nuju yang lain. Mereka berhenti sejenak setelah beberapa langkah musabab mba Piyo lupa sesuatu. Ya-ya, jaket Bunda tertinggal. Mba Piyo kembali pulang untuk mengambil sedangkan ketiganya duduk di berugak elen samping masjid. Terlintas wajah yang lain keluar pickup menghirup udara lepas. Sepertinya penat di dalam. Seketika batang hidung mba Piyo terlintas,  segera mereka nuju yang lain. Semua ambil posisi. Mba Piyo dan Bunda Piyo duduk di kiri Sopir. Dua tegukan botol netral sang sopir banting stir nuju lokasi.  Sembalun.

             Di dalam pickup terlintas  wajah Ani begitu kemayu,  lemas ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam kerongkongan.

“Bertahanlah, Ani.”

Ani menatap Ade lantas mengangguk-angguk setuju.

Pickup desak dan sesak membuat berapa rekan harus berdiri, penuh hati-hati  memegang pegangan dengan motif tidak terjatuh. Rizal dan Ody orangnya. Seketika terlintas gadis baya mengendarai sepeda motor menyelinap pickup, rayuan gombal meluncur dari mulut Rizal dan Ody.Tak terbendung dan itu hal yang lumrah. Kondektur berada di atas pickup dalih menjaga tas kami  agar tidak terjatuh ke hotmik dan raib. Laju pickup kencang sekali hingga berapa kawan hawa tertidur lelap walau sejenak.

Di ufuk barat matari menjelang sore. Sejenak semua istirahat menunaikan kewajiban shalat di masjid Pancor. Non muslim menyesuaikan dan menghela napas panjang di luar pickup. Detik kemudian mereka melanjutkan perjalanan nuju Sembalun. Hmm... dingin. Fanorama alam  begitu indah. Pohon belia jati, semak belukar, berapa ekor monkey sana-sini gelantungan. Kabut  putih bak kapas menyelimuti gunung Rinjani.  Hmm... ngun-ngun. Terlintas juga tanjakan tinggi, belokan tajam, turunan curam, sengkaden. Rasa was-was membelenggu.

“Apa yang kau lakukan, Andi?” tanya Ade.

“Ody, ada di atas pickup tentu ia kedinginan, aku ingin beri jaket untuknya.”

 “Be carefully, amat dingin suhunya. Lihatlah!”

Andi melihat arak-arak awan di langit lepas. Gunung Rinjani menyapa mereka dengan tawa berbisik. Secara berbisik  Andi mengagumi fanorama alam ciptaan khalik.

It’s beautiful.”

Ody berucap kasih kepada Andi telah simpati padanya namun Ody lebih dulu mengenakan jaket miliknya. Suhu semakin dingin, semakin mencekam. Detik kemudian mereka stop di puncak, artinya sebelum nuju Sembalun mereka lihat situasi desa nan indah dari kejauhan. Kabut putih berterbangan sana-sini, di depan mereka mondar-mandir.

“Itukah Sembalun, Aen?” tanya Ade.

“Kau benar. Sembalun.”

“Wah-wah, mengesankan. Lantas?”

“Benar, walau dingin aku lahir sebagai putra sembalun. Disanalah surgaku, Sembalun yang indah permai.”

Detik kemudian terlintas mahasiswa asik  foto ria, ceria walau dingin yang sangat. Seketika salah satu mereka menggigil. Kedinginan.

“Ada apa dengan Ana?” tanya Ade.

“Entahlah,” Aen menanggapi.

Sepatah kata tak mampu terucap oleh Ana. Ia diam membisu. Tak sadar beberapa detik.

Hawa dingin yang sangat membuat mereka kedinginan, lantas Ade memutuskan untuk memberikan Jaket kulitnya pada Ana dan setelah siuman Ana berucap matur nuwun. Tiba-tiba Ade merasa kedinginan, Ia putar otak mengambil jas almamater di saku tasnya. Dingin tak kurang-kurang. Detik kemudian akan tiba magrib, semua mengakhiri aktivitas dan masuk dalam pickup kemudian nuju desa yang ada di bawah kaki gunung Rinjani. Sembalun.

Ketika tiba di desa Sembalun, pickup nuju vila di bawah bukit ditumbuhi ilalang. Menari-nari. Azan magrib dikumandang, sebagian mereka wudhu dan sholat. Sebagian lagi menyantap balap dibagikan Titin. Titin bendahara study tour merangkap koki. Ya-ya Titin over weight. Mereka terlihat capek menempuh perjalanan jauh, sejenak melepas lelah membaringkan tubuh di ruang  depan villa  dilapisi karpet hijau plus biru. Putra sembalun nuju rumah handai tolan dan lembaga MTs Yaltaqian.  Madrasah Tsanawiah Yaltaqian besok pagi mengadakan perpisahan dengan siswa kelas IX MTs Yaltaqian. Detik kemudian adzan Isa dikumandang, muslim berbenah wudhu di penampungan air murni aliran gunung Rinjani belakang vila. Mereka berjamaah. Non muslim duduk di plantaran depan sambil bercengkerama. Terdapat empat kursi pendek, dua kursi panjang, dan dua meja dari kaca.

Suasana dingin malam ini menjadi-jadi. Untuk mengurangi hawa dingin mereka mengenakan pakaian anti dingin; switer, jaket, t-shirt tebal bahkan ada yang berselimut.

Tiba-tiba...

“Ade?”

“Ya.”

Ana dan Anti menghampiri, menyodorkan jaket milik Ade lantas berucap “Ade, terima kasih.”

“Ana lebih membutuhkan. Pakailah! Ana masih menggigil.”

“Tidak. Ade lebih membutuhkan. Jaketku ada, kok.”

“Baiklah kalau begitu, terima kasih.”

“Seharusnya aku yang berterima kasih.”

Not at all.”

               Anti mengenakan jaket milik Ana ke punggung Ana lantas balik badan nuju belakang. Dari belakang Ade melihat tubuh itu masih menggigil. Hmm... dingin. Batang hidung Aen terlintas dari pintu utama, kabar apa gerangan yang dibawa? Aen mempunyai dua warta penting. Mereka, rombongan study tour diundang mengisi acara perpisahan kelas IX MTs Yaltaqian besok pagi. Malam ini gladi resik, dan lima belas menit lagi seyogyannya berada di sana. The secound warta, Aen mengundang mereka untuk santap malam di istananya. Ya-ya, istana yang entah bagimana rupanya.

Detik kemudian mereka berbenah nuju istana Aen. Setelah tiba di istana Aen mereka duduk bersila membentuk bujur sangkar. Makanan tiba, mereka menyantap makanan disuguhkan. Seketika Ade mengambil gambar kawan-kawan dengan digital, mereka terlihat senang apalagi makanannya goyang lidah. Usai memenuhi jamuan makan, mereka nuju MTs Yaltaqian. Suasana ramai oleh siswa-siswi yang hadir kala itu. Aen menyilahkan duduk di tempat  disediakan.

“Kamu kerja di sini, Aen?” Ade ingin tahu.

“Betul. GTT. “

“Berapa upahmu, Aen?”

“Tiga ratus ribu. Tidak seberapa memang tapi aku bangga kerja di sini.”

               “Bagus, Aen. Sama sepertiku. Aku kerja di SMP Libels Mataram,TU bagian umum. Aku belajar mandiri, membiayayi kuliah seorang diri. Dua bulan gajiku membiayayi satu semester studiku.”

                “Bung Karno bilang Mandri itu adalah makan di atas kaki sendiri.”

                “Benar.”

Perbincangan berakir musabab galadi resik dimulai. Mereka  terhibur oleh pra acara musik gambus tabuhan siswi pilihan. Pimpinan MTs Yaltaqian memanggil Aen. Gerangan apa yang akan dibincangkan. Entahlah. Ade berpikir  bincang mereka notabene perpisahan/pelepasan siswa besok pagi. Tak ambil peduli, Ade dan kawan-kawan menikmati hiburan malam ini walau dingin yang teramat. Hmm... ngun-ngun. Lambaian tangan Aen mengisyaratkan sesuatu. Aen memanggil Ade dan Arsyad, lantas Ketiganya berjalan entah kemana, meninggalkan yang lain. Betapa kagetnya mereka ketika mereka memasuki ruangan tiba-tiba terlintas mba Piyo, Putri dan Nandar. Berikut juga pimpinan MTs Yaltaqian dan salah satu stafnya.

Aen, Ade dan Arsyad disilahkan duduk di kursi anyaman bambu lantas mereka disuguhkan kopi susu untuk menghilangkan kantuk dan suntuk malam ini. Pimpinan mulai berbincang. Dugaan Ade benar perbincangan notabene acara perpisahan besok pagi.

 “Apa mba Piyo dan rekan-rekan bisa bantu isi acara besok pagi?” tanya pimpinan tanpa basa-basi.

Mba Pyo melihat rekan-rekan yang lain, meminta kesanggupan mereka untuk mengisi acara lantas mereka menjawab serempak “kami sanggup.” 

“Kalau begitu semuanya sudah jelas. Di sini ada alat musik kibor dan gitar.Rekan-rekan ada yang bisa bermain musik?” lanjut pimpinan.

Aen mengatakan kepada rekan-rekan yang lain musabab Ade mahir bermain kibor dan Arsyad pandai bermain gitar.

“Kami bisa sedikit,” jawab Ade dan Arsyad hampir bersamaan.

“Baiklah, nanti kami keluarkan alatnya.Mari kita ke arena perpisahan!” ajak pimpinan.

Setelah berbincang dan sepakat besok pagi mereka sanggup mengisi acara.  Staf segera mengeluarkan alat musik yang dibincangkan tadi, kibor dan gitar. Mereka lantas nuju arena perpisahan. Arsyad bawa gitar sedangkan Deka bopong kibor dengan sikut kanan. Setelah mereka tiba di arena perpisahan gladi resik hampir berakhir dan malam pun semakin larut. Aen memanggil teman-teman yang lain untuk kembali ke vila di bawah kaki gunung Rinjani. Tentu adat sopan santun sebelum pulang seyogyanya berpamitan. Mereka pamit kepada pimpinan dan panitia acara perpisaan. Ade dan Arsyad diijinkan membawa kibor dan gitar untuk latihan di vila. Di tengah jalan mereka masih memikirkan agenda besok pagi. Mereka masih bimbang. Detik kemudian mereka tiba di villa. Seksi keamanan yang diketuai oleh Jaya sibuk membakar ubi dan jagung pemberian tetangga. Tidak banyak makanan yang diberikan tetapi kekompakan terlihat ketika mereka menyantap ubi dan jagung bersama.

Ade terus memikirkan gerangan apa yang harus diiring besok pagi. Terlintas di benaknya tentang instrumen puisi yang diiring pada perpisahan kelas IX SMP Libels Mataram. Lagu daerah Tegining-Teganang yang mulai ditinggalkan di zaman modern ini. Lagu Pamit ketika mengiring di acara perpisahan SPPN Mataram. Adiknya sekolah disitu. Bayangan lagu Irama Desa ketika mengiring di acara festival musik daerah penyelenggara Sekolah Kristen Altea Mataram. Terlintas lagi dibenaknya besok pagi tampil seorang pembaca puisi diringi alat musik,  vokal grup dengan lagu daerah yang ia bayangkan. Dalam waktu singkat mungkinkah semua berjalan sempurna.

“Akh... aku bingung memikirkannya,” batin Ade.

“Semoga berjalan lancar,” kembali Ade membatin.

Sebagian kawan-kawan sudah pulang ke pulau mimpi. Sunyi sepi malam itu bahkan jangkrik enggan berbunyi sebab  dingin yang teramat. Ade tidak bisa tidur karena dingin menghinggapi lantas ia berbenah mengambil kibor dan membawa ke ruang belakang vila. Ade melihat Arsyad masih terjaga dan meminta Arsyad untuk menemani Ade. Arsyad mengindahkan permintaan itu namun itu berlangsung sejenak lantas kantuk Arsyad tak terbendung, ia pamit kepeada Ade untuk kembali tidur.

“Kawan, aku ngantuk sekali,” kata Arsyad.

“Ya-ya. Istirahatlah, kawan.”

Arsyad kembali ke tempat tidurnya. Instrumen yang Ade mainkan cukup merdu didengar lantas membangunkan ketiga kawan hawanya. Susi, Dina, dan Ieng menghampiri sumber suara lantas kembali tertidur setelah tahu Ade yang memainkannya.

“Ade pintar nian mainnya,”  puji Susi.

“Ya-ya, instrumen lagunya bagus”  Indina menambahkan.

Hoooaaamm, temen-temen kita tidur yuk. Ngantuk,” pinta Eng yang masih menguam.

“Hoooaaamm”

“Ade kami tidur dulu ya,” kata Susi.

Tafadon” jawab Ade.

Ade mencatat kunci dan style musik di secarik kertas kosong untuk mengingatkan ia manakala ia lupa. Larutnya malam dan rasa capek yang sangat membuat temen-temen tertidur pulas. Ya-ya sangat pulas dan Ade menghentikan permainannya sejenak dalih mengambil air putih karena kerongkongannya sedik gersang.

Ade melihat ona lantas berucap “Ona, kau masih terjaga?”  

“Iya,” jawab Ona.

“Jam  berapa?”

“Dua belas lebih seperempat.”

“Ya-ya, aku rasa cukup bermain kibor.”

Setelah meneguk segelas air putih lantas Ade merapikan kibor ke tempatnya semula.

“Ade!?”

“Ya, Ona. Aenaon?”

“Aku membawa sesuatu untukmu.” Ona buka tas ranselnya dan mengeluarkan sesuatu dari bilik tas.  

“Apa itu, Ona?”  tanya Ade.

“Inilah yang kita tunggu.”

“Maksudmu?”

“Mari kita nikmati malam ini.”

“Aku tak paham?”

“Bukankah kau menginginkannya?”

“Maksudmu?”

Ade tak paham-paham sebab ia tak pernah melakukan itu sebelumnya. Ona membuka botol netral berisi air berwarna merah jambu.

“Apakah kau lupa dengan janji kita?”

“Janji apa?”

“Bukankah kita pernah berjanji untuk menikmati malam ini?”

“... ???????” Ade semakin bingung.

Ona menyodorkan botol netral yang entah bagaimana gerangan rasanya. Ade mencoba mengingat-ingat. The facto Ona menanggapi serius perkatan yang Ade utarakan sebelum ke desa Sembalun.

“Kau serius menanggapi apa yang aku utarakan kemarin?

“Tentu, aku pantang ingkar janji.”

Ona mengambil dua gelas kosong, segera ia menuangkan minuman itu.

“Apa ini, Ona?”

Guest?”

“Dari warna sepertinya minuman yang memabukkan.”

“Kau benar, lantas ini apa?”

“Aku pikir ini tuak”

“Tidak salah. Ini bukan tuak, melainkan brem.”

“Apa?”

“Brem.”

“Aneh nian namanya, aku baru dengar.”

“Ya-ya, tuak dan brem sama-sama memabukkan Just rasa yang membedakannya.”

“Kita minum bukan untuk mabuk-mabuk?”

“Tentu saja kawan, kita minum untuk menghangatkan tubuh kita yang dilanda dingin yang sangat.”

“Ya-ya.”

“Minuman ini bisa menghangatkan tubuh kita yang  menggigil. Kedinginan.”

“Oke, aku coba.”

Mereka pun bersulam “Cers...”

Belum sempurna minuman itu masuk ke lambung Ade sejenak minuman itu berhenti di kerongkongannya. Tubuh Ade menolak dan memuntahkannya.

“Gila, minuman apa ini. Aku tak sanggup menghabiskannya.”

“Rasanya memang seperti itu, kawan.”

“Sudah-sudah, cukup. Aku mau tidur.”

“Tapi, minumannya belum habis.”

“Simpan saja untuk kali lain.”

“Ya-ya, malam. Have a nice dream.”

Ade tak acuh lantas meninggalkan Ona yang masih meneguk minuman itu. Benar kata Ona malam ini teramat dingin. Menjadi-jadi.

Ade mulai menutup mata, ia tak kuasa tertidur dan melihat jam di dinding pukul satu lebih tiga belas pagi. Ade mencoba memejamkan mata rapat-rapat lantas membatin “Aku harap bisa tidur malam ini.”

Ade mencoba menghitung anak domba sampai ribuan jumlahnya hingga ia terlelap. Pukul tiga pagi Ade terbangun  dan menyaksikan Nandar menggigil dan mengigau tak karuan. Itu bukan sok-sok Nandar yang Ade kenal. Jiwanya terbagi. Nandar mulutnya berbusa, ia kerasukan.

“Jaya, selimuti Nandar!” seru Ade.

“Baik.”

“Teman-teman muslim baca ayat suci,” kembali Ade menyeru.

“Gimana baca ayat suci wong lampunya mati,” kata Eng.

“Ya-ya, ada yang punya bacaan ayat suci di hape?” tanya Ade.

“Aku punya,” jawab Eng.

“Pasang di telinga Nandar surat Yasin!”

“Baik.”

Eng memasang lantunan ayat suci dari hapenya ke telinga Nandar. Namun itu tidak berpengaruh signifikan. Nandar meronta-ronta, menyuruh kami menghentikan bacaan ayat suci itu, namun mereka tak peduli,  Nandar berteriak histeris sehingga Jaya menutup mulutnya saking lengkingnya suara itu. Mereka memanggil mba Piyo dan Bunda Piyo. Mba Piyo mencoba membaca doa yang entah apa gerangan musabab dibaca dalam hati sembari memegang kepala Nandar. Seketika Nandar sadar ia tidak mengenali kami semua.

“Siapa kalian?” tanya Nandar.

“Hey bro, kami kawanmu?” jawab Jaya.

“Kawan yang mana?” kembali Nandar  bertanya.

“Ambil air putih!”  pinta mba Piyo.”

Anti dan Ana lantas mengambil air putih di dapur yang terletak di belakang vila. Suasana  masih gelap gulita mereka menggunakan hape sebagai penerang jalan. Setelah segelas air putih berada di tangan mba Piyo dibacakanlah do’a dalam hati. Pikir Ade do’a yang dibaca adalah “Sim-sim salabim ala kadabra” lantas dipercikkan sedikit demi sedikit air itu ke wajah Nandar sebanyak tiga kali. Alhasil Nandar mulai sadar dan mengingat mereka satu persatu.

“Nandar?” kata Ade.

“Ya, Ade.” Jawab Nandar.

“Ya-ya, dia sudah siuman.”

Kawan-kawan mengucap hamdallah ketika semua kembali sedia kala. Mba Piyo berkata ikhwal Nandar kerasukan,  ada sosok makhluk halus hinggap di dalam tubuhnya.

“Oh....” mereka manggut.

“Apa Nandar rasakan?” tanya Jaya.

Nandar lantas menceritakan kejadian yang menimpanya beberapa detik yang lalu. Ia melihat sosok wanita diantara semak belukar di samping vila. Wajahnya tak begitu jelas, mengenakan putih-putih di sekujur tubuhnya. Putih semua. Ya-ya, itulah penampakan musabab begitu evoria mereka di tempat itu - Vila di bawah bukit.  

Rasa dingin malam tak kunjung bersahabat. Rasa dingin itu membuat Ade tak berkutik. Ade tidak memiliki background malaria, tapi realitanya seperti orang terkena malaria. Ade menggigil sekuat-kuatnya. Dada terasa sesak, dan ia seperti orang sekarat, lalu tiba-tiba Iin lekas mengambil selimut tebal yang dipakai Yudi tidur. Selimut itu begitu hangat sampai Ade sedikit lebih baik. Ade berucap maturnuwun kepada Iin karena begitu ikhlas menolong, menyelimuti Ade disaat kedinginan. “Kembali kasih,” terdengar dari helaan napas Iin.

Jam dinding pukul empat pagi, Ade tak kuasa untuk tidur kembali. Akhirnya Ade memutuskan menunggu datang waktu subuh sembari mulutnya komat-kamit membaca kalimat  suci; tahmit, takbir, dan tahlil. Temannya yang lain melanjutkan tidur. Dalam benak, Ade iri kepada mereka begitu dingin malam ini mampu tertidur. Ya-ya mereka mengenakan selimut tebal berbahan dasar katun sedangkan Ade hanya mengenakan selendang tipis kecokelatan. Dan ia hanya mampu berkata “Huu...” Detik kemudian terdengar muazin menyuarakan adzan. Arsyad terbangun dan mengambil air wudhu. Jam di dinding tepat pukul empat lebih seperempat.

“Itu waktu tahjut, bukan subuh kawan.” Ade berkata.

“Oh ya, baiklah. Aku shalat tahjut saja. Kita shalat bersama!” ajak Arsyad.

“Lanjutkan, kawan.”

 Ade tak kuasa ambil air wudhu di belakang vila musabab dingin air plus dingin malam apakah mampu berterima oleh kulitnya yang sawo matang? Ade mencoba tidur menyelinap dalam selimut Yudi yang tidur tepat disampingnya. Ade tak shubuh, ia tertidur hingga matari menyapa.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler