Skip to Content

Hujan, Semestinya Dia Sudah kembali

Foto Ucha Zelebour

Hujan lebat berlangsung hampir setiap hari dan rasanya enggan berhenti dalam waktu sebentar. Airnya yang luruh lebih menyerupai butiran kristal. Membekukan suasana yang samar-samar menjadi seperti malam, remang dan sepi. Siang itu, Bi Karti membingkai separo tubuhnya di jendela saat menanti kepulangan anaknya yang tak dapat dipastikan. Seperti  hujan yang tak dapat diterka, kapan ia akan mereda.

Perasaan cemas tak tersembunyikan dalam gurat wajahnya yang mengganjil. Dan selalu ia akan merasa terkejut bilamana mendengar gemuruh petir yang menyambar bersahutan—nyaris terdengar di atas kepala, memekakkan telinga.

 “Semestinya dia sudah kembali.”

Berangsur-angsur malam pun bergulir acuh seolah tak mau menunjukkan tanda-tanda senja, ataupun kumandang adzan petang meski sekedar sayup-sayup. Dalam situasi seperti ini rasa-rasanya segala macam bunyi selain derau hujan tak dapat didengarnya. Semakin lama berisik hujan itu semakin menghantuinya.

“Semestinya minggu lalu ia sudah pulang.” Katanya membatin.

Untuk meyakinkannya, janda paro usia itu kemudian melihat kalender bergambar artis sinetron yang tergantung lusuh di tembok unfinish. Ia mulai menghitung. Dimulai dari angka yang terlingkari dengan spidol merah, sebagai patokan bahwa pada tanggal tersebut anaknya pergi melaut. Sudah lebih dari satu bulan. Empat puluh lima hari tepatnya. Melampaui waktu biasanya.

Seraya menghempaskan napasnya yang berat, seberat menyandarkan tubuhnya di mebel bodol barang sesaat, sebelum kemudian ia beranjak ke kamar tidur. Mencoba menenggelamkan pikirannya di ranjang kasur yang sudah terasa membatu. Di sampingnya, anak perempuannya yang masih bau kencur, sejak sore tadi telah tertidur pulas setelah sebelumnya ia merasa kecewa, sebab ibunya melarangnya hujan-hujanan.

Cuaca kali ini, kian hari kian memburuk dibanding musim barat tahun lalu. Namun namanya juga anak-anak, ia tak mengenal seburuk apa cuaca itu. Selama masih dapat riang—berlari ke sana ke mari di bawah guyuran hujan bersama kawan-kawannya, segalanya bukanlah masalah baginya.

“Ya Tuhan gerangan apakah yang sedang menghalangi anakku sehingga ia belum juga pulang.” Kembali Bi Karti membatin saat ia merasa kesulitan memejamkan matanya. Pandangannya hanya terperangkap pada atap kelambu. Sejauh rasa kantuknya tak dapat mengalahkan perasaannya yang tak menentu. Sekonyong-konyong Bi Karti kemudian memanjatkan doa sebisanya. Sementara hujan masih saja mengusik perasaannya. Tak lama kemudian tak terasa airmata pun mengembun di pipinya.

Di saat-saat musim barat seperti ini, memang, tak sedikit nelayan yang menghentikan aktifitasnya. Lima minggu hingga tiga bulan lamanya mereka rihat—memastikan sampai cuaca benar-benar membaik. Meskipun untuk keperluan sehari-harinya mereka mengandalkan hutang di warung-warung, namun rasanya itu lebih baik ketimbang harus mengambil resiko yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi.

Tidak main-main, menghadapi cuaca buruk di lautan taruhannya adalah nyawa. Betapa sering kejadian mengerikan menimpa nelayan di saat-saat musim seperti ini. Peristiwa demi peristiwa yang pernah dialami rekan-rekan nelayannya kemudian seolah mengingatkan mereka untuk tidak berbuat nekat. Lebih baik mengurungkan niatnya berlayar.

Namun tidak untuk suaminya yang bersikeras melaut hanya karena tak ingin menambah hutangnya di warung-warung. Atau ia tak akan rela membiarkan anaknya makan sepincuk blendung, hanya karena sekian bulan ia tak bekerja. Tidak. Anakku bukan burung perkutut, katanya. Bagaimanapun, sebagai kepala keluarga sudah menjadi tanggungjawabnya menghidupi keluarganya meski menghadapi resiko seberat apa pun.

Seminggu setelah kepergian suaminya tersiar kabar yang mengguncangkan perasaanya. Gelombang pasang telah menerjang perahunya hingga terbalik. Empat dari delapan awak kapal, termasuk suamiya yang pada saat itu sebagai jurumudi telah lesap ditelan gelombang. Mungkin terkubur di dasar laut. Hingga kini tak ada berita tentang keselamatannya. Namun demikian mak Karti masih tetap percaya bahwa suaminya masih hidup, sekalipun hanya dalam angannya.

Sungguh, mak Karti merasakan ngeri bila peristiwa itu tiba-tiba terkuak kembali dalam bayangannya. Lebih-lebih di saat dia sedang menanti kepulangan anaknya.

“Semoga hal itu tidak menimpa pada anakku.” Ucapnya dalam hati yang menyerupai doa. ***

Hujan masih berlangsung menemani malam yang sunyi, sesunyi perasaannya saat mendekap kerisauan di hatinya. Wajahnya yang menirus telah lembab oleh airmata. Anak perempuannya terjaga saat petir menyambar diiringi suara lengking dan gemuruhnya. Rasa kejut membuatnya memeluk erat tubuh ibunya. Mak Karti membalasnya dengan penuh hangat. Rekat. Seperti burung pipit yang berusaha melindungi anaknya dari buruan cakar elang.

Dan seolah kepala adalah bagian utama yang mesti terlindungi, sehingga anaknya menyembunyikan kepala mungilnya dalam ketiak ibunya. Selepas itu, untuk sesaat anaknya tak dapat lagi memejamkan mata. Ia melirik ke wajah emaknya yang sembab. Perasaan heran pun menggelitiknya tiba-tiba.

“Emak menangis?”

“Tidak. Emak sedang berdoa,”

“Apa yang sedang Emak doakan?”

“Kebahagiaan kita, termasuk untuk keselamtan kakangmu.”

“Kapan kakang pulang ya, Mak?”

“Besok atau lusa kita dapat berkumpul kembali,” diciumnya ubun-ubun anaknya itu dengan tenang.

“Tidurlah kembali. Tak usah merisaukan suara kilat itu. Itu hanya sekedar bunyi yang menyerukan kita agar selalu ingat padaNya”. ***

Keesokan harinya sisa-sisa mendung semalam masih menggantung, begitu pun dengan kerisauan Bi Karti yang rasanya tak dapat terbendung lagi. Disertai anaknya, ia berangkat ke rumah juragan Kasdinah.

“Entahlah, sejauh ini saya belum menerima kabar. Saya sendiri merasa kebingungan mengapa mereka belum juga kembali. Apakah mungkin mereka berlabuh di pelabuhan Juwana. Kalau pun iya semestinya mereka sudah memberitahukan aku.” Ujar juragan Kasdinah yang kemudian memberikan sedikit uang saat Bi Karti berpamitan pulang.

Di pelabuhan yang sekaligus sebagai tempat pelelangan ikan itu, Bi Karti menyandarkan segumpal kecemasannya beberapa malam lalu. Ada dua perahu besar dan beberapa perahu kecil yang berlabuh hari itu dan mulai membongkar muatannya. Wajah-wajah bidak tampak tak bergairah mengikuti pelelangan yang sedang berlangsung. Mungkin karena hasil tangkapannya tak memuaskan.

Di pinggir dermaga Bi Karti tak henti-hentinya mengamati satu-dua kapal yang berlabuh berikutnya. Berharap-harap cemas semoga satu dari dua kapal itu adalah yang sedang dinantinya. Dengan begitu kerisauannya mungkin dapat terobati sewaktu wajah anak sulungnya tertangkap mata. Namun sampai matahari di atas ubun-ubun keraguan mulai menghantuinya. “Semestinya sudah waktunya dia kembali.” Batinnya mengancar-ancar. Tak berselang lama awan kembali memekat. Ia pun memutuskan untuk segera pulang dengan perasaan yang gundah. ***

Prasangka buruk tiba-tiba menghantui Bi Karti kala mendengar sasus dari nelayan seberang yang baru saja pulang. Kabarnya ada dua kapal yang terkena musibah. Sayang berita itu tersampaikan hanya lewat mulut ke mulut, simpang-siur, sehingga mereka tak mengetahui dengan persis nelayan dari kampung mana yang menumpangi kapal naas itu.

Meski demikian berita itu sempat membutakan pikiran Bi Karti. kekawatirannya kembali meradang. Betapa kalutnya senyampang benar kapal tersebut adalah yang ditumpangi anaknya. Serta-merta seiring perasaan yang tak menentu airmatanya kembali membuncah.

“Semestinya dia sudah kembali,” kata mak Karti sewaktu mendatangi orang pintar.

“Bersabarlah, sebentar.” Orang pintar itu masuk ke dalam kamarnya. Hanya beberapa menit kemudian ia kembali seraya menyerahkan sebotol mineral.

“Bagaimana, Mbah. Apakah ia baik-baik saja?”

“Mudah-mudahan, atas doamu dia selamat dari marabahaya. Kini dalam perjalanan pulang,” Kata orang pintar itu sedikit dapat menghibur perasaan Bi Karti. Sambil menyelipkan selembar uang di tangannya, lalu Bi Karti berpamitan.

Lewat orang pintar itu Bi Karti berikhtiar untuk melawan kegamangannya. Meskipun demikian sebelum benar-benar anaknya pulang dengan selamat, dan ia dapat mendekap tubuhnya erat-erat, apa yang didapatinya dari orang pintar itu tetap merupakan sesuatu yang menyarukan keyakinannya. Maka tak ada lagi tempat mengadu yang tepat selain berdoa padaNya. ***

 

Hingga selarut ini belum ada tanda-tanda hujan bakalan mereda. Sambaran petir dan gemuruh angin yang limbung memperburuk suasana. Sejak tadi sore jalanan begitu sepi. Warung yang biasanya nonstop melayani para nelayan yang begadang, memutuskan tutup lebih awal. Tak ada orang yang keluyuran. Hanya di sebuah pos ronda yang tak jauh dari warung itu berkumpulah sekelompok pemuda nelayan yang tiga hari lalu baru saja menerima cacaran. Satu dari mereka adalah anak Bi Karti.

Hujan bercampur angin yang menderau dan pekak halilintar malam itu tak dapat mengusik kesenangannya menikmati hasil jerih-payahnya selepas pulang melaut. Berbotol-botol minuman keras, kulit kacang yang berserakan, puntung rokok yang berhamburan, serta ikan bawal yang terpanggang di atas batok kelapa melengkapi malamnya untuk melangsungkan jendralan.

Sederau hujan mereka meracau, mulutnya mengeluarkan aroma kental alkohol. Sepekak halilintar mereka tergelak-gelak. Sedingin cuaca mereka tergagau. Dan sepanas bara arang yang memanggang, mereka berjingkrak-jingkrak. Membunuh malam yang sempurna dengan suara bising lagu dangdut tarling dari sebuah tape recorder yang distel keras-keras, seolah ingin menyaingi derau hujan.

Halilintar kembali menjerit. Mengejutkan Bi Karti dan anak perempuannya hingga terjaga. Spontanitas keduanya saling berpeluk-erat. Tak lama setelah itu keduanya sulit memejamkan matanya kembali. Jenak kemudian anaknya bertanya: “Emak tidak berdoa?”

Kakangmu sudah pulang dalam keadaan selamat, tak ada lagi yang kita risaukan. Tidurlah!”  *****

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler