Skip to Content

Jahil

Foto saiful bahri

Beratus tahun sudah kupaham-pahamkan jerat jahil yang sabar kau tebar di selingkup kampung kami yang menggelinjang dirangsang tabu demi tabu. Indah nian jerat jahilmu menjerat kami, warga kampung yang lugu, untuk bangga berjahil dan risih tersisih jika tak jahil. Sungguh jahilmu itu telah mendedah dan mengubah tabiat kami, adat kami, darah merah kami. Berbahagialah, karena jahilmu itu telah jahilkan kami.

 Hari ke hari di kampung kami kini berlimpahkan jahil. Di warung-warung kopi orang-orang kampung dan orang-orang luar kampung berwaktu-waktu menghabiskan waktu untuk berjahil-jahil. Di kantor-kantor pemerintah dan partikulir orang-orang berlomba jahil-menjahil agar bisa lulus bekerja, bisa lempang berkuasa. Lalu para penguasa bertega-tega menjahili, mengibuli dan mempreteli berlaksa kaum tak berkuasa agar nikmat hidup dunia semata hanya jadi mereka. Lalu lagi, sang pedagang jahil kurangi sukatan, mandor jahil ulur masa gajian kuli, perawat jahil enggan merawat, pembunuh jahil terus membunuh, wakil rakyat jahil menumbalkan rakyat untuk timbun menimbun jahil-jahilnya. Aduh, terkadang berita duka cita dan suka cita di surat-surat kabar juga sangat jahil dan ganjil-ganjil. Berbahagialah, karena jahil-jahil itu telah jahilkan semesta kami.

 Suatu pagi di pelosok kampung kami yang paling kampungan, di pinggir sungai yang bening yang airnya tak lagi bergemercik, seorang bocah dan kakeknya takzim terpekur menanti ikan kecil terjerat di kailnya. Pagi itu lengang sekali. Sepanjang bantaran sungai gersang sekali. Matahari bersinar terik sekali. Udara meruap kotor sekali. Kail-kail itu sepi dipatuk ikan lama sekali.

 “Kek, kok tidak kena-kena juga ikannya?”cakap si bocah pecahkan sepi pagi yang gerah.

 “Sabarlah. Nanti kita pasti dapat ikan yang besar. Sabar, ya!”Kakek itu menyabarkan cucunya.

 “Apa tak ada lagi ikan di sungai ini?”

 “Ada, tapi tak banyak lagi…”

 “Lho? Kok…”

 “Ya!”

 “Apa sebab Kek?”

 “Ikan di sungai ini sudah dijahili…”

 “Dijahili? Apa itu jahil?”

 “Dibodohi!”

 “Wah…”

 “Jika semua sudah dijahil-jahili, dibodoh-bodohi, jadinya ya seperti ini. Ikan-ikan telah dituba, diracun-racunkan. Akibatnya ikan tak banyak lagi. Jika semua sudah dijahil-jahili, dibodoh-bodohi, semuanya tak sempurna dan tak sepenuhnya berguna lagi. Jahil itu sungguh bodoh!”geram sang kakek marah sekali.

 Sementara, diluar pelosok kampung kami yang paling kampungan itu, kejayaan jahil telah memproklamirkan kemerdekaannya. Para pembesar jahil bersepakat mendirikan kerajaan jahil yang berlandaskan mazhab-mazhab jahil untuk melindungi dan menghantarkan rakyat jahil  menuju kesejahteraan dan kemakmuran jahil lahir dan batin. Rakyat di negeri jahil siang malam bersuka cita karena cita-cita mereka menjadi rakyat jahil terlampiaskan sudah. Negeri jahil yang sejahtera telah menghantarkan rakyatnya ke kejahilan usang yang membanggakan, karena harkat dan martabat rakyat terjahilkan dengan sempurna.

 Kami yang bangga berkampung di kampung sendiri, asyik mengunyah sekerat demi sekerat jahilmu. Nikmat nian jahilmu terkecap di kami. Walau itu tuba yang menuba kami, kami bersuka cita nikmati jahil itu, hingga kami lupa dan melupakan segala ada yang kami punya. Jahilmu telah menyekap kami pada harap-harap, yang harap-harap itu terus menggiring kami untuk berjahil ke jahil yang lebih jahil lagi.

 “Jahil itu bodoh, ya, Kek?”tanya bocah itu lirih. Ia semakin sabar menunggu kailnya.

 Sang kakek tak menjawab. Hatinya gundah . Mukanya merah. Sepertinya kakek lagi marah, karena matahari di langit kampungnya kian memerah.

 

 Banda Aceh, 19 Januari 2008

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler