Skip to Content

Jaka Tarub dan Bidadari Sunyi _bag 1

Foto dwi s

Mungkin, ia sendiri tak menyadari tentang hal apa saja yang telah menjadi kebiasaan baru baginya. Akhir-akhir ini, ia lebih sering terlihat menelisik diantara kelebatan belukar tepian telaga, untuk mengunjungi telaga yang telah banyak memberikan kedamaian dijiwanya, telaga yang kemudian ia sebut sebagai telaga sunyi.

Tak banyak yang ia lakukan disana karena ia hanya ingin bergaul dengan alam sekitar telaga, dan memancing beberapa ikan penghuni telaga. Sesekali ia berkaca pada bening permukaan telaga untuk menemukan lekuk lesu seraut wajah diri, lalu bersegera membasuhnya dengan kesegaran air telaga sunyi.

Keasyikan yang tiba-tiba terkoyak, oleh kehadiran celoteh riang para bidadari yang tiba-tiba turun dari ketinggian langit, dengan selendang panjang warna-warni, bersiap untuk segera mandi.

'Huhh.. Mengganggu saja..' gumannya sambil menggerutu dalam hati. Dengan pelan dan hati-hati, sipemudapun segera mengulung dan merapikan peralatan pancingnya, lalu beringsut menyembunyikan tubuhnya dibalik kelebatan belukar tepian telaga. Sepertinya, ia sengaja beringsut dan pergi diam-diam karena ia tak ingin menggangu kesenangan para bidadari dan merasa enggan jika keberadaannya ditelaga sunyi diketahui oleh mereka, para bidadari.

Keanehan seketika terjadi kala segala tetumbuhan tepian telaga tiba-tiba menunduk penuh hormat kepada para bidadari. Hmm.. Sesuatu hal yang memaksa sipemuda untuk juga turut menunduk, bukan sebagai sebuah bentuk penghormatan tapi lebih karena ia tak ingin keberadaannya diketahui. Tak seberapa lama kemudian, segala tetumbuhan tepian telaga itu menegakkan kembali batang dan dedaunannya, lalu segera bertunas dan memekarkan bunga aneka rupa dari tiap-tiap ujung tangkainya, dengan keharuman aroma surgawi, wangi terindah yang sebelumnya belum pernah singgah dihidung sipemuda.

Belum juga hilang rasa takjub dan heran dikepalanya, para tetumbuhan itu menggoyangkan tubuhnya secara serentak, sehingga aneka rupa bebungaan itu terlepas dari tangkainya, berguguran kedalam air telaga, mengorbankan segenap keindahan yang dimilikinya, meluruhkan aroma wangi terbaiknya, untuk bersatu padu dengan kesegaran air telaga, mengharumkan keseluruhan air telaga, dan mengubah suasana telaga sunyi menjadi jauh lebih indah dan menyenangkan.

Wangi dan kesegaran yang kemudian membersihkan tubuh para bidadari, yang masih terus saja mandi, sambil bercanda, tertawa dan berceloteh riang dengan sesamanya, tanpa menyadari bahwa salah satu selendang milik mereka telah sengaja dicuri oleh sipemuda, yang kemudian bersegera menyembunyikan selendang warna jingga itu dibalik bajunya.

Selesai mandi, merekapun segera berpakaian , melilitkan selendang warna-warni dimasing-masing lingkar pinggul mereka, menyilangkannya dibagian depan dan bersegera pergi menjauh, terbang melayang menuju ketinggian, kembali pulang kenegeri para bidadari, negeri antah-berantah diatas awan, sebuah negeri yang biasa mereka sebut sebagai negeri khayangan. Tinggalkan salah seorang diantara mereka, dengan isak tangis mengundang iba, bagi sesiapapun yang mendengarnya, tak terkecuali sipemuda.

Sipemudapun berusaha memberanikan diri untuk mendekat dan mencoba menyapanya. Hmm.. Bidadari yang satu ini memang sangatlah cantik dan anggun, hingga membuat sipemuda menjadi terkesiap karenanya. Tak ada reaksi berlebihan yang ditunjukkannya saat ia mengetahui kehadiran sipemuda. Sang bidadari hanya beringsut sebentar untuk memperbaiki posisi duduknya, berusaha tetap tenang, sambil menyembunyikan isak tangis yang masih tersisa.

Meski begitu, reaksi yang ditampilkannya tak sedikitpun mengurangi pesona yang terpancar dari dirinya, sehingga membuat sipemuda menjadi merasa serba salah, berlama-lama berada didekat sang bidadari. Perasaan aneh yang tak biasa membuat bibir sipemuda menjadi terbata saat ia mulai memaksakan diri membuka pembicaraan dengan sang bidadari.

Rasa iba dan penyesalan tiba-tiba menyeruak memenuhi ruang sadar dikepalanya. Penyesalan mendalam yang kemudian menuntun pergerakan tangan kanannya untuk mengeluarkan selendang jingga yang telah ia curi sebelumnya, dan bersegera menyerahkannya kepada sang bidadari cantik.

'Maaf..'

Hanya satu kata itu saja yang mampu terucap dari bibir sipemuda. Sang bidadari hanya menatap sejenak, dengan tatapan heran dan setengah tak percaya, lalu sunggingkan senyuman manis dibibirnya. Hmm... Senyum yang seketika itu juga menyiramkan kesegaran yang menemtramkan jiwa, membalut segala duka lara, dan sekaligus mengobarkan semangat hidup baru dalam diri sipemuda.

Uhh.. Rasa sesal tiba-tiba hadir kembali dibenak sipemuda. Rasa sesal yang baru dan berbeda. Bukan karena perbuatannya yang telah membuat sang bidadari tertinggal sendirian disini, namun lebih karena ia telah meniadakan kesempatan untuk menahannya lebih lama disini, berdiri dan hidup diatas tanah yang sama, mengulang kembali kisah Jaka Tarub yang memperistri seorang bidadari cantik. Rasa sesal yang kemudian ia patahkan karena ia tak ingin mengurangi peluang dan kesempatan bagi sang bidadari untuk hidup bahagia.

'Makasih..'

Ucap sang bidadari lirih sembari mengulurkan tangannya menyambut selendang jingga dari sipemuda. Segera dililitkannya selendang jingga itu melingkari pinggulnya, lalu menyimpul dan menyilangkannya dibagian depan. Kini sang bidadaripun telah bersiap untuk melambungkan tubuhnya, kembali pulang kenegeri khayangan, negeri dimana ia tumbuh dan dibesarkan.

Sipemuda tak berani menoleh untuk sekedar menatap paras ayu sang bidadari. Pertentangan yang tiba-tiba muncul dikedalaman hatinya membuat kepalanya semakin menunduk dalam diam.

'Kamu kenapa..?'

Sipemuda tergeragap, sama sekali tak menduga sang bidadari akan menanyakan hal itu. Mungkin sang bidadari telah mampu membaca perubahan raut muka diwajah sipemuda, raut wajah yang tak hanya terlihat kebingungan, tapi juga penuh kecemasan.

'Gak pa pa kok.. Pergilah segera, mungkin teman-temanmu belum terlalu jauh sehingga kamu bisa segera menyusul mereka..' kata sipemuda dengan suara bergetar, getar yang menandakan bahwa ada pertentangan besar yang sedang terjadi didalam batinnya karena ternyata hati kecilnya lebih menginginkan sibidadari cantik bertahan lebih lama menemani. Namun demikian sihati kecil tak kuasa melawan kehendak sadar dan logika yang telah terlanjur berbicara..

Sang bidadari hanya diam sebentar,menarik nafas panjang sembari mencoba memahami keadaan, lalu tersenyum manis sambil mengulurkan kedua tangannya kearah sipemuda yang segera menyambut dan menangkap jemari yang lentik dan lembut itu dengan genggaman tangan yang erat.

'Aduh..' pekik sang bidadari spontan. Pekik tertahan yang segera dimengerti oleh sipemuda yang kemudian segera melepaskan dan menarik kembali uluran tangannya.

Hohohoho.. Sepertinya sipemuda telah mnggenggamnya terlalu kuat. Mungkin karena rasa takut yang terlalu berlebihan telah berkembang pesat didalam batinnya. Rasa takut akan lepasnya genggam tangan itu. Sipemudapun menjadi semakin merasa serba-salah dihadapan sang bidadari.

Seakan tahu dengan keadaan sipemuda yang terlihat semakin gugup, sang bidadaripun segera mengulurkan kembali tangan yang sama, sambil tersenyum tulus dengan tatap pandang yang meneduhkan, lalu mengangguk pelan sebagai sebuah pertanda bahwa ia bisa mengerti dan memaklumi kejadian sebelumnya.

Sempat timbul keraguan dalam diri sipemuda, keraguan yang kemudian membuat tangannya menjadi gemetar saat ia memaksakan diri menyambut uluran tangan itu. Merekapun segera beranjak meninggalkan telaga sunyi, berlarian kesana-kemari tanpa alas kaki, dengan tetap berusaha mempertahankan genggam tangan itu, menuju sebuah tanah kosong yang keseluruhan permukaannya ditumbuhi rumput.

Suasana penuh kesenangan seketika hadir mencairkan kebekuan yang terjadi sebelumnya. Hari telah menjelang senja saat mereka menyadari bahwa peluh telah mengalir deras, membasahi sekujur tubuh dan baju-baju mereka. Merekapun memilih untuk beristirahat, duduk pada sebuah undakan lereng bukit kecil sedikit agak jauh dari telaga sunyi.

Mereka duduk begitu rapat, tapi tidak benar-benar rapat, menyelonjorkan kaki-kaki mereka sembari berusaha mengembalikan hembus nafas yang masih terengah, hembus nafas yang belum benar-benar tertata. Sipemudapun mulai berani mencuri pandang, menatap dan menikmati wajah ayu sang bidadari. Namun, tanpa ia duga sebelumnya, secara bersamaan sang bidadari juga sedang menoleh kearahnya sehingga tatap pandang keduanya beradu.

Tawa kecil dan senyum seketika pecah dan rekah dibibir keduanya. Senyum dan tawa yang bahkan mereka sendiripun tak tahu makna dan peruntukannya, yang jelas kesenangan telah hadir menelingkupi keduanya. Kesenangan yang tak berlangsung lama karena tak lama kemudian keduanya kembali terjebak dalam jeda yang diam, dalam balutan suasana senja yang semakin beranjak matang.

'Mengapa kamu memilih selendang warna jingga..?'

Tanya sang bidadari dengan nada datar, namun mampu memecah kebisuan. Sebuah tanya yang seketika membuat sipemuda menjadi tergeragap, bukan saja karena ia tak menduga sang bidadari akan menanyakan hal itu, tapi lebih karena ia memang benar-benar tak memiliki alasan tentang hal itu dan tak hendak mencari-cari alasan untuk sekedar menjawab tanya itu.

'Kenapa harus aku..?'

Sipemuda semakin terdiam, dengan tatap pandang mengambang pada kemerahan langit sebelah barat yang sedang menjingga. Diam yang sejatinya tengah berusaha menyembunyikan desir yang tiba-tiba hadir dikedalaman hatinya.

'Apakah cinta harus selalu beralasan..?'

Balik bertanya sipemuda tanpa menjawab tanya sang bidadari. Sang bidadari hanya menghela nafas panjang, lalu melemparkan tatap pandangnya dikejauhan, pada rona senja yang sama.

'Adalah sesuatu hal yang wajar jika cinta hadir karena adanya sebuah alasan. Cantik, kaya, baik, terkenal, pintar dan menyenangkan adalah beberapa alasan yang sering kali membuat seseorang jatuh cinta..' ujar sipemuda dengan nada datar.

Mengetahui sipemuda tak melanjutkan kata-katanya, sang bidadari menoleh sebentar, melenguh pendek sambil berusaha mencerna kata-kata sipemuda. Namun sejauh ini ia belum bisa sepenuhnya mengerti dan memahami. Sementara tatap pandang sang bidadari pada semburat jingga diantara lentik dedaunan nyiur tak juga kunjung beranjak.

'Uhh.. Mengapa tak kau habiskan saja sisa waktumu untuk menatapku saja..? Dengan begitu akupun akan punya kesempatan yang sama untuk menatap dan menikmati keindahan yang terlahir dari kejernihan telaga matamu..' guman sipemuda setengah berharap.

'Dan aku lebih memilih mencintaimu tanpa alasan, karena alasan mencintai hanya akan membuatku selalu menemukan alasan untuk tidak mencintai. Dengan begitu, aku berharap untuk tetap mencinta saat kamu sudah tak lagi cantik dan juga tak lagi kaya. Bahkan aku tak akan menemukan sedikitpun alasan untuk berhenti mencinta saat kamu sedang bertindak bodoh, atau sedang tak baik..' ujar sipemuda beberapa saat kemudian mencoba menjelaskan.

'Ahh.. Kamu terlalu idealis, mana ada cinta yang seperti itu dijaman sekarang..' sanggah sang bidadari yang sepertinya belum benar-benar bisa menerima penjelasan itu.

'Sudahlah, aku tak ingin membahas dan memperdebatkan hal ini..' sahut sipemuda kemudian untuk mengakhiri suasana yang berkembang semakin tidak menyenangkan diantara keduanya. Mungkin karena ia tak bisa benar-benar menyalahkan, apalagi menyangkal pendapat sang bidadari cantik yang sangat dihormatinya. Iapun semakin menyadari bahwa cinta yang seperti itu hanya ada didalam diri seorang ibu, cinta yang tulus dan agung, cinta yang tak akan bisa disamai oleh sesiapapun juga, bahkan cinta seorang bidadari sekalipun.

Suasana mendadak diam, menanti isyarat tertahan disudut mata yang tak kunjung terucap, saat lidah terasa kelu, hingga bibirpun seketika beku, menenggelamkan kata-kata yang hanya sempat terngiang tanpa sanggup tersampaikan.

'Lihatlah... Rona senja telah semakin menjingga. Aku tahu bahwa sebentar lagi kamu akan pergi. Aku juga tahu bahwa kelak rona jingga yang sama akan senantiasa datang, menjinjing segala kenangan tentangmu, lalu meletakkannya begitu saja didepanku..'. Kali ini sipemuda memberanikan diri untuk membuka kembali pembicaraan yang sempat terjebak dalam jeda yang diam, diam yang sebenarnya bergemuruh.

Dan senjapun semakin mengendap, untuk membagikan rona jingga yang masih tersisa pada permukaan air telaga dikejauhan, saat mereka berdua akhirnya semakin menyadari bahwa batas waktu sudah hampir habis.

Sang bidadari tiba-tiba bangkit berdiri, berjalan berkeliling sambil bertengak-tengok, seakan ada sesuatu hal yang sedang dicarinya. Langkahnya tiba-tiba terhenti didepan sebuah tanah kering yang kebetulan tidak ditumbuhi rumput, lalu ia berjongkok merendahkan tubuhnya. Tangannya menggerayang, meraba permukaan tanah yang berdebu, lalu dikumpulkannya debu-debu halus itu dalam genggam tangannya, dan bersegera berdiri sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi keudara.

Mulutnya berkomat-kamit, meracau dengan bahasa yang tak jelas, dan juga tak bisa dimengerti oleh sipemuda yang seolah tak bisa berbuat banyak, dan hanya bisa terpana dengan segala kejadian itu. Berlahan, dikembangkannya kedua genggam tangan itu, dengan posisi tangan menengadah menghadap langit. Angin yang sebelumnya diam seketika berontak, meliuk liar disekitar tubuh sang bidadari. Angin yang kemudian menerbangkan butir-butir debu itu kesana-kemari, lalu menyelimuti dan membungkus tubuhnya.

Debu-debu yang sesaat kemudian berubah menjadi titik-titik cahaya yang berkilau warna-warni, membentuk kabut cahaya yang tak henti-hentinya mengerjap berkilauan. Sebagian dari kabut cahaya itu segera bergerak memanjat langit, untuk menyiapkan selarik rona pelangi, yang kemudian sengaja datang untuk menjemput sang bidadari.

'Tolong kamu jaga benih ini. Aku akan membantumu dengan doa-doa. Beberapa peri pilihan akan kuutus untuk membantu merawat, menjaga, memelihara dan membesarkan benih ini..' kata sang bidadari sambil mengeluarkan sesuatu dari balik selendang jingganya dan bersegera memberikannya kepada sipemuda. Untuk kesekian kalinya, sipemuda kembali tergeragap saat menyambut dan menerima benih pemberian sang bidadari.

'Ini benih pohon apa..? Sepertinya aku belum pernah melihatnya..?'

'Entahlah, aku sendiripun tak tahu. Semoga kelak kita bisa menikmati keindahan kelopak bunga yang hendak dimekarkannya, mencium semerbak kesegaran wangi bunganya, atau bahkan mencicipi manis rasa daging buah yang dihasilkannya..' ujar sang bidadari tanpa menjawab tanya sipemuda.

Tak seberapa lama kemudian, sang bidadari segera melebarkan rentang tangannya, untuk membentangkan selendang jingganya, dan bersegera melambungkan tubuhnya keudara, dalam bimbingan kabut cahaya yang tak henti mengerjap, menjauh, melayang semakin tinggi kearah langit sebelum akhirnya benar-benar menghilang dibalik awan. Berpisah begitu saja tanpa ada kata-kata perpisahan, hanya ada tatapan mata kosong menerawang, dengan riasan senyum tak utuh yang terhias dibibir keduanya.

_Bersambung..

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler