Skip to Content

JANAKI 1

Foto Pensil Patah
Dengan susah payah, aku akhirnya tiba di kerajaan Alengka. Kerajaan Para raksasa. Penjagaan di pintu masuk sangat ketat. Beberapa raksasa mencegat kedatanganku. Dengan garang mereka bertanya tentang kedatanganku. Siang yang terik membuat wajah para raksasa itu sedikit berminyak. Kilatan mata mereka tampak sangar. Gigi mereka kuning. Dengan suara yang sedikit paruh,salah seorang  menanyakan,  aku utusan dari mana. Dengan tenang aku menjawab, aku dari dunia manusia. Datang untuk menemui Rahwana. Sang Raja Raksasa yang begitu terkenal sakti mandraguna. Yang satu menimpali, apa tujuan pertemuanku. Dengan enteng aku menjawab lagi, aku membawa kabar dari negeri manusia yang sangat penting. Dan memperingatan jika aku tidak segera bertemu dengan Raja mereka, maka Alengka dalam ancaman. 
Mereka pun saling berbisik. Tak berapa lama, aku pun langsung disuruh masuk. Begitu mudahnya membodohi mereka. Beberapa pohon palem melingkar seperti membuat barisan parade marcing band tahun 80 an. Begitu tegas berdiri di pinggir-pinggir jalan seakan mengucapkan selamat datang padaku. Alengka seperti istana para raja India yang megah. Halamannya luas terbentang. Banyak tumbuhan aneh yang tidak pernah kulihat di alam manusia.
Aku digiring dengan sopan oleh dua penjaga pintu menuju ruang utama. Layaknya raksasa, mereka lebih tinggi 2 meter dari ukuran manusia normal. Pintu masuk pada ruang utama menyesuaikan besarnya tubuh para raksasa itu. Setelah benar-benar masuk ruangan, aku merasa sangat kecil. Di langit-langit istana, terlihat beberapa permata yang tertanam diantara gantungan emas yang membungkus rapih di setiap sudut. Disela-selanya ada semacam lilin raksasa. Mungkin itu penerang utama jika malam. 
Tampak Rahwana sang raja raksasa duduk santai namun gagah di singasanahnya. Dengan wajah yang sedikit ditekuk, Rahwana memperhatikan setiap langkahku. Dia seakan melumat habis, setiap gerakku menuju altar para tamu dengan matanya yang terlihat tegas.
Entah kenapa, tidak sedikit pun aku merasa takut. Padahal Rahwana adalah simbol kekejaman para raksasa. Justru rasa penasaran yang menyelimuti pikiran. Ingin segera aku menghampirnya dan segera menanyakan banyak hal. Setibanya aku di altar para tamu, aku pun dipersilahkan duduk. Jarak altar dengan singasana tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 7 meter dibanding ribuan meter persegi luas istana. 
Biar suasana bisa lebih santai, aku memulai percakapan. Aku bertanya dengan sopan, apa bisa aku membakar sebatang rokok yang memang aku siapkan sejak sebelum menuju ke Alengka. Sang raja mengangguk pelan. Aku pun membakar sebatang Marlboro lights, menarik asapnya dalam dan menghamburkannya. Sang raja masih diam. Aku memulai lagi percakapan. “Aku pencinta Janaki”  
Sontak Rahwana menyibak selendangnya dan terkekeh sinis. Kesan seram yang digambarkan soal Rahwana pun meniada. Sebagai seorang raksasa dia sangat berbeda siang menjelang sore itu. Beberapa pengawal seakan tidak peduli dengan tawa Raja mereka. Wajah mereka yang kemerahan itu tetap tegang. Seakan itu sudah menjadi prosedur tetap para raksasa agar tetap kelihatan 'seram dan tegang' 
Apa kau utusan Sri Rama ? atau Hanoman dengan wujud manusia. Rahwana akhirnya mengeluarkan suara. Terdengar paruh. Dia lalu menambahkan, pertanyaannya dengan sedikit pernyataan  "sebagai seorang khasatria, kau tampak lucu" wajah tegangnya berubah. Sekarang lebih seperti mengejek.
Tarikan rokok yang kedua aku hembuskan, asap mengepul lebih tebal dari sebelumnya. Memang sih jika seandainya aku salah seorang khasatria dalam pewayang, aku tampak sangat keren. Siang itu aku mengenakan oblong hitam dengan tulisan putih “the betles” diantara wajah Lenon dan kawan-kawan se-bandnya. Jeans Lea kusut yang sedikit ngepres terkolaborasi dengan sepatu airwalk coklat bergaris putih. Lebih cocok disebut anak nongrong dibanding khasatria.
"Kenapa kau begitu bernafsu dengan Janaki atau Dewi Shinta ? sementara kau membiarkan dirimu kalah diterjang amukan Anoman yang berkolaborasi dengan adikmu sendiri Wibisana" Kini berbalik aku yang menekuk wajah dan bertanya serius. 
Rahwana menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan dan menjawab pertanyaanku dengan tenang. 
"Dewi Shinta adalah titipan Dewi Laksmi, sang bunda paripurna. Pusat kebaikan dan simbol kesetiaan.  Tidak sekedar kesetiaan pada cinta, tapi pada prinsip dan sikap. Aku menggilainya" Mata Rahwana berkaca. Pupil matanya dibesarkan untuk menahan agar kaca dimatanya tidak pecah menjadi air. "Dan Anoman juga Wibisana tidak pernah mengalahkanku. Cintanyalah yang mengalahkanku" Rahwana menjelaskan tenang. 
"Cintanya ?" aku semakin tidak mengerti. "Cintanya Janaki?" Aku turun dari altar dan mendekat ke singasanah agar bisa lebih leluarsa berbicara. Sebatang rokok aku bakar kembali. Rahwana lalu menundukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajahku sedekat mungkin lalu berbisik dengan suara yang lirih. "Ya, cintanya Janaki untukku"
What ? tidak mungkin. Ini sebuah kebohongan. Bukankah Dewi Shinta sdah memiliki suami, dan bukankah dia symbol kesetiaan. Pusat kebaikan. Aku tidak akan mempercayainya hingga kau bisa menjelaskannya secara rational. Sekali pun siang ini kau memutuskan memakanku. Rasa cintaku pada Janaki harus ku tahan dengan hebatnya, sebab dia milik Sri Rama, eh ..kau raksasa bengis, ngaku-ngaku dicintai Dewi Shinta. Gumanku dihati agak sinis. 
"coba kau jelaskan maksud kongritmu rahwana?"  Perlahan namun tegas aku bertanya lagi. 
Akhirnya Rahwana berdiri dari singahsananya. Tubuhnya tegap, tinggi, dadanya berbidang, macho. Kesannya, Rahwana ini lebih terlihat cuek dibanding kejam. Dengan langkah yang tegas, Rahwana menghampiriku lebih dekat. Dia lalu meminta rokokku. Dibakarnya rokok itu dengan santai, lalu dihembuskan asapnya. Rahwana ternyata terlihat lebih keren dibanding yang digambarkan dalam cerita-cerita pewayangan. Dia lalu merangkulku dan menggiring aku ke sebelah utara ruangan menuju sebuah pintu keluar.
Tibalah kami disebuah tempat bernama Kapitren Alengkadireja. Pemandangannya syahdu. Ada hamparan rumput hijau yang terbentang,ada beberapa pendopo yang terletak di tengah-tengahnya. Pendopo yang dihiasi bunga berbagai warna. Rahwana membentangkan tangannya sambil berkata, disinilah Dewi Shinta selama tiga tahun bersamaku.  Waktu yang berlalu sebelum mereka datang untuk menjemputnya.
Setiap waktu sangat berarti bagi kami. Tiga tahun yang singkat meski padat. Sedikit pun aku tidak menyentuhnya dan bibirku selalu kaku ketika kesempurnanya menyibakkan setiap tutur. Dia hanya menginginkan aku berada pada titik takdir yang berbeda. Tapi tak pernah menyalahkan garis takdir yang sudah membawa kami pada titik yang sulit ini. 
Selama tiga tahun aku seperti ditemani dewa laksmi yang berkolaborasi dengan Sang Eros dari Yunani. Dia menuntunku dalam kebaikan, membongkar keangkuhan demi keangkuhanku. Entah apa maksud Walkimi sang resi penulis takdir, menoreh takdir kita secara bertentangan, namun mempertemukan kami dalam cinta. Setiap asah cinta yang kita rasakan berada pada titik sulit. Setiap etape buruk yang kami hadapi adalah pelajaran dari Sang Whidi. Kami mempelajari banyak hal. Kami seakan hanya untuk dipertemukan semantara waktu. Agar kami bisa saling belajar tentang sisi masing-masing. Dia mempelajari keburukan dariku, dan aku menyelami kebaikan dari setiap gerak dan tuturnya. Tak ada yang sia-sia dari waktu yang “sementara” itu. Cukup Tiga tahun. Singkat namun padat. Karena Setiap detik adalah kisah bagi kami.
Mata Rahwana meneteskan air. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi dalam setiap cerita. Aku masih tetap diam. Berbatang-batang rokok aku habiskan. Rahwana yang gagah perkasa, lunglai dalam roman yang tak pernah tertulis. 
Aku memutuskan untuk bertanya lagi. Apa yang membuatmu yakin bahwa yang dirasakan dewi Shinta atau Janaki adalah cinta ? bukankah dia punya cinta yang lain ? mungkin saja dia hanya berpura-pura agar kau membiarkannya lepas ?
Rahwana membalik badannya. Melepaskan pandangan pada hamparan hijau. Dengan suara yang lirih raja Raksasa yang terkenal jahat ini berucap lirih;
"Tak ada penculikan, pemaksanaan, kekerasan, atau apa pun yang sering kau dengar dalam setiap roman. Walkimi (penulis takdir) menulis perjumpaan kami secara sengaja di waktu yang sudah terlambat. Maka aku harus menjadi sisi jahat kehidupan agar kesempurnaan Dewi Shinta tetap terjaga. Terlambat karena Sri Rama sudah menjadi cinta setia nya. Namun Walkemi memberi kesempatan baginya untuk merasakan cinta sejatinya. Akulah keterlambatan itu. Akulah sisi sejatinya dalam cinta"
Meski kami diberi kesempatan merasakan sejatinya cinta dalam berbagai keterlambatan dan waktu yang singkat. Takdir harus tetap berjalan dalam garisnya. Dewi Shinta harus tetap menjadi symbol kebaikan dan kesempurnaan. Maka sisi burukku harus menjadi sebab mutlak dalam perpisahan kami. 
Aku pun menimpali, "kenapa ?"
"Harus ada yang menjadi symbol kesetiaan dalam cinta" jawab Rahwana. Walkimi menjadikan Sri Rama sebagai sosok baik yang menjadi sisi setia Janaki.
Lalu Anoman datang untuk mengambil janaki secara paksa ? aku bertanya lagi. 
Tidak, jawab Rahwana. Aku meningkalkan Janaki dalam kekecewaan. Janaki harus membenciku. Agar sisi baiknya terjaga. Sebab ada Sri Rama sebagai sisi baik yang akan menjaganya dan menjadikannya sempurna. 
Dadaku mulai sesak dengan hembusan demi hembusan rokok yang ku hisap. Dada ini bertambah sesak mendengar pengakuan Rahwana. Sulit dipercaya.
Waktu berlalu cepat, langit Alengka mulai menghitam dan dihiasi titik-titik bintang yang mengantung. Tak lama kemudian, Rahwana lalu mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Sangat dekat. Dengan suara yang pelan Rahwana berbisik. Siapa kamu ? kenapa kau datang begitu saja ? …
Halmahera 2013, 

Rully (www.patapensil.blogspot.com)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler