Skip to Content

JATI DIRI SANG PAHLAWAN

Foto Ida Bagus Gde Parwita

JATI DIRI SANG PAHLAWAN

 

Oleh: Ida Bagus Gde Parwita

 

Seorang pahlawan sesungguhnya lahir dari sebuah keiklasan. Keiklasan dalam memberinya untuk menyandang gelar, seperti keiklasannya mempertaruhkan jiwa raga, sebagai persembahan yang paling berharga untuk kepentingan bersama. Gelar pahlawan bukan terlahir dari keinginan sang pejuang sendiri, namun dari orang – orang yang merasakan  keagungan jasanya.

Sepanjang perjalanan manusia melakoni kehidupan, beragam bentuk tantangan hadir di depannya yang harus dihadapi bila hendak mewujudkan kehendak. Dan ketika itu lahirlah tokoh – tokoh yang menjadi tumpuan harapan sesama manusia. Kehadirannya yang berhasil mengisi keinginan manusia telah menempatkan dirinya menjadi sosok yang senantiasa dijadikan tumpuan untuk bertindak melakoni kehidupan. Ia adalah pahlawan sungguh karena kepahlawanannya yang tak mungkin dibantah.  Perubahan dari sebuah jaman menuju jaman  berikutnya  melahirkan pahlawan – pahlawan baru, sebagai sebuah proses dari jaman yang mendahuluinya. Demikian rangkaian hukum sebab akibat perjalanan manusia dengan para tokohnya hadir dalam jaman demi jaman sebagai bentangan sejarah yang tak mungkin ditolak.

Dalam wiracarita Ramayana yang telah mendunia,  ketika Sri Rama sebagai tokoh Ramayana ada yang mempertanyakan kepahlawanannya, pandangan kita tak mungkin lepas  dengan pandangan sebuah jaman dan kepentingan umat manusia. Kepahlawanan Sri Rama bukanlah semata – mata karena kepentingan pribadinya untuk mendapatkan istrinya yang kemudian sepertinya disia-siakannya untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Kepahlawanannya justru karena keberhasilannya menumpas penyebab kesengsaraan rakyat yang disimbulkan sebagai “Rahwana”, dan pembelaan akan harga diri karena hak pribadinya dirampas, yang disimbulkan dengan “Sitha” istrinya. Pahlawan – pahlawan kita di tanah air ini diakui sebagai pahlawan juga karena keberaniannya memperjuangkan kepentingan bersama dan hak – haknya yang telah dirampas.

Kehadiran dan tuntutan manusia yang semakin kompleks tak cukup untuk manusia berfikir tentang benar dan salah. Karena itu ketika cerita “Maha Bharata” dengan “Bharata Yuda” hadir dihadapan kita sungguh memberi cermin betapa rumit dan kompleksnya sebuah kebenaran itu. Setiap pandangan memiliki dasar kebenarannya sendiri, sehingga kita akan dihadapkan kepada pengertian benar sebagai sifat, yang memiliki tatanan lebih benar, dan paling benar.

Perjuangan akan hak – hak manusia kini bukan lagi hanya diperjuangkan kepada bangsa lain, sehingga lebih mudah diidentifikasi sebagai kepentingan bangsa. Namun perjuangan itu kini ditujukan terhadap pribadi – pribadi dalam bangsa sendiri sehingga teramat sulit untuk dikenali, apakah sungguh – sungguh untuk kepentingan bersama ataukah sesungguhnya untuk kepentingan kelompok, bahkan untuk pribadinya sendiri karena ada kesempatan mengatasnamakan rakyat.    

Pandangan akan bentangan kenyataan yang hadir di depan mata menghadapkan manusia akan sebuah pilihan. Perjalanannya melakoni kehidupan mencirikan ia telah memilih sebuah pilihan, walau sesungguhnya ia tidak memilih sama sekali. Saat kebingungan menyusupi hati manusia maka manusia mencari kebenaran dibawah tuntunan tutur, wiracarita, dan sastra-sastra kuno sebagai sesuluh. Tuntunan sastra sebagai tutur menghadirkan sosok – sosok pahlawan kebenaran  yang menjadi tumpuan. Saat seperti itu orang – orang baru mengagumi kembali kejayaan masa lampau.  Sebab ada kalanya manusia terlupa akan apa yang dianggap baik sebelumnya,  mereka hanya menerima masa kini tanpa bercermin pada proses masa lalu yang memberinya masa kini. Sebaliknya ada pula yang hanya mengagung-agungkan masa lalu tanpa melihat kenyataan masa kini. Pola pandangan yang amat berbeda ini akan melahirkan cara berfikir masing-masing.  Dua kutub inilah bila berhasil dipertemukan akan menghadirkan sudut pandang yang kompleks dalam berfikir dan bertindak. Ibarat menyatunya dua kutub listrik yang menghadirkan sebuah nyala terang bagi kehidupan. Tanpa demikian kedua-duanya tak akan pernah memberi arti apa-apa selain pertentangan yang semakin jauh.

Manusia diajarkan untuk menggali dirinya sendiri sebagai penyerahannya kepada yang maha agung, penyerahan kepada sesama sehingga dapat memberi arti kepada kehidupan, sama sekali bukan karena ingin disebut pahlawan. Kehadirannya  dilandasi dengan suatu tekad untuk kepentingan bersama dan kedamaian sesama manusia, karena itu jasanya dikenang dan ditulis dalam hati setiap insan.

Dewasa ini begitu banyak tokoh yang tampil, mereka adalah kaum cerdik pandai, tokoh politik, tokoh agama, sosial, kemanusiaan, tokoh budaya dan banyak lagi tokoh lainnya. Kita berharap para tokoh ini akan dapat tampil mengisi kekosongan hati manusia yang telah kehilangan kepercayaan akibat berbagai macam konflik. Semogalah mereka – mereka itu akan bisa dicatat sebagai pahlawan dalam hati kita masing – masing, dan bukan sebaliknya, kehadirannya karena dilandasi oleh keinginan untuk tampil hanya agar diakui sebagai tokoh, atau bahkan kepentingan lain yang lebih bersifat pribadi. Dan memang betapa sulitnya untuk memperoleh gelar pahlawan dimata rakyat yang selalu terguncang,

Komentar

Foto Ida Bagus Gde Parwita

Jatidiri Sang Pahlawan

Sebutan Pahlawan adalah penghargaan karena keiklasannya berkorban, bagi orang yang merasakan jasanya itulah yang menyebut pahlawan, terlepas dari kelemahannya sebagai manusia karena Pahlawan juga manusia !!!

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler