Skip to Content

John Jongos

Foto ARZapata

terik matahari menyengat di siang hari, satu dua orang datang ke kedai kopi Cak Mat, untuk sekedar melepas lelah, setelah sepagian bekerja, atau memang sengaja mencari seteguk kopi kesukaan.

Cak Mat pun cekatan melayani satu per satu pengunjung, tanpa kenal lelah, bagaimana bisa lelah? uang baginya tujuan dia memeras keringat, tanpa uang kita tidak bisa hidup..., demikian ucapnya di suatu hari.

Ditingkah alunan musik dangdut, Cak Mat pun bekerja dengan riang gembira, semakin banyak pengunjung itu berarti bertambahnya isi kocek.

"Cak Mat, kopi!...", pinta salah satu pengunjung sok akrab.

Entah karena gugup atau banyak pesanan, Cak Mat sorongkan sebungkus kopi sachet.....

"Lho kok ini..., gimana sih Cak, aku kan pesan segelas kopi..."

"katanya minta kopi...ya ini kopi !, gimana sih....", dengan nada tinggi Cak Mat membalas

"Ya deh, aku yang salah...", melihat kumis Cak Mat yang tebal membuat pengunjung ini agak keder juga...

"Nih....", Cak Mat sodorkan segelas kopi kepadanya.

"Suwun (baca: terimakasih)Cak...."

Karena kebelet ingin minum kopi, dituanglah kopi panas ke cawan...., setelah agak dingin, sekali teguk kopi di atas cawan amblas...

"Phuah....phuah", si peminum kopi secara tidak sadar menyemprotkan kopi yang barusan diminum....

"Ada apa Cak?", tanya Cak Mat

"Ah tidak apa-apa, tadi kopi masih panas aku minum"

"Oo...memang kopi buatan saya sangat panas Cak, airnya ku rebus dulu hingga mendidih"

"Gak apa-apa Cak, saya saja yang kurang hati-hati", jawab si peminum kopi, padahal dalam hatinya kesal sekali, karena rasa kopinya asin, asin sekali, tetapi karena takut menyinggung perasaan Cak mat, dia pura-pura kepanasan.

Oh ya, saya belum memperkenalkan lelaki si peminum kopi asin ini. Dia adalah John Jongos. Mengapa dipanggil John Jongos?, menurut sebagian orang yang aku temui dan kenal dengan dia, menuturkan bahwa John Jongos memiliki kepribadian yang sok akrab, tetapi pekerjaannya selalu disuruh orang, sehingga dipanggilah John jongos, sedangkan nama aslinya tidak ada yang mengetahui. John Jongos dibesarkan di pinggir jalan, sebagai penyambung hidup, john Jongos menawarkan Jasa Semir Sepatu, disamping pekerjaan-pekerjaan serabutan lain, yang penting halal. John Jongos tidak mengenal bangku sekolah, jangankan SD, SMP, SMA....., menulispun dia tidak bisa.

"Huh...dasar tukang kopi matre, kalau yang beli orang berduit, mukanya cerah, bawaannya ramah. Tetapi perlakuannya terhadap orang-orang sepertiku tidak dipandang sebelah mata....", gerutu John Jongos setelah keluar dari warung kopi.

"apa orang kaya,orang berduit, orang berpangkat, orang berpengaruh selalu dan harus memperlakukan orang-orang sepertiku seperti sampah? dilempar, ditendang, diinjak, lalu dibakar. Hih, kejam benar....sudah tidak ada lagi rasa kemanusiaan, yang ada hanya topeng-topeng kepalsuan. Orang tersenyum berharap ada balasan, orang sudi mengabdi karena ada uang yang menanti. Ah....mengapa aku jadi sok sentimen begini ya?", gumam John Jongos, disekanya keringat yang berjibun tinggal di jidatnya yang sudah tak lagi bersih, asap knalpot bus kota, asap angkutan kota, asap mobil orang-orang kaya setiap hari setia menerpa. Seperti biasa John Jongos berdinas di teras Masjid Terminal menunggu pengunjung Masjid yang memakai sepatu tentunya.

"Pak semir sepatu pak?"

"......", tanpa berkata-kata, seorang pengunjung serahkan sepatu yang baru saja dilepasnya kepada John Jongos

"Meski bisu, tidak apa apa, yang penting sepatunya diserahkan...", bisik John Jongos dalam hati. Namun orang itu berbalik badan dan menegur John Jongos.....

"Mas, maaf semir sepatunya nanti saja ya?"

"kenapa pak?, bapak tidak jadi semir sepatu?, tidak apa-apa Pak kalau bapak cuma bisa bayar seribu...", ujar John Jongos menyerocos.

"Hemmm..."

"Bapak senyum padaku?", John Jongos terkejut, ternyata tidak semua orang perlente bermuka masam bila bertemu dengannya.

"Lho apa saya tidak boleh senyum?", tanya si Bapak empunya sepatu, aneh juga penyemir sepatu ini pikirnya.

"Bukan Pak bukan begitu maksudku, apakah bapak ikhlas senyum kepada orang-orang seperti aku?"

"Sudahlah....ini waktunya shalat dhuhur, maksudku kamu tinggalkan pekerjaanmu dulu lalu ambil air wudhlu begitu..."

"Ooo....begitu Pak, maaf pak, saya lagi sibuk menyemir, kalau aku berhenti menyemir, hilanglah waktu menyemir, lihat saja sepatu sedemikian banyak, kapan lagi aku menyemir, lha kalau aku tidak menyemir aku tidak bisa makan pak!"

"Kamu yakin bahwa dengan menyemir terus menerus kamu bisa makan? bisa kaya?"

"Ya sudah....lakukan apa yang kamu yakini......"

Betul kan?, orang senyum, berbaik hati pasti ada maunya...., gumam John Jongos, buktinya barusan orang tadi, senyam senyum padaku hanya karena ingin mengajak shalat, dia tidak tahu kalau aku berhenti menyemir, waktuku habis ketika mereka keluar dari Masjid....hilanglah kesempatan memperoleh uang....daag, lanjut gumam John Jongos sambil menggosok dan menggosok sepatu hingga mengkilap.

Tak seberapa lama, si pemilik sepatu mengambil sepatunya, "Ini mas uangnya...terimakasih ya?!", selembar uang ribuan diberikan. "Sama-sama pak..", jawab John jongos senyam-senyum seperti biasa, ini adalah bagian dari servis tambahan atau bonus, apalagi bayar cuma Rp 1000,00, namun ini bagian memikat pelanggan agar mau menyerahkan kembali sepatunya di lain waktu....

Namun betapa terkejutnya John Jongos, manakala si pemilik sepatu tadi menyodorkan uang ratusan ribu kepada anak gembel yang ikut shalat dengannya.....,"sialan...aku yang susah payah, pakai modal semir lagi hanya diberi seribu perak. dia yang hanya ikut-ikutan shalat diberi uang sebanyak itu, dasar sial...siaaalll"

Setelah berhari-hari, John Jongos menunggu dan menunggu si Pemilik Sepatu, baru hari ini dia bertemu.

"Selamat siang Pak.....mau semir sepatu pak?"

"Ah...nanti saja sehabis shalat!"

"Maksud saya juga begitu Pak"

"Lho?....kemarin-kemarin katanya sibuk menyemir sepatu?"

"Tidak pak, sekarang shalat dulu baru kemudian menyemir Pak..."

"baguslah kalau begitu"

Selang beberapa waktu, John Jongos menunggu Si Pemilik Sepatu keluar dari Masjid, semenit dua menit, hingga sejam dua jam, Si Pemilik Sepatu tidak kunjung keluar. John Jongos sudah tidak sabar lagi. John Jongos bergegas masuk ke dalam Masjid dan ditemuinya Si Pemilik Sepatu tertidur di ujung Masjid....

"Sialan........, ditunggu malah molor (baca: tidur)", gumam John Jongos. Rasa penasaran dan keinginan untuk segera memperoleh uang besar, mendorong John Jongos mendekati Si Pemilik Sepatu...

"Maaf pak, sepatu Bapak sudah saya semir, sementara saya harus segera pulang!", kata John Jongos sambil gerak-gerakkan pundak Si Pemilik Sepatu...

Tubuh Si pemilik Sepatu tiba-tiba rebah, setelah digerak-gerakkan oleh John Jongos. John Jongospun terkejut, ternyata Si Pemilik Sepatu sudah tidak bernyawa. maksud hati John Jongos ingin meminta bantuan orang-orang yang ada di sekitar masjid, namun niat itu dia urungkan setelah matanya tertuju pada tas hitam yang didekap oleh Si pemilik Sepatu, di atasnya ada sepucuk surat...diambilnya surat itu perlahan-lahan, jantungnya bergetar, tertulis di muka sampul "surat wasiat". Dibukanya surat itu pelan-pelan....meskipun John Jongos tidak bisa menulis tetapi untuk sekedar membaca dia bisa.

"Surat wasiat ini kutujukan kepada anak gembel di depan masjid, dia adalah anak yatim yang tidak ada seorangpun yang memperhatikan dan menyantuni, semoga Allah SWT tidak melaknati orang-orang seluruh Masjid....

Perlu diketahui, bahwa di dalam tas ini ada uang tunai sebesar Rp 500 Juta, memang tidak seberapa dibanding hartaku yang tertinggal di bank-bank. Barang siapa yang menemukan jasadku, tolong sampaikan uang ini untuk dia jangan berkurang sedikitpun setelah dikurangi untuk biaya pemakamanku, bantulah dia untuk mengurus sisa uang dan hartaku di bank-bank, peliharalah dia hingga dia bisa mengelola uangnya sendiri, di dalam tas ini juga telah ku sertakan dokumen-dokumen yang diperlukan, terimakasih...."

Kejadian ini di atas luar biasa untuk ukuran John Jongos, "uang sebesar ini dibilang tidak seberapa? lalu berapa nilai kekayaannya?, ah.....ini dipikir nanti saja, yang penting kuurus dulu mayat ini..."

Tengok kanan kiri John Jongos kebingungan, "Siapa ya yang mau membantuku mengurus pemakamannya?", ah..baiknya aku menyimpan tas ini dulu, siapa tahu setelah ini terbuka fikiranku....

Sepeminum kopi, John Jongos telah menemukan jalan keluar, John Jongos segera menemui Takmir Masjid saat itu juga, sembari berjalan menuju ruang Pengurus Masjid, John Jongos mempersiapkan skenario agar temuan tas yang berisi uang dan surat wasiat tidak diketahui oleh Pengurus masjid......

"Assalamu `alaikum.....", salam John Jongos sambil mengetuk pintu

Terdengar suara sahutan dari dalam ,"Wa alaikumussalaam ...., ee kamu John, ada apa John, tumben kesini, ada perlu apa?"

"Pak Sujak, ada orang meninggal di dalam Masjid!"

"Apa? orang meninggal?"

"Betul Pak Sujak!"

"Inna lillahi wa inna ilaihi ro`jiun....., yuk kita kesana...."

"Mari Pak...saya antar ke tempatnya"

Sejurus kemudian Pak Sujak sudah di depan mayat, "Inna lillahi wa inna ilaihi ro`jiun....., orang baik..."

"ah..mengapa Pak Sujak tahu orang ini orang baik?", gumam John Jongos dalam hati

"John....tolong bantu aku memandikan mayat ini...."

"Bbb..baik Pak,  dibawa kemana mayat ini Pak?"

Pak Sujak tersenyum,"tentunya ke tempat dipan untuk memandikan di belakang itu, belum pernah ketemu mayat ya? kok kelihatan grogi?"

"Iii...iya Pak Sujak, ngomong-ngomong Pak Sujak kok tahu orang ini orang baik?"

"Ya iyalah tahu, dia meninggal di Masjid setelah shalat, beda dengan kamu, di Masjid bukannya shalat malah nyemir, ", jawab Pak Sujak terkekeh. "Kamu ingin kayak orang ini tidak nanti pas meninggal?"

"Mmmm...mau Pak Sujak..."

"Makanya, mulai dari sekarang rajin shalat, kita kan tidak tahu kapan meninggal, jadi shalatlah terus, jangan sampai bolong", John Jongos digelontor ceramah Pak Sujak, sampai-sampai John Jongos tidak sempat bernafas"

"Mulai besok, saya rajin shalat Pak Su...."

"Tidak usah menunggu besok, sebentar lagi kan sudah ashar, kamu harus ada di sebelahku...", tukas Pak Sujak.

"Baik Pak Sujak..."

Selesai memandikan mayat, prosesi selanjutnya adalah mengafani, John Jongos merasa mempunyai tambahan pelajaran hidup yang sangat berharga....

"John..., kamu beruntung, tidak perlu sekolah sudah langsung praktek seperti ini, asal kamu ikhlas mengamalkan, ilmu ini akan sangat berguna bagimu kelak..."

"Terima kasih Pak Sujak, saya dibimbing, entah apa balasannya dari saya untuk bapak yang rela mengajariku..."

"Tidak usah repot-repot, nanti malam kamu pijiti aku ya?", jawab Pak Sujak sambil tersenyum.

Adzan shalat Ashar berkumandang....tandanya waktu shalat Ashar tiba....., ada sekitar dua shaf shalat ashar kali ini, selesai shalat berjamaah Pak Sujak berdiri dan mengumumkan adanya shalat jenazah.

"Diminta kepada para jamaah berkenan untuk menyalati jenazah musafir di sebelah sana itu, untuk pelaksanaan shalat silakan shaf dibuat minimal 3 shaf, terimakasih", Pak Sujak memberi pengumuman secara ringkas padat.

John Jongos dengan sigap menuju keranda untuk membetulkan letak sesuai instruksi Pak Sujak....singkat kata jenazah sudah sampai di kuburan.

Kuburan terletak di belakang Masjid, dan secara kebetulan liang kubur sudah tersedia...

"Liang ini sebenarnya diperuntukkan Pejabat Kota ini yang meninggal kemarin, tetapi karena pihak kepolisian menginginkan jenasahnya untuk diotopsi, maka liang ini belum terisi...."

"Bapak bapak sekali lagi kami mengucapkan terimakasih kepada bapak-bapak yang telah meluangkan waktunya untuk menyalati dan menghantar jenazah, kami sebagai wakil pihak ahli waris seperti biasa, apabila ada di antara bapak-bapak yang mempunyai hubungan dengan almarhum, terutama yang mempunyai ikatan utang piutang, harap diselesaikan atau diikhlaskan, agar tidak menjadi beban bagi almarhum di alam kubur...., acara pemakaman dirasa sudah cukup, saya pribadi mengucapkan banyak-banyak terimakasih, dan mohon maaf atas kekhilafan...wassalamu `alaikum wr wb.", sambutan formal Pak Sujat seperti kaset diputar, mengalir dan lancar.

Mulai hari itu, John Jongos rajin beribadah di Masjid.....namun ada satu masalah  yang mengganjal di hatinya. Tas Hitam berisi uang banyak, belum disentuh sedikitpun. Pada awalnya, dia berencana untuk menyalahgunakan isi tas untuk diri sendiri, "Kapan lagi aku bisa kaya?, ini kesempatan!", bisik hatinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, dan kesadaran yang tumbuh, ditambah tauziah-tauziah dari pak Sujak, membuat dirinya mengurungkan niat jahatnya.

Malam semakin larut

kesunyian merangsek masuk

di pematang relung hati

tergores rasa nyeri

terpatri penyesalan

alpa yang menggurat

menggelepar kejujuran......

 

John Jongos terjaga dari tidur malam, hatinya gundah tak menentu, bayang-bayang amanah yang selalu menghantui, tauziah-tauziah yang menderum, seolah memekak dan mengaduk-aduk isi dada.

John Jongos mengurai kembali kebimbangan yang semakin menjadi, rasa bersalah menahan isi tas amanah dari almarhum, apalagi muncul niat-niat tidak terpuji, membuat dirinya tidak bisa tidur nyenyak. Diambilnya air wudhlu, dibasuhnya muka, sedikit  demi sedikit wajahnya terlepas dari daki-daki dosa yang mengusam. Dibasuhnya lengan tangan, rontoklah kotoran kotoran. Diusap dahi dan daun telinga, terurailah pikiran kusut dan hadirlah kejernihan pendengaran. Kelopak-kelopak jahanam tergerus manakala air wudhlu membasuh kedua mata kaki hingga telapaknya.

Allahu akbar...., begitu tergetar John Jongos melafadzkan takbir, tiada yang lebih besar lebih agung melebihi Dia yang Kuasa atas segala kuasa, dari ujung rambut hingga ujung kaki terasa dan merasakan semua itu. Tidak terlintas sedikitpun bayang-bayang dunia yang selalu dan selalu menyibukkan dirinya. Puncak kenikmatan tanpa tanding, dunia di matanya sirna entah kemana.

Dalam kekhusukan dzikir, tertumpah semua hajat yang tlah lama berkarat, untuk sebuah kerinduan bermunajat, yang tak pernah dia lakukan selama ini. Tak ada lagi hujat, tak ada lagi daki dengki, apalagi mengkufuri.

Keesokan harinya, dengan tekad bulat John Jongos berniat menceritakan semua hal ihwal kejadian kemarin kepada Pak Sujak....

"Assalamu 'alaikum Pak Sujak", salam John Jongos sembari mengetuk pintu.

"wa alaikumussalam wrwb...masuk masuk John, tumben pagi-pagi sekali kesini, ada yang bisa dibantu?"

"Mmm....iya Pak Sujak, berkaitan dengan almarhum kemarin..."

"ya ya...ada apa?"

"Begini...., sewaktu saya mendapati almarhum meninggal, saya mengambil tas ini, dan di dalamnya ada uang dan sepucuk surat wasiat...silakan Pak Sujak baca...."

"Surat Wasiat...Surat wasiat ini kutujukan kepada anak gembel di depan masjid, dia adalah anak yatim yang tidak ada seorangpun yang memperhatikan dan menyantuni, semoga Allah SWT tidak melaknati orang-orang seluruh Masjid.....bla...bla...bla, dan ini uang tunainya John?"

"iya Pak Sujak"

".....banyak sekali, kamu tidak mengambilnya sebelum diserahkan kepadaku John?"

Sambil cengengesan John Jongos menjawab,"Tadinya saya malah ingin mengambil semua Pak Sujak, namun berkat nasihat Pak Sujak kemarin, niat itu saya urungkan".

"Syukurlah kalau begitu, tetapi bagaimanapun kamu sudah terlambat..."

"terlambat bagaimana Pak Sujak?"

"Ya terlambat, memang kamu tidak tahu..jangankan menunda sehari, semenitpun itu kamu telah berbuat dzalim, tapi..ya sudahlah, ini lebih baik daripada kamu tidak menyerahkan ini kepadaku. Selanjutnya tugasmu adalah mencari dan mencari anak itu sampai ketemu. Memangnya kamu pernah melihat anak itu?"

"Sering Pak Sujak, anaknya gembel tapi rajin shalat disini, namun subuh tadi saya tidak melihat dia ada dideretan shaf..."

"yang mana ya?"

"Ah...Pak Sujak, Pak Sujak pasti tidak tahu, karena Pak Sujak tidak pernah memperhatikan orang-orang sepertiku..."

"Tapi sama kamu aku tahu hayo.."

"ya.. itu karena saya sok gaul, sedangkan yang lainnya tidak"

"betul betul kamu John, terus terang aku hanya sibuk di dalam, mengurus masjid..."

"Sudahlah sana cepat cari anak itu, sampai ketemu, dan jangan balik kesini lagi sebelum ketemu, anggap saja itu hukuman atas kelalaianmu..."

"Baik Pak Sujak, tanpa disuruhpun  saya laksanakan, saya merasa berdosa, apabila belum bertemu dan menyerahkan amanah itu, kepada bapak saya hanya minta tolong untuk menjaga tas dan seisinya."

"ya ya, tas ini biar aku simpan, hati-hati ya di jalan...."

"Mohon doanya saja Pak Sujak"

Berhari-hari berbulan-bulan, John Jongos tanpa memperdulian lagi tubuhnya yang kusut bajunya kumal terus mencari anak itu, dari pasar ke pasar, dari kampung ke kampung lainnya, keluar masuk masjid, musholla, hingga tempat kumuh sekalipun dia jalani.

Dengan penuh semangat John  Jongos ingin menyampaikan amanat, secara tidak sengaja menambah energi yang tak pernah habis.

"Cak minta kopinya...."

"Kopi apa Cak?", tanya penjual kopi

"Kopi hitam saja.."

Seteguk kopi melepas dahaga, setelah seharian berikhtiar mencari. John Jongos selalu berusaha memperoleh informasi....

"Cak ...lihat anak gembel lewat atau mampir kesini?"

"Ah..maaf Cak, rasanya aku tidak pernah melihatnya"

Demikianlah, dari hari ke hari, tanpa kenal lelah John Jongos terus mencari hingga pada akhirnya, ditemuilah seorang pemulung...

"Maaf Cak...., apakah melihat anak gembel..."

"anak gembel yang mana Cak?, anak gembel kan banyak..."

"Maksud saya anak gembel yang rajin pergi ke masjid Cak..."

"Bapak saudaranya?"

"Bu bukan....saya hanya dititipi amanat oleh seseorang"

"Mudah-mudahan ini benar....di ujung desa ini ada tempat pembuangan akhir sampah, coba bapak kesana. Disana ada satu gubuk yang dihuni oleh anak gembel....."

"Terimakasih Cak informasinya...."

"Ya sama-sama..."

Berdasar informasi dari pemulung tadi, John Jongos segera melangkahkan kakinya menuju tempat yang ditunjukkan.

Tak seberapa lama, John Jongos segera menemukan tempat dimana anak gembel itu berada, tentunya melalui perjuangan bertanya kesana kemari ekstra keras, karena alamat yang dicari bukanlah tempat-tempat orang gedongan yang dengan nama jalan dan nomor yang jelas, alamat mudah dikenali atau ditemukan, apalagi jika si empunya alamat memiliki nomer HP, tentu akan lebih mudah. John Jongos dengan kerongkongan kering, karena siang ini sinar mentari sungguh kurang bersahabat, sehingga banyak menguras keringat di perjalanan, mengetuk pintu pelan-pelan ...

"Assalamu 'alaikum..."

Terdengar suara parau dari dalam gubuk,"Wa alaikumussalam wrwb....silakan masuk, pintu tidak dikunci Cak..."

"Terimakasih,....", John Jongos sambil langkahkan kaki memasuki ruangan yang hanya ada satu, alias ruang tamu tidak berbeda dengan ruang-ruang lainnya, atau dengan kata lain, gubuk ini hanya satu ruangan. Gubuk ini terbuat dari tempelan-tempelan kardus, kaleng-kaleng bekas yang dipipihkan, dan bahan-bahan bekas lain, untuk sekedar menopang bangunan gubuk, agar tidak roboh atau tersapu angin."Sedang sakit?", sambung pertanyaan John Jongos.

"Ah...hanya batuk-batuk kecil saja...., tidak apa-apa kok", jawab si anak berusaha menutup-nutupi kondisi sebenarnya.

"Kalau berkenan, biarlah aku disini merawat adik...."

"Bukankah Cacak itu yang sering mangkal di masjid seberang?"

"Betul, John...tepatnya John Jongos, yang berprofesi sebagai ahli semir...hehehe", canda John Jongos, sambil mengingat-ingat orang-orang yang usil menjulukinya sebagai ahli semir.

"Aku bukannya menolak kebaikan hati Cak John, aku takut membuat repot Cacak saja, biarlah aku disini sendiri...."

"Dik, karena aku dapat amanah dari seseorang untuk menyerahkan warisan dan merawat adik, jadi aku harus sanggup menerima resiko ini, bukan karena aku pamrih. Terus terang sewaktu aku menerimanya, di dalam hatiku terbersit keinginan untuk mengambilnya...."

"Siapa orang itu Cak?"

"Dia yang terakhir kali memberimu uang ratusan ribu...."

"Ooo...ya..ya, Bapak itu memang beberapa kali memaksa aku untuk menerima pemberiannya, dan beberapa kali pula aku menolak, dan terakhir kali memang pada hari itu aku mau menerima, dan selanjutnya aku berusaha menghindar..."

"Kamu ini aneh, banyak orang ingin harta melimpah tanpa kerja susah payah, sedangkan kamu....kebalikannya, kira-kira apa sih yang menyebabkan kamu seperti itu?"

"Cak John, aku tahu bahwa dengan uang orang dengan mudah tercapai keinginannya, dengan uang orang bisa membeli kehormatan, tetapi Cak John apa tidak tahu bahaya fitnah yang ada di dalamnya?"

"Bahaya fitnah yang bagaimana maksudmu?"

"Pernah Cak John mendengar, orang dibunuh gara-gara berebut uang?, pernah Cak John mendengar, gara-gara uang keluarga berantakan?"

"ya ya...sekarang aku baru tahu, tapi...."

"Tidak ada kata tetapi Cak John uang bagiku bukanlah segala-galanya, apabila orang itu memberikan semua uang itu, silakan ambil semua buat Cak John, dan Cak John tidak usah mendekat  kesini..."

"Kamu marah?"

"Kan sudah kusampaikan alasannya barusan...uang adalah sumber fitnah..."

John Jongos menghela nafas panjang,"Baiklah, aku berjanji ingin selalu bersamamu, merawatmu, tanpa uang itu, biarlah Jongos di belakang namaku kuabadikan dengan tetap denganmu..., selanjutnya aku akan menyerahkan semua harta yang diamanahkan almarhum kepadamu..."

"jadi...jadi....orang itu sudah meninggal?"

"Ya, kejadian sudah lama, hampir satu tahun yang lalu...", jelas John Jongos menerawang kembali masa masa dimana orang itu disuci dan dikuburkan.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un...."

"Jadi sekarang kita harus bagaimana?"

"Baiklah Cak John...., aku bersedia menerima, dan selanjutnya sesuai janji Cak John sendiri ingin menbantuku, kali ini bantulah aku untuk membagi habis harta itu untuk orang-orang yang membutuhkan....", jawab anak gembel itu datar.

"Karena aku harus mengelana mencarimu, harta itu sekarang ada di tangan Pak Sujak, kamu tahu pak Sujak?"

"Ya ya, dia yang mengurus Masjid di seberang sana...."

"Kayaknya hanya dia bisa dipercaya....."

"Ya...kita buktikan saja nanti..."

"Jadi kamu tidak percaya?"

"Bukan begitu...aku hanya menghindar dari mendahului takdir.."

"Oo...ah, bicara denganmu terus terang membuatku makin bodoh saja....hehehe"

 

(bersambung ke episode `Pak Sujak naik Haji...`)

 

 

 

 

(bersambung)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler