Skip to Content

JUNA FONTE

Foto mahyut z.a. dawari

JUNA FONTE

Ken terperangah. Ada rasa jengkel menyeruak dalam dadanya. Celingak-celinguk, ia menatap sekeliling. Tak ada siapa pun melintas. Di tikungan jalan itu hanya mereka berdua. Duh, sosok jangkung itu tengah memelototinya penuh selidik dari balik kacamata hitamnya...

Ken kikuk. Salahnya sendiri. Ia terburu-buru dan naas  insiden kecil itu terjadi. Brakk! Es krim yang tengah diseruput Ken tumpah, mengotori hem putih sosok jangkung itu. Tanpa tersisa. Merasa diri benar, sosok itu meradang, menimpuk semua kesalahan pada Ken.

Sembrono!” tudingnya pada Ken.

Tetapi, Ken merasa diri tidak sepenuhnya bersalah. Sosok jangkung itu juga punya andil sama. Jika mawas diri, insiden kecil di tikungan jalan itu tidak perlu terjadi. Ken melotot, membela diri.

”Salahmu sendiri!” hardik Ken. ”Buang kacamata hitammu, agar tampak apa yang ada di depanmu!”

”Enak saja,” tukiknya, merasa terhina ucapan Ken, ”Kau yang main seruduk seperti banteng liar!”

”Aku? Banteng liar katamu?” Keberatan Ken. ”He, Gajah Mungkur! Jangan sembarang menuduh, ya?” berkacak pinggang, ”Aku berjalan pada ruteku. Kau melanggar jalurkku. Jadi...” menggelantung suara Ken.

”Jadi apa?!” tantangnya, antusias.

”Kamu ditilang!” Ken acuh tak acuh.

Bullshit,” sedikit berteriak, sosok itu memaki dirinya sendiri. Ken mendengar sepotong kalimat itu terucap penuh kekesalan. Peduli teuing, sungut Ken dalam hati.

Ken mendramatisir situasi. Dikitari sosok jangkung itu seperti lakon seorang guru menyelidik siswa yang mengumpat sesuatu dan ketahuan. Sedikit gerutuan ia mendongak, menerka tinggi badannya. Alamak! Aroma parfumnya menggoda penciuman. Sangat maskulin. Ken mencibir.

Tapi, tak dinyana reaksi kontras itu. Lihatlah, sosok jangkung itu terpekik, ”Kau?” Sembari mengucek rambut, ia menatap Ken dengan sorot mata tolol. ”Jangan coba main-main denganku,” gertaknya. Lalu tawanya berderai. Nyaris ngakak.  

Detik menyebalkan. Kening Ken berlipat-lipat. Sontak, ia menggigit bibir. Jalan mulai diramaikan lalu-lalang siswa yang masuk sekolah jam siang. Mereka sesekali mencuri pandang pada sosok jangkung terbahak-bahak itu. Dasar sarap, batin Ken.  

”Baik,” katanya setelah tawanya reda. ”Siang ini kita telah berlaku bodoh.” Ia memberi penekanan pada kata kita. Oh, tidak! Seharusnya, siang ini aku telah berlaku bodoh. Bukan kita. Ken hendak protes. Tapi, ia menyambar; ”Tidak apalah.” Dikernyitkan dahinya sambil melirik jam yang menempel pada pergelangan tangan kirinya.

Matahari berada pada titik kulminasi. Aspal jalan pantulkan cahaya silau. Ken ambil inisiatip, menyingkir ke bawah rindang pohon mahoni pinggir jalan. Sosok jangkung itu mengedikkan bahu, mengekorinya dari belakang. Sedikit manggut-manggut, ia menatap postur Ken yang berbalut busana putih biru.

Ken menelan ludah. Lalu sosok jangkung itu seperti mendapat wangsit. Ia melenggang dengan muka sumringah, meninggalkan Ken dan berpesan; ”Tunggu di sini, ya? Aku akan segera kembali!”

Ken menatap sosok itu berlalu sembari menggigit ujung lidah. Gerak-geriknya menimbulkan sensasi di mata Ken. Jauh di relung hatinya ada semacam perasaan ganjil menyusup. Geletarnya sangat halus. Begitu tiba-tiba. Belum pernah Ken mengalami momen mendebarkan seperti ini. Tidak juga pada Ben, si jago matematika dan fisika di sekolahnya. Ken tak tertarik pada Ben, meski Ben menaruh hati padanya. Ben, di mata Ken, tidak lebih dari teman curhat.  Just a friend! Ken menerawang. 

Seseorang menepuk pada pundak Ken. Secepat kilat ia berbalik.  ”Kau?” lontarnya parau pada sosok jangkung itu.

”Rapi?” Ia meminta pendapat Ken.

Tanpa sungkan, Ken mengangguk.  

”Aku ke toko busana di pertigaan lampu merah itu,” ia menunjuk letak toko itu dengan telunjuknya. ”Siang ini, aku ada pemotretan untuk iklan salah satu produk busana dalam negeri,” urainya. ”Jadi aku harus berangkat dalam keadaan rapi, bukan?”

Jadi dia bintang iklan, debar hati Ken. Di depannya, sosok jangkung itu tersenyum tipis. Seperti tidak terjadi sesuatu, ia ramah. Begitu cepat persoalan silang pendapat itu menguap. Dan Ken sepertinya juga telah memaafkan cekcok kecil itu.   

”Kamu beli baju ganti?” Ken bertanya dengan mimik bersalah.

”Lupakan saja,” ia mengibas tangannya.

Ken mengangkat alis.

”Kita berdamai.” Ia mengangkat telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf ”V”, tinggi-tinggi. ”Aku atau kamu yang menubruk duluan bukan persoalan. Ini baju kotorku tolong kamu cuci. Dan es krim tumpah tadi aku ganti. Impas!”  Dua buah tas, salah satunya  berisi baju kotor dan sekotak es krim, diangsurkan pada Ken. 

Ken tercengang. Bagai orang terkena hipnotis mata Ken ketap-ketip. Seperti kerbau dicucuk hidung, Ken manut, menerima suguhan itu dengan perasaan nunut. Padahal, dalam benak Ken ada sepotong kalimat penolakan. Tapi ironis, Ken tak mampu mengutarakannya. Nyaris tak ada gerakan sekecil apa pun. Hanya diam, memandang sosok jangkung itu berlalu, naik  taksi dan melambai ke arahnya.

Ken mengucek mata. Apa yang terjadi padanya hanyalah sebuah peristiwa biasa dalam keseharian. Saling tabrak, bersitegang urat leher, lalu meminta maaf dan saling melupakan. Lumrah. Nyaris setiap orang pernah mengalaminya dalam hidup. Tapi, hati Ken ditimbuni beban.

Dan kini, Ken dihadapkan pada sebuah kenyataan. Selembar baju kotor, bukan sesuatu yang istimewa,  yang harus disimpannya karena ada nilai lebih harus dikenang. Jika pun hendak dikembalikan pada empunya di manakah alamatnya? Tragis, mereka tidak sempat berkenalan.

Barangkali, Ken harus melupakan sosok jangkung itu. Karena, bukankah dengan demikian semuanya akan beralur normal? Perkenalan dalam tenggat itu hanya sebuah kebetulan belaka. Apa sulitnya melupakan sebuah peristiwa tanpa sengaja? Ken mencoba rileks, melangkah ringan. Pulang membawa selembar baju kotor dan sekotak es krim.

Pada Mbok Itok, Ken menyerahkan urusan selembar baju kotor itu. Sedikit cerewet ia memberi mandat. Hem itu harus dicuci bersih, diseterika rapi dan harus wangi. Ingat, harus wangi, ucap Ken berulang-ulang. Nyaris tanpa jeda. Mbok Itok menatap Ken dengan jidat berkerut. Bingung. Tapi, Ken  mengabaikannya. Ia menuju kulkas. Di dalam freezer ia meletakkan sekotak es krim.

Mbok,” Ken berbalik. Pintu kulkas telah ditutupnya kembali. ”Jangan sampai Mama dan Papa tahu, ya?” kata Ken, memohon.

Lho?!” Mbok Itok melongo.  

Ken menghampiri Mbok Itok. ”Pokoknya rahasia. Masalah pribadi,” bisik Ken di telinga orang tua itu. Hah! Mata Mbok Itok menyipit. Ken gemas. Sedikit manja, ditowelnya pipi Mbok Itok yang mengeriput. ”Ingat, ini rahasia kita berdua,” bisik Ken lagi. Diajak berkolusi meledaklah tawa Mbok Itok. Sampai berair-air matanya. Ken tersentuh. Dipeluknya Mbok Itok haru.

Sebagai anak semata wayang, Ken adalah tumpuan kasih sayang dalam keluarganya. Mbok Itok telah mengabdikan diri pada keluarga itu jauh sebelum Ken lahir. Pada Mbok Itok Ken merasa begitu dekat. Tidak ada sekat di antara mereka berdua. Mbok Itok telah dianggap sebagai bagian dari keluarga Ken sendiri. Jadi, mustahil Mbok Itok membeberkan masalah hem kotor itu pada Mama dan Papa, simpul hati Ken mantap. Tanpa beban, Ken melangkah, masuk kamar tidur hendak istirahat siang.

”Non.” Lamat-lamat, terdengar suara Mbok Itok, mengetuk pintu. Kantuk Ken menguap. Khawatir terjadi sesuatu pada hem itu, Ken melonjak. Duduk di bibir tempat tidur. Tanpa membuang waktu ia menghambur. Di ambang pintu, Mbok Itok tersenyum menyambutnya.

”Ada apa, Mbok?” tanya Ken, penasaran.

Mbok Itok menyodorkan sesuatu pada Ken. Mata Ken melebar. Tuhanku, pekik Ken. Tanpa sadar kata itu meloncat dari bibirnya. Di tangan Ken ada kartu kredit atas nama Juna Fonte dan selembar kartu nama sebuah studio pemotretan. LIBI nama studio itu. Lengkap alamat dan nomor teleponnya.   

”Itu Mbok dapatkan di saku baju yang Non berikan tadi,” suara Mbok Itok membuyarkan keterpanaan Ken.

Ken mengangguk. ”Terima kasih, Mbok,” katanya sambil menutup daun pintu.

Mbok Itok menarik napas. Dadanya sedikit membusung sebelum napas itu dihempaskan kembali. Sambil menggelengkan kepala ia kembali ke pekerjaannya.

Di atas tempat tidur, siang itu, Ken diterkam resah. Sedetik pun ia tidak dapat memicingkan mata. Tiba-tiba dirasakannya pikirannya begitu rewel. Tak ada keinginan untuk mandi. Apalagi gosok gigi. Seharian ia berkutat di kamar.

Ketika jam makan malam tiba, Ken tidak muncul di meja makan. Berkali-kali Mbok Itok menyusul Ken ke kamarnya. Tapi, Ken bergeming. Kenyang, itu alasannya. Padahal, sepengetahuan Mbok Itok, Ken belum makan sejak pulang sekolah. Di meja makan, Papa dan Mama bersitatap.  

”Ken mulai tertarik pada lawan jenisnya,” duga Papa sambil lalu. 

Mama menghentikan kunyahannya, ”Kata siapa?”

”Mama kayak tidak pernah muda saja,” usik Papa. ”Jatuh cinta membuat orang kehilangan selera makan. Tidur gelisah, dan ...”

Ah, Papa,” potong Mama. ”Sudah, deh, jangan meledek!”

”Tidak!” bantah Papa sembari melirik Mama. ”Semua orang  mengalami ketertarikan pada lawan jenis. Sangat manusiawi jika itu terjadi pada Ken.”

”Tapi, Ken masih kecil, Pa,” bantah Mama.

”Umur Ken empat belas. Sudah kelas tiga SMP,” Papa mengingatkan. ”Ken memasuki masa puber!”

Mama menyeruput air minum. Lalu menyudahi makan malamnya. Demikian juga Papa. Tanpa komentar, mereka beranjak ke kamar Ken. Tapi, kamar Ken terkunci. Mama mengetuk pintu dan memanggil-manggil  nama Ken.

”Ken ngantuk, Ma,” jawab Ken. Terdengar Ken menguap. Papa dan Mama saling menatap. Sambil mengangkat bahu, mereka berlalu menuju ruang keluarga. Di sana, mereka melepas lelah sembari menonton acara televisi.

Sesungguhnya, Ken mengantuk. Tapi, jalan pikirannya masih menerawang pada kejadian siang tadi. Ada kesan manis yang terbersit dibenaknya mengingat peristiwa itu. Senyum di bibir Ken tersungging. Aroma parfum sosok jangkung itu seperti hadir lagi, menusuk penciuman Ken.  Khayal Ken melambung ke awang-awang, menggapai langit mimpi. Selembar baju telah diseterika rapi oleh Mbok Itok, kartu kredit atas nama Juna Fonte, dan kartu nama Studio LIBI, perlahan menjauh dari ingatan Ken. Mata Ken mengatup rapat. Terlelap dalam tidur. 

Pada Jona, teman sebangkunya, Ken bercerita. Lengkap dengan detailnya. Jona antusias pada cerita Ken. Dalam sekejap, Jona tersihir. Di atas rumput, di bawah pohon mahoni depan sekolah, mereka selonjor kaki. Sebungkus kripik kentang dan dua gelas air meneral menemani mereka bercerita. Seru!

”Namanya Juna Fonte,” urai Ken. ”Nama itu aku tahu dari kartu kredit yang tertinggal di saku bajunya.”

Mamamia,” pekik Jona tertahan. ”Namanya Juna?” Jona mendekap mulut sendiri.

Ken mengangguk. ”Model iklan!”

”Keren!” Jona histeris. ”Andai dia pacarku. Serasi benar nama kami. Jona-Juna atau Juna-Jona sama manis kedengarannya. Boleh aku kenalan?” rajuknya.

Ken mendelik. ”Dasar mata keranjang. Kulapor Dion tahu rasa kamu!”

”Siapa takut?” tantang Jona. ”Asal Juna berpaling padaku.”

Lalu tawa mereka meledak. Jam istirahat terasa begitu singkat. Cerita Ken belum tuntas. Jona penasaran. Di kelas, Jona berbisik, minta diajak menunggu Juna di tikungan jalan, tempat kejadian kemarin.

Ken mengiyakan. Selepas sekolah, Jona  menghadiahi Ken es krim karena Ken bersedia mengajaknya ke TKP. Tampak Jona, si temperamental itu berseri-seri mukanya menjejeri langkah Ken.

Juna tidak muncul siang itu. Ken gelisah. Jona menatapnya dengan sorot mata protes. Penantian sia-sia. Setengah jam berlalu. Setelah berkali-kali mondar-mandir, Jona, akhirnya mengajukan ide.

”Bagaimana kalau kita susul ke Studio LIBI?” usulnya.

Ken berpikir. ”Jangan!” cegahnya. ”Kita telepon dari sini saja. Siapa tahu dia tak di sana.”

”Bagus. Kenapa tidak dari tadi kau ambil kesimpulan?” gerutu Jona. 

Ken diam, tidak meladeni gerutuan Jona.

Dari telepon genggamnya, Ken memencet nomor telepon Studio LIBI. Di ujung telepon, merdu terdengar; Nomor yang Anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi. Ken mendongkol.

”Sibuk. Tidak bisa dihubungi,” lapor Ken pada Jona.

”Coba lagi. Siapa tahu bisa masuk!” pinta Jona, tak sabaran.

Tak ada pilihan lain. Ken mendial lagi. Jona melihat sekilas perubahan air muka Ken. Kisruh. Dalam hati, Jona merasa iba pada Ken. Kasihan Ken.  Sepintas, Jona memerhatikan tangan Ken berkeringat.     

”Tersambung!” Suara Ken bergairah. Mereka berpandangan, lalu sama-sama tersenyum. ”Kemarilah,” panggil Ken, menyuruh Jona mendekat.

”Hallo. Selamat siang. Dengan Studio LIBI. Ada yang bisa saya bantu?”  Suara perempuan.

Ken menelan ludah. Keningnya berkeringat. Ken kehilangan basa-basi. Di sampingnya, Jona melotot, menyikutnya dengan ujung siku.

”Hal...lo...” Ken tergagap. Sorot mata Jona meredup.

”Ada yang bisa saya bantu?” perempuan itu lagi.

”Ya!” Ken menggenggam tangan Jona, meminta dukungannya. ”Saya Ken. Maaf, bisa saya  bicara dengan Juna Fonte. Ada sesuatu yang harus saya sampaikan.”  Akhirnya, suara Ken mengalir tanpa kendala.

”Dari siapa? Mohon diulang,” pinta perempuan itu di ujung telepon.

”Ken. Kenia Molek!” jawab Ken. Di sampingnya, Jona mengangguk-angguk sambil menggigit bibir.

”Maaf. Sekarang Juna tidak bisa diganggu. Masih ada pemotretan. Tiga puluh menit lagi break. Kalau ada yang perlu disampaikan sebaiknya ke studio saja!” Klik. Telepon ditutup.

Terkejut. Etika bisnis, batin Ken. Berbicara to the point, ringkas, padat, dan jelas, adalah  jargon  dunia bisnis itu. Ken mencoba rileks, melupakan nada ketus perempuan di ujung telepon tadi.

”Kita disuruh menemui Juna di studio,” datar suara Ken.

Yess!!” Jona mengepal tinjunya ke udara. ”Kita berangkat sekarang, Ken.” 

Ken ragu mengambil keputusan. Perasaannya menolak usulan Jona. Tapi, Ken tidak mampu berkutik ketika Jona menyetop taksi. Pada sopir taksi, Jona menyebut alamat Studio LIBI yang diperolehnya dari Ken.

Kegelisahan Ken memuncak. Taksi memasuki areal parkir Studio LIBI pada lima belas menit kemudian. Turun dari taksi, Jona menangkap gelagat Ken. Nervous. Wajah Ken pias. Tampak juga oleh Jona bibir Ken gemetar.

”Rileks,” bisik Jona menguatkan nyali Ken. Tangan Ken diapitnya menuju pos satpam. Dua menit berbasa-basi dengan satpam, Ken dan Jona disuruh masuk ke studio. Di ruang tunggu mereka disambut ramah oleh seorang perempuan.

”Ken. Kenia Molek,” tebak perempuan itu pada Jona.

”Bukan, Mbak,” Jona menggeleng. ”Saya Jona. Teman saya ini, yang bernama Ken!”

Perempuan itu melontar senyum. ”Intan,” ia memperkenalkan diri sambil menjabat erat tangan Jona dan Ken. ”Sepuluh menit lagi Juna break. Silahkan,” Intan mempersilahkan Ken dan Jona duduk di ruang tunggu. 

Ternyata, perempuan itu tidak seketus yang aku duga, usik batin Ken. Keramahannya mampu mengusir rasa yang menekan ulu hatinya secara perlahan. Jona tersenyum. Lega melihat perubahan air muka Ken.

Sepuluh menit berlalu. Langkah-langkah kaki terdengar riuh rendah. Hati Ken kembali ciut. Puluhan model, kebanyakan perempuan, menyeruak di ruang tunggu. Para penata rias dan juru foto membaur. Hati Ken seperti diremas, kecut. Ingin rasanya pergi dari tengah mereka. Persetan dengan perasaan hatinya pada Juna. Akan tetapi...

”Juna,” itu suara Intan. ”Ada yang mencarimu!”

”Siapa?” Suara asing itu menusuk pendengaran Ken.  Secepat kilat ia berbalik. Jantung Ken berdetak cepat, memukul-mukul rongga dadanya begitu dahsyat. Seorang model jelita melangkah ke arah Ken. Menjabat tangannya, lalu, tangan Jona sambil menyebut namanya dengan komplit. Juna Fonte.

Mata Ken berkaca-kaca. Hatinya remuk. Model jelita itu, Juna Fonte, segera  menangkap kegelisahan Ken. Pasti ada sesuatu yang hendak disampaikan padaku, pikir Juna. Pada Intan, ia minta dipanggilkan taksi.

”Kita bicara di luar saja, okey?” Juna meminta persetujuan Ken dan Jona.

Ken bimbang. Semua keyakinannya seakan hilang. Ditatapnya Jona dengan sorot mata kosong. Jona mengerjap.

”Kita berangkat,” ajak Juna, siap-siap. ”Taksi sudah datang!”

Jona menggamit tangan Ken. Berdua mereka mengekor di belakang Juna. Di atas taksi, Juna duduk di jok depan. Ken dan Jona di jok belakang. Membisu.

Hati Ken sepertinya menguap dari rongganya. Taksi memasuki kantor... polisi!

”Jangan takut,” Juna tersenyum. ”Kamu pasti berkepentingan dengan seseorang yang kita kunjungi ini.” Juna turun dan membayar argo.

Juna tersenyum manis sembari merengkuh pundak Ken dan Jona. Mereka berjalan memasuki ruang reserse. ”Semua yang berkepentingan dengan Juna Fonte, akan memberatkan dia,” kata Juna pada Ken dan Jona.

Ken dan Jona bersitatap. Tak paham maksud Juna.

Seorang polisi menyambut kedatangan mereka. Pada Ken, Juna berpesan agar ia dan Jona menyampaikan informasi dengan jujur pada polisi. Keterangan Ken dan Jona sangat bermanfaat untuk penyelidikan selanjutnya, imbuh Juna panjang lebar.

Ken terperangah. Polisi membawa sosok jangkung itu ke ruang periksa. Dari balik meja, sosok jangkung itu menatap Ken dengan sorot mata redup. Kedua tangannya diborgol. Tampak ia sangat menderita. Ken tak tahan melihatnya.

Ken ingin berlalu. Ia tak tahan melihat sosok jangkung itu menderita. Lalu, pada polisi, Ken mengungkapkan detail kejadian perkara kartu kredit yang ditemukan Mbok Itok dalam saku hem sosok jangkung itu. Tersendat-sendat Ken menguarkan kata. Usai memberi kesaksian Juna menjabat tangan Ken dan Jona.

”Bino,” kata Juna, ”Dia pacarku. Sampai sekarang aku masih sayang padanya. Tapi dia jahat. Kartu kredit atas namaku semua dijebolnya. Aku ingin menghukum...”

Jona terperenyak. Ken tersengat. Kalimat Juna seperti pedang menebas leher mereka. Tajam, hingga tak sadar terluka.

 

****

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler