Skip to Content

Kakek dan Kakek

Foto Hakimi Sarlan Rasyid
files/user/8241/21231597_1445724912175403_6176389501896831844_n.jpg
21231597_1445724912175403_6176389501896831844_n.jpg

Pagi itu sebelum sampai Parangtritis, disebuah rumah yang menjual penganan di depannya, kami berhenti. Maksudnya akan membeli makanan untuk sarapan. Entah apa nama makanannya aku tidak tahu. Yang aku ingat ada nasi dalam bungkusan kecil. Ketika dibuka dipantai baru aku tahu nasi itu dicampur dengan irisan tempe goreng dan bihun warna coklat, mungki karena dimasak kecap. Kami beli 4 bungkus berempat.Selain bungkusan nasi kami juga membeli penganan lainnya.

Menuju ke pantai sambil ngobrol aku sudah mendahului makan goreng pisang, bala-bala, dan air hangat yang kami bawa dari rumah menjadi penghanyut makanan melewati tenggorokan sampai ke perutku yang sedang lapar-laparnya.

Parangtritis. Ini kedatanganku yang kedua kalinya. Sama dengan kedatangan pertama aku merasa ada magnet yang menarikku untuk menoleh ke kiri. Nun jauh disana ada dinding curam. Pepohonan yang ada tidak menutup dinding itu dari pandangan.Lalu aku lepaskan pandangan ke laut lepas dengan ombaknya yang mendebarkan dadaku.

Ketika pandanganku kembali ke dinding gunung, tak jauh dariku sudah berdiri kakek ini. Aku tidak mengatakan bahwa kakek ini tiba-tiba ada, pasti sejak tadi sudah melangkah kea rah kami hanya luput dari perhatian kaerna fokus ke dinding pantai. Setelah tingkatnya berpindah ke kiri, dkempit pakai ketiak karena di jemarinya ada rokok. ia menunduk

memungut sebuah plastik berisi makanan sisa.

Gerakannya memungut kemudian mengambil isinya kemudian menyuapkannya dan mengunyahnya sangat lambat. Ia tampak sangat menikmati situasi.

Aku jadi teringat teater kabuki Jepang.

Aku bermain dua alur. Artinya, meski perhatianku terpusat kepada kakek ini, aku tetap bercanda dengan anakku, menantuku, dan istriku.

Payung sewaan terpasang dan sudah bertikar. Diatasnya ada makanan yang kami beli tadi. Aku mengambil sebungkus nasi, sebungkus air teh dalam plastik.Dia menerima pemberianku dengan wajah menunduk lalu melepas pandangan ke laut. Kubiarkan dia makan. Setelah minum kusodori rokok dua tiga empat. Ia menerima. Rokok sangat pendek yang masih ada dijepitan jari tangan kirinya –dan padam- tidak dibuangnya. Ia menyelipkannya di kuping. Agak susah karena ia memakai ikat kepala yang ujung lipatannya menyentuh kupingnya dan karena rambutnya.

Ia menancapkan tongkat lalu duduk. Tadinya aku akan duduk juga tapi kubatalkan karena pasir pantai masih basah. Jadi aku jongkok saja.

Barulah obrolan kubuka. Dari obrolan aku tahu dia berasal dari sebuah tempat di Jogja, nama tempatnya aku lupa. Dia tidak tahu sampai kapan akan berada disekitar pantai itu. Jika malam tiba ia masuk ke salah satu gua yang ada di dinding tebing pantai. Aku memberi kode kepada anakku untuk memotret kami.

Setelah difoto aku mengajaknya bergerak ke arah barat. Pantai mulai ramai. Aku tak perhatikan apakah ada yang melihat kami melenggang.

Di titik yang pas di hati aku mengambil tongkatnya dari tangannya dan kutancapkan. Kali ini aku yang mendahului bersila dan ia ikut bersila. Lutut kami hampir beradu.

Karena obrolan “tidak tembus” aku permisi untuk kembali ke tempat tadi. Aku berdiri dia berdiri dan kami berpisah, aku ke timur dia ke barat. Perhatianku kepadanya putus.

Sudah agak siang. Kami sudah agak lelah bermain. Berbasah-basah dengan ombak. Semua, istri, anak dan menantuku. Kami memutuskan untuk pulang. Selesai urusan sewa payung, sewa tikar, kami ke tempat parkir mobil.

Nasi bungkus yang tadi kami beli tidak termakan semua.

“sayang kalau dibuang ya”

“jangan dibuang .. jika nasi dan kue-kue ini ditakdirkan untuk kakek tadi maka kita akan ketemu dalam perjalanan keluar pantai ini.

Mobil bergerak, maju, belok kanan, lurus, belok kiri, belok kanan. Begitu seterusnya sampai sang sopir bicara :

“lho kita ini kemana ya..”

‘bukannya ke kanan “

:ya biasanya ke sini’kan”

Maju lagi. Kanan, kiri, kiri, kanan.

“Coba berhenti dulu, tanya ke warung itu arahnya harus kemana”

Mobil berhenti, pintu dibuka, dan apa yang terjadi.

Kakek tadi berada tidak lebih dari 2 meter, berdiri, acuh.

Dan makananpun kami berikan semua.

“kita tadi bolak balik rasanya tidak melihat kakek itu tadi ‘kan”

“iya … darimana datangnya …”

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler