Skip to Content

KETIKA ITU AKU TAK TAKUT MALAIKAT MAUT

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

KETIKA ITU AKU TAK TAKUT MALAIKAT MAUT

 

Pagi itu aku ke sekolah anakku. Sekolah Menengah Atas. Sehari sebelumnya anakku pulang membawa pesan dari kepala sekolahnya agar aku datang untuk suatu keperluan. Anak perempuanku, satu-satunya, menyembunyikan perasaannya berkata bahwa ia tidak mendapat kartu peserta ulangan kenaikan kelas. O ya waktu itu anakku baru kelas II.

Kau tahu apa artinya anak? Oh, bagiku itu adalah segalanya. Sejuta butir mutiara kau persembahkan kepadaku untuk ditukar dengan anakku, daripada aku menerima rasanya kau yang akan menerima dua atau tiga jotosan dariku. Demikianlah. Aku merasa ia menyembunyikan perasaannya dibalik suaranya yang manja.

“Pak, besok Bapak harus ke sekolah kata Bapak Kepala Sekolah. Katanya ada keperluan,” begitu katanya dari pintu kantor sekolah tempatku mengajar.

“Pukul berapa Nak?” tanyaku. Tentu saja aku bicara dengan ceria. Aku tahu, aku dipanggil karena sudah tiga bulan aku tidak membayar uang SPP. Pasti keperluannya tentang uang SPP.

“Mmmm, pukul delapan …,” jawab anakku, masih di pintu.

Ada rasa menusuk dalam dadaku sebelah kiri. Sakit terasa. Tapi aku tak boleh tampak sakit. Karena aku sudah tahu masalahnya maka aku senyum samba menghampirinya di pintu.

“Seperti biasa ya, kau belum menerima kartu peserta ulangan umum….” tanyaku setengah berbisik.

Anakku menunduk dan tertawa kecil, “Hehe .. ya Pak.”

“Dan… seperti biasa kau pasti bisa ikut ulangan, jangan khawatir,” kataku tegas.

“Oke…” kataku.

“Ya…” jawabnya pendek.

“Sekarang kau pulang, makan, nanti kita bicara lagi, ya …” kataku.

Anakku berbalik, berjalan menuruni tangga. Aku melihat satu demi satu langkahnya sampai di belokan anak tangga terakhir. Aku kembali ke pekerjaanku membantu kepala sekolah mengisi Daftar I.

Sakit di dada kirimu mereda, tidak lama malah berganti dengan degup kencang. Namun kemudian mereda seiring dengan perubahan emosiku. Sakit dadaku karena aku berpikir jauh. Di negeri sendiri, aku guru. Aku punya anak. Anakku harus dipanggil oleh kepala sekolah. Aku lebur dalam rasa malu anakku. Dadaku berdegup kencang karena aku ingin segera mendaratkan tinjuku di wajah kepala sekolah. Biar mengucur kecap dari hidungnya. Dan jagat Karawang bahkan mungkin jagat Indonesia akan geger. Lalu degup jantungku reda lagi karena aku menertawakan kebodohanku. Apa untungnya jika aku mengambil sikap demikian. Bukanlah menerima kenyataan adalah hal terbaik yang bisa kuambil? Dan sambil bersiul perlahan aku menyelesaikan pekerjaanku.

Seperti yang kujanjikan bahwa aku akan bicara lagi dengan anakku maka malam harinya kami bicara lagi dengan kesimpulan bahwa semuanya akan beres.

Jumat pagi pukul delapan aku sudah sampai di kantor tata usaha sekolah. Dari guru yang menemuiku aku mendapat keterangan bahwa aku harus masuk ke ruang kantor kepala sekolah. Dan katanya yang lain sudah berkumpul disana. Oh, ternyata bukan aku sendiri yang dipanggil. Aku menuju ruang kantor kepala sekolah. Dari pintu yang terbuka aku melihat ada dua orang yang duduk di kursi tamu. Dari belakang aku tidak mengenali mereka tapi begitu kami bertatapan maka meledaklah tawaku. Hahahaha, yang sudah lebih dulu ternyata keduanya dalah guru juga, hahahahaa. Nasib mempertemukan kami di ruangan ini dengan masalah yang sama. Kedua guru itu adalah teman dekatku. Jadi aku tak ragu lagi buka suara.

“Berapa bulan…” Tanya kepada Pak T.

“Lima … “ jawabnya.

Aku tertawa lagi, sungguh terbahak-bahak. Benar tawaku tidak mengenal tempat. Itu adalah ruang kepala sekolah SMA, Negeri lagi. Satu-satunya di kecamatan Cikampek.

Aku menatap wajah temanku yang seorang lagi, Pak R. Pertanyaanku sama.

“Berapa bulan …..?

“Empat … ,” jawabnya.

Kali ini aku tidak tertawa.

“Lima, empat, dan tiga,” kataku sambil menunjuk dadaku.

Sekarang mereka berdua yang tertawa. Sama. Terbahak-bahak. Entah perasaan apa yang membuat kami tertawa. Sebenarnya kami tak pantas tertawa. Bukankah kami akan menghadapi “sesuatu”? mungki karena hukum perkalian minus kali minus menjadi plus. Sedih berkumpul dengan yang sedih jadi gembira. Demikianlah kami mengobrol dengan kesimpulan bahwa nanti yang akan bicara adalah aku. Mereka teman dekatku dan kenal bahwa aku tukang ngomong.

Lebih kurang sepuluh menit bapak kepala sekolah datang. Aku berdiri, diikuti oleh kedua temanku. Aku mengucapkan selamat pagi. Apa yang terjadi? Ucapan selamat pagi tidak dijawab. Wajahnya sangat masam. Bapak kepala meletakkan tasnya di meja, lalu duduk di kursi dan melihat ke arah kami. Aku tidak bicara dan tidak akan bicara bila belum ditanya. Hahaha, tampaknya beliau bosan melihat wajah-wajah melarat di depan matanya. Akhirnya beliau bicara.

“Apakah bapak-bapak sudah tahu mengapa dipanggil hari ini?”

“Tahu Pak,” jawabku sambil tidak lepas menatap matanya. Dalam hati aku berpikir. Inilah saatnya perang. Seberapa kuat ia bisa menatap mataku.

“Lalu bagaimana, apakah bisa melunasi sekarang,” dia bertanya lagi sambil mengambilberkas dan akanmembukanya.

“Maaf Pak,” kataku, Bapak tak usah membuka catatan itu, biar saya jelaskan dulu. sekali lagi mohon maaf Pak, saya mewakili teman saya bicara.”aku melanjutkan. “Ini teman saya Pak namanya Pak T, tunggakannya lima bulan, ini Pak R, tunggakannya empat bulan, dan saya Hakimi Pak, tunggakan saya tiga bulan. Nah sekarang silakan Bapak buka, cocok tidak. Tapi nanti saja membukanya. Izinkan saya melanjutkan.”

Kami mohon maaf karena terlambat datang. Kami berangkat bersama kesini karena kebetulam masalah kami sama. Tadi malam kami berjanji untuk datang bersama-sama. Kami rencanakan pukul tujuh kami sudah sampai. Tapi ada halangan. Saya bertengkar dengan seseorang. Terpaksa saya bentak orang itu itu. Saya sangat tersinggung dengan perlakuannya terhadap kami bertiga. Kami ini guru Pak tapi bukan guru yang kaya apalagi kaya raya. Kami punya rasa harga diri. Sekian saja pak yang ingin saya sampaikan.

Sepi sejenak. Bapak kepala memandangku dan aku tidak melepas pandanganku kepada beliau. Lalu terdengar suara lunak beliau.

“Anak bapak kelas berapa, dan bapak berdua anaknya kelas berapa?”

Pagi yang gerah. Ruangan kantor kepala sekolah sudah panas oleh sengatan matahari pagi lewat jendela berhordeng putih tipis. Kami pulang, Dari gedung ke tepi jalan lumayan untuk berjalan. Kedua temanku ikut bernyanyi perlahan…”gelang si paku gelang…gelang sirama-rama .. pulang marilah pulang .. “ aku diam , temanku melanjutkan “marilah pulang bersama-sama…”

Lalu aku melanjutkan sendiri baris terakhir dengan lirik…”tanda peserta terpegang sudah”…..

Pak T pulang naik beca (aku agak lupa) tapi dengan Pak R kami sama berjalan kaki karena tempat tinggal kami dekat. Pak T sempat bertanya,”Pak Hakimi kita bertengkar dengan siapa tadi. Kok tadi bercerita pertengkaran.”

Hahahahah … itu kan hanya cerita.

Senin pagi aku melihat betapa cerahnya wajah anakku ketika tanda peserta itu telah terpegang olehnya. Aku berbalik membelakanginya, menyembunyikan mataku yang basah.

Untuk anak hanya malaikat maut yang tak akan aku lawan. Aku pasti kalah. Yang lain nanti dulu. Mari kita ukur dulu.

Kalian sekarang sudah mendunia anakku. Jadilah warga Negara dunia dengan tidak melepas keindonesiaanmu.

MEKARLAH ENGKAU WAHAI KESUMA SEMOGA MENJADI SUMPING NEGARA.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler