Skip to Content

KORAN

Foto Chieko Maylani

Minggu pagi

Matahari baru saja turun dari petidurannya. Jalanan ramai, namun tidak padat seperti pada hari-hari kerja. Lapangan bundar di tengah empat persimpangan jalan itu mulai didatangi orang. Rumput basah sisa hujan semalaman diinjak beraneka ragam kaki. Ada yang kesana untuk berolah raga. Ada yang kesana untuk relaksasi. Ada yang kesana untuk mencari kenalan. Ada yang kesana untuk berkencan. Ada yang kesana untuk mengisi perut. Ada juga yang kesana untuk mencari peluang kenalan bisnis.

Lapangan bundar itu sangatlah luas dan besar. Kira-kira ada tiga kali lapangan sepak bola luasnya. Ukuran tepatnya adalah 33.546 m2. Lapangan berumput itu dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Ada juga pohon besar di bagian tengah-tengah lapangan, namun tidaklah banyak. Di keempat mata anginnya, terdapat balok semen tempat orang bisa duduk melepas lelah. Di sudut kanan luar lapangan, terdapat banyak gerobak penjual makanan tradisional tempat orang mengisi perut; mulai dari panganan pokok seperti bubur ayam, soto, mie, bakso, sampai panganan camilan seperti batagor, gorengan, wedang dan lain-lain.

Matahari mulai meninggi, aktivitas semakin meningkat. Pejoging mulai memenuhi lapangan. Dan penikmat makanan mulai ramai mengelilingi penjual. Suara riuh mulai terdengar. Burung berkicau menimpali keriuhan, seolah tak mau kalah memeriahkan suasana. Tiba-tiba dari arah tengah lapangan terdengar jerit kengerian seseorang. Gaduh, orang-orang bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Mereka yang sigap langsung lari menuju arah sumber suara sambil dipenuhi rasa ingin tahu. Mereka yang takut, memilih diam meringkuk di tempat masing-masing. Mereka yang bimbang, lari perlahan-lahan sambil mencari teman.

Tibalah kerumunan pertama di tempat sumber suara. Seorang wanita sedang berjongkok, menangis tersedu-sedu sambil memegangi perutnya. Di balik wanita ini ada sebatang pohon beringin besar yang sudah tua umurnya. Orang bertanya pada wanita ini, “Ada apa, Mbak?” Namun wanita ini membisu. Lidahnya kelu. Giginya bergemeletuk. Pundaknya bergetar. Lantas hanya tangannya saja yang berbicara. Diangkatnya tangan kanannya, dan dengan jarinya ia menunjuk ke belakang, ke arah atas pohon beringin. Orang-orang mendongakkan kepala mereka, mengikuti arah tangan wanita itu. Lalu tercenganglah mereka. Sebagian lalu mengeluarkan pekik tertahan. Sebagian menutupi mulut mereka dengan tangan. Sebagiannya lagi memalingkan muka, tak kuasa melihat pemandangan mengerikan yang terpampang di depan mata mereka.

Di atas pohon beringin itu. Seorang pria paruh baya dengan badan agak bulat, kulit coklat kehitaman. Kedua tangan dan kakinya masing-masing menggantung di keempat cabang pohon beringin yang berseberangan. Posisi badannya telungkup. Mukanya menghadap ke bawah. Kedua matanya tampak melotot menyeramkan. Kaca mata yang dikenakannya sudah turun menggeleyot di hidungnya. Mulutnya terbuka, memperlihatkan barisan gigi atas yang sudah tanggal beberapa. Darah mengucur dari mulutnya. Juga dari hidung dan pelipis kepala. Rambutnya yang hitam telah basah oleh darah. Dan bagian yang paling mengerikan, usus yang terburai keluar dari perut yang dibelah terbuka. Darah dari bagian ini yang paling deras mengucur, memberikan warna berbeda pada lapangan rumput di bawahnya. Genangan kecil dari darah pun segera saja terbentuk. Mayat ini tidak mengenakan kain apapun selain sarung yang melekat erat di kulit perut dan pahanya karena darah.

Orang-orang merasa ngeri dengan pemandangan yang dilihatnya. Kerumunan yang kedua sudah tiba. Mereka terbelalak, tak mampu berucap. Sontak, kengerian meliputi semua yang menjadi saksi peristiwa itu. Tak butuh waktu lama bagi kaum wanita dan beberapa pria untuk mulai merasakan kejang di perut bawah mereka. Ditambahi bau anyir yang tajam, beberapa orang memilih menyingkir dan mencari tempat untuk mengeluarkan isi perut mereka yang naik ke tenggorokan. Kepanikan menyebar. Orang-orang mulai ricuh. Para penjual makanan bergegas meninggalkan gerobak mereka,menuju ke tempat kejadian perkara. Teriakan menggema di sana-sini. Yang seperti ini belum pernah terjadi, dan belum pernah mereka lihat secara langsung.

Kira-kira dua puluh menit sejak ditemukannya mayat, sebuah mobil petugas keamanan tampak memasuki area lapangan. Mobil diparkir di garis jalan, menutupi gerobak para penjual makanan. Seorang pria keluar. Usianya kira-kira 35 tahun, pria, kelimis dan necis. Ia berjalan tenang menuju pohon beringin yang ramai dikerumuni orang. Kacamata hitamnya diturunkan dan dilipat ke dalam kantung bajunya. Lalu ia berhenti tepat di bawahnya. Kepalanya didongakkan, matanya terpicing, matahari mulai panas. Kerumunan berbisik-bisik,menambah gerahnya suasana. Lalu petugas ini membuka mulutnya dan bertanya, “Siapa yang pertama kali menemukan mayat ini?” Diam. Lalu seorang ibu berkata, “Tadi ada seorang wanita yang menemukan mayat ini pertama kali. Tapi sekarang orangnya tidak ada.” Lanjut petugas itu, “Apa ada yang tahu kemana wanita yang menemukan mayat ini?” Tidak seorangpun menjawab, mereka hanya saling berpandangan bingung. “Loh, bagaimana ini? Masak tidak ada yang dijadikan saksi pertama? Lalu bagaimana saya mesti menuliskannya dalam laporan pekerjaan saya?” Penonton bingung, kerumunan linglung. Petugas jadi resah. Ia membuka buku catatannya dan menuliskan beberapa hal di atas halaman kosong. Ia membuka tasnya, dan mengeluarkan kamera. Beberapa gambar dari mayat korban dan area sekeliling diambil. Lalu ia pun berpaling dan mengambil beberapa foto dari kerumunan sebagai pelengkap laporan kerjanya. Berkas dimasukkan ke dalam tas. Selesai. Petugas berjalan pulang. Kerumunan bingung, penonton melongo. Hanya begitu saja? Petugas menerobos kerumunan sambil menggerutu perlahan “Minggu-Minggu kok ngasih kerjaan. Mayat sialan. Mati saja menyusahkan…” Pintu mobil dibuka, lalu dibanting menutup. Mobil pergi, petugas lenyap. Para penonton termangu. Seolah menyaksikan drama satu babak. Tidak ada kejelasan cerita, tidak ada ending.

Mayat masih tergantung di atas. Tidak ada yang berani mendekat. Bisik-bisik mencuat. Panas matahari makin menyengat. Kegusaran berlipat.

Beberapa penonton mulai terlihat meninggalkan lapangan. Terutama kaum wanitanya, yang katanya takut dengan pemandangan mengerikan, tapi kalau boleh jujur mereka lebih takut menjadi gosong kena terik matahari. Wanita memaksa pria pulang. Pria yang katanya ‘bukan pria’ jika tidak bisa menyenangkan hati wanita, manut-manut saja. Mereka bak kerbau yang dicocok hidungnya, mengikuti kaum wanitanya pulang ke rumah masing-masing. Penonton buyar. Lapangan lengang. Mayat temangsang. Pikiran gusar.

Senin pagi

Pak RT teriak-teriak: “Bune, bune. Delo’en iki korane. Wih, gendeng bune. Mayat gek wingi ki lho bune. Mosok fotone dipampang jelase koyok ngene. Buneeeeee!!!”

Bu RT: “Opo to, Pak? Isuk-isuk ngene sampeyan wes teriak-teriak koyok ngono. Ono opo? Gambar mayat opo?”

Pak RT: “Oalah Bune… iki lho gambar mayat gek wingi esuk. Delo’en dhewe!”

Bu RT: “Hiiiii…… oalah Pak Pak. Kok sampe koyok ngono to gambare? Lha kok yo dipajang koyok ngono mbek korane to ya. Ora bener iki. Oalah biyung biyung….. gilo aku”.

Pak Rt: “Loh… bune.. malah mlayu WC. Ck ck ck….”

Pak RT masih geleng-geleng tak percaya sambil matanya masih memelototi koran yang dipegangnya.

Koran Senin pagi. Gambar mayat mengisi setengah halaman pertama. Dari berbagai posisi, atas, bawah, kiri, kanan, close up, setengah badan, badan penuh. Bagian-bagian yang terluka mendapat sorotan penuh. Judul artikel bertuliskan, MAYAT TAK DIKENAL GEMPARKAN PENDUDUK KOTA. Ulasan artikel dimuat di halaman berikutnya. Satu kolom kecil artikel tentang mayat yang menghebohkan itu.

Nama: Mr. X

Perkiraan usia: 45-50 tahun

Perkiraan berat: 75-80 kg

Perkiraan tinggi: 160-165 cm

Warna kulit: coklat kehitaman

Pakaian dikenakan: sarung coklat bermotif kotak

Ciri lain: mengenakan kacamata, tahi lalat di leher belakang, tato di lengan kiri berbentuk tengkorak, gigi seri bawah gingsul

Identitas lain: tidak ada

Sebab kematian: luka karena pukulan keras berulang benda tumpul di belakang kepala, luka karena tusukan berulang senjata tajam di bagian perut,dan kehabisan darah

Perkiraan waktu kematian: 02:00-03:00 Minggu dini hari

Tersangka: dalam pencarian

Masyarakat heboh. Gempar. Kabar beredar. Masyarakat berburu. Berebut membeli koran. Terembusi bisik-bisik tetangga tentang gambar fenomenal yang paling berani dimuat sebuah surat kabar. Mata melotot. Mulut berdecak kagum. Luar biasa. Yang seperti ini belum pernah kita lihat-kata mereka. Yang wanita melihat sekali lalu melengos, tak mau melihat lagi, nanti muntah katanya. Yang pria terhipnotis, katanya eksotis. Ini gambar yang dihasilkan oleh seorang fotografer professional. Hidup, teliti, berkelas, elegan. Masyarakat berburu, gambar diburu, fotografer memburu, percetakan terburu.

Lapangan TKP semakin ramai. Banyak pengunjung yang melihat dan berusaha mengabdikan sendiri gambar-gambar mayat. Tapi tidak ada yang sebagus hasil foto di koran Top Senin pagi. Identitas mayat mengabur. Penjahat kabur. Petugas penyidik lembur. Tetap tak ada laporan. Tak ada hasil yang berarti. Penyidikan seolah terganjal. Tanpa saksi mata. Tanpa alat pembunuhan. Tanpa jejak. Tanpa hasil. Pelaku dan otaknya tersenyum.

Oplah koran Senin pagi ludes. Tak bersisa. Masyarakat ada yang mendatangi kantor percetakan. Berusaha mendapatkan foto-foto eksklusif yang gila-gilaan itu. Tawaran dibidik. Perusahaan ogah. Katanya, melanggar etika kerahasiaan. Tapi berjanji, akan memberi kejutan untuk kepuasan pelanggan.

Selasa pagi

Koran Selasa pagi. Heboh. Ruarrrr biasaaaa!!! Dijual langsung di kantor pusat. Cetakan terbatas tentang mayat Mr. X dengan menggunakan tinta asli dari darah korban. Harga pengganti ongkos cetak 20x lipat dari harga normal. Pun, masyarakat berebut gila-gilaan. Sama gilanya dengan rebutan pembagian uang dan sembako gratis. Kantor percetakan diserbu. Antrian beribu. Yang dapat beruntung. Yang tidak dapat buntung. Masih untung tidak jatuh terinjak-injak antrian. Oplah langsung ludes dalam tempo 1 jam.

Petugas keamanan tutup telinga. Tutup mata. Tidak ada yang diributkan. “Sudahlah, tidak ada yang kehilangan juga. Sudah hari ketiga tanpa laporan kehilangan anggota keluarga. Yang penting masyarakat senang, kita senang.”

Selentingan beredar. Perusahaan koran sudah memberikan segepok uang untuk kepemilikan eksklusif atas keberadaan mayat. Masyarakat masa bodoh. Pokoknya senang. Edisi koran yang ini sungguh lain dari biasanya. Tintanya tercetak sangat jelas dan agak timbul. Warnanya tajam hitam kemerahan. Dan baunya luarrrrrr biasssaaaa! Kaum pria membaui dekat-dekat. Merabai. Merasai semua sengat tajam dari bau darah. Mengingat dengan hati-hati bau yang satu itu. Seolah tak mau lupa lagi. Bau yang satu ini sungguh lain. Membangkitkan semangat dan gairah. Lebih dari bau anggur atau minyak wangi terbaik manapun. Kepemilikan atas koran hari itu serasa jauh lebih bergengsi daripada memiliki parfum terbaru keluaran designer terkemuka luar negeri.

Rabu pagi

Dilelang secara eksklusif di dalam kantor pusat percetakan. Koran Rabu pagi dengan menggunakan bahan asli dari kulit dan tulang mayat Mr. X. Kalangan elit masyarakat segera bertindak cepat. Membidik harga secara gila-gilaan. Kepuasan tergambar di wajah mereka yang berhasil mendapatkan koran edisi itu. Sangat RUARRRR BIASAAAAAA!!!! Kepuasan yang tidak dapat digantikan oleh apapun. Lapisan kulit yang dijadikan bahan dasar pengganti kertas serasa kain tenunan halus. Tak akan bosan berapa kalipun tangan mengelusnya. Helai demi helai kulit koran dijalin jadi satu dengan pahatan halus dari tulang korban. Sangat eksotis. Hanya satu sebutan yang layak bagi koran edisi khusus ini: Masterpiece.Koleksi yang tak ternilai harganya bagi yang berhasil mendapatkan. Nama mereka diberitakan sebagai kolektan barang antik. Kecintaan mereka pada seni diakui. Mata para pria yang tak mampu membeli cuma melotot pada layar kaca yang menayangkan bentuk koran dengan kulit dan tulang asli dari korban. Koran edisi terbatas yang segera saja menjadi impian siang bolong bagi mereka yang tak mampu memilikinya.

Perusahaan koran jadi bahan perbincangan nasional dan internasional. Tentang kehebatannya mendapatkan hak eksklusif. Tentang kreatifitasnya melakukan terobosan inovasi. Tentang mesin percetakan yang modern dalam memadu padankan bahan asli. Tentang tehnik marketingnya yang jempolan sehingga peringkat koran membumbung tinggi. Tentang cita rasa yang tak ada duanya. Tentang prestasi yang spektakuler dan menggemparkan negara, bahkan mengharumkan nama negara di mata internasional.

Penjahat tak diurus. Otak pelaku tersenyum. Dia berdiri - memandang dan berpuas. Hasil kerja kerasnya memeras otak sudah kelihatan. Modal yang dikeluarkan kembali beratus kali lipat. Peringkat koran dan penjualannya meningkat tajam. Dia sendiri banyak diberitakan sebagai pengusaha sukses yang berani, berdedikasi dan inovatif. Pria ini pula yang kemudian memberi perintah agar sisa mayat korban diurus. Perintahnya, “Segera evakuasikan mata, telinga, mulut, otak, dan hati korban.”

Karena tanpa mata tubuh tak dapat melihat. Tanpa telinga dunia menjadi sunyi. Tanpa mulut jiwa tak bisa bersuara. Tanpa otak tubuh tak kuasa berpikir. Tanpa hati tubuh tak mampu menimbang. Tanpa tulang tubuh tak sanggup berdiri. Tanpa kulit tubuh akan terbakar. Dan tubuh kemudian hanyalah onggokan daging tak berdaya. Kemudian yang bersisa dan diterbangkan bersama angin adalah cuilan hati nurani dan etika – dan mimpi…

* Dari dunia mimpi. Untuk masyarakat yang mempunyai hati nurani dan etika

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler