Skip to Content

Kumulonimbus

Foto Tajdidah Fikry

Kumulonimbus*

Menatapi indahnya bulan bersama teman-teman sepermainanku di atap itu sangat mengasyikkan. Semilir angin di bulan maret yang cukup dingin, tak mampu mengurungkan niat kami untuk melanjutkannya esok hari. Kami tak hanya diam disini. Sesekali menuliskan sesuatu di kertas kecil yang nampak habis di remas-remas, bahkan terkadang sudah bercampur tinta coklat berpola polkadot atau bahkan tak beraturan.
Atos atuh neng tong nulis heula, tingal tuh bulanna meuni endah pisan” (Udah jangan nulis dulu, lihat itu bulannya sangat indah) protes sahabatku Euis. Aku hanya tersenyum tipis, lalu kembali menulis sesuatu.
Ah da si Emon mah nulis wae, jiga nu kapake wae tulisanna” (Si Emon hobinya emang nulis, kayak yang bagus aja tulisannya) ucapan yang ini hanya lewat di telinga kananku dan hilang tertiup angin. Aku masih saja asyik menuliskan sesuatu.
Ah geus ah, hayu urang balik weh” (Ah sudahlah, kita pulang aja) ajak Upong sambil bersiap turun.
Nya jug atuh, kade ah bisi labuh” (Ya udah sana, hati-hati jatuh) Aku sedikit menimpali ajakan Upong dan lalu kembali menulis.
Di kampungku ini, kami sudah seperti keluarga sendiri. Bermain hingga tak ingat waktu di sawah, sampai mandi bersama di sungai yang cukup jernih. Aah yang terakhir itu, itu dulu. Sekarang tentu saja tak lagi karena kami sudah cukup besar dan malu. Ya, tentu sudah cukup besar sebab kami sudah menginjak bangku kelas VIII SMP. 
Seumuran kami di kampung ini berarti menikah, salah satu tahapan terpenting dalam hidup seseorang. Bagiku? Tentu saja aku tak mau terburu-buru. Membuat sambal saja aku belum mampu,bisa dibilang aku ini anak yang jarang membantu orang tua. Sedangkan, berdasarkan kebiasaan di kampung ini, anak seumuran kami yang sudah mampu membuat sambal sudah layak untuk menikah. Mungkin itu salah satu alasanku selalu menolak saat diminta untuk membuat sambal, selain karena rasa malas yang bergelayut.
# # #
Entah apa yang emak pikirkan, ia nekat menyekolahkanku ke SMP. Padahal aku tau benar bagaimana perjuangan beliau. Untuk sesuap nasi pun beliau harus susah payah menjual tenaganya, menjadi tukang koran di pinggiran kota. Perjalanan ke sana saja sudah cukup melelahkan, aku tahu karena pernah mengikutinya. Emak melarangku membantunya mencari uang, ia selalu bersikeras agar aku harus terus sekolah, bahkan kalau bisa sampai universitas. Aah emak, terlalu jauh citamu itu.
Bagiku, melanjutkan sekolah sampai SMP saja bagaikan mimpi. Bagaimana tidak, di kampungku hanya sedikit orang yang bisa melanjutkan sekolah sampai ke jenjang ini. Aku tak tau benar kenapa emak bersikeras menyekolahkanku sampai lulus universitas, hingga suatu hari kelak akan ku ketahui. Beliau ingin aku jadi orang yang sukses, bermanfaat dan tidak miskin seperti saat ini.
Kau tau, namaku saja sudah cukup membuat aneh orang-orang di kampung. Ya, aneh sekali Emakku menamaiku Lemon. Sejenis buah yang rasanya asam itu. Suatu hari aku pernah menanyainya soal itu.
Aah atos atuh Emon, teu kedah ditaros deui perkawis eta mah. Ayeuna mah sok di ajar sing sumanget” (Ah udah Emon, soal itu nggak usah ditanya lagi. Sekarang belajar aja yang semangat). 
Jawaban Emak yang sangat tidak memuaskan, menambah kegalauan hatiku. Duile pake galau segala. Tentu saja, bagaimana tidak. Saat guruku di sekolah menanyai satu persatu arti nama siswa di kelas, hanya aku yang tak tau apa artinya. Kontan saja teman sekelasku tertawa terbahak.
Haha si Emon mah bodo. Maenya we teu apal arti ngaran sorangan” (Haha si emon mah bodoh. Masa nama sendiri nggak tau artinya) gaya bicaranya yang super cuek itu berhasil membuat aku cemberut untuk beberapa jam kemudian.
Kau tau, aku cukup gamang dengan kejadian itu, ah dasar anak kecil. Desakanku pada emak tak berbuah apapun. Yang ada aku hanya dapat omelan bapak, dibilang mengganggu konsentrasinya. Alhasil Emak menyuruhku mengirim beras untuk guruku. Ya beras, tidak usah bingung begitu. Di kampung ini guru dibayar dengan beras bukan dengan uang. Kau tau mengapa?, sebab uang lebih susah didapat dibanding beras di kampungku. Hektaran sawah terhampar indah dan menyejukkan mata.
Guru dikampungku bisa kau hitung jari. Ada 2 sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama, jumlah seluruh gurunya hanya ada 3. Satu guru mengajar di sekolah dasar dan sisanya di SMP. Mungkin terdengar seperti sinetron yang dilebih-lebihkan. Namun, kenyataannya memang begitu. Satu guru di sekolah dasar itu mengajar enam tingkat kelas, berbolak-balik dari satu kelas ke kelas yang lain. Menjelang ujian nasional tiba, murid kelas I sampai V biasanya diliburkan. Bagaimana tidak, guruku itu harus memberikan pelajaran ekstra untuk murid kelas VI. Ironis memang,
Suatu hari Emak dengan bangganya menyebut diriku calon guru yang akan mengajar di kampungku ini. Aku hanya cengengesan, umurku baru tujuh tahun saat itu. Belumlah ada sama sekali keinginan untuk memikirkan cita-citaku. Menjadi guru? Wah kurasa itu sulit, mungkin aku akan lebih memilih menjadi penggembala yang bisa menjelajah satu tempat ke tempat lainnya tanpa larangan siapapun. Cita-cita yang aneh bukan, mengingat diriku sebagai perempuan. Selain karena ingin menjadi penggembala, hal lainnya karena aku enggan dibayar dengan beras. Sawahku memang tidak sampai berhektar-hektar, namun sudah cukup untuk makan sehari-hari. Ya tentu saja dengan catatan, makanku bisa tanpa lauk kalau emak tak membawa uang sedikitpun.
Pengalaman keluarga kami yang jarang makan dengan lauk pauk, membuat kami akhirnya memutuskan untuk menanami sebagian halaman rumah kami yang tak seberapa itu. Kami menanaminya dengan beberapa tumbuhan. Yang paling banyak kami menanaminya dengan wortel dan kol, dan satu tanaman yang tentu tak bisa kami lewatkan adalah tumbuhan cabe. Keluarga kami penggemar rasa pedas, dan aku rajanya.

Sudah seminggu ini senyumku tersamarkan lara. Bapak, meninggalkan kami ke luar negeri. Menjadi TKI ke Malaysia. Beliau memutuskan berangkat kesana karena sebentar lagi adikku harus meneruskan sekolah ke SMP. Umur kami hanya terpaut satu tahun saja, membuat bapak selalu bingung mencari uang saat tahun ajaran baru di mulai. Ya seperti saat ini, sawah dan ladang kami tahun ini tak begitu banyak membuahkan hasil.
Perpisahan itu membuatku ngilu, tak pernah terbayangkan sebelumnya bapak akan meninggalkan kami dalam waktu yang lama. Beliau bilang akan berada di sana sekitar tiga tahun. Beliau tak akan bisa menyaksikan saat aku tamat SMP nanti dan tentu saja tak bisa mengantar adikku di hari pertamanya sekolah nanti. Hal yang biasa beliau lakukan pada anak-anaknya.
Seminggu kepergian beliau, aku masih sering melamun dan berdiam diri di kamar. Memilih menjauhi keramaian, terlalu banyak mata yang tertuju padaku. Mata-mata yang menatapku penuh tanya, aku yang berubah jadi pemurung setelah bapak pergi. Aku yang ceria dan ramah kini jadi pendiam dan introvert. Kawan-kawanku tak sanggup membuatku tersenyum tulus, mereka hanya mampu menatapku lirih. Memandang dari kejauhan dan kadang sambil berbisik. Aku tak mampu bercerita tentang perasaanku pada mereka. Aku hanya kuasa bercerita pada dinding, boneka pemberian bapak bahkan pada angin semilir sore hari. 
# # #
Sore itu aku tengah bersandar di dipan kamarku, menatapi langit kamar yang satu dua sudah membentuk lubang yang menganga. Adikku memasuki kamar, berlari dan bersegera menelungkupkan wajahnya. Seakan dapat melihat keherananku, ia hanya menyuruhku menghadap ibu di teras halaman. Berjalan gontai, menyeret kaki dengan enggan. emak terlihat tengah berbincang dengan kepala desa, terdiam begitu melihatku keluar.
“Kemari nak”, aku mendekatinya masih dengan kaki yang ku seret, malas benar.
Emak sempurna memelukku, menciumi kening dan pipiku. Janggal. Emak tak pernah melakukannya padaku meski aku tahu beliau sangat menyayangiku. “Ada apa mak?”. Emak menatapku sekilas lalu beralih menatap pak kepala desa, seperti tengah meminta penjelasan. “Bapakmu ditemukan meninggal di gang sempit pinggir rumah majikannya nak”. Demi mendengar hal itu aku meloncat kaget dari pelukan emak. Mencari mata Emak yang cukup basah, menunggu klarifikasinya, atau lebih tepatnya menunggu dakwaannya. Bapak meninggal?. Aku tak sempat memikirkan kemungkinan terburuk itu saat bapak bersikeras untuk menjadi TKI. Emak hanya mengangguk, seketika itu aku hendak terbang ke langit ke tujuh dan mempertanyakan kenapa hal ini bisa terjadi padaku. Perlahan mataku memanas, tenggorokanku mengering. Air mata mulai meleleh, emak meraih pergelangan tangan dan hendak memelukku lagi. Aku menghindari pelukannya. Berlari menuju kebun, menginjak tumbuhan kecil yang menghalangi jalanku. Menendang apa saja yang ku anggap menganggu, memelototi siapa saja yang memandangku keheranan. Berjalan bagai banteng terluka hebat, menabrak ibu-ibu yang tengah berjualan. Kakiku terantuk batu beberapa kali, untuk kesekian kalinya aku mengerang. Namun, membabi buta. Berlari tanpa tahu tujuanku kemana. Rasamya ratusan meter sudah aku lewati, jika sedang lomba lari nampaknya akulah yang memenanginya. Menang telak. Mega tengah menutupi mentari, membuat bayangku jadi tak begitu jelas. Aku terkulai, lemas sudah. Segera aku ingin menyusul bapakku, memeluk jenazahnya. Menciuminya meski aku benci bau kapur barus yang menyengat.
Aku segera memasuki hutan terlarang, yang hanya boleh dimasuki lelaki dewasa dengan senjata. Tentu saja artinya tidak untuk anak perempuan sepertiku. Aku berpasrah, hendak berlari entah sampai kapan. Berlari berlari dan berlari, berharap akan membuatku baikan. Mengikuti langkah kakiku kemanapun ia melangkah. Mentari sempurna sudah tertutup mega mendung. Kumulonimbus terlihat dan semakin mendekati hutan terlarang ini. Aku tak mengacuhkannya, hanya berdiri menatap awan itu. Rasanya mega pun memihakku hari ini, menambah lara berlipat ganda. Mungkin ini saatnya aku terkapar di hutan yang tak satupun akan mengenaliku.

*Jenis awan yang menimbulkan hujan badai

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler