Skip to Content

LA BIMBIIIII … OH

Foto jay

 

LA BIMBIIIII … OH

Cerpen : akhmad zailani

 

Seekor burung pipit kecil

Mencoba membelah langit

Kepaknya awan

Dia bernyanyi bersama angin

 

KAMU pernah melihat atau mendengar dan merasa tertipu oleh iklan-iklan konyol pada toko pakaian?

Ada harga runtuh. Ada obral murah. Ada discount 50 persen – 70 persen. Tapi harganya sama saja dengan harga dari toko pakaian yang tidak memasang iklan tersebut. Jika janji yang di tawarkan itu nyata dan kongkrit sih tidak apa. Tapi bila yang di iklan kan itu hanya ‘janji kosong’ belaka, maka jelas toko tersebut secara tak langsung telah membohongi pembeli dan ini jelas bertentangan dengan norma kehidupan, sopan santun dan penipuan! Memang, mana ada sih penjual yang tak mau untung, tapi…ah, sudahlah. Kalau Nani dan Ipung tak merasa pernah di tipu. Nani dan Ipung? Iya, kalian ingin kenal?

“Ini berapa?” Nani menanyakan harga jins di hadapannya. Yang ditanya lantas meneliti label harga pada jins tersebut. “Tiga puluh sembilan ribu,” jawab cowok pelayan toko itu. Cakep juga dia. “Kalo yang itu?” Ipung menunjukkan, ‘pakaian dalam’ kaumnya. Cowok pelayan toko itu kembali meneliti harga label pada ‘kaca mata’ dada wanita itu, lantas dia menyebutkan harga yang tertera di situ. “Kalo baju yang kamu pakai itu?”  Nah, si Nani mulai menggoda. Eh, dari tadi hampir setengah jam dua gadis itu sebenarnya sudah menggoda sang pelayan toko pakaian itu. Tanya sana sini. Dan tak satu pun yang jadi di beli. Dua gadis itu Nani dan Ipung memang sedang ‘survey’ dari toko ke toko. Bukan sedang penelitian, walaupun si Nani seorang kapiten… eh seorang mahasiswi maksudnya. Mahasiswi yang juga sedang menyusun skripsin yang masih belum rampung. Lalu Ipung? Ah, dia juga bukan sedang penelitian. Dia pegawai POM Bensin. Jauh banget, kan hubungannya. Mereka berdua…yah hanya ingin mengetahui harga pakaian saja. Benar? O, iya. Mereka berdua juga hanya ingin menggoda cowok pelayan toko itu saja. Nah, nah…gitu ya. Ah, biasa saja, kok. Itu hanya salah satu cara dari sekian juta cara untuk ngilangin stress. Berjalan-jalan berkeliling Citra Niaga tujuh kali kan tak ada salahnya. Rekreasi.

“Jadi nggak belinya nih?” cowok pelayan toko itu mulai tampak tak sabaran. “Tawar dong…,” katanya lagi.

            “Eh, itu tadi. Baju kamu di jual nggak?” Nani mengulangi pertanyaannya.

“Emang mau beli?”.

“Nah, Nan. Dijualnya tuh,” ujar ipung.

“Emang buat apaan sih?” Tanya pelayan toko itu lagi.

 “Buat di jadiin lap,” jawab Nani. Ipung terkekeh.

Dan cowok penjaga toko itu semakin salah tingkah. Bingung juga dia menghadapi dua gadis yang bandel itu.

“Eh, jins tiga puluh sembilan ribu tadi ya? Nggak bisa kurang lagi?” Nani menatap cowok itu. “Dua puluh saja, ya,” Tanya Nani.

 “Ih, jauh banget tawarannya”. Cowok pelayan toko itu sedikit bingung, tapi dia tersenyum. “Yah… sudah. Gimana kalau sepuluh ribu?” Ipung ikutan menawar. Lho, kok malah turun, Pung?

 “ya nggak bisa dong,” jawab cowok itu.

“Lho, kok nggak bisa,” Nani tersenyum. “Katanya ada discountnya lima puluh persen? Kok harganya sama saja dengan di toko-toko yang nggak ada discountnya? Di iklan-iklan disebutkan discountnya sampai lima puluh persen, kok…,” suara Nani terpotong.

Kok jadi kokok-kokok,” Ipung menirukan suara ayam. Persis banget. Nani tertawa. Juga sang pelayan toko itu. “Iklan-iklan itu bohong ya,” ini suara Nani lagi. “Kita jadi merasa di tipu”. “He-eh,” suara Ipung. “Omong kosong!”. “Pembualan!”. “He-eh”. “Kamu?” Ipung kesal. “He-eh. Eh, sialan kamu,” umpat Nani. “He-eh!”. Mereka tertawa : Ipung dan Nani. Pelayan toko tidak.

“Eh, ini mau bercanda, ngomel atau mau beli?” suara sang si penjaga toko itu. “Itu kan iklan. Kalau nggak mau beli ya udah,” sahut cowok pelayan toko itu lagi.

“Ya udah…,” Nani ngeloyor pergi. “He-eh.” Dan Ipung pun ikutan di belakang.

 Dan cowok pelayan toko itu terlongo. Gitulah. Pembeli adalah raja. Jadi penjual adalah…abdinya, ini pendapat Nani, sambungan di belakangnya itu lho. Bukankah tak setiap yang datang ke toko itu pasti membeli? Ada juga yang hanya ingin melihat-lihat saja, tak bermaksud membeli. Melihat pelayan toko yang (kebetulan) cakep itu, misalnya. Kamu begitu pula ya? Sorry aja la yaa.

Nani dan Ipung terus melangkah. Santai. Panas membuat tubuh berkeringat. Uh, panasnya! Mobil-mobil berseliweran, lalu-lalang. Orang-orang pula. Taksi-taksi angkutan kota, motor-motor, sepeda-sepeda hilir mudik. Pedagang- pedagang makanan. Makanan? Ya, makanan. Dan rupanya Ipung dan Nani lapar, setelah membuang-buang energi, mengelilingi Citra Niaga. Mereka berdua tak berapa lama sudah asyik menikmati sate ayam, juga es kelapa. Hmm…enaknya.

Seorang anak kecil cukup dekil dengan tas lusuh tergantung menyilang pada tubuhnya, mendekati dua gadis itu. “Semir, kak?” setengah bertanya, setengah bertanya, setengah memaksa. “Tidak,” Nani menggeleng. Habis apa yang mau di semir, Nani pakai sandal jepit kok. “Kak, semir, kak…” masih suara anak itu.

Nani menatap bocah itu. Lekat-lekat. Dia perempuan! Nani heran. Biasanya tukang semir sepatu kan kebanyakan anak lelaki, tapi dia perempuan. Bocah kecil cukup dekil tukang semir itu perempuan. “Kamu mau makan?” Nani bertanya.

 Bocah yang mungkin berusia enam tahun itu diam saja.

“Bu, tolong satenya sepiring lagi. Juga es kelapanya,” Nani menoleh ke wanita tiga puluhan yang sibuk melayani penggemar satenya itu. Tak berapa lama kemudian, sepiring sate dan segelas es kelapa sudah terhidang lagi di hadapan mereka. “Ayo makan…,” Nani mempersilahkan si penyemir sepatu itu.

Tak usah di suruh dua kali lagi bocah kecil itu langsung menyantap sate yang menantang di hadapannya. Dia makan dengan lahapnya, seolah-olah baru saat itulah dia makan makanan yang dirasakannya enak. Seolah-olah baru kali itulah lidahnya merasakan itu. Seolah-olah…ah, bocah kecil dekil itu ternyata memang lapar! Setelah sate itu tandas. Licin mengkilat! Dia kembali menyedot es kelapanya.

“Lagi?” Nani kembali menawari. Jarang-jarang anak itu makan sate gratis. Biasanya, perkataan kesal yang tak halus yang dia dapatkan. Biasanya, usiran yang dia peroleh, karena mengganggu makan orang-orang yang berduit dan membuat selera orang-orang berduit jadi hilang. Badan dekil, kotor dan berbau. Wahai pembaca Kamu jijik? Habis bagaimana lagi. Anak kecil itu…dan juga teman-temannya juga tak ingin seperti itu. Dia juga ingin seperti kamu. Santai-santai di rumah nonton TV, mau uang tinggal minta sama orang tua, sekolah, pekerjaan yang enak dan basah, pakaian yang bersih, sepatu, makanan yang enak. Dia juga ingin seperti  itu, seperti kamu…

“Nama kamu siapa?” tanya Ipung. Setelah sate kedua selesai ‘dikerjakannya’. Dia melap mulutnya dengan tangan. “La Bimbi”, katanya. “Saya panggil La aja ya. Lebih enak kedengarannya. Soalnya juga kalo kamu saya panggil Bimbi itu mengingatkan nama seekor anjing teman saya,” Ipung berusaha bersahabat.

La Bimbi, bocah kecil kumal itu mengangguk. Baginya, terserah aja. Apapun namanya tetap saja nasibnya seperti sekarang. Tidak seperti Mona, Desi, Sisca, Marsha, dan gadis-gadis anak orang-orang berduit itu.

 “Rumahmu dimana La?” tanya Ipung. “Di dekat gunung Stelleng.”

 “Jauh juga ya. Kamu masih sekolah?” kali ini Nani yang bertanya.

“Saya masih bersekolah di SD Harapan Bangsa, kelas satu,” jawab La Bimbi. “Saya bekerja menjadi tukang semir sepatu ini untuk membiayai sekolah saya, kak. Orang tua saya hanya petani, yang hanya untuk makan sehari-hari pun itu enda cukup. Saya anak bungsu dari sembilan saudara. Kakak-kakak saya semuanya sudah menikah. Dan tinggal di bawah gunung Stelleng itu juga. Selain untuk membiayai sekolah, uang dari menyemir ini saya berikan pula buat ibu saya,” La Bimbi bercerita tanpa diminta, tentang dirinya.

“Kamu pintar La. Kecil-kecil sudah nyari duit. Kalo besar ingin jadi pengusaha, ya?” Nani kembali bersuara.

“Saya ingin jadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa, kak,” ujar La Bimbi.

“Jadi apa itu La?” tanya Ipung.

 “Apa saja, kak. Saya ingin sekolah setinggi-tingginya,” La Bimbi tersenyum. Giginya kuning dan pasti mulutnya berbau. Mungkin giginya tak pernah bersentuhan dengan sikat gigi dan odol. La Bimbi, bocah cilik yang dekil si tukang semir sepatu atau sandal. La Bimbi yang hanya bisa  menyemir bagian bawah. La bimbi bocah dekil yang berada di lapisan bawah hanya bisa bekerja pada bagian bawah, menyemir sepatu atau sandal pada kaki-kaki orang yang ingin penampilan terutama sepatu atau sandalnya, agar tampak menarik. La Bimbi yang mencoba bertahan hidup hanya dengan menggantungkan hidupnya dari menyemir, karena tak ada lagi yang bisa dilakukannya. La Bimbi selalu ingin berharap agar sepatu orang atau sandal orang berduit tampak kotor, lalu dia dapat uang dari menyemir.

“Saya mau kerja lagi, kak, terima kasih…,” La Bimbi bangkit, Prinsipnya sama pula dengan bisnisman, waktu adalah uang. Tak dapat uang, mau makan apa hari ini?. Panas membuat tubuh berkeringat. Orang-orang masih berseliweran. Taksi-taksi masih berlomba berebut penumpang untuk uang setoran. Pelayan toko masih sibuk melayani pembeli. Para mahasiswa masih aktif dengan teori. Para pegawai negeri masih saja bekerja. Para penjahat masih saja melakukan kejahatannya. Ada maling. Ada pencopet. Ada koruptor. Ada pemerkosa. Ada…ada saja.

Ciiit…buk! Suara rem menjerit. Suara rem yang terlambat diinjak, karena mobil itu berlari cepat. Seorang bocah kecil terpental. Orang-orang kaget. Ada yang menjerit, ibu hamil itu misalnya. Seorang bocah kecil cukup dekil dengan tas lusuh tergantung menyilang pada tubuhnya bersimpah darah. Gas kembali diinjak. Toyota merah itu kembali bergerak cepat. Kabur! Tabrak lari! Sungguh tak bertanggung jawab. Pengecut! Seribu sumpah serapah pun tak berguna. Sia-sia. Orang-orang berkerumunan. Menonton. Kenapa tak ada yang menolong? Kenapa tak ada yang bergerak cepat untuk menyetop taksi dan membawa anak itu ke rumah sakit? Tak mau repot? Atau apa?! Bantulah…

Tapi itu sudah percuma. Tak ada gunanya lagi. Anak keci dekil itu sudah tak bernapas lagi. Ah, anak kecil yang hidup dari menyemir sepatu atau sandal itu tak bernapas lagi! Anak kecil itu…ah. Dia adalah La Bimbi! Dia telah bersimbah darah, terbujur tak bernyawa di tengah jalan. Badan dekil, kotor dan berbau itu La Bimbi. La Bimbi! La Bimbi! La Bimbiiii… Oh.

 

 

Samarinda, Desember 1985

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler