Skip to Content

LAKI-LAKI YANG TIDAK MEMAKAI BATU CINCIN

Foto Badaruddin Amir

Cerpen Badaruddin Amir

 

Laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu berdiri di pojok pasar. Ia mengawasi orang-orang yang lewat di depannya. Satu dua orang-orang yang lewat di depannya dikenalnya sebagai tetangga atau sekampungnya. Tapi kebanyakan memang tak dikenalnya. Tak diketahuinya dari mana saja mereka datang. Dan orang-orang yang lewat di depannya memang tak saling menyapa. Mereka kelihatan terlalu sibuk untuk tersenyum lalu mengatakan, “hai !”. Bahkan untuk seorang kenalanpun –yang kebetulan berpapasan—seperti tak ada waktu untuk saling bertegur sapa. Kecuali jika kenalan itu mengenakan batu cincin di jari manisnya.

Bagi kenalan yang seperti ini tentulah akan segera mendapat sapaan dari orang lain.

“Hei, bagus juga batu cincinmu itu, kawan. Beli di mana, ya ?” sapa seseorang sambil melirik ke jari manis sang kenalan.

Sang kenalanpun tersenyum, melirik ke jari manisnya sebentar lalu berkata, “Oh, yang ini peninggalan kakek. Baru ditemukan dan diasah lagi !”

Kenalan yang menyapa akan berhenti sejenak, memperhatikan batu cincin kenalannya, kemudian membandingkannya dengan batu cincin yang dikenakannya sendiri di jari manisnya.

“Sama-sama, ya. Bacam juga, kan ?” Katanya. Ada rasa bangga sehabis mengucapkan kata itu. Kemudian dua kenalan itu berlalu dengan perasaan bertikai. Masing-masing batu cincinnya ingin dianggap lebih berharga dan lebih bagus dari yang lain. Meskipun sesungguhnya terbuat dari spesis batu yang sama.

Tapi laki-laki yang tidak memakai batu cincin berdiri saja memandang kedua kenalan itu. Ia merasa tidak masuk dalam lingkaran percakapan mereka, tidak masuk pada “komunitas” mereka. Ia adalah orang lain -- orang yang terbuang, karena ia tidak memakai batu cincin. Ia merasa bahwa kini, di luar dari kebiasaan komunikasi universal, diam-diam telah tumbuh sebuah bentuk komunikasi kontekstual yang hanya dapat dimasuki oleh orang-orang yang punya konteks tertentu, yakni orang-orang yang di jari manisnya bertengger sebuah batu cincin. Karena itu ia tak berani muncul diri persembunyiannya di pojok. Ia takut jari manisnya akan dipelototi orang atau kenalannya sendiri. Dan rasa takut ini sangat menghantuinya, saban ada kenalan yang memelototi jari manisnya yang telanjang. Ia merasa seperti sedang dicurigai, seperti seorang pencuri yang dimata-matai. Ia merasa seperti dikuliti tanpa perlawanan sedikitpun.

Hari itu kebetulan hari pasar jadi agak ramailah situasi di pasar. Pada hari-hari pasar biasanya banyak juga orang yang datang ke pasar bukan untuk membeli keperluan sehari-hari. Tetapi mereka datang ke pasar khusus untuk mencari batu cincin. Dan sekarang penjual batu cincin memang tiba-tiba mewabah. Pepatah lama mengatakan: bagaikan jamur di musim hujan ! Mereka telah mengambil tempat tersendiri di luar area pasar –di pinggir jalan raya—berderet-deret memanjang sepanjang trotoar. Mereka menggelar dagangan batu cincin itu pada sebuah kotak yang bisa dibuka seperti membuka koper. Bagian penutup dari kotak itu jika sudah dalam keadaan terbuka sekaligus berfungsi sebagai tempat pajangan batu cincin.  Berbagai macam batu cincin dari akik, panca nur, lafadh, batu serai, batu zamrud, badar besi, kecubung, delima merah, mata kucing, mata harimau, batu jarum mas, batu safir, batu pirus, batu bacam, semua tersedia. Baik yang sudah “diikat” ring yang berukir indah dan sudah jadi cincin siap pakai, maupun yang masih tergeletak berupa permata dipajang rapi di kotak itu. Permata-permata itu adalah hasil olahan dari berbagai sentra pengrajin batu mulia. Soalnya, hampir semua daerah kini sudah terjangkiti epidemi batu cincin, karena itu hampir semua daerah juga sudah memiliki sentra pengrajin batu cincin.

Dalam menjajakan batu cincin mereka tentu saja saling bersaing. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang mendirikan tenda seperti penjual obat kemudian berkoar-koar menjajakan batu cincinnya dengan menggunakan pelantang suara. Dan laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu melihat deretan itu kini semakin memanjang dipadati pengunjung. Hampir tak ada lagi celah bagi pengunjung yang baru datang untuk melihat apa yang sedang dijajakan orang di trotoar. Semakin tinggi matahari kerumunan orang-orang yang berminat untuk membeli atau sekadar melihat batu cincin semakin padat. Dan laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu tak punya kesempatan untuk melirik kepada penjual batu cincin yang menjajakan dagangannya di tempat itu.

Laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu sekarang beringsut dari tempatnya di pojok pasar. Ia mencoba bergerak mengikuti arus orang-orang yang sedang masuk ke dalam pasar. Ia pun kini terseret arus masuk ke pasar, kendati ia sama sekali tidak punya kebutuhaan apa-apa untuk di beli di pasar. Ia berpikir, kalau saja saya mengenakan batu cincin pada jari manis saya, pastilah saya akan menjadi perhatian orang-orang juga di pasar ini. Tapi dari mana saya bisa mendapatkan batu cincin seperti yang mereka miliki ? Saya tidak punya uang yang cukup untuk membeli barang mahal itu, pikirnya. Dan demikianlah dengan pikiran seperti itu, ia mengawasi jari-jari manis orang-orang yang berpapasan dengannya di pasar itu. Batu cincin, oh batu cincin, kenapa kau kini tiba-tiba menjadi wabah yang menular ke mana-mana. Ia menjadi minder karena dialah kini satu-satunya laki-laki di kampungnya yang tidak memakai batu cincin di jari manisnya.

Dia melihat orang-orang di sekitarnya yang sedang asyik menawar dan memeriksa barang-barang yang ingin dibelinya. Jari manis orang-orang itu mengenakan batu cincin. Bahkan penjual yang dengan senyum simpati menjajal barang-barang dagangannya, ke sepuluh jari-jarinya penuh dengan batu cincin berwarna-warni, menawarkan harga-harga yang murah-murah kepada pembeli yang juga mengenakan batu cincin. Tapi ketika laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu menawar sebuah perlengkapan dapur penjual itu cuek saja sambil berkata, “Maaf Pak di sini barang-barangnya asli semua, harganya mahal-mahal semua dan tak ada tawar-menawar seperti di tempat loak.”

Laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu seharusnya tersinggung. Tapi ia merasa tidak perlu tersinggung. Tersinggung juga untuk apa, pikirnya. Ia sudah lama memahami makna sebuah kekalahan. Bahwa kini sudah terjadi sebuah bencana yang diakibatkan oleh epidemi batu cincin, sudah dipahaminya. Dan bahwa kini sudah terbangun sebuah komunitas tanpa disengaja dengan mewabahnya batu cincin ini, dan dampaknya seperti yang sedang dialaminya sekarang, juga sudah sangat dimakluminya. Dia bergerak lagi. Mengalir lagi. Ia terbawa arus entah ke bagian mana. Ia kini melihat orang-orang di sekelilingnya semuanya mengenakan batu cincin. Paling tidak sebuah batu cincin bertengger di jari manisnya. Tapi ada juga yang mengenakan dua buah, tiga buah, dan bahkan ada yang mengenakan empat sampai lima buah yang bertengger di semua jari-jarinya. Dan epidemi ini bukan hanya menyerang laki-laki tapi juga perempuan. Banyak perempuan yang sudah tertular pula menyukai dan memakai batu cincin. Bentuknya tentu saja disesuaikan dengan orang yang memakainya. Ada yang besar-besar dan kasar, ada pula yang kecil-kecil halus seperti biji jagung. Ia memperhatikan terus jari-jari orang-orang disekitarnya. Dan benar bahwa sekarang tak lagi hanya jari manis yang berhak memakai batu cincin, tapi juga semua jari-jari dari kelingking hingga ke ibu jari sudah terpasangi batu cincin.

Laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu berjalan terus di sela-sela keramaian pasar. Ia kini berjalan mengikuti kehendak hatinya. Kakinya terseot-seot dengan langkah kecil karena keterbatasan langkah yang dihalangi oleh kaki-kaki orang lain. Pada suatu ketika kakinya terinjak oleh seseorang. Ia menjerit dan melihat ke bawah, ke kaki orang yang menginjaknya. Dan astaga, ia sangat kaget karena ternyata jari-jari kaki besar yang menginjak kakinya itu ternyata juga memakai ...batu cincin!

Ia segera menarik kakinya begitu kaki besar orang itu terangkat. Sekali lagi ia merasa tidak berhak untuk jengkel atau marah-marah karena ia tidak memakai batu cincin. Dan tahulah ia sesungguhnya bahwa ternyata orang-orang bukan saja memakai batu cincin di jari-jari tangannya, tapi juga kini sudah mulai pula menggunakan batu cincin itu di jari-jari kakinya.

Penat berjalan sehabis diinjak oleh orang besar itu, laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu kini berusaha untuk keluar pasar. Ia berusaha berkelik menghindari  tatapan mata orang-orang yang jatuh di jari manisnya. Ia menyelinap dari satu tubuh ke tubuh yang lain. Kemudian ia mencoba berpikir, alangkah indahnya jika dulu Tuhan tak menciptakan batu-batu yang aneh di dunia ini, tapi hanya menciptakan butiran pasir, bongkahan batu gunung, batu karang, dan batu kapur saja yang dapat berguna untuk pembangunan. Kini ia merasakan betapa menderitanya dirinya masuk ke tengah-tengah “komunitas” batu cincin. Pasar sentral yang dulunya ramai dan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak memakai batu cincin ini kini menjelma menjadi sebuah komunitas besar orang-orang yang memakai batu cincin. Di mana-mana orang-orang telah memakai batu cincil. Penjual telah memakai batu cincin, pembeli telah memakai batu cincin, penagih karcis telah memakai batu cincin dan bahkan jongos-jongos pasarpun sampai kepada pengemis dan gepeng juga telah memakai batu cincin. Ia mencari-cari orang yang tidak memakai batu cincin seperti dirinya. Tapi tak seorang pun yang berpapasan dengannya atau orang-orang yang dilewatinya yang tak memakai batu cincin. Semua orang kini telah menjelma menjadi  batu cincin.

Ketika laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu melihat dari jauh seseorang setengah umur berdiri di pintu pasar dan tak mengenakan batu cincin di jarinya --seperti dirinya, ia bergegas menyibak-orang-orang dan berusaha mengejar orang itu. Tapi sial, sebelum sampai ke tempat orang yang tak mengenakan batu cincin itu, orang itu sudah menghilang di keramaian. Orang-orang yang memakai batu cincin berdesak-desakan sampai ke pintu pasar itu.

“Huh, celaka! kemana orang itu menghilang ?” tanyanya dalam benak. Ia celingak-celinguk seperti maling memperhatikan setiap jari-jari orang. Kemudian ia bergidik sendiri karena semua jari yang diperhatikannya memakai batu cincin di jari manisnya. Bahkan beberapa jari mengenakan lebih dari satu batu cincin. Ada yang memakai dua, tiga, empat dan bahkan ada yang penuh di lima jari-jarinya.

Ia ngos-ngosan. Kehabisan nafas. Tapi tak seorangpun memperhatikannya. Jikapun ada orang yang memperhatikannya maka yang diperhatikan orang itu bukanlah nafasnya yang tersegal-segal di tenggorokan, melainkan jari manisnya yang tidak memakai batu cincin. Merasa kurang enak diperhatikan seperti itu ia kemudian menyembunyikan jari-jarinya ke dalam ke dua saku depan celananya sambil berjalan bersiul-siul. Ia mencoba mengimbangi rasa jengkelnya pada banyak orang, pada dirinya sendiri. Ia jengkel karena orang-orang kini memandang rendah kepada orang-orang yang tak memakai batu cincin. Padahal ia –sungguh—tak dapat membeli sebuah batu cincin.

Ia masih celingak-celinguk mencari orang yang tadi dilihatnya berani berjalan di keramaian tanpa mengenakan batu cincin di jarinya. Ia ingin bersahabat dengan pemberani itu. Ia pasti seorang pahlawan, pikirnya. Ia ingin menumpahkan segala kemelutnya kepada sesamanya –laki-laki yang tidak memakai batu cincin. Bahkan kalau ia bisa menemukan beberapa orang yang tidak memakai batu cincin kini, ia juga bermaksud untuk mendirikan komunitas tandingan, komunitas “laki-laki yang tidak memakai batu cincin”. Tapi kemanakah orang itu menghilang. Apakah orang itu bisa moksa ?

“Hai !” teriaknya spontan ketika ia melihat orang itu terbungkuk-bungkuk berjalan menyembunyikan kedua jarinya di saku celana. Orang itu berbalik. Seorang lelaki setengah umur dengan codet luka di jidatnya.

“Aku...” kata laki-laki yang tidak memakai cincin, “aku...ingin berteman dengan Anda, kalau Anda tidak keberatan.”

Laki-laki setengah umur yang masih menyembunyikan ke dua jarinya di saku celananya tersenyum. Setelah itu ia memperhatikan jari-jari tangan laki-laki yang tidak memakai batu cincin. Akan tetapi karena tangan laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu juga tersembunyi di saku, ia hanya tersenyum penuh arti.

“Percayalah, aku tak punya batu cincin, Bapak. Aku tak bisa membeli barang mahal itu. Lagi pula untuk apa aku membelinya, buang-buang duit saja. Memangnya kita orang kaya. Kita toh bisa hidup tanpa batu cincin.” Kata laki-laki yang tidak memakai batu cincin seolah berbicara kepada seorang sahabat lamanya. Ia kemudian mengeluarkan ke dua jarinya yang tak memakai batu cincin dari saku celananya. “Nih, lihatlah ! Polos bukan ? Nah, sekarang kau tidak perlu bengong seperti itu. Aku yakin kau sangat percaya kepadaku.” Kata laki-laki yang tidak memakai batu cincin sambil memutar-mutar-mutar kedua jarinya di depan mata laki-laki setengah umur. Laki-laki setengah umur melolot menyaksikan aksi laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu. Ia seperti melihat zombi yang mendadak menjelma di hadapannya, mengancamnya untuk mencekik lehernya. Karena itu secara refleks laki-laki setengah umur mengeluarkan kedua tangannya yang penuh dengan batu cincin itu untuk menolak laki-laki yang tidak memakai batu cincin. Laki-laki yang tidak memakai batu cincin pun terpelanting ke belakang dan laki-laki setengah umur segera melarikan diri dan menghilang di keramaian orang.

Selepas peristiwa itu laki-laki yang tidak memakai batu cincin menghilang dari kampungnya. Tak seorangpun yang mengetahui kemana laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu pergi. Juga tak seorangpun tetangganya atau sekampungnya yang merasa perlu menanyakannya. Kepergian secara misterius laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu telah membuat ketenangan bagi mereka –para lelaki yang memakai batu cincin di kampung itu. Hilangnya dia telah membuat keseimbangan hidup bagi masyarakat yang telah dilanda epidemi batu cincin. Dan kini batu cincin semakin berkembang, semakin mewabah di tengah-tengah masyakarat. Kini bukan lagi laki-laki, perempuan, tapi juga bahkan kakek-kakek dan nenek-nenek sudah pula memakai batu cincin di jarinya. Dan para pejabat di daerah pun sudah pula memiliki hoby yang baru, yaitu hoby mengoleksi batu cincin. Tentu saja batu cincin itu telah diikat dengan berbagai logam yang dianggap bertuah, selaras dengan jenis batu cincinnya. Ada yang mengikatnya dengan tembaga, perak, platina, besi putih, emas dan emas putih. Tergantung kepercayaan dan tebalnya kantong pemiliknya. Para pengrajin amatiran bermunculan di hampir setiap sudut jalan. Di mana-mana terdengar geresek batu gerinda mengikis bongkahan granit untuk memperoleh sebuah batu cincin. Dan di kantor-kantor tak ada lagi perbincangan yang lebih asyik saat istrirahat kecuali : batu cincin !

Fenomena ini kemudian pula menyebabkan timbulnya sebuah kejahatan baru. Di mana-mana telah terjadi pencurian batu nisan yang dianggap bertuah. Bahkan batu-batu peninggalan sejarah dari sebuah musium atau sebuah situs sejarahpun telah diembat pencuri untuk sebuah keperluan: batu cincin !

Semusim setelah kepergian laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu dari kampung halamannya, terjadilah sebuah revolusi. Sebuah antiklimaks dari kisah batu cincin di mana para pemuja batu mulia itu mulai merasa jenu terhadap batu-batu yang dibuat oleh para pengrajin amatiran. Banyak dari batu-batu itu tidak lagi berkualitas dan dan nyata-nyata palsu. Karena itu banyak yang sudah merasa tertipu lahir batin. Secara lahiriah mereka sudah kehilangan uang untuk membeli batu-batu palsu dan secara batiniah mereka merasa tidak menemukan berkah apa-apa dari tuah yang diceritakan oleh para penjual batu cincin itu.

Sebuah koran lokal menyiarkan sebuah feature begini :  “Mula-mula orang mulai jenuh terhadap batu cincin. Dan entah siapa yang memulai tidak memakai batu cincin ke tempat kerjanya –karena lupa di mana menaruh cincinnya, ia tak mencari-cari lagi batu cincin itu. Ia kini merasakan jari-jarinya ringan setelah terbebas dari batu cincin. Besoknya ia masih juga tak memakai batu cincin meski cincinnya telah ditemukannya di sudut laci. Dan kejadian itu membuat juga rekannya mencoba melepas batu cincinnya dan betapa senangnya dia merasakan sensasi baru pada jari-jari tangannya yang tak mengenakan cincin. Tibalah kemudian banyak orang yang kelihatan ikut-ikutan pula melepas batu cincinnya.” Dan puncak dari antiklimaks itu ketika tiba-tiba sebuah media besar di kota itu menyiarkan sebuah berita duka tentang seorang anak pejabat yang meninggal dunia di Rumah Sakit karena dokter tak berhasil mengeluarkan batu cincin milik bapaknya yang tertelan secara tak sengaja ketika sedang main-main bersama kakaknya di kamar.

Dan kini orang-orang tidak mau lagi memakai batu cincin. Ada semacan terapi setelah orang-orang menderita sakit, kini sakitnya beransur-angsur sembuh dengan hilangnya batu cincin di semua jarinya. Dan sekarang tak seorang lagi yang senang memakai batu cincin di jarinya. Bahkan ada yang sudah mulai merasa muak jika ia kembali memakai cincinnya yang disimpannya di lemari itu. Ia kemudian menyuruh istrinya memberikan saja batu cincin itu kepada pembantunya atau membuangnya ke got sekalian supaya ia benar-benar dapat terbebas dari pengaruh batu cincin itu. Dan para pembantu di rumah-rumah pejabat pun sibuk menerima perintah untuk membuang batu-batu cincin itu di kali yang jauh dari rumahnya. Bayangkan, karena diam-diam ternyata ada banyak pejabat yang memiliki sekoper atau dua koper koleksi batu cincin yang entah diburunya dari daerah mana.

Ketika itu laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu telah muncul lagi di kampungnya. Tetapi ia kini sudah mengalami sebuah revolusi pula. Ia sudah berpenampilan sangat lain. Ia mengenakan jaket panjang sampai ke lutut, celana jeans, topi pet dan kacamata hitam. Penampilannya kini seperti Sherlock Holmes dalam cerita detektif ciptaan Sir Arthur Conan Doyle. Ia berjalan santai memasuki kampung. Kedua tangannya masih disembunyikannya di saku depan jaket panjangnya seperti dulu. Tetangganya yang dulu tak memperhatikan kepergiannya yang pertama kali melihatnya dari jauh di ujung jalan terbengong-bengong. Ia pun mengendap-endap di pagar halaman untuk mengintip. Setelah Sherlock Holmes  itu sudah dekat tetangganya yang mengendap-endap itu sudah mengenalinya dengan baik. Ia pun berteriak lantang.

“Hai, si Jauri datang, si Jauri datang...!”

Teriakan itu memancing semua tetangganya keluar untuk melihat siapa yang datang. Orang-orang kampungpun mulai berkerumun seolah menyambut seorang pahlawan yang baru saja datang dari medan perang. Pak Sekretaris Camat yang juga kebetulan tetangganya segera dipanggil orang.

“Haaiii Jauri. Kau dari mana saja selama ini ! Kami semua sudah lama mencarimu tapi tak seorang pun yang mengetahui kemana pergimu !” teriak orang-orang sambil melambaikan tangan mereka yang sudah telanjang dan tak lagi punya batu cincin itu.

“Iya betul kita mencari-carimu ke mana-mana. Banyak orang yang tiba-tiba merindukanmu, Jauri. Mereka menanyakan kemana pergimu. Bahkan Pak Camat kemarin datang ke sini bersama saya karena kami disuruh oleh Pak Bupati mencarimu. Orang-orang sekarang membutuhkan seorang figur sepertimu. Mereka membutuhkan pahlawan sepertimu. Seorang laki-laki yang tidak memakai batu cincin di jarinya...” kata Sekretaris Camat.

“Kau perlu tahu Jauri bahwa daerah kita kini telah dilanda sebuah revolusi baru, revolusi yang membutuhkan seorang pahlawan. Setelah sekian lamanya orang-orang diserang oleh epidemi batu cincin kini mereka mengalami depresi bahkan semacam stress berat. Orang-orang yang dulu sangat memuja batu cincin, para kolektor batu cincin, dan para pemakai batu cincin di jari-jari tangan dan jari-jari kakinya, kini telah muak dengan batu cincin. Mereka muntah-muntah bila melihat batu cincin. Mereka semua menderita nausea. Akibat lanjut dari penyakit ini adalah rumah sakit dan klinik-klinik kini dipenuhi dengan pasien penyakit aneh. Para dokter dan dukun-dukun tidak berhasil memulihkan kondisi mereka karena banyak dari mereka yang melihat batu-batu biasa saja sudah sakit kepala dan langsung muntah-muntah. Kantor-kantor pun mulai sepi karena banyak pegawai yang tidak masuk dengan alasan sakit kepala dan muntah-muntah ...” jelas Pak sekretaris camat.

Jauri, si laki-laki yang tidak memakai batu cincin itu melongo mendengar penuturan Pak Sekretaris Camat dan orang-orang sekampungnya. Benaknya kini mulai pusing dan wajahnya mulai memerah.

“Kalau orang-orang di kabupaten mengetahui kedatanganmu Jauri, pasti Pak Bupati akan menjemputmu sendiri besok. Masuklah dulu jangan terus berdiri di jalanan.” Kata tetangganya Pak sekretaris Kecamatan menariknya masuk ke rumahnya.

Jauri, si laki-laki yang tidak memakai batu cincin masuk diiringin tetangga-tetangganya yang datang menyambutnya. Pak Sekretaris Kecamatan pun mempersilakan Jauri duduk di kursi tamu rumahnya. Orang-orang kampung yang lainpun ikut duduk mengerumuni Jauri. Mereka ingin mengetahui cerita Jauri, kemana Jauri selama ini dan mengapa Jauri menghilang dari kampung.

“Apa yang dibutuhkan Pak Bupati dariku ? Dan mengapa mesti aku yang dipanggil ? Aku kan tidak punya salah apa-apa. Kalau dulu aku tidak memakai batu cincin itu, semata-mata karena aku tak dapat membelinya. Tapi sekarang...” Jauri menggoyang-goyangkan jari-jarinya di dalam saku Jaketnya. Tapi tentu saja orang-orang tidak melihat apa yang dilakukan Jauri karena kedua tangannya masih disembunyikannya di saku jaketnya.

“Bukan begitu Jauri. Kamu tidak bersalah karena kamu menolak menggunakan batu cincin di jarimu. Tapi sebaliknya, justru karena prinsip dan keenggananmu untuk tidak menggunakan batu cincin selamanya di jari-jarimu itu maka Pak Bupati akan menjadikanmu sebagai seorang figur. Bukankan sekarang ini orang-orang membutuhkan figur untuk memulihkan situasi. Jangankan untuk penyakit psikologis seperti ini, penyakit politik saja juga membutuhkan figur. Dan kaulah satu-satunya orang di daerah ini yang dulu tidak menggunakan batu cincin di jarimu cocok menjadi seorang figur atau difigurkan”

“Tapi...” kata Jauri.

“Tak ada tapi. Orang-orang kini membutuhkanmu sebagai seorang pahlawan, seorang figur.” Kata sekretaris camat, “kita-kita di sini tak ada masalah. Kita sudah belajar dari keteguhan yang kau teladankan. Tapi mereka yang di kota praktis tak mengenal riwayatmu, sangat membutuhkanmu sebagai figur untuk memulihkan penyakit mereka.”

“Tapi sungguh... saya ini, saya bukan yang dulu lagi. Saya bukan lagi seorang laki-laki yang tidak memakai batu cincin di jari. Kalian semua salah. Ketahuilah bahwa kalianlah yang memaksaku untuk berobah. Kalian semualah yang membuatku menjadi seorang pemburu batu cincin. Selama ini aku telah menjadi seorang pemburu seperti mereka. Ketahuilah bahwa selama kehilanganku di kampung ini sebenarnya aku melakukan perburuan ke gunung-gunung, ke gua-gua, ke tempat-tempat bersejarah yang dianggap orang keramat. Tidak lain tujuanku hanyalah memburu batu cincin. Dan sekarang aku adalah seorang laki-laki yang di tangannya penuh memakai batu cincin...”

Berkata begitu Jauri pun mengeluarkan ke dua tangannya dari saku jaket dan memperlihatkan ke sepuluh batu cincin yang menghiasi sepuluh jari-jarinya. Lalu ia membuka sepatunya, menaikkan ke dua kakinya di atas meja dan memperlihatkan ke sepuluh batu cincin yang melekat pada ke sepuluh jari-jari kakinya.

Dan orang-orangpun panik. Mereka tiba-tiba merasakan kepalanya mulai pening. Sebagian orang sudah berlari berlari ke luar teras dan muntah-muntah di sana dan sebagian lagi langsung saja muntah di ruang tamu Pak Sekretaris Camat.

 

Barru, Januari 2014

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler