Skip to Content

Lawela, Warisan, dan Tanah Air Kata-Kata

Foto Rahmat adianto

Oleh: Rahmat Adianto, relawan Pustaka Kabanti

Lawela Selatan desanya. Batauga kecamatannya. Buton Selatan kabupatennya. Sulawesi Tenggara pasti nama provinsinya. Lima belas kilo meter ke arah selatan dari Kota Baubau, akan tiba di desa itu, desa saya. Gerbang mengucapkan selamat datang bagimu di Kecamatan Batauga. Disambut penurunan diikuti sedikit tikungan, berujung pula penurunan tanpa ucapan selamat jalan.

Dahulu tanah ini hanya tempat bebatuan tertambat, pepohonan dan rumput tumbuh, rumah-rumah berdiri kokoh, serta tempat berpijak. Kakek dan nenek saya memiliki beberapa hektar tanah di tempat yang berbeda. Mereka memanfaatkan tanah sekadarnya, menanami tumbuhan kebun.

Kakek seorang yang dianggap suci oleh keluarga saya. Sepanjang hidup, ia tidak pernah marah berlebihan, tidak pula memendam dengki pada sesiapa pun. Untuk berbanjak dari rumah ke tujuan lain, ia akan berniat diringi doa. Ia tidak pernah berniat melakukan hal-hal yang buruk. Enggan merugikan orang lain dengan mengambil hak mereka. Ia meniatkan segala sesuatu demi kebaikan, kelangsungan hidup, dan anak-anaknya.

Satu hal yang tidak banyak orang percaya, saat saya bercerita tentang “wali”. Dalam kehidupan terdahulu, mereka selalu percaya dangan makhluk gaib. Menurut saya hal-hal gaib itu nyata. Bukan untuk menduakan Tuhan, tapi sekadar menjaga diri dari kejahatan malam dan tukang sihir.

Orang Buton menaruh kepercayaan besar, mengakui “wali” sebagai orang suci yang tidak kasat mata. Begitu pun saya membenarkan lisan ibu ketika bercerita tentang kakek.

“Kita memang tidak punya apa-apa. Saya sembunyikan sedikit barang berharga dalam lemari. Emas sebagai mas kawin dari ayahmu dan perhiasan hadiah dari kekekmu. Suatu malam seorang masuk ke dalam rumah, mengambil beberapa perhiasan dari lemari. “Wali” yang menjaga rumah membiarkan mengambil sesukanya. Peredaran waktu ke waktu, tanpa balasan fisik beredar kabar si pencuri ditimpah sial. Bergelayut nafsunya, ia ketagihan dibunuh tangan panjangnya sendiri.” Kira-kira demikian kata ibuku.

 

Usai kepergian kekek, tanah-tanah itu diabaikan, dengan asumsi tanah itu tidak akan diambil orang. Nenek dan ibu serta dua saudara ibu hanya memberikan perhatian pada tanah yang mudah mereka jangkau. Berkebun sebagai cara bertahan hidup, jagung dan umbi-umbian menjadi pengasup gizi sepanjang tahun itu. Bermukin di kebun salah satu cara untuk menjauh dari kedengkian orang-orang.

Biasanya orang-orang melakoni sandiwara, menjajakan senyuman semanis-manisnya. Di belakang, mereka meraung serupa anjing kelaparan siap menerka. Entah apa sebabnya? Keluarga saya enggan mengambil hak mereka. Orang-orang berbicara ngawur tanpa dasar kemanusiaan, meluapkan kebencian tanpa dalih yang dapat diterima akal sehat. Mengapa? Lantaran nasib digerogoti kemiskinan.

Ketika masa kanak-kanak, perlakukan semena-mena kerap kali saya dapatkan. Pipiku dilembabkan air mata hampir saban hari. Mereka pandang keluarga saya sebelah mata. Lantaran setiap perlakuan risak anak-anak itu selalu ditanggapi dengan senyuman. Sebab keluarga saya tidak ingin melahirkan sedikit pun dengki dalam dada dan memilih menguburkan kemarahan.

Desember membuka tirai tahun 2003. Peradaban berkembang pesat, petuah perlahan sirna dari kepala orang-orang desa. Pagar pergaulan tersingkap. Seragam-seragam sekolah berbaur bau konau, arak, dan aroma aneka rokok. Saya senang berkawan, melakukan hal-hal buruk bukan dari niat sendiri. Ikut-ikutan menjadi alternatif dalam menjaga keakraban. Mesikpun tidak sedikit teman yang terlalu fanatik.

Saya akan senang memenuhi hasrat mereka dalam keadaan terbatas. Sejak kecil saya telah berlajar licik, tanpa berguru. Misalnya saat melihat kue biji-biji mereka biasanya mereka menyuruh saya untuk melakukan sesuatu. Agar saling menguntungkan, selalu meminjam sepeda mereka untuk pulang mencuri jam mete tanpa sepengetahuan orang tua. Lewat samping rumah tetangga, saya menyelinap masuk dan memungut puluhan jambu. Kembali pun dengan jalur yang sama, melangkah sigap dan siaga memandangi rumah saya. Tema-teman saya akan menunggu di bawah pohon dekat sekolah, SDN 1 Lawela. Untuk menyulap jambu mete menjadi kue biji-biji, salah satu dari kami harus menyelinap ke dalam halaman sekolah. Di kantin, samping sekolah selalu ada kompromi antara ibu kantin dan teman yang menukar jambu mete dengan kue biji-biji.

 

Beranjak dari SD, saya memasuki jenjang SMP yang dikeliling rindang pepohonan jambu mete. Saat itu, masih SMP Negeri 1 Batauga, Filial Lawela yang bergati menjadi SMP Negeri 5 Batauga. Aktivitas pun masih dengan orang-orang yang sama. Saya Kerap kali membuat wali kelas berkunjung ke rumah karena tiga tahun mengulang kebodohan yang sama pula, duduk di bawah pohon belakang sekolah. Usai kunjungan wali kelas, ibu saya akan marah terlebih dahulu untuk sedikit menghilangkan jejak wali kelas pada ayah. Andaikata ayah yang menerima laporan, saya akan mendapat gula-gula pahit, istilah dari ibu.

Masuk SMK saya berubah total. Menjadi siswa terajin. Sebelum siswa lain tiba, biasanya saya sudah menyapu ruang kelas dan halaman. Dengan modal peringkat sepuluh, saya perwakilan siswa laki-laki berdiri di hadapan sekian banyak orang dari SMP dan wilayah berbeda saat bagian kesiswaan mengundang peringkat pertama hingga peringkat kesepuluh. Saya terpilih jadi ketua kelas, disenangi teman sekelas, serta akrab dengan para guru. Jenjang kelas selanjutnya, saya bertahta di kursi jabatan ketua OSIS memimpin ratusan orang. Jenjang terakhir dinobatkan sebgai ketua MPK di SMK Al Safitri.

Tepat pertengahan tahun 2016, saya resmi menjadi mahasiswa Bidikmisi di Universitas Halu Oleo. Saya tidak punya cukup uang untuk menjadi mahasiswa. Bahkan ibu pernah bilang tidak ada biaya darinya. Keterbatasan ekonomi membulatkan tekad saya kuliah. Mengubah jadi, nasib muara utama cita-cita saya. Dari alur kehidupan, banyak pengalaman yang menggurui saya, mengajarkan keadaban, pergaulan, cara beradaftasi, dan berorganisasi.

Semester tiga, saya pulang kampung, menyandang gelar mahasiswa. Orang-orang memandangi saya dengan mengerutkan kening.

“Dari mana?” pertanyaan yang akan terulang sepanjang desa.
“Dari Kendari, kuliah.” jawab saya sedikit bangga.
“Saya masuk kampus jalur bebas tes dan dapat beasiswa,” jawaban tambahan saya.

Mungkin saja ada yang berpikir, bisa juga ini anak kuliah di Kendari, yah.

 

Beberapa tahun silam mereka bersikap tak sehangat saat ini. Mahasiswa yang kuliah di luar daerah akan segani oleh orang-orang desa saya. Ada yang tersenyum tulus ada pula yang tersenyum sinis. Selalu ada dengki yang lahir karena saya lebih berhasil dibanding anak-anak yang mem-bully saya beberapa tahun silam.

Pertengahan 2017, pemberdayaan tempat wisata di desa, bernaung di tanah hak waris saya. Mereka berlomba-lomba merayu dan memendam kemaluan tanpa melirik masa silam. Awalnya kemarahan sempat menggerogoti dada saya. Perangkat desa belajar bodoh dari kebodohan. Hidup di bawah kendali erotisme kekuasaan, membuat keputusan di atas keputusan, menjalankan peraturan bodoh. Berpedoman pada dua surat keputusan yang sama, berbeda lampiran anggota diberlakukan secara bersamaan.

Saya memilih berpikir positif. Sebagai ciptaan Tuhan, orang-orang itu dalam keadaan khilaf.

Saya lalu dibanjiri undangan tersirat untuk berkunjung ke rumah mereka saat berpapasan di pinggir jalan, dengan dalih keluaga, “kemanakan” katanya. Demi beban moral, saya memenuhi undangan mereka. Di dalam rumah, mereka akan menyediakan berbagai nuansa dan suguhan istimewa. Lalu memulai percakapan dengan bahasa yang basi. Ibarat sebuah makalah, sebagai kata pengantar. Setelah jenuh, mereka akan mulai dengan berbisik.

“Tanahmu berpotensi.” Kira-kira demikian mereka berkata.
“Saya belum cukup mempu mengurus tanah, masih sibuk dengan urus kuliah. Silahkan tanya om atau mama saya, mereka yang tahu “mengurusnya,” begitu jawaban saya sekadarnya.

Saat ini, saya masih berandai-andai tentang tanah warisan kami. Saya tak ingin ia diperebutkan atas nama “pembangunan”. Saya merencanakan ia jadi ladang pembangunan yang lain.

Di Lawela, tanah warisan kami adalah pesan hidup sang kakek.

 

Dari Kendari sebagai daerah mencari sabda pendidikan, bagi saya untuk sementara Lawela adalah tanah air kata-kata.

Kendari, 5 November 2018


Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler