Skip to Content

Lelaki Dari Masa Lalu

Foto R'ainy Yusuf

Aku memeriksa kembali dekorasi ruang pertemuan yang diatur dengan suasana formal. Sebentar lagi ruangan ini akan penuh dengan  delegasi perusahaan yang akan mengadakan rapat akhir tahun di sini. Sebagai orang yang dipercaya untuk mengatur dekorasi dan penyediaan katering, aku tidak sepenuhnya mempercayakan tugasku kepada para karyawan. Untuk sentuhan akhir, sebelum acara dimulai, aku menyempatkan diri melakukan pemeriksaan. Dan aku tersenyum puas melihat hasil kerja teman-teman. Reputasi kami sebagai pendekor ruangan tidak perlu diragukan.

Pukul sepuluh pagi, para delegasi sudah mulai berdatangan. Walaupun hanya bertugas sebagai penyedia jasa katering, sesekali aku muncul juga ke arena rapat untuk memastikan semua berjalan lancar. Hanya dari kejauhan tentu saja. Delegasi yang berkumpul kali ini adalah pengurus dan pemegang saham sebuah perusahaan perkebunan besar yang berkecimpung pada penanaman karet dan kelapa sawit. Dari ruang pantry, suasana rapat yang panas terdengar dengan jelas. Aku tidak faham bagaimana para pengusaha itu dapat bertahan dengan suasana tegang seperti itu setiap kali ada rapat. Tetapi hal itulah yang menjadi bagian dari sumber rezekiku. Kesibukan mereka berarti memberi peluang bagi usaha yang ku jalankan. Mereka membutuhkan pelayanan kami, sedangkan kami membutuhkan pelanggan. Dan entah sudah berapa kali para pelayan mondar-mandir menyediakan minuman hangat dan dingin.

Aku sedang memeriksa makanan yang akan dihidangkan untuk makan siang ketika tiba-tiba seorang pelayan mengeluh kakinya terseleo.

“Kenapa?” tanyaku sambil mendekati pelayan itu.

“Kaki saya keseleo, Bu. Rasanya sakit sekali kalau dibawa berjalan,” jawab gadis itu sambil meringis memegangi kakinya.

“Ya sudah, kamu istirahat saja,” jawabku akhirnya.

“Tapi, siapa yang menggantikan saya, Bu?” tanya gadis itu lagi.

Aku melihat ke sekeliling. Seluruh tim sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Untuk mencari pelayan pengganti pasti makan waktu lama.

“Saya yang akan menggantikan kamu,” jawabku akhirnya.

Untuk beberapa saat gadis itu terpana. Beberapa pelayan yang kebetulan berada di dekat kami juga menghentikan kegiatannya dan melihat ke arahku. Mereka pasti heran,  biasanya aku tidak pernah mau tampil di keramaian.

“Kalau harus mencari pelayan pengganti akan terlalu lama,” kataku menjawab keheranan mereka.

Aku mendorong troli berisi makanan ringan dan minuman dingin ke tengah pertemuan. Melewati meja Tuan Han, dia menghentikan kegiatannya sesaat untuk berpaling ke arahku. Lelaki paruh baya yang selalu menggunakan jasa kami itu tentu heran melihatku ikut bertugas sebagai pelayan. Tetapi kemudian dia kembali berkutat dengan kertas-kertas di depannya.

Berkeliling dari satu meja ke meja lain sambil menawarkan makanan ringan dan minuman dingin ternyata pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan ekstra. Tak jarang orang yang ku tawari justru menolak dengan kasar karena menganggap aku mengganggu pekerjaannya. Kalau begini aku jadi teringat adegan sebuah film tentang para robot. Orang-orang ini tak ubahnya robot-robot yang tak memiliki perasaan. Di meja yang terletak paling ujung, aku menawarkan minuman dingin pada empat pria yang duduk berhadapan. Salah satunya Tuan Will, putra Tuan Han yang sering menjadi perantara ayahnya untuk memesan jasa katering dan dekorasi kami.

“Saya minta teh dengan dua sendok gula,” ujar seorang pria yang paling dekat denganku.

Pria itu berbicara tanpa mengangkat wajah dari kertas-kertas di tangannya. Ada rasa menyengat di dadaku mendengar suara pria itu. Seperti pernah ku dengar. Tapi rasanya tidak mungkin dia pemilik suara yang pernah ku kenal. Aku membuat minuman pesanan pria itu lalu berlalu dari sana setelah ketiga orang lainnya tidak berminat meminta minuman. Tuan Will hanya mengangkat wajahnya sedikit dan menggerakkan alis untuk menyapaku. Aku tersenyum sambil menjauh dari sana. Kembali aku mendorong troli ke ruang pantry.

Di pantry, para pelayan sibuk dengan persiapan makan siang. Ku lirik jam di pergelangan tanganku. Pukul duabelas seperempat. Sebentar lagi waktu istirahat makan siang. Ku arahkan teman-teman untuk melayani para tamu yang sebentar lagi akan menuju ke ruang makan. Segala macam hidangan yang dipersiapkan telah tertata apik di atas meja panjang. Pelayan yang bertugas untuk menyediakan berbagai keperluan pun telah stand by di tempat. Tepat pukul duabelas tigapuluh, para delegasi, yang tadi berkutat dengan pekerjaan tanpa peduli sekitar itu, mulai memasuki ruang makan. Mereka bergiliran mengambil makanan sambil sesekali bercengkrama dengan koleganya. Dapat ku pastikan yang mengambil hidangan paling dulu tentulah para bos besar. Diikuti bos-bos kecil, sedang, hingga yang terbawah, karyawan. Ketika tengah mengamati para tamu yang sedang mengambil hidangan itu, seorang tamu memanggilku.

“Ada yang dapat saya bantu, Pak?” tanyaku dengan sopan.

“Bukan saya. Tetapi Tuan Yan, yang duduk di meja dekat jendela sana, minta diambilkan lada,” jawab pria yang baru saja memanggilku.

“Oh, silakan Anda meneruskan makan. Saya akan mengantarkan lada ke meja Tuan Yan,” jawabku.

Pria itu berlalu kembali ke mejanya. Aku bergegas ke pantry dan mengambil tempat lada. Ketika hampir dekat ke meja itu, dapat ku kenali lelaki yang ada di sana adalah yang tadi duduk bersama Tuan Will dan minta segelas teh dengan dua sendok gula. Aku ragu untuk menyerahkan lada itu. Ku lihat sekeliling, semua pelayan tengah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Apa boleh buat, terpaksa aku sendiri yang membawa lada ke sana.

“Ini lada Anda, Tuan,” ujarku sambil memberikan benda itu kepada lelaki yang di sebut Tuan Yan.

Dia menoleh untuk menerima lada. Ketika pandangan kami bertemu, hampir saja aku menjatuhkan tempat lada di tanganku. Dan untuk sesaat kami hanya saling pandang. Sekarang aku tidak lagi meragukan pendengaranku tadi. Lelaki itu benar-benar orang yang pernah ku kenal dahulu. Sekelebatan bayang masa lalu bermain simpang-siur di pelupuk mataku. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengiris perih di dada. Lalu timbul keangkuhan yang merajai hatiku. Lelaki ini bukan siapa-siapa, bisikku pada diri sendiri. Dan begitu saja sebuah senyuman kembali muncul di bibirku, seolah tak terjadi apa-apa. Cepat-cepat aku meletakkan tempat lada dan berlalu dari sana. Aku terus menuju pantry. Tak ku hiraukan lagi keadaan meja hidangan. Biarlah semuanya ku serahkan kepada para karyawan. Aku harus meredakan rasa yang bergemuruh di dadaku saat ini. Rasa sakit yang tadi mengiris telah membangkitkan amarah di hatiku.

Akhirnya acara pertemuan itu usai sudah. Dengan rasa puas kami menyelesaikan tugas terakhir. Ketika akan beranjak pulang bersama  timku, seseorang menyampaikan pesan kalau Tuan Han ingin bertemu denganku.

“Sekarang?” tanyaku pada wanita yang baru saja menyampaikan pesan itu.

“Benar, Bu. Tuan Han menunggu di ruang kerjanya,” ujar gadis itu sambil menunjukkan arah ruang kerja Tuan Han.

Aku tercenung beberapa saat lamanya. Bila ingin membicarakan tentang masalah pembayaran, aku hanya perlu berurusan dengan sekretaris Tuan Will. Atau adakah yang salah dengan pekerjaanku kali ini? tanyaku dalam hati. Akhirnya aku menyuruh para karyawan pulang terlebih dahulu. Kepada salah seorang di antaranya ku pesankan agar menjemput anak-anakku di tempat penitipan. Siapa tahu aku  terlambat menjemputnya.

Di depan ruang kerja Tuan Han, aku berdiri beberapa saat lamanya. Rasanya tak ada yang salah dengan pekerjaanku hari ini. Dengan keyakinan itu ku ketuk pintu ruang kerja Tuan Han.

“Silakan masuk,” jawab pengeras suara yang ada di samping pintu kaca.

Aku masuk dan menutup pintu kembali. Tuan Han berdiri di samping meja kerjanya sambil merapikan kertas-kertas. Di dalam ruangan, Tuan Han bersama seseorang. Orang itu duduk di kursi Tuan Han, hampir membelakangi kami. Aku hanya dapat melihat tangannya dari samping kursi besar itu.

“Tuan Han memanggil saya?” tanyaku sambil tetap berdiri di dekat pintu.

“Benar. Silakan duduk dulu. Sebenarnya bukan saya. Tetapi seseorang ingin bertemu dengan Anda,” suara Tuan Han di tekan ketika menyebut kata seseorang.

Aku mendekat ke meja kerja lelaki tua itu. Selama hampir tiga tahun berhubungan bisnis dengannya, beliau telah ku anggap sebagai orang tua. Tak jarang banyak nasehat yang di berikannya sehubungan dengan kehidupanku. Sebagai singel parent dengan dua anak kembar, aku merasa terlindungi dengan sikap orang-orang seperti Tuan Han. Hal itu membuatku tidak pernah berprasangka buruk padanya.

“Duduklah,” ujar Tuan Han. Aku masih tetap berdiri di sisi meja.

Tuan Han bergegas ke luar lewat pintu paviliyun di samping ruang kerjanya. Orang yang ingin bertemu denganku itu masih tetap duduk menghadap jendela besar yang menyajikan pemandangan suasana kota. Dari tingkat duabelas gedung ini, kota bagai di selimuti kabut yang membuat segalanya terlihat samar. Walau begitu, dari jendela itu masih jelas tampak burung-burung yang berterbangan kembali ke sarangnya. Di ufuk barat, langit menyajikan lukisan indah yang hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang sempat menangkap keindahannya. Sebab sebentar lagi keindahan itu akan sirna, berganti dengan kepekatan malam.

Setelah terdiam cukup lama, barulah orang itu membalikkan pandangannya ke arahku. Seolah telah dapat menduga, aku tidak terkejut ketika berhadapan dengannya. Pria yang tadi minta dibuatkan teh dengan dua sendok gula. Yang selalu makan dengan tambahan lada. Pria yang pernah ku kenal dengan kebiasaan yang belum berubah. Dan kebiasaan yang belum berubah itu kini menggelisahkanku.

Dia menatapku lama. Sebuah senyuman muncul di bibirnya yang bergetar. Perlahan dia bangkit dan mendekat padaku. Tangannya bergerak hendak menyentuh pundakku. Aku bergeser untuk menghindari sentuhan pria itu. Dia tegak di sana dengan tangan masih mengambang menyentuh angin. Dia meremas seolah menggenggam angin itu dengan putus asa.

“Lama aku mencarimu,” ujarnya setelah lama terdiam sambil meremas-remas rambut dengan kedua tangannya.

Dan mengalirlah cerita dari bibirnya. Cerita yang bagiku bagai drama yang sudah berpuluh kali di putar ulang. Tetapi tidak dengan skenario yang di tulis oleh siapapun. Drama itu berputar di pelupuk mataku dalam sebuah kenangan yang tidak mungkin terlupakan.

Yan, seingatku bernama Aryan Raharja, putra pertama seorang presiden komisaris sebuah kondominium yang bergerak dalam berbagai bidang usaha. Seusai pendidikan, Aryan ditugaskan ayahnya memimpin anak perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan lahan hutan. Sedangkan aku, hanya putri seorang karyawan pada perusahaan itu. Tuan Raharja tahu kalau putranya sudah sepantasnya berumah tangga. Tetapi hingga berusia hampir pertengahan tigapuluhan, dia tetap melajang. Yang membuat risau sang ayah, Aryan Raharja memilih hidup bersama dengan seorang wanita yang berprofesi sebagai escort girl. Sebagai orang tua yang memiliki pengalaman hidup, dia ingin agar anaknya menjalani kehidupan normal dalam berumah tangga. Tetapi Aryan tetap ingin menikah dengan sang escort girl. Perdebatan ayah-anak tentang pemilihan pasangan itu mungkin tak akan selesai jika tidak karena sebuah hal yang kebetulan terjadi.

Suatu hari Tuan Raharja bersama rombongan meninjau perusahaan pengembangan hutan itu. Acara penyambutan melibatkanku sebagai panitia.  Acara itu hanya berupa pertemuan antara para pengurus dengan pengelola usaha. Dua hari kemudian,  seluruh rombongan telah kembali ke kota. Kecuali Tuan Raharja. Beliau masih tinggal hingga beberapa hari berikutnya. Pada suatu petang, beliau meminta ayah agar datang ke mess tempat beliau menginap. Hingga hampir pukul sembilan malam, barulah ayah pulang dengan wajah terlihat gelisah. Aku yang membukakan pintu untuk ayah malam itu. Begitu melihatku ayah langsung memelukku. Aku merasakan ada isak di dada ayahku.

Sebulan kemudian aku sudah duduk di pelaminan. Bersanding dengan Aryan Raharja, yang tetap tenang melayani setiap tamu yang menyalaminya memberi selamat. Entah bagaimana perasaanku saat itu. Segalanya seperti mimpi yang akan segera berakhir. Tetapi tidak. Selanjutnya aku menyadari kalau aku telah menjadi nyonya Aryan Raharja. Ketika setiap pagi aku terbangun dan ku dapati dia tidur membelakangiku. Sama persis seperti ketika menjelang tidur pada malamnya. Semua berjalan dengan dingin dan tanpa ekspresi. Suamiku jarang berbicara denganku. Dia hanya berkata seperlunya. Suatu malam dia pulang dalam keadaan mabuk berat. Segala serapah dikeluarkannya. Aku hanya diam saja menelan setiap kata-kata penyesalan yang ditumpahkannya tentang pernikahan kami. Hingga akhirnya dia kelelahan dan jatuh tertidur. Tetapi menjelang pagi, aku merasakan ada yang mengganggu tidurku. Dalam temaram lampu kamar, aku tahu suamiku sedang merindukan perempuannya. Dia menyebut nama perempuan itu beberapa kali ketika menyentuhku. Tetapi aku tidak menolaknya. Dia ku terima dalam kehangatanku.

Aku masih belum mampu mencerna kejadian yang ku alami. Dua bulan setelah kejadian itu, Aryan mengatakan kalau dia akan menceraikanku. Terduduk di sudut kamar, aku teringat ketika ayah pulang setelah menghadap Tuan Raharja. Orang yang sekarang menjadi mertuaku itu meminta ayah agar bersedia menikahkan aku dengan puteranya. Ayahku sangat mengenal sikap Aryan. Tetapi sebagai karyawan biasa, dia ternyata tak mampu menolak keinginan atasannya. Janji Tuan Raharja, beliau tidak akan membiarkanku disia-siakan puteranya. Dan kekhawatiran ayah terjadi sudah. Aryan tetap ingin menikah dengan kekasihnya.

Di rahimku sedang mengeram calon bayi yang baru berusia dua bulan ketika aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Aryan. Aku tidak menunggu proses perceraian kami selesai. Kepada Aryan ku pesankan agar menitipkan surat perceraian kami kepada orang tuaku. Dan sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi. Pun keluargaku. Karena sampai saat ini aku masih enggan menginjakkan kaki ke tanah kelahiranku. Surat perceraian tak pernah dititipkan Aryan. Dia pasti tak memusingkan masalah itu. Kepergianku, baginya sudah lebih dari cukup.

Aku tinggal bersama temanku yang ada di sebuah kota besar. Setelah aku melahirkan, kami memulai usaha bersama. Sebuah usaha  jasa dekorasi dan katering. Ketika usaha yang kami jalankan mulai mapan, temanku itu memilih mengikuti suaminya yang bekerja di luar daerah.  Dan sudah dua tahun aku menjalankan bisnis ini sendiri. Kedua anakku tumbuh dengan baik. Sekarang keduanya sudah duduk di bangku taman kanak-kanak.

Dering ponsel di dalam tasku menghentikan kenangan panjang itu. Yan atau Aryan memandangiku dari seberang meja. Kuangkat ponselku. Suara kedua anakku berebut ingin bicara.

“Mama, kenapa belum datang?” suara Candra yang lebih tua lima menit dari adiknya.

“Mama janji kita nonton Gufi, loh,” itu suara Vidya.

“Sebentar lagi Mama pulang. Nanti kalau Tante Vina jemput, kakak sama adek pulang saja dulu,  ya,” jawabku lalu mematikan ponsel.

Lelaki di depanku masih tetap memandangiku dari tempatnya.

“Aku tidak tahu kalau kau tengah mengandung anakku,” ujarnya memecah kebekuan yang terus merajai suasana.

“Aku benar-benar menyesal dengan sikapku waktu itu,”dia mengatakan itu sambil berjalan ke sampingku, “ternyata mencintai sangat berbeda dengan kasih sayang.”

Dia menatapku lekat-lekat. Aku membuang pandangan ke luar jendela.

“Dan aku telah membiarkan kasih sayang itu sia-sia selama ini. Ku mohon kau memaafkanku,” lanjutnya pelan setelah aku tetap diam.

 

Aku menghela nafas untuk meredakan gemuruh di dadaku. Kuigit bibir untuk menahan air mata yang hampir tumpah. Tidak! Aku tak boleh menangis di depan lelaki ini.

“Saya permisi, Tuan. Anak-anak saya menunggu di rumah,” jawabku tanpa mempedulikan kata-katanya barusan.

Bagiku hubungan kami telah lama usai. Dia adalah bagian tak sengaja yang tertulis dalam kehidupanku. Dan bagian itu ingin ku hilangkan selamanya.

“Izinkan aku mengantarmu,’ katanya lagi sambil berdiri.

“Tidak usah,” jawabku sambil bergegas menuju pintu keluar. Nyaris suaraku terdengar ketus.

“Biar sopirku yang mengantarmu,” ujarnya lagi. Nadanya membujuk.

Aku yang sedang memegang handle pintu merasa ia memaksa dalam kata-katanya. Tetapi aku bukan lagi gadis delapan belas tahun yang lima tahun lalu terpaksa menikah dengannya. Ketersinggungan menyebabkan rasa angkuh timbul kembali dalam diriku. Ku balikkan tubuhku dan menatapnya dengan tajam.

“Tuan Aryan Raharja, Anda jangan bersikap sebagai orang yang ingin mengatur hidup saya. Kita tidak memiliki hubungan apapun lagi. Dan saya sudah cukup dewasa untuk menentukan dengan siapa saya akan pulang,” ku katakan itu dengan suara terang dan tegas.

Dadaku terasa sesak waktu mengatakan itu. Air mataku menggenang tapi kutahan agar tak sampai jatuh.

Terjadi perubahan pada ekspresi wajahnya. Lelaki itu pasti sangat terkejut dengan sikapku. Selama hidup dengannya, dia hanya tahu kalau aku adalah wanita yang penurut.

“Walaupun  kau adalah ibu dari anak-anakku?” tanyanya lirih.

Aku tak mempedulikannya lagi. Ku tinggalkan tempat itu dengan langkah tergesa. Di depan lift aku berpas-pasan dengan Tuan Han yang baru keluar dari dalam lift. Aku hanya menganggukkan kepala menyapanya. Sendirian di dalam lift, aku tak dapat lagi menahan air mataku. Setelah lebih lima tahun baru kali ini aku berani menumpahkan kemarahanku pada lelaki itu. Aku tahu dia tak akan melepaskan aku dan anak-anakku begitu saja. Tetapi aku hanya ingin dia tahu, aku masih mampu berdiri di atas kakiku. Di depan gedung perkantoran ini aku berdiri menunggu taksi. Hujan merinai membasahi aspal yang tertimpa panas seharian tadi. Tetapi hujan itu belum mampu membasahi hatiku yang terluka sekian lama.

Kotapinang, 3 Juni 2012,  Minggu, 11.35 WIB.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler