Skip to Content

Love in Alaska

Foto Dewi Artika

Love in Alaska


Oleh : Dewi Artika


Sudah 4 (Empat) Tahun aku tinggal di Alaska, Amerika Serikat. Awal tahun depan aku akan pulang ke Medan karena sebelum akhir tahun, Project kerjaku di Alaska telah selesai. Hatiku begitu berat untuk meninggalkan kota ini. Alasannya karena Frans. Jika aku pulang artinya aku akan meninggalkan Frans di sini. Frans temanku sejak SMA tapi sudah menjadi kekasihku. Kami menitih karier bersama sampai pada akhirnya kami bisa berkarier di sini. Kami sudah 5 (Lima) Tahun menjalin cinta. Walaupun hubunganku dengan Frans tidak direstui oleh orang tuaku karena perbedaan keyakinan yang kami anut. Tapi Frans tetap menghargaiku sebagai seorang wanita yang berasal dari keluarga religius. Aku sangat mencintai Frans karena dia selalu menjaga diri dan kehormatanku.


Pagi itu Frans datang lebih awal ke flat-ku. Aku yang masih tidur harus terbangun karena Frans menelepon ke ponselku. Dalam keadaan ngantuk aku menggapai ponsel yang terletak di  bawah bantalku. “Halooo...” ucapku dengan suara parau. “Sayang, bukain pintu donk aku udah di depan flat kamu nih...” tukas Frans. Aku langsung keluar kamar dan membuka pintu untuk kekasihku itu. “ada apaan sih, pagi banget kamu ke sini? Hari ini kan hari minggu?” tanyaku sambil mempersilahkannya masuk. “Nayla sayang, aku mau ajak kamu jalan-jalan. sekarang cepat kamu mandi, biar kita langsung pergi. aku tunggu di Cafe seberang depan sana yaaa, pokoknya kamu harus dandan yang cantik... titik, jangan banyak tanya!” jawab Frans yang langsung pergi.  


Pagi itu begitu cerah tanpa salju dan suhu panas 18 derajat celcius, Frans mengajakku jalan dengan mobil tua miliknya yang dibelinya sejak dia menetap di Alaska. Prioritas penggunaan mobil itu untuk transportasi pergi ke kantor. Alaska di hari minggu pagi benar-benar menyenangkan. Frans menghentikan mobilnya di Denali National Park (Taman Nasional Denali), salah satu tempat wisata populer di Alaska dan juga tempat favoritku. “Sayang, kita udah nyampek, turun yuk..!” ajak Frans dengan senyum manisnya. “Frans, ini Denali Park... udah lama kita nggak ke sini... aku kira kamu lupa tempat favoritku...” ucapku yang kegirangan. Frans hanya terdiam dan tersenyum sambil menggandeng tanganku dan melanjutkan berjalan.


Aku dan Frans menghabiskan waktu di taman yang super indah itu hingga pukul enam sore waktu Alaska. “Nayla, kamu seneng?” tanya Frans sambil tersenyum. “seneng donk sayang, thanks ya... kamu udah ajak aku ke sini. ntar kalau ada waktu libur kita ke sini lagi yaaa...” tuturku manja padanya. “iya... tapi sebelumnya aku minta maaf kalau nanti aku nggak bisa ajak kamu jalan ke sini lagi.” ucap Frans lirih. “aku nggak peduli alasan kamu. Aku mau kita sering datang ke sini. aku suka banget tempat ini...” ucapku spontan yang tak punya firasat apa-apa. Hari mulai petang dan kami meninggalkan taman Denali.


Frans mengantarku ke flat. “sayang, aku langsung pulang yaaa...” ucap Frans dengan senyum manisnya yang tampak lelah. “buru-buru banget sich, aku kan mau masakin pasta kesukaan kamu. Emang kamu nggak laper? Turun dulu yuk!, Udah lama aku nggak makan malem bareng kamu...” bujukku padanya. “ok, aku turun, tapi kamu harus masak beef pasta paling enak sedunia!” jawab Frans tersenyum sambil turun dari mobilnya. Frans begitu menikmati masakanku itu. Sepanjang hari itu sangat menyenangkan. Makan malam kami juga begitu indah karena Frans memberiku kado spesial ulang tahun yang sejak tadi ingin diberikannya padaku tapi moment makan malam itulah yang tepat baginya memberikan kado itu padaku. Kado spesial itu cincin emas putih bertahtakan berlian yang harganya berkisar puluhan juta rupiah. Indah sekali, aku lupa hari ulang tahunku tapi Frans ingat. Dan Malam itu ternyata menjadi malam terakhir aku menikmati makan malam berdua dengan Frans, Pria tercintaku.


Pagi harinya aku datang ke kantor dengan hati yang bahagia tapi aku tidak melihat Frans dari pagi sampai jam pulang kantor. Aku telepon ke ponselnya. “Hello Baby...” ucap Frans lirih. “Frans kamu dimana? Kenapa nggak ngantor?” tanyaku gelisah. “aku di flat, kecapean.” jawabnya singkat. “aku pikir kamu sakit, ya udah sekarang aku ke flat kamu yah.. see you” tukasku sambil menutup telepon.


Sesampai di flat frans, aku melihat dia begitu pucat. “Frans, kamu sakit ya? Muka kamu pucat...” ucapku gelisah. “Sayang aku nggak apa-apa... sekarang baiknya kamu pulang aja istirahat. Don’t Worry... I’m ok, baby..” ucapnya meyakinkanku sambil tersenyum dan mengelus kepalaku. “ok, aku balik tapi kamu juga istirahat yang cukup ya...” tuturku sambil tersenyum padanya. Frans hanya tersenyum dan mengangguk. Aku bergegas keluar dari Flat-nya. Di depan pintu flat-nya aku menemukan ada remukan kertas putih yang sepertinya baru dibuang oleh Frans. Dengan rasa penasaran aku membuka remukan kertas itu, ternyata itu hasil Check-up dari dokter yang dilakukan hari Jum’at lalu tepat 2 (Dua) hari sebelum Frans mengajakku ke Denali Park. Di dalam kertas itu diterangkan, Frans mengidap penyakit Leukimia stadium akhir dan vonis dokter menyatakan sisa umur Frans hanya tinggal 8 (delapan) bulan lagi. Ternyata Frans menutupi penyakitnya dariku. Aku menyimpan kertas itu dan beranjak pergi.


Sebelum akhir tahun, tepat satu hari setelah project kerjaku selesai aku langsung pulang ke Medan. Berat rasanya meninggalkan Frans sendiri di Alaska tapi ibu memintaku segera pulang karena ayahku sedang sakit. Aku pulang ke Medan dengan hati yang berkecamuk. Dua orang yang sangat aku sayangi sedang sakit dan membutuhkan diriku.


Tahun baru ini aku lewati di Medan. Tidak bersama Frans dan tidak di altar cinta, Paris. Tidak seperti 4 (empat) tahun terakhir. Di sini hanya ada aku, adikku, ayah, dan ibu. Tapi malam itu sepertinya sudah ada yang merencanakan kedatangan Aldo ke rumahku. Aldo seorang saudagar kaya dari kota bandung. Orang tuaku dan orang tua Aldo berteman sejak 30 (tiga puluh) tahun yang lalu dan ternyata sejak kecil aku sudah dijodohkan dengan Aldo.  Aldo tak pernah peduli tentang perasaanku padanya. Dia pernah bilang padaku bahwa dia tak peduli aku mencintainya atau tidak. Yang penting dia bisa menikah denganku, karena cinta bisa tumbuh saat sudah saling memiliki. Aku tidak mengerti entah dari mana Aldo belajar soal teori konyol itu. Yang jelas hatiku sudah tertancap pada Frans.  


Delapan bulan aku berada di Medan tanpa Frans. Aku sangat merindukannya. Bulan ini sudah masuk bulan kedelapan dari vonis dokter. Rencanaku hari minggu ini aku akan boarding ke Alaska menemui Frans. Aldo mengatahui rencanaku itu. Aldo menawarkan diri untuk menemaniku. Aku menolaknya karena aku tidak mau Aldo merusak kebersamaanku dengan Frans.  Tapi aku pikir ada baiknya jika aku mengajak Aldo agar orang tuaku mengizinkan aku pergi. Aldo paham benar bahwa setelah selesai project kerjaku, orang tuaku tidak mengizinkan aku pergi ke Alaska lagi karena jauh. Akhirnya aku mengajak Aldo untuk ikut bersamaku ke Alaska. Aldo meminta izin pada orang tuaku untuk pergi selama dua minggu dengan alasan akan pergi liburan ke Thailand bersamaku. Orang tuaku mengizinkan. Sesampai di Alaska, aku langsung menuju ke tempat Frans. Dalam perjalanan ke flat Frans, aku mewanti-wanti Aldo agar tidak berkata yang tidak-tidak pada Frans dan tetap menjaga ketenangan suasana.


Sesampai di flat Frans, aku melihat pintu yang tidak terkunci dan terdengar suara batuk dari dalam dapur. Aku langsung masuk ke dapur. Aku melihat Frans dengan wajah yang pucat sedang duduk di atas kursi roda dan berusaha menggapai air minum. “Frans...!” teriakku sambil memeluknya. “Nayla... Aku yakin kamu akan kembali... Aku mau semuanya berakhir saat kamu kembali ke sini... Mungkin ini sudah saatnya...” ucap Frans penuh teka teki. “Sayang, maksud kamu apa? Apa yang berakhir? Saat apa?” tanyaku yang semakin gelisah. “sekarang semuanya udah di sini, papa dan mamaku juga udah di Alaska dan mungkin sekarang mereka masih di hotel menuju ke sini. Kamu sama calon suami kamu juga udah datang...” kata-kata Frans semakin membuatku tak mampu menahan air mata. “sayang, maksud kamu apa? Calon suami aku cuma kamu. Bukan dia. Dia Aldo, anaknya teman ayah. Aldo bukan calon suamiku.” Jawabku meyakinkan Frans sambil kudorong kursi rodanya menuju ke ruang tamu. “Nayla, aku nggak mau lihat air mata kamu jatuh saat kamu memeluk jasadku.. Aku mau kamu selalu tersenyum sekalipun kita tak bersama lagi... Dan aku tahu kalau Aldo cinta sama kamu... Sayang, Tolong... Ini demi aku... Bukalah hati kamu untuknya biar dia bisa jagain kamu, karena aku nggak bisa lagi jagain kamu kayak dulu...” tutur Frans yang semakin ngelantur. “Cukup Frans! Jangan bicara lagi kalau kamu cuma mau bicara yang tidak-tidak! Kamu percaya sama surat ini? Ini bohong! Dokter tuh bohong!” senggakku sambil mengoyak kertas hasil Check-up itu. “nih, kamu lihat aku hancurin kertas bohong ini! Aku yakin kita masih bisa bersama kayak dulu... Kita akan satukan semua perbedaan yang ada, kamu sendiri yang pernah janji sama aku kalau kamu mau menyatukan perbedaan kita... Mana buktinya? Mana? Kenapa kamu jadi pesimis?” sambungku sambil meluapkan segala emosi dan kesedihanku.


Sampai larut malam aku masih terjaga. Aku tidak mau melewatkan saat-saat terakhir bersama Frans. Bahkan aku mau melihatnya saat terlelap dan terbangun. Pagi itu menjadi saat terakhirku bersama Frans. Pagi yang cerah karena tidak ada salju yang turun. Aku membuatkan coklat hangat kesukaan Frans. “sayang..., I make a cup of hot chocolate for you..” Ucapku lembut padanya. “thank you, oh iya sayang... abis minum aku mau kita ke Denali Park... kamu mau kan? ajak Aldo juga ya?” pinta Frans padaku. Selesai minum coklat, aku menuruti permintaan Frans. Sesampai di taman, Aldo membiarkan kami berdua. Aku mendorong kursi roda Frans sambil mengenang waktu terakhir kami datang berdua ke tempat itu. “Frans, kamu ingat nggak waktu itu aku pernah minta ke sini lagi tapi kamu minta maaf karena kamu nggak yakin ada waktu ke sini lagi. Tapi buktinya kita bisa ke sini lagi.. kamu ingat kan?” tanyaku pada Frans. Tapi Frans hanya terdiam tak menjawab satu kata pun. “sayang, kamu capek ya? Ya udah kita istirahat dulu yuk...” ajakku yang masih belum sadar bahwa Frans sudah tiada. Kudorong kursi rodanya sampai di bawah pohon. Aku lihat Frans begitu lemas dan tampak begitu pulas. Tapi tangannya terasa dingin dan napasnya berhenti berhembus. “Oh No!... Help... Help me....!” Teriakku panik. Aldo datang untuk menolongku membawa Frans ke Flat. Keluarga Frans pun berdatangan ke flat-nya. Setelah kepergian Frans, Aldo dan keluarga Frans mengajakku pulang ke Medan tapi aku masih menangkap bayang-bayang Frans di flat itu.


Setelah 3 (Tiga) bulan aku tinggal di flat Frans, akhirnya aku sadar bahwa cintaku telah pergi meninggalkanku di Alaska. Aku juga harus melanjutkan hidup di medan bersama masa depanku, Aldo. Mungkin teori konyolnya itu benar, cinta bisa datang saat sudah saling memiliki. Minggu terakhir aku berada di flat itu, aku memilih untuk pulang ke Medan. Sebelum pulang, aku menemukan sebuah bouquet bunga di atas meja tamu dengan sebuah pesan yang bertuliskan “Selamat Memulai Hidup Baru Naylaku tercinta... Selamat Bahagia walau tanpa diriku... Dari yang mencintaimu now and forever till to the heaven... Frans...”. Aku pun bergegas pergi meninggalkan flat yang sudah menaungiku selama tiga bulan itu dan kota penuh kenangan, Alaska.


 


Medan, 27/07/2013   22:12


 

Komentar

Foto Dewi Artika

Kritik & Saran

Terima Kasih untuk semua yg sudah membaca...
Mohon Kritik dan Saran yg konstruktif yaaa...

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler