Skip to Content

MAHAR

Foto mahyut z.a. dawari

Sore tanak. Ambang malam menyilih pekat!

Seseorang mengendap. Waspada menunggu peluang untuk beringsut. Di tengarai lirih tarikan napasnya ia menguatkan tekad. Sejenak mematut diri.  Samar dalam tatapnya mencuat dua bentuk wajah tidak asing. Wajah kedua orang tuanya yang belum pulang dari memburuh. Inaq Amaq[i] maafkan aku, ia menerawang. Dadanya menggumpalkan rasa sesak. Dua titik air mata menggelinding jatuh.   

“Aku harus pergi,” dikuatkan dirinya sambil menghapus air mata dengan punggung tangan. Lebar, ia mengayun langkah melewati bibir pintu. Gelap di luar sempurna menelan sosok mungilnya. Sepuluh menit akan datang ia harus mencapai bibir jalan desa. Di sana, di balik pohon asam yang rindang ia telah ditunggu Darfa, seseorang yang akan membantunya  mewujudkan keinginannya yang nekat. Kemarin, mereka membuat janji penuh perhitungan.

“Kita berangkat sebelum keluarga Senun bertindak,” ia menyusun siasat pada Darfa.

“Kapan rencana kamu akan dipaling[ii], Marwa?”  Darfa mengerutkan kening.

“Sewaktu-waktu,” jawab Marwa mengandung gelisah, “Inaq dan amaq sengaja tak di rumah. Bukankah  dengan demikian skenario mereka akan berjalan mulus?”

Darfa menelan ludah. Nyalinya nyaris menciut. Ia membaca situasi. Tidak kecil resiko yang harus diemban jika meluluskan permintaan Marwa. Adat Sasak membuat Darfa berada pada situasi tersulit. Otaknya mumet. Tapi tak bisa berkutik menampik permintaan Marwa.     

Sida[iii], tidak bisa membantuku?” kejar Marwa. Ia tersenyum menebar simpati.

Darfa menatap Marwa sekilas: “Mari kita coba,” katanya menyerupai bisikan.

Dada Marwa membusung. Disentuhnya tangan Darfa tanda sepakat. “Mari kita coba,” ia mengulang kata-kata Darfa dengan nada berat. Dua orang bocah menginjak usia remaja itu bersitatap. Saling memberi kekuatan lewat sinar mata masing-masing.

“Selepas magrib aku tunggu di bawah pohon asam di pinggir jalan desa. Saat-saat seperti itu jalan desa sepi,” Darfa membuat kesimpulan.

Marwa mengiyakan. Tanpa kata mereka membubarkan diri. Langit memerah saga saat mereka melangkah menuju pulang. Di ambang pintu pekerangan, Marwa disambut wajah cemoh[iv] ibunya.

“Jangan masuk dulu,” cegah ibunya. Gegas ia menghampiri Marwa. “Mamiq[v]Ariah di dalam. Biarkan amaq memutuskan segala perkaramu!”

Marwa diam mematung, tak bisa berkutik dalam kuasa kata-kata ibunya. Seperti senja yang luruh ke dalam rimba malam, perasaan Marwa gelap teraniaya.

Amaq Kenun,” sengau dan berat suara Mamiq Ariah tertangkap dari tempat Marwa mematung. Ibunya memasang telinga, mencuri dengar kelanjutan kata-kata Mamiq Ariah.

Tiang[vi] siapkan mahar satu hektar sawah jika Senun menikah dengan Marwa. Amaq Kenun tidak perlu memburuh pada orang lagi. Hasil sawah itu jika dikelola dengan baik bisa untuk tambang[vii] naik haji kelak!”

Terdengar dehem. Itu suara Mamiq Ariah menciptakan jeda. Amaq Kenun menelan ludah sembari mencermati kata-kata. Terbayang sawah satu hektar. Terbayang nikmatnya menjalankan ibadah haji. Amaq Kenun memejamkan mata, merenda mimpi tentang sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Luar biasa. Mahar yang dijanjikan Mamiq Ariah untuk Marwa tentu mampu mewujudkan keinginannya kelak.

Kesepakatan itu tercapai. Mamiq Ariah mencari hari baik untuk prosesi merariq[viii] bagi anaknya. Begitu lama Mamiq Ariah meracik ingin bermenantukan Marwa. Ia percaya Marwa dapat meluruskan tabiat Senun yang tidak santun. Sebagai juragan tembakau ia sukses dalam menjalankan usahanya. Mahar satu hektar sawah tidak masalah bagi Mamiq Ariah. Di dusun itu, Marwalah yang akan mencetak nilai tertinggi dalam hal pemberian mahar.       

“Tidak, Amaq!” tolak Marwa di lain pihak.

Amaq Kenun terkejut. Jauh sebelumnya tidak terpikir sama sekali kalau anak semata wayangnya itu tak penurut. Berbesan Mamiq Ariah memang tak pernah terpikir selama ini. Tapi ketika juragan tembakau itu memutuskan ingin berbesan dengannya sungguh itu sama artinya  mendapat durian runtuh. Amaq Kenun merasa sangat dihargai. 

“Tidakkah kau merasa tersanjung bermertuakan Mamiq Ariah?” Ada amarah tertahan dalam kalimat itu. “Coba kau pikir siapa dirimu! Anak buruh tani miskin!!”

Lantak amarah itu terlontar. Menghujat nurani sendiri. Marwa tahu diri: anak buruh tani miskin. Marwa kenal Senun: anak seorang juragan tembakau. Di luar itu, Marwa lebih kenal Senun sebagai tukang onar. Karena kenakalanlah Senun tidak sempat menggenggam ijazah SD. Marwa tidak sudi. Ia menolak. Amaq Kenun naik pitam. Rasa malu membuat matanya gelap.     

Air mata Marwa merembes. Ia segera tahu artinya menjadi seorang perempuan akil balig: bersuami. Nuraninya memberontak. Tak tahan disudutkan, ia menghambur langkah ke dalam biliknya. Oh, Amaq, biarkan aku pada pilihanku, rintihnya di antara sedan tertahan. Di usia tiga belasnya ia telah dihadapkan pada pilihan pelik.

Amaq Kenun mempersempit ruang gerak Marwa. Segala tingkah lakunya diawasi.

Marwa mencoba melawan. Pasti ada jalan.   

Ketika keinginannya tergenggam ia ingat pada Darfa. Dari Darfalah ia tahu banyak seluk-beluk sekolah di kota. Darfa telah dua tahun bersekolah di sana. Masuk SMP di kota gratis, promo Darfa. Mata Marwa terbelalak. Jika benar, Marwa ingin mengikuti jejak Darfa. Meski agak ragu, Darfa menyambut keinginan Marwa. Di balik pohon asam yang rindang, di pinggir jalan desa, Darfa menunggunya malam ini. 

Marwa mempercepat langkah. Gelap membuat jarak pandangnya menyempit.

Sepenggala dari pohon asam Marwa mengamati sekeliling. Sepi terasa menggigit situasi. Marwa menajamkan pendengaran. Tak ada isyarat Darfa berada di balik pohon asam itu. Ia mendekat.

“Darfa,” lembut ia memanggil.

Tak ada selarik suara jawaban atas panggilannya. Marwa membawa langkahnya lebih dekat dengan pohon asam. Tas sekolah berisi ijazah dan beberapa lembar pakaian didekapkan pada dadanya. Ada bayangan mendekat samar dalam gelap. Degup jantung Marwa berderap keras memukul-mukul rongga dadanya. Ia tak ingin salah kira.

“Darfa,” desisnya ketika bayangan itu mengarah tepat padanya.  

 Pada detik tak terduga Marwa telah berada dalam sebuah kepungan. Semburat cahaya lampu senter tertuju padanya dari tangan-tangan yang mengepung. Marwa silau. Bertameng tas sekolah ia menebar pandang. Tepat di depannya Darfa berdiri dalam keadaan teraniaya. Mulut Darfa terbungkam lakban.

“Penghianat!” sebuah suara menghardik penuh dendam. Suara Senun.

Suasana sepi pecah seketika. Para pengepung mendekat. Marwa semakin terkurung.

“Tangkap penghianat ini. Jangan biarkan berkutik!”  todong Senun pada Marwa.

Marwa tersinggung diremehkan. Sekuat tenaga ia bertahan dan melawan komplotan pengepungnya. Tas sekolahnya terlepas dan terlempar dari tangan. Tidak butuh waktu lama tangan-tangan pengepung mengunci geraknya. Mulutnya dibungkam. Marwa tidak berkutik kena bekuk.

“Jangan coba bermain-main denganku, Inges[ix]” kasar Senun mengangkat dagu Marwa.  

 Marwa meronta disentuh Senun. Kakinya beraksi. Selangkangan Senun sasaran telak tendangan Marwa. Senun mengaduh kesakitan. Di tengah malam merangkak larut Darfa dan Marwa digiring ke rumah Kepala Dusun. Bak maling tertangkap basah, dua orang pesakitan itu  dihujat kata-kata tak senonoh. Dusun gempar seketika.

Di tengah hiruk pikuk semua mata tertuju pada Senun. Eksekutor itu pongah berkacak pinggang di depan kedua orang tua Darfa dan Marwa yang dihadirkan malam itu.

“Lelaki ingusan ini mencoba merebut perempuanku!” Senun menuding pada Darfa. Sinar matanya meredup melecehkan keberadaan Darfa.

Darfa beringsut. Menatap kedua orang tuanya. Tak tahan dihujat Darfa berdiri. Marwa melakukan hal sama.

“Siapa yang kau sebut sebagai perempuanmu?”  protes Marwa. Gengsinya ternoda.

“Kamu!” telunjuk Senun tepat mengarah ke jidat Marwa. “Tapi sekarang kau bukan siapa-siapaku. Kau perempuan berhianat. Tak punya harga diri…”

Tak dinyana. Amarah Marwa mencapai klimaks.. Diterjangnya Senun membabi buta. Kursi melayang tepat di ubun-ubunnya. Senun tumbang seperti pohon runtuh. Amaq Kenun tersentak. Buru-buru berdiri hendak  memberi pertolongan pada Senun. Tapi urung. Ia tidak bisa berkutik. Badannya dirasakan lumpuh tak bertenaga. Terduduk kembali dengan kepala terserang pening. Lamat-lamat ia masih dapat menangkap kata-kata yang diumbar Marwa.

“Darfa tidak bermaksud membawaku merariq,” cecar Marwa pada khalayak. “Tiang hendak ke kota untuk bersekolah. Di sana ada sekolah gratis. Darfa yang akan mendaftarkan tiang ke sana. Tiang tak mau merariq muda

Darfa mengangguk membenarkan.

Kepala Amaq Kenun berputar-putar. Dibantu istrinya ia mencoba tegar. Hiruk pikuk membuatnya semakin pening. Kepala Dusun tak kalah sibuknya. Senun diberi pertolongan ala kadarnya sebelum akhirnya kelenjot badan Senun diam. Hening.

“Napasnya terhenti,” lirih suara Kepala Dusun.

Kepala Amaq Kenun seperti tersambar halilintar. Ia tumbang dalam keadaan pingsan bersamaan dengan menjauhnya ruh Senun dari badannya. Senun mati.

Marwa berdiri. Tegar ia menatap sekeliling. Ia tahu apa arti dari semua perbuatannya. Esok ketika matahari menampakkan diri ia harus pergi menebus maharnya.    

[i]  Inaq Amaq, Sasak, ibu bapak

[ii] Dipaling, Sasak, dibawa lari

[iii] Sida, Sasak, kamu

[iv] Cemoh, Sasak, berseri-seri

[v] Mamiq, Sasak, panggilan kepada orang yang telah naik haji. Kosa kata ini sering dijumpai dalam percakapan sehari-hari di tengah masyarakat Sasak.

[vi] Tiang, Sasak, saya

[vii] Tambang, Sasak, ongkos atau biaya

[viii] Merariq, Sasak, dibawa lari sebelum prosesi pernikahan berlangsung

[ix] Inges, Sasak, cantik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler