Skip to Content

MALING

Foto Andri J

Rumpun bambu bertetangga dengan rumpun pisang berhadapan dengan ladang rumput yang lapang. Pemandangan hijau itu seperti biasa ada dangau persingggahan, ada kandang kambing yang agak miring karna sarat muatan dan aku berjingkat-jingkat dibalik batu besar dipinggir kali kecil yang pisahkan kampung. Tempatku bersembunyi sangatlah strategis. Dari jauh kelihatan seperti orang buang air besar , jika dilihat dari dekat aku pura-pura mencari udang. Sehingga tak satupun orang yang curiga bahwasanya aku sedang mengintai dan mengamati keadaan.

Rumpun bambu, rumpung pisang, tanah lapang, ratusan kambing dan aku adalah maling. Semua yang kusaksikan adalah kekayaan dari pak aji (bukan pak haji walaupun beliau acap kali berbusana seperti Haji dan kikir minta ampun). Ia orang kaya satu-satunya dan tak pernah meninggalkan kampung ,udik tapi kaya ,jarang menyumbang,  isteri ada lima dengan harta yang banyak tapi entah kenapa tak jua beranak-pinak.  Maaf..aku tak hendak menelusuri urusan privacy suami-isteri beliau. Tapi aku hanya sekedar memberi tahu saja kepada saudara-saudara pembaca bahwa aku adalah mahasiswa sebatang kara, tinggal dikota , sekali seminggu pulang kampung dengan tujuan hal-ihwal “permalingan” atau aku lebih suka menyebutnya dengan bahasa keren dan ilmiah “survive”.

 

“apa you gak malu.?”  Suara tiba-tiba bertanya

 

malu kenapa bung.?” aku tetap fokus ke sasaran .

 

Suara berdehem,lebih tepatnya menyindirku(mungkin) kemudian mengeluarkan suara-suara lagi.

 

“jadi maling”

 

“tidak”

 

 

“tidak apa.? Tidak malu maksud you ?”

 

“ya . bisa dikatakan begitu”

 

“lah sampeyan iki mahasiswa tho.?”  (suara ini mulai menggunakan bahasa asli)

 

“ya dan itu membuatku sadar”

 

“sadar jadi mahasiswa atau sadar jadi maling.?”

 

“mungkin dua-duanya , bagiku dua-duanya saling berkaitan”

 

“ maksud you.?”

 

Aku cebok dengan tangan kiri menurunkan sarung merogoh saku meloloskan sebatang cerutu dan menyundutnya. Aku diam sejenak, suara tadi tak terdengar lagi mungkin menunggu, pikirku.  Ketika asap-asap berkepulan, aku mulai angkat bicara.

 

“begini bung , dengan menjadi maling aku telah berhasil menjadi mahasiswa dan dengan menjadi mahasiswa aku telah sadar menjadi maling (loh.?)  ya.! Dengan hasil maling kambing aku bisa bertahan sampai semester akhir di sebuah universitas bonafid dikota dan pelajaran disana membuatku lebih eling, mengerti dan sangat sadar bahwasanya aku ini maling bukan sekedar maling , aku ini maling kambing milik pak aji dan tentu anda tau sendiri bahwasanya beliau itu orang kaya tak beranak , kemanakah warisan akan diturunkan sementara umur beliau sudah uzur. “

 

Aku berhenti sebentar menghisap asap dalam-dalam dan melanjutkan penjelasan secara rinci kepada Suara yang datang entah darimana.

 

“sudah kurumuskan lewat matematika dan logikanya begini ; tabiat pak aji yang kikir menjadi sangat tidak memungkinkan meminta bantuan kepada beliau. Aku pernah mencoba dan ditolak.  Semestinya ia harus berterimakasih padaku karna aku maling kambing miliknya artinya diam-diam aku telah membantunya beramal dan menolong mencerdaskan anak bangsa yang berguna bagi negara. Dan sesungguhnya ini adalah kepentingan rakyat banyak. Kenapa tidak.? Setelah lulus nanti aku akan menjadi pendidik . walaupun dari hasil maling tak apa-apa , dosa bagiku amal baginya toh apa peduliku (sebenarnya lagi kepepet butuh biaya . tapi tak kusampaikan biarlah suara itu terkagum dan diam setelah mendengar penjelasanku yang panjang-lebar sedikit berantakan dan cukup membuat ngos-ngosan)”

 

Suara itu sebenarnya sudah bungkam daritadi masuk kerelung-relung hati . Benar ! itu hanyalah suara hati yang berkecamuk dan menjelma menjadi sebuah monolog diri yang kuciptakan sendiri. Sekedar penghibur jiwa dan yang terpenting menenteramkan bathinku.

Magrib lewat, petani dan sapi sejak tadi sudah pulang masuk kandang. Kambing-kambing digiring. Sawah sepi, lapang rumput sepi, aku padamkan cerutu pada batu besar yang telah beberapa semester setia menemaniku, Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok. Beberapa ekor anjing kampung melihatku menggulung sarung menyimpan linggis yang manis. Hanya ada seorang penjaga yang buta warna dan agak terganggu pikirannya. Inilah saatnya menyeret sandal jepit sekuat tenaga, membaca beberapa larik doa, meneguhkan jiwa mencongkel jendela.

 

 


Fiksi yang terangkat dari sabda "Mencuri lebih Mulia daripada Meminta"

semoga kita bisa menanggapi dengan bijaksana setiap kutipan-kutipan filsafat yang ada.

Haturnuhun

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler