Skip to Content

MENDUNG (2)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Ibu yang tinggal di depan rumah kosong sedang menimang cucunya. Belum 2 bulan bayi itu. Ibu sang bayi tidak memberi asi, kepada anak pertamanya itu. Ibu muda. Baru 22 tahun. Sayang, sungguh sayang dia tidak mau menyusui bayinya. Hari-hari awal setelah kelahiran, bahkan hampir sebulan, bayi itu selalu menangis siang malam. Sekarangpun masih. Setiap pagi. Jika ia sudah pandai bicara mungkin ia akan berkata, berteriak, protes atas sikap ibunya. Ketika menangis neneknyalah yang memangku, menyanyi kecil. Aku tidak tahu, apakah rencana ibunya untuk kembali kerja di pabrik sudah dijalani atau belum.

Ibuku...emakku ...adalah wanita yang luar biasa. Ketika itu kami naik kapal Koan Maru. Aku melihat ibu pergi meninggalkan kami di dek kapal. Dengan adik kecil dalam gendongan dia naik ke dek atas. Tak lama kemudian ibuku datang dengan kapten kapal. Orang bule. Ada dua orang lain yang mendampingi. Aku hanya melihat. Tidak mengerti ada apa. Yang aku tahu, kakak perempuan badannya panas. Kapten meraba dahi kakakku. Kemudian ada pembicaraan yang aku sama sekali tidak mengerti.Aku baru 6 tahun waktu itu.

 

Peristiwa di kapal itu sangat lekat dalam pikiran. Kalau tidak salah setelah kelas 4 baru aku bertanya kepada emak, apa yang emak bicarakan dengan orang bule dan yang lainnya ketika itu. Alangkah bangganya aku mendengar jawaban beliau.

                                                                                        

Mak bercerita bahwa ketika itu kakak perempuanku itu badannya panas. Lalu ia naik ke dek atas menemui kapten kapal. Kapten kapal tidak mau turun. Orang yang mengerti bahasa Belanda, menerjemahkannya untuk ibuku bahwa bule itu tidak mau karena tidak ada aturan kapal harus memberi obat kepada penumpang. Ibuku berteriak, "Tuan ada di Indonesia, tuan harus perhatikan bangsa Indonesia. Anak saya Indonesia, badannya panas. Tuan harus memberi obat."

                                                                                       

Mungkin pembicaraannya tidak pas seperti itu. Intinya emak melawan. Berteriak. Dan memukul kapten dengan kepalan tangan kanannya. Sementara tangan kiri menggendong anak kecil. Akhirnya kapten turum ke dek kami dan meraba dahi kakakku. Lalu dia kembali ke atas. Dua orang pendampingnya menunggu, tetap dekat kami. Kapten kembali membawa 3 butir pil. Aku ingat.warnanya hijau.

                                                                                        

Kapten memberikan pil itu kepada ibuku sambil wes wey, memberi isyarat agar pil itu diberikan untuk 3 kali. dan harus diberikan sekarang. Sebelum kembali ke atas, kapten sempat mengelus kepala adikku yang dalam gendongan ibu. "Bahagialah Nak, kau mempunyai ibu yang gagah berani." Barangkali itu yang diucapkan oleh kapten kapal itu.

 

Apakah ada ibu yang berani masuk tangsi polisi, tengan malam. membawa golok? Jangan bilang tidak ada. Ada, Ibuku.  

 

Aku penonton setia semua adegan ini. Akan ada adegan lain jika hari telah agak siang. Siang hari akan beda lagi, Sore tambah adegan baru. Begitu juga malamnya. Meski adegannya selalu begitu setiap hari, tidaklah  membosankan untuk dilihat. Selalu ada suasana baru.

 

Akhir-akhir ini aku lebih sering menyapanya dengan sapaan "yang" atau aku lengkapkan dengan menyebut "sayang". Kadang-kadang aku kembali ke sapaan "Nek". Dialah sayangku, dia yayangku, dia istriku, ibu  lima orang anakku, dan nenek sepuluh cucuku.


Pertama kali aku mengucapkan "aku cinta padamu" saat aku berusia 17 tahun. Tanggal 7 Mei. Aku lahir pada tahun 1946. Jadi "aku cinta padamu" tepatnya 7 Mei 1963. Aku ingat pasti tnggal itu karena 7 Mei itu baru 2 hari lewat dari tanggal kelahiranku. Jantungku berdegup. Hampir tak terucap. Aku menelan ludah berkali-kali memompa keberanianku. Dan akhirnya terucap juga "aku cinta padamu".

 

Setelah terucap tenggorokanku terasa kering. Yang kubisiki diam saja. Tidak bereaksi apa-apa. Perkiraanku bahwa dia akan menolak kurasa terbukti. Tidak aneh jika dia menolakku. Di Gang Bengkel Jalan Pelipur dia adalah bunga yang menjadi incaran kumbang-kumbang. Kumbang-kumbang sainganku punya modal untuk mendekat,

 

Aku, wah...jauh. Jangankan sepeda -waktu itu sepeda bisa dibandingkan dengan motor sekarang- kasut jepang yang kupakaipun tali putusnya sudah aku ganti dengan peniti berkali-kali.

 

Melihat dia diam saja, tetap bersandar di dinding dengan kedua belah telapak tangannya menapak dinding, aku berbalik, menjauh. Dari balik pintu aku pindah ke jendela. Tidak lama kemudian ia mendekat dan sungguh aku kaget, gemetar, ketika kedua tangannya meraih tanganku. Berhadapan kami sekarang. Kedua tangan berpegangan. Kananku dengan kirinya dan kirinya dengan kananku.

 

Aku melemparkan pandangan ke kolam kecil yang tampak jelas dari jendela, aku melihat beberapa ekor bebek peliharaan tetangga. sedang mandi. Ramai dengan kwek-kweknya. Kepalanya diselamkan ke air kemudian patuknya menelisik bulu-bulu badannya. Hanya sekilat aku melihat bebek-bebek itu. Kini aku melihat wajah seorang wanita yang sangat dekat dengan wajahku.

 

Ucapan “aku cinta padamu” tidak menjamin usia pacaran.Yang ingin aku katakana adalah usia pacaran kami hanya sekitar 3 bulan. Aku putuskan dia karena ia pergi menonton film Jenderal Kancil dengan Ibrahim. Aku tidak bisa mememuhi permintaannya kaena aku tidak punya duit. Tapi tak apalah.

 

Ke teluk susah ke tanjung susah

Membaca batu baunya harum

Kupeluk sudah kucium sudah

Hanya satu saja yang belum 

 

 

 

 

 

 

Aku 23 tahun dan dia baru berumur 15 tahun. Kalau saja KUA tidak mengakali dengan menaikkan umurnya, kami belum bisa menikah. Usia untuk boleh dinikahkan minimal 16 tahun. Setelah angka umur diutak-atik kami jadi menikah. Maka kami menjadi suami isteri. Sebentar lagi usia pernikana kami 50 tahun. Maka jadilah kami kakek dan nenek.

 

Nenek sedang menyapu halaman. Halaman sempit. Sisa tanah  tidak lebih dari 3,5 x 2,5 meter. Pantaspun tidak disebut halaman. Tapi mari kita sebut halaman saja agar terkesan luas, dan menyapunya terkesan lama, dan melelahkan padahal tidak demikian.

 

Di halaman seukuran itu yang di tanah sesempit itu ada jambu mawar, belimbing wuluh, kumis kucing, kelor, kandang ayam, menyapu sama dengan tidak menyapu. Dibandingkan gerak pantat nenek dan sapu ya lebih banyak gerak pantat nenek. Menyapu ini pantat menyenggol itu, Menyapu itu pantat menyenggol ini. Aku biarkan nenek asyik. Aku ingin dia membuang pandangan ke arahku sementara aku memperhatikannya. Tapi tidak, dia asyik sekali.

 

Sejak Mei 1963 sampai ke hari pernikahanku pada 23 Juli 1969 rentang waktunya cukup lama. 6 tahun, 2 bulan, dan 16 hari. Selama itu aku iseng  membuat catatan berbentuk kenangan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, ..... sampai ke 33, dan 34. Hanya kepada seorang aku tidak mengucapkan kata "aku cinta padamu", hanya kepada Yayangku yang sekarang masih mendampingi aku dengan setia dan penuh kasih sayang kepada. Setia menjaga kelima anakku dan terlihat sangat sayang kepada 10 cucuku.

 

Rentang waktu yang 6 tahun 2 bulan itu jika dibulankan adalah 74 bulan. Dan aku punya catatan 34, dan 74 dibagi 34 adalah 2, 17. Jadi perbulan aku ganti pacar 2 kali. Aku bisa mendekati mereka   atau sebaliknya, modal utamanya adalah kepintaranku, kepandaianku. Aku sangat menguasai pelajaran sekolah. Bahkan pelajaran luar sekolah. Misalnya ketika belajar silat aku bisa lebih cepat menguasai jurus yang diajarkan oleh guru. Mereka yang setahun atau dua tahun lebih dulu bisa aku jatuhkan. Guru silat selalu menjadikan aku sebagai contoh murid yang rajin, yang tangkas, yang tekun dll. Seringnya pujian itu ditujukan kepadaku menimbulkan bahan gunjingan. Gunjingan ini muncul karena guru silat itu punya anak perempuan, seumur denganku.

 

Meski rata-rata sebulan 2 kali, kenyataannya tidaklah demikian. Bisa saja sebulan 3 atau 4 kali. Apalagi setelah aku pulang ke kampung halamanku di Jawa Barat. Ada musim yaitu musim panen. Pada musim itu lelaki perempuan tua muda gadis atau janda dari wilayah lain yang belum panen berdatangan ke wilayah yang sudah panen. Para pendatang itu dalam bahasa Sunda disebut "paderep". Pada musim seperti ini "aku cinta padamu" jadi murah dan mudah diucapkan.

 

34 orang pacarku itu tidak gadis semuanya. Ada janda juga, dua orang. Dengan janda-janda ini ceritanya sangat berbeda. Pertama teguran dari orang tua. Ibuku. Beliau sering mengingatkan "awas janda". Katanya kalau tidak waspada bisa-bisa ditangkap kawin. Tapi alhamdulillah, aku lulus. Kedua, bedanya adalah dalam hal jajan, Lebih sering dijajani daripada menjajani. Kadang-kadang dibelikan baju. Apalagi kalau sedang pacaran dengan lebih dari satu janda. Janda-janda itu berebut untuk berbaik-baik kepadaku.

 

Janda-janda itu sangat pandai memahami kegugupan bujangan. Pada saat tertentu, tangan jandalah yang tangkas menangkap tangan bujangan lalu diarahkan harus berhenti dimana. Di atas, di bawah. Mungkin tidak semua janda, tapi sepengetahuanku janda lebih senang berbaring daripada berdiri. Aku waspada, ingat nasihat orang tua. Kalau sudah berbaring aku takut terjadi peperangan. Aku tidak mau perang meski aku punya kesempatannaik kuda. Tidak.

 

Ah, janda...janda. Pernah terjadi 2 janda yang sama-sama pacarku mencuci pakaian di tepi sungai ribut besar saling hantam saling sabet memakai cucian basah. Janda yang ke 3, yang bukan pacar menceritakan hal itu kepadaku. Katanya, pertengkaran itu karena salah seorang dari yang bertengkar itu menyebut geli kena kumisku

Sebelum menyapu nenek sudah menyiapkan sepiring nasi goreng. Malu juga aku ketika dia bertanya, apakah nasi goreng dibawa ke meja kerjaku atau aku ke dapur saja. Setengah berlari aku ke dapur. Aku ambil nasi goreng itu. Dan oh, dengan setia nenek menemani aku sarapan sambil nonton televisi.

 

Sejak bangun pukul empat kurang sedikit sampai aku sarapan, aku lebih banyak di komputer, meninggalkan nenek sendiri. Aku selalu bangun pagi lebih dulu. Jika piring kotor sore belum sempat dicuci, semua peralatan dapur yang kotor aku cuci. Jika kebetulan nasi sore habis, aku segera mencuci beras, memasak. Tentang menyapu dan mengepel tak usah ditanya. Aku yang mengerjakan. Sesekali aku penuhi permintaan nenek untuk mengepal aku penuhi.

 

Nenek, Yayangku selesai menyapu. Mengeringkan keringat, Nenek kembali ke televisi. Aku sempat duduk sebentar. Di televisi yang muncul bukan berita tapi lelakonku sendiri.

 

Tiga menit lagi setengah sepuluh. Mendung di langit dekat sudah tidak ada. Tapi di kejauhan masih terlihat. Rasa gerah sudah mulai merayap menjamah kulit. Aku keluar sebentar. Angin berhembus pelan.

 

Awan hitam yang kemarin menggelayut sejak pagi, sore harinya turun menjadi hujan yang sangat deras. Angin kencangnya mematahkan dahan pohon mangga di depan rumah. Sisa 7 buah yang tidak terpetik pagi tadi, sempat menarik perhatian beberapa orang anak-anak yang berhujan-hujanan. Mereka tampak ingin mengambil tapi tidak jadi. Dalam deru hujan dan angin dari jendela aku melihat salah seorang anak mengingatkan untuk tidak mengambilnya. Aku senyum sendiri.

 

Aku mengalami masa dimana orang menyebutku sebagai "badot aburan." Sebutan ini adalah karena sikapku yang selalu membangkang kebijakan atasan.  Pembangkangan yang paling tampak dan sangat mengesalkan atasan langsung yaitu Kepala Sekolah. Di atas Kepala Sekolah ada Penilik Sekolah, dan diatasnya lagi ada Kakandepdikbudcam. Pembangkanganku ternyata sampai ke yang lebih atas lagi, Kakandepdikbudkab.

 

Aku paling tidak suka administrasi kelas. Sampai belasan. Aku membuat aturan sendiri. Hanya 3 yang aku kerjakan, 2 sudah baku, dan 1 lagi inisiatifku sendiri. Yang 2, Daftar Kelas, dan Buku Nilai. Yang 1 lagi aku namakan Catatan Kelas.

 

Dalam hal penampilan di kelas, aku paling tidak suka seragam. Apalagi kalau bahan seragam, yang konon menurut kabar adalah pembagian dari tingkat kabupaten, oleh tingkat kecamatan dijual kepada para guru. Bahan seragam itu aku berikan saja kepada orang lain dan aku tampil dengan pakaian pilihanku sendiri. Ada 1 seragam yang aku patuhi yaitu seragam pramuka. Itupun hanya aku pakai pada pertemuan resmi pramuka.

 

Adakah guru yang gondrong. Rambut sebahu? Ada. Aku. Tentang rambut gondrong ini aku sempat dipanggil oleh Ketua PGRI, oleh Kakandepdikbudcam. Aku disuruh mencukur rambut. Harus sopan katanya. aku diberi uang untuk bercukur. Uangnya aku ambil dan rambutku tetap gondrong.

 

 Badot itu artinya kambing jantan. Aburan itu artinya tidak digembala. Dibiarkan bebas berkeliaran.  Nah aku akhirnya dibiarkan bebas. Tak ada yang menegur. Dari kota aku dipindahkan ke kampung dan di kampung namaku hanya ada di daftar pengajar. Prakteknya tidak kecuali saat-saat akhir aku memutuskanberhenti kuliah.

 

Selama menjadi badot aburan aku memaksakan diri untuk kuliah di Bandung. Aku masuk ASTI, jurusan teater. Maskot. Mahasiswa kolot (tua). Memasuki tahun ke 3 aku putuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Dua anakku akan melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP dan SLTA. Sulung diterima di SMAKBO dan yang kedua di SMP. Aku harus mengalah. Kalau tidak salah waktunya hampir bersamaan dengan selesainya pembangunan gedung SD bertingkat di Perumahan Sukaseuri. Aku sangat ingin mengajar di sekolah ini. Gedungnya bertingkat. Adanya di komplek perumahan Sukaseuri.

 

Pernah beberapa kali aku main ke perumahanhan itu. Seliwat aku melihat proses pembangunannya. Berkembang obrolan, gurunya akan didatangkan dari Bandung, dan Karawang. Wah, luar biasa, pikirku. Namun tak disangka-sangka aku dipanggil oleh Kepala Dinas P dan K Kecamatan. Aku ditanya apakah aku bersedia mengajar di SD bertingkat. Tentu saja aku mau. Hahaha. kali ini aku kalah. Persyaratan untuk tidak gondrong aku terima. Meski pada akhirnya, setelah menjadi guru disana sesekali aku kembali gondrong.

 

Dari kampung aku dikembalikan ke kota. Kabar bahwa guru-gurunya akan khusus didatangkan dari Bandung dan Karawng hanyalah kabar bohong. SD itu ketika di resmikan pada 28 Oktober 1983 diberi nama SD Ir H Juanda. Aku tidak tahu alasan memilih nama itu. Mungkin karena berada di Jalan Ir H Juanda - Sukaseuri. Aku diizinkan menempati rumah dinas yang dibangun dibelakang sekolah. Singkat cerita aku sekeluarga tinggal disana selama 14 tahun.

 

Banyak hal aneh selama aku tinggal di komplek SD ini. Mulai dari anak-anak melihat aku ada di dua tempat berbeda, sampai dengan suara-suara aneh yang didengar bukan olehku sendiri tapi oleh anak-anak dan istriku. Kembali ke SD Juanda. Setelah punya keyboard -ukuran sedang, termasuk sederhana-, aku sering sendiri di ruang kantor sekolah. Di lantai II. Aku main keyboard sendiri. Kalau main di lantai bawah pasti mengganggu anak-anak yang sedang belajar. Aku melatih jari-jariku agar bisa memainkan lagu-lagu wajib. Aku juga sempat membuat lagu. Lagu itu kuberi judul IBU. Kuncinya sederhana. Anak-anakku sangat suka lagu itu. Bukan anakku saja. Semua murid. Hampir semua bisa menyanyikannya. Karena takut rusak, aku jarang sekali membawa keyboard itu ke rumah. Selalu di kantor.

 

Suatu sore, lepas maghrib kami sekeluarga makan bersama. Aku ingat sekali, malam Jum'at. Bukan karena aku ingin kisah ini jadi seram, bukan. Aku ingat Jum'at karena hari Jum'at keesokan harinya aku  harus membantu pelaksanaan perkemahan Perjusami. Untuk pertama kalinya Perjusami (Perkemahan Jumat Sabtu Minggu) dilaksanakan di Cikampek.

 

 

Kami sangat jarang makan bersama. Ketika kami sedang makan tiba-tiba terdengar suara keyboard. Bunyi keyboard adalah nada-nada baris pertama lagu Ibu, ciptaanku. Aku menahan suap. O ..ooo... semua menahan suap. Ketika dengan perlahan aku lemparkan pertanyaan, mereka semua menjawab "mendengar". "Lagu apa?" tanyaku perlahan. Serempak dan perlahan semua menjawab. "Ibu."

 

Melihat aku senyum, dua orang anak yang ikut berteduh, dan mereka kusuruh masuk saja ke dalam karena di luar kena tempias, bertanya kepadaku. Aku jawab bahwa aku senang melihat anak yang tadi mengingatkan untuk tidak mengambil mangga dari dahan patah. Salah seorang dari anak yang ikut berteduh berkata bahwa ustadznya mengajarkan untuk jangan mengambil hak orang lain.

 

Nenek sedang menjemur pakaian. Tentang mencui pakaian kami sudah terbiasa membagi dua pekerjaan. Nenek kebagian mengeringkan setelah memakai cucian dibilas pewangi, dan menjemurnya. Dari jendela aku melihat Yayangku sangat menikmati pekerjaan bagiannya itu.

 

Satpam itu tajam menatap. Tampak curiga. Hmm, bagaimana tidak. Yang sedang dihadapinya sekarang adalah seseorang yang mengaku guru tapi rambutnya gondrong, bicara seperlunya, ingin ketemu dengan orang pertama di perusahaan yang cukup terkenal di kota kecil yang bernama Cikampek itu.

 

"Baru di Cikampek ya?" aku bertanya.

 

"Ya, baru enam bulan lebih sedikit," jawabnya sambil terus menatap.

 

"Begini, katakan saja kepada bos bahwa salah seorang orang tua dari dua anak yang beberapa hari yang lalu diwawancarai untuk mendapat beasiswa dari perusahaan ini, ingin bertemu, karena ada sesuatu yang ingin ditanyakan," sengaja aku membuat kalimat panjang agar dia bingung.

 

Akhirnya dia pergi meninggalkan aku dan tanpa dipersilakan aku duduk di salah satu kursi rotan yang ada di teras itu . Tidak berapa lama dia kembali dan mempersilakan aku ikut.

 

Masuk ruangan bos sungguh nyaman. Aku merasakan sejuknya AC. Aku dipersilakan duduk di sofa dan aku melihat bos beranjak menghampiri. Bukan main. Kalungnya hampir sebesar jari, Ujung lingkaran bawah kalungnya menempel berat di bagian atas perut gendutnya. Ramah sekali. Aku sudah sering melihat orang ini tapi sama sekali belum kenal. Setelah bicara ini itu dia bertanya tentang maksud kedatanganku.

 

 "Saya adalah orang tua Y yang beberapa hari yang lalu diundang kesini untuk diwawancarai. Hasilnya saya sudah tahu. Anak saya tidak mendapat beasiswa tersebut. Saya tidak bermaksud memprotes keputusan itu hanya ingin bertanya, mengapa anak saya tidak mendapatkan beasiswa itu."

                                                                                       

Bos tampak bingung. Tentu dia bingung, Dia tidak punya alasan lain selain keadaan saat wawancara.

                                                                                        

"Hmmm, apakah saya boleh bertanya sesuatu kepada bapak ," dia balik bertanya. Tampaknya dia ingin mencari bahan untuk jawaban.

                                                                                        

"Tentu saja boleh, Bapak ingin bertanya mengapa saya bertanya, 'kan?

 

"Ya ... yaa..betul, itu pertanyaan saya," jawabnya.

 

"Tahukah Bapak bahwa anak yang kemarin mendapat beasiswa itu, orang tuanya cukup mampu? Tahukah Bapak bahwa orang tuanya punya mobil? Tahukan Bapak bahwa orang tuanya punya dua rumah? Tahukah Bapak bahwa anak yang kemarin mendapat beasiswa itu, hanya tiga bersaudara?

                                                                                       

 Dia diam....air mukanya berubah. Aku melanjutkan lagi.

 

 "Nah, saya sebaliknya, Y itu 4 empat bersaudara, masih tinggal di rumah dinas, tidak punya mobil. Tapi maaf Pak. Saya bukan ingin agar anak saya dapat juga, tidak. Kalau toh diberi, setelah saya ketemu dengan Bapak seperti ini, saya tidak mau."

                                                                                       

Dia tetap diam. Air mukanya berubah-ubah. Pandangannya tajam menatap, seperti pandangan satpam tadi.

 

"Jika  proses wawancara itu dilakukan oleh selain bapak, berarti bapak lengah. Gegabah membuat keputusan. Jika Bapak yang menanganinya, ya sama, Bapak juga gegabah. Membuat keputusan tanpa mengumpulkan data lebih dulu."

 

Dia masih diam. Kali ini air mukanya menampakkan marah. Aku melanjutkan.

                                                                                       

"Jadi, saya ulangi pertanyaan saya di awal tadi, mengapa anak saya tidak mendapatkannya. Saya ingin tahu alasan lain selain kesalahan Bapak yang tadi saya sebut."

 

Dari duduk menyandar gaya bos, tangan kiri pada sandaran belakang, tangan kanan pada paha kanan yang menumpang di paha kiri. bos menurunkan kakinya.

                                                                                       

 "Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak," katanya. Hahaha, aku kira dia akan marah.

 

"Saya yang berhadapan dengan mereka." katanya melanjutkan. Aku memotong.

                                                                                       

"Apakah Bapak hadapi berdua sekaligus?"

                                                                                        

 Dia tertawa terbahak-bahak, sangat lepas. Bos sudah mulai lepas dari tekanan pembicaraanku.

 

"Awalnya saya menerima mereka sebagai tamu saya, tamu perusahaan kami, saya hadapi mereka berdua sekaligus  tapi ketika acara intinya saya hadapi satu-satu."

                                                                                       

"Bagus...." aku menimpali. "Bapak membelakangkan anak saya karena abjad namanya, ya?"

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler