Skip to Content

Menghitung Diri

Foto saiful bahri

Hitung-hitungan sekali ini sungguh membuatku ketiban susut yang takut. Ya, susut dan takut! Betapa tidak, ketika iseng-iseng kucoba menghitung-hitung diri, ternyata sisaku tinggal sedikit lagi. Masaku semakin sempit dan terjepit. Detik-detik yang berlalu terus menggerus dan memperpendek rentang usiaku. Rentetan kata bersuara yang parau-parau terucap semakin mempercepat bungkam bisuku. Degup jantung dan desah nafas yang melemah begitu pasti menggiringku menuju batas akhirku. Sementara nafsu angkara murka itu sungguh terlalu tabah, tak pernah sudah memperdayaku untuk selalu berbesar hati, teguh kukuh percaya diri,  bahwasanya susut itu biasa, takut itu percuma, karena sisa waktuku masih lama, masih sempat bersuka-suka, masih boleh berbuat apa saja. Ah, nafsu! Sungguh murka angkaramu pada diriku!

 

Diluarku, malam beringsut mencabik pekat. Udara pengap. Langit sepi bintang. Angin hembuskan  kering yang kering. Angan kosong bersandingkan ambisi bohong terbang bergeriap mengitari tampuk-tampuk malam, hinggap sejenak di atap-atap rumah terpilih, lalu terbang lagi, untuk segera kembali berhinggap-hinggap lagi, entah di atap rumah siapa lagi. Diluarku, malam gerah terpecah-pecah.

 

Terbanting lagi aku dalam hitung-hitungan. Untuk sekali ini bukan lagi hitung-hitungan pelipur iseng. Terbata-bata aku mulai mencoba menghitung untung rugi diriku. Sejak mula kubernafas sudah berapa banyak udara yang kuhirup, sudah berapa kubik air telah kuminum, sudah berapa ribu periuk nasi telah kumakan, sudah berapa lama waktuku tertidur dan waktuku kuterbangun, sudah berapa banyak cerca amarah, dusta, benci dan caci maki, sudah berapa dalam haru tangis, cinta, sukacita dan dukacita, sudah berapa pundi dosa dan pahala kini kupikul, banyak mana harta haram ataukah halal yang lelah tak lelah sibuk berhiruk pikuk kutimbun siang dan malam, tinggi mana anganku dibanding imanku, baik atau burukkah aku, berpulang ke syurga atau ke nerakakah aku….

 

Sibuk! Sibuk sekali aku menghitung-hitung diri! Benarlah firman-Mu ya Allah, hitung-hitunglah dirimu, sebelum engkau Ku-perhitungkan. Ya, Allah, kerdil dan picik sekali aku! Susut dan takut sekali aku! Sungguh pongahku telah meracun jalan berkelok sekejap masa hidupku.

 

Dalam khusyuk penghitungan itu, aku tersentak ketika tiba pada satu simpulan kalau semesta raya ini juga ada dalam hitung-hitungannya. Ya, Allah, telah Kau perhitungkan awal dan akhir semesta, siapa yang jadi manusia pertama dan siapa pula ia manusia terakhir, berapa jumlah tetesan air di samudra, bebutiran pasir dan debu di jagad raya, kerlap-kerlip bintang-gemintang di langit malam, berapa jumlah daun kering berguguran, bunga aneka warna bermekaran, bulir-bulir padi menguning, angin berpusar, gempa bergetar, bumi berputar, langit beredar. Ya, Allah, telah Kau perhitungkan jumlah kubur-kubur manusia yang berkubur, jumlah manusia yang kufur, jumlah manusia yang takabur. Ya, Allah, telah Kau perhitungkan berapa luas syurga dan neraka, jumlah yang ke syurga dan ke neraka, siapa dia penghuni syurga, siapa saja penghuni neraka…

 

Diluarku, malam semakin tua. Udara semakin pengap. Langit gelap. Angin mati. Sunyi itu pekat sekali mengepung hati-hati kosong beku membatu. Purba sekali sunyi itu menyeret damba, mengangkang di bianglala, mencibir-cibir nasib umat manusia. Puncak habis segala sunyi itu ternyata juga telah diperhitungkan. Habislah semua dalam hitungan!

 

Sungguh mustahil aku sanggup menghitung berapa jumlah pasir sekarung, daun sehutan, tetes air sekolam, kerlip bintang di setengah langit malam. Singkat sekali umurku untuk masuk ke hitung-hitungan semacam itu. Ya, Allah, sungguh sempurnanya Kau perhitungkan semesta ciptaan-Mu. Terkutuklah aku yang kian menyusut bercampur takut ini ogah menghitung-hitung diri!

 

Sementara diluarku, entah berapa jumlah orang yang sedang gila, orang yang putus asa, orang yang meregang nyawa, orang yang lagi bercinta, orang yang sedang berdendang, orang yang senang berperang, orang yang luput jadi orang. Didalamku, biarlah sejenak aku larut menghitung diri…

 

Krueng Geukueh, 4 Oktober 2008


Terinsiprasi dari : (QS Al-Maarij [70]: 4) "Para malaikat dan Jibril naik menghadap Allah, dalam sehari setara dengan 50 ribu tahun." Ini berarti bahwa waktu sehari di akhirat sama dengan 50 ribu tahun di dunia. Bila dikonversikan dengan umur manusia berdasarkan usia Rasullullah SAW (63 tahun), maka kehidupan manusia setara dengan 1 menit 49 detik di akhirat. Suatu waktu yang sangat singkat. Oleh karena itu, berhitunglah! Mari berhitung-hitung....

Komentar

Foto Yayag YP

Menggugah

Sangat mengingatkan.
Salam kenal saya, mohon bimbingannya disini.

thedarknessofsatire.blogspot.com

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler