Skip to Content

Mesin Ketik Sang Penulis

Foto Adri Wahyono

Tiga orang duduk pada tiga kursi berbeda. Saling menghadap dan sebuah meja kuno bulat berada ditengah-tengah mereka. Satu orang tampak sangat bersedih. Tapi dua orang yang lain tampak berbeda. Beberapa saat tak ada perbincangan. Mereka saling diam.

Di hadapan mereka, pada sebuah meja bundar, sebuah benda menjadi pusat perhatian mereka. Sebuah benda yang terbungkus kain mori. Seseorang yang tampak bersedih tadi menyentuh benda terbungkus kain mori itu.

“Saya tak pernah berpikir akan kehilangan ini!” Kata orang itu. Ia seorang laki-laki tua berambut putih dan seakan rambutnya bisa dihitung dengan jari. “Saya pernah mengalami banyak waktu yang tak bersahabat. Beberapa kali bahkan merupakan keadaan yang sangat buruk! Tapi itu tak membuat saya harus kehilangan ini!”

Hening.

Dua orang yang duduk berseberangan meja dengannya tak memberinya tanggapan atau pertanyaan apapun. Laki-laki tua masih dengan tangannya menyentuh benda itu.

“Saya seperti seorang buta yang ingin berjalan. Dia membutuhkan sebuah tongkat. Dia berjuang untuk tongkat itu! Mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, untuk mendapatkannya. Begitulah! Ini seperti sebuah tongkat untuk si buta. Bisa anda bayangkan artinya!” Kata laki-laki tua lagi. Lalu ia berusaha mencuatkan senyum diantara raut kesedihannya.

“Saya mengatakan ini bukan untuk meminta belas kasihan anda. Lalu anda memutuskan untuk tak jadi membawanya. Bukan seperti itu! Ini milik anda sekarang. Anda sudah membayarnya begitu tinggi untuk sebuah benda yang disebut sebagai barang antik. Saya hanya ingin menyertakan sedikit cerita sederhana, tapi bagi saya sangat bersejarah, meskipun menyedihkan,”

“Ceritakanlah Pak!” Kata salah satu diantara dua orang itu. Seorang muda dengan pakaian sangat rapi dan tampan. Akan tercium bau wangi menawan ketika kau berada disekitarnya. Ia seorang yang menyukai dan mencari benda-benda kuno yang antik. Ia telah membayar uang muka untuk sebuah benda yang belum lagi dilihatnya, yang kata seseorang yang menawarkan padanya adalah sebuah mesin ketik kuno. Mesin ketik kuno yang telah mengetikkan nama pemiliknya sebagai seorang penulis buku terkenal.

“Banyak tulisan saya yang lahir dari ini,” laki-laki tua menunjuk benda itu, lalu ia tampak berusaha menelan ludah, mungkin untuk  menahan gundah. “Mula-mula, tulisan-tulisan saya tak ubahnya merpati yang saya lepas untuk pergi. Tapi, pada akhirnya merpati-merpati itu kembali dan memberi saya banyak arti. Koran dan majalah di pelosok negeri menampung tulisan saya. Bukan tentang yang saya dapat, melainkan apa yang saya bagi sepertinya diterima, itu kebahagiaan yang tak terkira,”

Dua orang dihadapannya memperhatikan dengan seksama. Bagi si muda tampan, cerita itu sungguh sangat dinantinya. Benda antik bersejarah akan semakin istimewa bila ia tahu cerita yang mengiringinya.

“Ini kemudian mengubah hidup kami. Saya seorang pegawai kecil, dan orang kemudian mengira saya telah melakukan perbuatan kotor, mereka tak tahu kalau saya mendapat berkah dari menulis dengan mesin ketik ini. Saya kemudian menulis banyak buku dan terus menulis sampai tenaga dan pikiran saya tak mampu melakukannya lagi. Sayang, saya melakukan satu kesalahan besar, sangat mendasar dan itu sangat fatal!”

“Kesalahan besar?” tanya si muda tampan.

“Saya terlalu menikmati berkah dari mesin ini. Kehidupan yang berat sebelumnya membuat saya hanya berpikir bagaimana membahagiakan anak-anak saya. Ya, saya tak berpikir mengajarkan kepada mereka sesuatu agar mereka bisa belajar membangun masa depan mereka dan dan mereka mampu melakukan sesuatu ketika keadaan sedang tak mau bersahabat.”

“Mungkin saya salah menangkap, tapi apakah maksudnya adalah anda terlalu memanjakan mereka?” tanya si muda.

Laki-laki tua itu menatap keduanya dengan tatapan kosong.

“Kesalahan ini membuat anak saya tak bisa melakukan apa-apa kecuali menjual mesin ini dan sejarah kejayaan saat mesin ini memanjakan semua keinginannya di masa lalu!” ucapan laki-laki tua tertahan lagi. “Mereka hanya tahu tentang apa yang mereka dapat, tapi mereka tak pernah mengenal mesin ini sendiri. Begitulah, ini menyedihkan!”

Sekarang laki-laki tua itu menunduk. Si muda dan kawannya saling pandang beberapa lama.

“Bapak terkenal di masa lalu. Tulisan dan buku-buku bapak begitu banyak dan menginspirasi banyak orang. Saya membayar mesin ini dengan harga setimpal nilai sejarahnya!”

“Tak ada harga yang setimpal dengan nilai sejarah, kalau kita membicarakan uang,”

“Apakah saya mesti membayar lebih mahal lagi?” tanya si muda.

“Lebih tepatnya adalah, anda membayar terlalu mahal untuk ini!” jawab laki-laki tua.

“Saya tak mengerti,” kata si muda lagi.

“Bagi saya sejarah itu tak berarti apa-apa, karena saya tak mampu mengajarkan kepada mereka cara memelihara kebanggaan, mereka hanya mampu menjual kebanggaan. Mereka tak bisa melakukan apa-apa, dan itu salah saya,”

“Saya tak merasa membayar terlalu mahal!”

“Memang, tapi saya sedih sekali dengan praktek jual beli sejarah ini. Apalagi yang diperjualbelikan adalah sejarah menyedihkan yang saya miliki. Kalau saja saya tak bodoh, mungkin saat ini anak-anak saya berebut untuk menyimpan benda yang mengantar mereka pada kegemilangan masa depan, menyimpan kebanggaan di dalam hatinya, bukan menjualnya pada pedagang sejarah!”

“Bawalah pergi benda itu! Mungkin saja Tuhan sengaja mengambilnya dari saya karena kesalahan itu!”

Laki-laki tua itu bangkit dari duduknya dan melangkah tanpa berkata apa-apa lagi. Si muda dan kawannya kembali berpandangan.

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler