Skip to Content

Nahkoda Kapal Chika

Foto Miyos Ndaru

Dua hari yang lalu kita masih duduk di bangku taman kota, sambil sesekali ia singkirkan anak anak rambutku yang mencoba masuk menutupi telinga. Ketika itu langit mulai berubah menjadi jingga, namun kita masih saja asyik bergurau di bawahnya. Aku suka senja kali ini, walaupun terasa beda akibat hujan datang yang menggila tiba tiba, yang terpenting aku dapat melihat senyumnya.

“Sayang, kemarin kakiku terkilir waktu mau mandi”, ungkapnya disela canda tawaku. Aku hanya tersenyum semanis mungkin, sambil melingkarkan tangan ke pingangnya. Bahunya benar-benar masih nyaman untuk bersandar. Aku tak kuasa membendung anak sungai pada kedua sudut mataku.

Dari seberang kulihat dua orang berbaju putih mulai menghampiri kita.  Aku segera menyiapkan diri, kuhapus air mataku, dan mulai menuntun pria di sampingku untuk berdiri menuju kursi rodanya.

“Maaf ibu, sudah hampir malam, kami harus kembali”, kata seorang suster sambil tersenyum kepadaku. Aku hanya mengangguk, sambil tersenyum kepadanya.

“Sayang..”

“Iya sayang”

“Ini buat Chika, maaf aku tak bisa membelikan mainan yang lebih bagus dari ini, salam buat Chika ya”. Kuterima kapal kapalan kertas buatannya, hari ini tepat kapal kapalan kertas yang ke-76 masuk ke kantong tas jinjingku.

“Iya mas, nanti aku sampaikan, mas jaga kesehatan ya, hati hati kalau mau mandi”, ia hanya tersenyum, dan pergi meninggalkanku bersama kedua suster itu. Sesekali ia menengok ke belakang, khawatir kalau tiba-tiba aku menghilang. Hal itu tak akan mungkin kulakukan, aku masih berdiri disini menunggunya hingga tak terlihat lagi.

Dua tahun yang lalu, setiap sabtu malam, kita masih bertiga jika mengunjungi taman kota, aku, dia dan Chika, buah cinta kita. Walaupun hari hujan dan tidak dapat pergi ke taman kota, kita sering bermain di belakang rumah. Bermain kapal kapalan kertas buatannya. Rumah ini nyaris dipenuhi dengan gambar atau hiasan yang berbau dengan kapal, maklum cita cita Mas Duta sejak kecil ingin berkecimpung di dunia perkapalan, tapi ayahnya menuntut untuk meneruskan perusahaan besarnya.

Semenjak ia divonis untuk tinggal di rumah sakit jiwa, kebiasaan itu jarang terulang kembali. Mas Duta stres berat akibat ditipu habis habisan oleh rekan kerjanya. Saat itu perusahaan sepeninggalan ayahnya yang sudah dibangunnya hingga mencapai titik emas bangkrut. Aku dan Chika terpaksa diungsikan di rumah ibu, sementara Mas Duta tinggal di rumah sendiri. Waktu itu ingin rasanya aku kembali pulang, namun ibu melarangku keras. Sampai pada waktunya, Mas Duta harus menjalani terapi di rumah sakit jiwa.

Sebenarnya aku tak percaya dia menggalami gangguan mental tersebut, ia layaknya orang normal biasanya, hanya saja ia sering berbicara sendiri, dan terkadang ketakutan berlebihan. Suatu kali Mas Duta pernah kutemukan bersembunyi di dalam almari mengigil ketakutan, sambil mengucapkan beberapa kata yang akupun juga tak tahu apa maksudnya. Tapi aku besyukur, masih dapat bertemu dengannya seminggu sekali, kadang aku menemuinya di rumah sakit, atau dia yang memintaku untuk menemuinya di taman kota.  Setiap pertemuan kami, kadang Chika kuajak untuk bertemu ayahnya. Namun, sudah sebulan ini Chika tidak pernah ikut, karena cuaca tidak bersahabat dengan gadis berumur empat tahun itu. Aku hanya takut Chika jatuh sakit, akibat hujan yang datang tak menentu.

0O0

Sekarang aku duduk di meja kerjanya, sambil menatap seseorang di dalam sebuah pigura yang tak henti hentinya tersenyum kepadaku. Mas Duta memang terlihat tampan dengan kemeja putih yang dipakainya, walaupun kedua matanya tertutup dan badannya terbingkai sebuah peti. Dua hari setelah kita bertemu, mobil rumah sakit yang ia tumpangi mengalami kecelakaan. Hujan deras sehabis pertemuan di taman kota waktu itu, membuat ban mobil yang ia tumpangi terpeleset dan akhirnya terguling. Tak ada korban yang selamat. Rasa sesal membiarkannya kembali ke rumah sakit, mengendap di dadaku.  Kuambil gunting di saku meja, kedua mataku mulai kupejamkan sambil menekan ujung gunting ke pergelangan tangan. Namun, tiba tiba seseorang menggebrak pintu.

“Mamaaa mamaa kapalnya tengelam, Chika mau kapal lagi”, teriaknya sambil menggebrak pintu ruang kerja ayahnya. Segera ku hentikan akitifitas terkutukku itu, dan menyembunyikan gunting tadi ke dalam saku meja. Aku meringis kesakitan, ternyata gunting itu sudah mengenai sedikit kulit ariku.

“Mama kenapa? Kok tangan mama berdarah?”

“Mama nggak apa-apa kok”

Kupeluk gadis kecil itu. Air mataku tumpah seketika. Aku harus tabah, kapal ini belum sampai ke pelabuhan, masih ada Chika, gadisku sebagai penumpang. Mau tak mau aku harus menjadi nahkoda baru untuknya.

Komentar

Foto edi sst

realis ...

ahahay ...

Cerpenmu ini lumayan seru, Miyos (sy panggil Miyos sj ea. Soalnya Ndaru kayak panggilan temanku cowok hehe). Begitu realis. Namun, akan lbh sip jika km perhatikan detail ejaannya. Misalnya, penulisan nahkoda mestinya nakhoda (coba lihat KBBI). Lalu, disela, disini mestinya dipisah jd di sela, di sini. Kemudian, salah ketik seperti pinggang yg km tulis pingang. Yg lbh penting lagi adalah kata kita yg mestinya kamu tulis kami. Akhir-akhir ini kata kami sering diganti dgn kata kita, terutama dlm bhs gaul. Padahal, kedua kata itu sangat berbeda artinya kan? Jika ejaannya sdh sip, km tinggal menambah kalimat-kalimat konotatif, syukur ada kalimat2 yg filosofis, shg lbh indah. Kayaknya km berbakat neh nulis sastra hehe ... :) Tetap semangat, Miyos. Salam.

Foto Miyos Ndaru

iyaa, saya masih sering

iyaa, saya masih sering misstyping om, entahlah mungkin penyakit atau apa, iya kata kami dan kita sangat berbeda arti hehe oh ya tentang KBBI nanti saya sering cek ulang, saya baru awal awal nulis cerpen, anyway terimakasih om, sudah mau mampir dan neliti cerpen amburadul saya, semoga penulisan berikutnya akan lebih teliti lagi :)

Foto edi sst

sebenarnya ...

ahahay ...

sebenarnya penggunaan kata kita dlm cerpenmu di atas sdh benar jk kata ganti utk Mas Duta menggunakan kata kamu bukan dia. Jk tdk, km gunakan kata kami sperti dlm kalimat "Setiap pertemuan kami, kadang Chika kuajak ...".
Wah, awal2 menulis sj sdh bagus begini. Tulisan berikutnya pst lebih sip, neh. Salam :))

Foto Miyos Ndaru

owh, begitu ya om, ya saya

owh, begitu ya om, ya saya paham, terimakasih banyak atas koreksinya yaa :D

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler