Skip to Content

Nasihat

Foto TediF

Lelaki renta itu kembali terlihat melamun di teras rumah. Terduduk di kursi rotan yang seakan menjadi singgasana baginya. Cahaya lampu pelataran yang temaram menerpa mata kecoklatannya. Bibirnya bersenandung lagu yang mungkin hanya dia saja yang tahu.

“Kek? udah malam. Mending kakek di rumah aja. Disini dingin loh.” Dia adalah Joko, cucu Kakek yang berusia 19 tahun.

Wajah Kakek itu mendongak lantas menjawab dengan anggukan saja.

“Kakek lagi apa?” tanya Joko sambil bergegas duduk di kursi sebelah Kakek.

“Melihat hidup Kakek, Ko,” jawab Kakek dengan senyum di wajahnya.

Joko memperhatikan lamat-lamat wajah Kakek. Guratan di wajahnya kini kian mendalam. Rambut dan janggut yang memutih adalah saksi bahwa umurnya tidak muda lagi. “Maksud Kakek?” tanya Joko.

“Dulu waktu Kakek seusia kamu, belum pernah sedamai ini, Ko. Orang-orang yang hidup di zaman ini rasanya beruntung. Makan bisa enak, tidur bisa nyenyak. Kakek dulu jangankan tidur nyenyak, bisa tidur saja dah syukur.” Helaan napas Kakek menyela perkataannya. “Tapi, Kalau kalian beruntung, Kakek itu sangat beruntung. Kenapa? Karena yang Kakek lawan itu jelas. Kulitnya beda dengan kita, bahasanya beda dengan kita, perawakannya pun beda. Sementara kalian, sekarang kalian ini tengah melawan bangsa kalian sendiri. Seperti kata Bung Karno waktu itu, ‘Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.’ Ini punya banyak arti kan?

Dulu lawan menyerang dengan senjata. Tapi sekarang, kita tidak tahu mana lawan atau kawan kan? Siapa yang tahu hati manusia. Zaman sekarang sedalam apapun lautan masih bisa diselami, sementara sedangkal apapun hati manusia, kita tidak ada yang tahu kecuali yang Maha tahu.” Pandangan Kakek lurus ke depan.

“Kakek mengalami itu semua?” tanya Joko.

“Tidak semuanya, Joko. Kakek Cuma sedikit mengalami,” jawab Kakek.

“Tapi kenapa Kakek bisa banyak tahu?”

“Kamu tahu orang tua? Kadang sekecil apapun pengalaman yang didapat, bisa jadi pelajaran yang sangat besar,” jawab Kakek sambil terkekeh. “Zaman sekarang ini ngeri kan? Kamu mahu tahu cara buat ngelawan musuh kamu?” tanya Kakek.

“Mau, Kek,” jawab Joko.

“Caranya adalah ikhlas.”

“Ikhlas?” tanya Joko heran.

“Iya ikhlas. Kalau dulu pakai senjata, sekarang pun senjatanya tak kalah kuat, yaitu ikhlas. Kamu bisa kalahkan egois dengan ikhlas, kamu bisa buat orang lain senang dengan ikhlas, dan kalau kamu ingin bahagia, cukuplah buat kamu ikhlas.

Kakek sampaikan kepada kamu sebelum Kakek pergi jauh. Zaman ini sedang bergolak. Jadikan iman kamu sebagai pedoman. Jadilah contoh buat orang lain dalam kebaikan. Karena memang benar tiada warisan yang mewah selain dari amal yang baik.”

“Terimakasih, Kek. Nasihat kakek bakal terus Joko ingat. Semoga Joko gak bakal kecewain Kakek,” pungkas Joko.

Suasana yang hening hadir diantara mereka.

“Kek? Apa Kakek belum mau ke dalam?” tanya Joko namun tidak ada jawaban. “Kek?” Masih tidak ada jawaban.

Terlihat Kakek memejamkan matanya sambil menyandarkan kepala. Hati Joko mulai tak karuan. Joko memeriksa pergelangan Kakek. Benar saja, tadi adalah pesan terakhir dari Kakek.

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler