Skip to Content

NOVEL: AKULAH MAYSAROH (BILAH 06)

Foto SIHALOHOLISTICK

GLEZTIA turun dari mobilnya dan membanting pintu mobilnya. Segera ia memasuki gang kecil tempat Maysaroh tinggal. Di halaman rumah Maysaroh, Gleztia merasa heran melihat keadaan yang sepi. Biasanya abah selalu duduk di luar sambil menikmati kopi dan tembakau shag-nya dan umi pasti keluar masuk mengeluarkan dagangannya dan meletakkan di atas dipan yang ada di sebelah kanan teras rumah menunggu abah mengantarkan ke tempat yang sama setiap harinya.

Dari hasil berdagang seperti itulah memang mereka mempertahankan hidup ditambah dengan biaya sekolah Maysaroh yang tidak sedikit. Namun, mereka selalu bersyukur dengan apa yang mereka peroleh. Setiap kali abah dan uminya mengeluh, Maysaroh selalu menghibur mereka dan mengajak banyak-banyak bersyukur.

Gleztia langsung masuk ke dalam dan semakin heran melihat keadaan yang sepi. Ia hanya menemukan Maysaroh di dalam, tak ada yang lain.

“Mana abah dan umi, May? Kok sepi?” tanya Gleztia akhirnya.

“Abah masuk rumah sakit. Dia kecelakaan.” jawab Maysaroh. “Aku baru pulang dari rumah sakit.”

“Apa? Abah masuk rumah sakit? Kecelakaan? Bagaimana bisa?” tanya Gleztia bertubi-tubi karena kagetnya.

“Bagaimana bisa, bagaimana? Kalau Allah berkehendak, apa yang mustahil bagiNya, Gle?”

“Iya, sih. Tapi kamu kok kelihatannya tenang saja.”

“Alhamdulillah, Gle. Orang yang menabrak abah itu sangat bertanggung jawab terhadap kesembuhan abah. Orangnya baik. Semalaman ini dia rela begadang menjaga abah dan kami dipaksanya untuk tidur.”

“Gimana orangnya?” tanya Gleztia penasaran.

“Ntar pulang sekolah aku kenalin ama kamu. Dia masih muda, sekira berusia 27-anlah. Dia seperti kamu, sepaham dan sama-sama simpatik dengan Islam. Bahkan buku yang dibacanya adalah buku para sufi, para ahli agama Islam itu, lho.” terang Maysaroh. “Katanya ia ingin mengajak seluruh keluarganya masuk Islam. Aku sangat terharu sekali mendengarnya.”

“Siapa namanya?”

“Siapa tadi, ya? Aduh aku lupa lagi namanya. Siapa, ya? Ga…Ga…Gani? Bukan! Ah, entahlah. Nanti saja kita jumpai dia di rumah sakit.”

“Ah, payah kamu.” balas Gleztia sambil berdiri di depan lemari Maysaroh menghadap ke cermin. Sebuah buku di atas lemari Maysaroh menarik perhatiannya sehingga ia menariknya. Sebuah foto usang terlempar dari dalam buku tersebut. Foto itu dipungutnya dan berjalan menghampiri Maysaroh. “Ini foto keluarga kalian, May?” tanyanya sambil menunjukkan foto itu pada Maysaroh.

“Coba liat!” pintanya menarik foto itu dari tangan Gleztia dan memperhatikannya. “Sepertinya, ya, tapi aku tak tau siapa laki-laki ini.” jawab Maysaroh merasa tidak mengenal seorang anak laki-laki remaja. “Ah, biar nanti kita tanya sama umi!” kata Maysaroh akhirnya setelah tak mampu mengingat siapa laki-laki remaja itu dalam memori otaknya.

“Udah selesai? Berangkat, yuk!” ajak Gleztia akhirnya.

“Yuk!” balas Maysaroh mengikuti langkah Gleztia keluar rumah. Setelah mengunci rumah, keduanya berjalan sampai mobil.

“Oh, ya, May, bagaimana tentang ungkapan cinta Arifin? Apa kamu sudah menentukan pilihanmu, menerima atau menolaknya?” tanya Gleztia setelah berada di dalam mobil menuju sekolah.

“Aku belum tau, Gle. Hatiku benar-benar bimbang menentukan jawabannya. Aku juga sudah coba mengadu pada Allah, tapi semua yang aku alami malah menjauh darinya. Sepertinya aku lebih baik menolaknya saja.” jawab Maysaroh dengan hati yang kacau. Hatinya dipenuhi oleh sosok laki-laki yang baru dikenalnya semalam.

“Yang lewat kamu sudah mantap menerima cintanya Arifin. Kok, sekarang malah berubah?”

“Entahlah, Gle! Untuk saat ini aku sepertinya tak mengerti dengan semua yang telah terjadi sebelumnya.”

“Coba kamu pikirkan lagi!”

“Mungkin aku menolaknya saja, Gle. Aku tak bisa menerima kehadirannya.”

“Maksudmu?”

“Mungkin antara aku dan dia lebih baik bersahabat saja. Mungkin itu lebih baik.” putus Maysaroh.

“May, kata orang: Persahabatan selalu berakhir dengan cinta. Apa seperti itu yang kamu harapkan?”

“Liat nanti saja, Gle.” jawab Maysaroh. Perasaannya kian bimbang mengingat ketulusan Arifin. Tapi tetap saja hatinya menolak. Cinta memang tak bisa dibuat seenak perut kita. Menentukan orang yang kita cintai dan memutuskan pilihan orang yang kita cintai untuk memilih cinta kita. Bagi Maysaroh, cinta bukan pilihan, tapi takdir. Takdir yang menentukan pada siapa pun cinta itu berlabuh dan menerimanya apa adanya.

Maysaroh mengatakan cinta bukan tanpa alasan. Arifin yang jelas telah mendapat nilai baik dari Gleztia, sahabatnya, yang tulus dan orang yang tepat tapi tidak mampu menggetarkan hatinya. Tapi di saat ia bertemu dengan laki-laki yang entah seperti apa asal-usulnya, hatinya bergetar dahsyat. Ia sadar, getaran itu bukan getaran yang dibuat-buat melainkan datang sendiri. Laki-laki yang tidak seaqidah ternyata lebih mampu membuat hatinya bergetar. Ia tahu dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa laki-laki budak tapi seaqidah lebih baik bagimu daripada seorang raja tapi tidak beriman kepada Allah.

“Ada apa sebenarnya, May?” tanya Gleztia sambil memutar mobil memasuki pekarangan sekolah dan menuju tempat parkir.

“Memangnya mengapa?”

“Sepertinya ada sesuatu yang kamu pikirkan. Apa masalah abah?” tanya Gleztia sambil mematikan mesin mobilnya.

“Sebagai anak…,” balas Maysaroh sambil membuka pintu dan keluar kemudian membanting pintu kembali. “…sudah sangat layak saya memikirkan abah yang terbaring di rumah sakit. Ya, meskipun kata dokter luka abah hanya luka ringan, tetapi tetap harus dirawat inap.”

“Mengapa berpikir sejauh itu, May?” tanya Gleztia semakin bingung melihat tingkah sahabatnya. “Hari ini kamu cukup aneh.”

“Dimana anehnya?”

“Ya, cara kamu bicara sepertinya bukan Maysaroh yang kemarin. Pokoknya hari ini kamu beda. Beda sekali! Entah kemana perginya Maysaroh yang setiap pagi selalu dihiasi senyum dan keceriaan.”

“Senyum dan keceriaan itu sesungguhnya tak abadi, Gle. Banyak hal yang akan berubah dalam kehidupan kita ini. Semua datang dan pergi silih berganti, karena hidup terus berputar, Gle. Semua itu tak luput dari kehidupan saya, karena aku hanya hamba yang tak punya daya dan upaya. Keabadian hanyalah milik Allah semata.”

“Oh, ya? Ya, sudahlah! Jangan terlalu dipikirkan perkataanku tadi.”

Keduanya terus berjalan menuju ruangan kelas. Sebuah panggilan akhirnya membuat langkah mereka terhenti dan membuat mereka menoleh ke arah suara. Arifin dan Fathir berlari kecil menghampiri mereka.

“Gle, tak usah beritau soal abah, ya!” pinta Maysaroh pada Gleztia.

“Kenapa?”

“Pokoknya gak usah dikasih tau!” tegas Maysaroh sekali lagi. Gleztia akhirnya mengangguk.

“Eh, May, gak biasanya kusut gitu, ada apa?” tanya Arifin. “Biasanya selalu senyum dan ceria.”

“Ya, karena semua itu gak ada yang abadi, Fin. Senyum, tangis, tawa, sedih akan datang silih berganti.”

“Sebenarnya dia kurang istirahat, Fin. Kamu tau sendiri kan bagaimana kegiatannya sehari-hari? Hampir tidak ada waktu luang untuk istirahat.” terang Gleztia.

“Ya, kamu jangan terlalu memaksa diri, May. Kamu harus banyak istirahat.”

“Insya Allah, Fin!”

“May, tadi Aa Wandy titip pesan kalau hari ini kita kumpul di markas semua, Gleztia juga. Tapi kalau kamu bisa. Kalau gak bisa, juga gak apa-apa. Mungkin kamu ingin istirahat.”

“Sepertinya, memang Maysaroh gak bisa ikut. Apa gak bisa ditunda dua atau tiga hari ke depan?” jelas Gleztia.

“Nanti aku kasih tau ama Aa Wandy, kalau pun tak bisa mungkin kita aja yang pertemuan, meskipun rasanya kurang pas kalau kalian berdua gak ada.” balas Arifin. “Atau, siapa tau kalian bisa datang, acaranya jam 16.00, selesai Ashar.”

“Baiklah, kita liat nanti saja. Kalau memang bisa datang, kita akan sempatkan datang.” kata Maysaroh akhirnya.

“Kalau begitu, kita duluan, ya!” kata Arifin mengajak Fathir sambil mengucap salam. Maysaroh membalas salam sambil senyum dan mengangguk.

“Kasihan Arifin, ya?”

“Udahlah, Gle! Seperti apapun kamu memaksa dan seperti apapun aku menerima kehadirannya, toh, kalau aku merasa tak nyaman di dekatnya, untuk apa? Sedikitpun hatiku tidak tergetar, masihkah aku memaksakan rasa itu?”

“Atau ada orang lain yang membuat hatimu bergetar?”

“Bukan berarti harus ada kalau aku bicara demikian, kan?”

“Terserah kamu aja, May, tapi jangan sampai kamu jatuh cinta pada orang yang salah.”

Maysaroh hanya mengangguk pelan. Hatinya bimbang. Benarkah ia telah jatuh cinta pada laki-laki itu. Jatuh cinta karena apa? Kebaikannya? Sifatnya? Atau malah tampangnya? Tidak salahkah ia mencintai orang yang tidak seaqidah dengannya? Bagaimana ia mesti hidup sejalan dengan wasiat Rasulullah yang harus berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah.

Hatinya semakin kacau ketika mengingat wajah laki-laki itu. Getar hatinya semakin kencang. “Astaghfirullah hal ‘adzim!” ucapnya lirih. Kakinya dilangkahkan menuju ruang kelas.

Saat belajar, beberapa kali Maysaroh melafadzkan istighfar karena tak mampu memusatkan konsentrasinya pada pelajaran. Laki-laki yang baru dikenalnya itu tak mampu ditepisnya dari pikirannya. Tingkahnya hari itu benar-benar mengundang tanya di hati Gleztia. Guru yang memberikan pelajaran juga telah memperhatikannya. Ketika ia memejamkan matanya, ketika ia menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan banyak tingkah aneh yang muncul darinya hari itu.

“Ada apa, May?” suara guru terdengar dari depan ketika ia semakin gelisah.

“Ya, Bu!” sahutnya dari tempat duduknya.

“Kelihatannya kamu dari tadi gelisah sekali, ada apa?”

“Tidak ada apa-apa, Bu!”

“Tidak apa-apa, kok, segelisah itu?” lanjut gurunya. “Apa kamu sakit?”

“Sepertinya hanya meriang saja, Bu!” jawab Gleztia yang duduk di sampingnya.

“Apaan sih kamu?” tanya Maysaroh pelan sambil menoleh pada Gleztia.

“Apa masih bisa mengikuti pelajaran?”

“Insya Allah masih bisa, Bu!” jawabnya mulai memusatkan perhatiannya.

Mendengar itu, pelajaran pun kembali mereka lanjutkan dan beruntung Maysaroh telah mampu kembali memusatkan perhatinnya pada pelajaran. Hingga pelajaran usai hari itu, ia berusaha sekuat mungkin memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Ia tak ingin lagi apa yang berkecamuk dalam benak dan hatinya menimbulkan tanda tanya bagi orang sekelilingnya.

***

MAYSAROH dan Gleztia melangkah menuju ruang rawat abahnya. Di tangannya ada sebuah rantang berisi nasi untuk makan siang uminya yang dari tadi pagi menjaga abahnya di rumah sakit. Sepulang sekolah tadi, mereka langsung pulang ke rumah Maysaroh untuk mengganti baju dan mengambil makanan untuk uminya.

Kembali hati Maysaroh berdetak kencang ketika ruang rawat abahnya telah kelihatan dari kejauhan. Ia akan bertemu dengan laki-laki itu lagi. Laki-laki yang dalam waktu singkat telah dikenalnya dan menggetarkan hatinya. Ia tak tahu bagaimana nanti kalau bertemu dengan laki-laki itu lagi. Tak tau apa yang harus dilafazkannya untuk menenangkan hatinya. Ia hanya mampu melafazkan ta’awuz tiga kali.

Perlahan diketuknya pintu ruang rawat abahnya sambil mengucap salam. Setelah mendengar jawaban salam dari dalam, ia menolak pintu dan masuk. Hatinya masih berdetak dengan kencang ketika masuk ruangan itu. Pandangannya segera diedarkan ke seluruh ruangan mencari sosok laki-laki itu. Dia mengucap hamdalah ketika tidak menemukan laki-laki itu. Hatinya sedikit tenang dan mampu bergerak dengan bebas di ruangan itu tanpa tatap mata laki-laki yang dianggapnya misterius itu.

“Bagaimana kabar abah, Mi?” tanya Maysaroh pada uminya sambil meletakkan rantang berisi nasi itu di atas meja.

“Alhamdulillah, May. Tadi abah telah siuman dan kelihatannya keadaannya semakin membaik. Keterangan dokter juga mengatakan demikian. Namun dokter belum mengizinkan abah pulang sebelum luka-lukanya mengering bahkan kalau belum dinyatakan sembuh. Kata dokter, ini menghindari gejala infeksi dengan luka abah. Apabila ada indikasi infeksi agar dapat ditangani dengan cepat.” terang umi.

“Kapan kira-kira abah bisa pulang, Mi?”

“Dokter belum dapat memastikan. Pokoknya, apabila telah dinyatakan tidak terindikasi infeksi baru boleh pulang.”

“Jadi, sebelum dokter menyatakan itu, abah belum boleh pulang, Mi?” Gleztia ikut bertanya sambil duduk di tepi ranjang abah. Kaki abah dipijitnya dengan perlahan.

“Begitulah keterangan dokter.”

“Makan dulu, Mi!” kata Maysaroh menyodorkan rantang yang berisi nasi.

“Umi sudah makan siang. Tadi Nak Gatan membelikan nasi bungkus dan itu masih ada, katanya buatmu kalau sudah pulang sekolah.”

“Gatan?” tanya Gleztia.

“Iya, namanya Gatan!” kata Maysaroh cepat.

“Memang kenapa, Nak Gle?” tanya umi.

“Namanya, kok, sama dengan nama Kak Gatan! Kakak aku, Mi!”

“Kak Gatan kan masih di Amerika!” balas Maysaroh.

“Kata mama, kemaren dia sudah di rumah tapi tak lama dia pergi lagi dan semalaman tak pulang. Aku hubungi ponselnya tak aktif-aktif.”

“Apa mungkin dia?” tanya umi.

“Ah, tak mungkinlah. Aku kan pernah liat fotonya dan wajahnya itu sangat asing di memori otakku. Lagian dia merokok. Kak Gatan kan gak merokok.”

“Kebetulan dia sudah pergi. Kalau saja kalian tidak ke rumah dulu pasti bertemu dengannya.”

“Bagaimana kalau nanti malam aku ke sini dan menginap di sini? Besokkan Minggu.”

“Pas banget!” sambut Maysaroh. Ia merasa beruntung, karena tidak akan terlalu merasa ditatap oleh laki-laki yang bernama Gatan itu.

Malam harinya, telah cukup lama mereka menunggu laki-laki yang bernama Gatan itu tidak juga muncul. Wajah Maysaroh pada saat itu berbias kecewa dan penyesalan. Mengapa ia tak bertanya banyak pada laki-laki itu tentang dirinya dan sekarang, laki-laki itu telah menghilang. Lagipula untuk apa lagi ia ke rumah sakit, bukankah tanggung jawabnya telah diselesaikannya. Bahkan lebih dari tanggung jawabnya telah pula diberikannya.

Maysaroh teringat wajah laki-laki remaja yang ada dalam foto keluarganya. Foto itu dikeluarkan dan berjalan mendekati uminya.

“Umi, siapa, sih, laki-laki ini? Kok, aku tak bisa ingat siapa dia?”

“Mana!” minta umi sambil menerima foto itu dari tangan Maysaroh. Gleztia mendekat pada keduanya. Kening umi Maysaroh terlihat mengerut pertanda ia mengingat sesuatu.

“Astaghfitullah hal ‘adzim!” pekik umi dan tak berseling lama air matanya segera meleleh.

“Ada apa, Mi?” tanya Maysaroh dan Gleztia heran.

“Dia…dia…, Sobri, kakakmu, May.” kata uminya terbata-bata.

“Kakak? Jadi May punya saudara, Mi?” tanya Maysaroh bahagia. Tak urung air matanya menetes mendengar berita bahagia itu. Ia segera berhambur ke dekapan Gleztia, sahabatnya. Hanya sesaat dan ia melepaskan dan mendekap punggung uminya dan menyandarkan pipinya ke bahu uminya.

“Umi sudah terlalu rindu pada kakakmu.”

“Memangnya Kak Sobri di mana sekarang, Mi?”

“Umi tidak tau.” balas umi menghapus air matanya. “Dia menghilang setelah dimarahi abahmu waktu ia kedapatan merokok. Hari ini genap tujuh belas tahun ia menghilang dan umi yakin kalau dia masih hidup. Detak jantungnya masih umi rasakan sampai saat ini.”

“Ah, kemana aku harus mencarinya?” kata Maysaroh lirih.

“Bukan kamu yang mencarinya, May, tapi Kak Sobri lah yang akan kembali.” sahut Gleztia.

“Tapi kapan, Gle?”

“Suatu saat ia akan kembali. Percayalah!”

“Kenapa kamu begitu yakin?”

“Sejauh-jauh burung terbang, pulangnya ke sarang juga dan inilah satu-satunya tempat kembalinya. Mungkin saja saat ini ia baru memulai menata hidupnya, karirnya, atau mungkin menata rumah tangganya.”

“Ah, mungkin saja. Kamu betul.” kata Maysaroh akhirnya. “Tapi orang yang kita tunggu sepertinya tidak akan datang.”

“Kalau begitu, ngapain kita sekarang, neh?” tanya Gleztia. “Gimana kalo kita keluar cari gorengan? Mau, Mi?”

“Terserah kalian saja. Tapi, hati-hati!”

“Ya, Mi!” balas keduanya sambil bangkit dan segera keluar dari ruang rawat. Keduanya berjalan menuju keluar rumah sakit sampai ke badan jalan. Mereka menyusuri trotoar mencari pedagang gorengan yang mereka maksud. Mereka berhenti di sebuah tempat jual gorengan dan duduk di kursi kosong menunggu penjual gorengan mengambilkan pesanan mereka.

“Bandrek ada juga, Pak?” tanya Gleztia.

“Ada!” jawab penjual gorengan itu.

“Sekalian  dibungkus tiga ya, Pak!”

“Pakai telor, Neng?”

“Ya!”

Tak berapa lama, mereka meninggalkan tempat itu dan kembali berjalan di trotoar. Tanpa mereka sangka ternyata mereka telah berjalan cukup jauh hingga mereka merasa kelelahan dan berkeringat juga sampai kembali ke rumah sakit.

Enam hari barulah Pak Abdullah, abah Maysaroh diijinkan pulang, namun laki-laki yang bernama Gatan itu tidak pernah kembali lagi. Melihat keadaan yang demikian Maysaroh menjadi pasrah dengan apa yang dirasakannya. Ia tak punya harapan lagi untuk bisa bertemu dengan laki-laki yang benar telah menggetarkan hatinya. Ia tahu semuanya telah berlalu dan tak mungkin terulang lagi. Salahnya, tak banyak bertanya pada laki-laki itu tentang siapa dia sebenarnya. Mengapa dia tidur waktu laki-laki itu rela menjaga abahnya di rumah sakit itu. Bukankah lebih baik juga ia terbangun sambil mengobrol panjang lebar dengan laki-laki itu.

Sekarang semuanya telah terjadi dan sesal Maysaroh tiada guna lagi disesalinya. Tapi ia tidak ingin mengubur wajah laki-laki itu, karena suatu saat ia berharap akan bertemu dengan laki-laki itu lagi. Sekarang baginya lebih baik terus menerus meminta petunjuk pada Allah SWT tentang apa yang sedang dilakukannya. Meminta hidayah dari Yang Maha Mengetahui.

***

GATAN terus melaju di atas motor kesayangannya menyusuri jalanan yang mulai ramai. Jam lima sampai jam enam, jalanan di Jakarta memang selalu ramai dari biasanya dengan kenderaan yang berlalu lalang. Meskipun setiap jamnya jalanan Jakarta tak luput dari keramaian, namun jam lima sampai jam enam adalah jam pulang kantor dan para pekerja mulai meningalkan kantor menuju rumah mereka.

Begitu juga dengan Gatan yang baru saja meninggalkan kantor papanya setelah seharian bekerja. Sekarang ia telah dipercaya menangani perusahaan dengan gelar magister ekonomi yang diperolehnya dari Amerika dan ia mulai menerapkan ilmu yang diperolehnya dari Amerika.

Tidak hanya ilmu yang diterapkannya di kantor papanya, kedisiplinan pegawai juga menjadi target utamanya baik di kantor maupun seluruh pekerja yang bekerja di perusahaan. Tidak hanya untuk pegawai yang bekerja di kantor, yang bekerja di lapangan pun semua diawasinya. Ia berharap memberikan yang terbaik untuk perusahaan papanya.

Di sebuah rumah makan ia berhenti dan makan malam di sana. Sampai saat ini, ia masih tidak ingin makan di rumah. Ia tahu masakan itu adalah masakan ibu tirinya dan sampai kapan pun ia tidak ingin menyentuh masakan ibu tirinya. Setelah selesai makan, ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah. Di rumah ia di sambut ibunya dengan penuh kelembutan.

“Nak, kamu mandi dulu biar ibu siapkan makan malam.” kata ibunya setelah menggandeng anaknya ke sofa dan mengikuti anaknya duduk di sofa.

“Gatan sudah makan, Bu. Tadi di rumah makan.” balas Gatan sambil membuka sepatu dan kaos kakinya.

“Kok, begitu, Nak? Kenapa tidak makan di rumah saja?” tanya ibunya dengan wajah sedih. “Sampai kapan kamu akan berlaku seperti itu pada mama kamu? Sudahlah! Semuanya sudah berlalu, anggap saja semua ini warna-warni kehidupan keluarga kita. Meskipun awalnya semua menyakitkan tapi kenapa ketika semua telah membaik kamu masih tetap saja berlaku seperti itu. Ibu pikir, kamulah yang akan memperbaiki semuanya.”

“Maafkan Gatan, Bu!” balasnya dengan menatap wajah ibunya. “Sampai kapan pun, Gatan tidak akan melakukan itu. Bagi Gatan, bukan itu warna-warni kehidupan keluarga kita. Meskipun dia menghadirkan kebahagiaan baru di rumah ini tapi luka itu tak tertebus, karena luka ini bukan luka sayatan pisau, Bu. Luka ini tak akan sembuh begitu saja dan tak akan ada yang mampu menyembuhkannya.”

“Untuk apa kamu menyimpan dendam itu, Nak?” tanya ibunya sedih.

“Pasti ada, Bu. Kalau tidak, Gatan juga bosan dengan kehidupan yang seperti ini. Memuakkan, Bu.” balasnya. “Gatan juga sudah berpikir untuk meninggalkan kepercayaan yang selama ini telah mendarah daging bagi kita, karena semua itu tak dapat Gatan terima dengan akal sehat. Bukan ini kehidupan yang sebenarnya, Bu.”

“Maksudnya? Ibu semakin bingung dengan arah pembicaraan kamu.”

“Bu, kehidupan yang kita jalani selama ini, ternyata bukanlah kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang kita jalani ini hanyalah cara untuk meneruskan ke kehidupan yang selanjutnya dan itulah sebenar-benar kehidupan. Kehidupan yang selanjutnya adalah balasan dari semua apa yang kita lakukan selama ini. Ibu coba pikirkan dengan pelan-pelan, kehidupan di dunia ini ada dua warna: baik dan jahat. Andai kejahatan menang di atas dunia ini dan kebaikan kalah, seperti apa yang selalu kita saksikan lewat televisi yang keadilan telah terjual, maka apa arti semua ini. Kapan kejahatan akan menerima balasannya dan kapan kebaikan akan menerima haknya. Kalau tidak, mengapa orang miskin bertahan dengan kemiskinannya, mengapa ia tidak menghalalkan segala cara saja untuk mendapatkan apa yang ia mau. Jangan katakan ia tidak mampu, bukan itu alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.” terang Gatan panjang lebar pada ibunya.

“Ya…ya…, ibu mengerti maksud pembicaraanmu dan akan ibu bicarakan dengan papa kamu.”

“Terima kasih, Bu!” ucap Gatan bangkit dari duduknya.

“Nak, ibu pikir sudah saatnya kamu berpikir untuk berkeluarga agar kehidupanmu lebih teratur. Tidak melulu makan di luar sementara kamu punya rumah dan punya keluarga. Kami semua seisi rumah ini ingin melihat kehadiranmu di meja makan saat sarapan, makan siang, dan makan malam, tapi sekalipun keinginan itu tak pernah kau penuhi. Jangan terlalu egois.”

“Gatan belum berniat ke situ, Bu. Masih ada hal penting yang mesti Gatan cari dalam hidup ini selain memikirkan rumah tangga sendiri dan Gatan belum siap untuk berkeluarga. Gatan masih ingin bermetamorfosis secara sempurna karena selama ini metamorfosis yang Gatan alami tidak sempurna.”

“Kamu masih ingatkan tahun kelahiranmu?”

“Ibu ada-ada saja!” balas Gatan senyum. “Usia Gatan masih belum terlalu tua, Bu.”

“Tiga puluh tahun masih belum terlalu tua bagimu? Lalu mau usia berapa kamu menikah? Empat puluh? Lima puluh?” tanya ibunya. “Kasihan anak-anakmu kelak. Usiamu sudah senja sementara anak-anakmu masih usia sekolah. Lagian ibu ingin segera menggendong cucu, Nak.”

“Iya, ibu sabar saja!” balasnya dan meninggalkan ibunya. Ia menuju kamarnya di lantai atas.

Tas diletakkan di atas mejanya dan ia membuka jasnya. Dasinya dilonggarkan dan menghirup udara sebebas-bebasnya. Tubuhnya yang letih dihempaskan ke atas ranjang melonggarkan semua persendiannya. Beberapa saat ia memejamkan matanya sambil menikmati istirahatnya sekejap sebelum ia membasuh tubuhnya ke kamar mandi.

Pikirannya melayang-layang tak tentu arah membalikkan semua kehidupan yang telah dijalaninya setiap hari. Bagaimana kehidupannya di negeri orang yang setiap hari selalu sibuk dengan buku dan buku sehingga melalaikannya untuk banyak bergaul dengan banyak orang di sana. Ia telalu fokus dengan studinya sehingga mengabaikan kodratnya sebagai laki-laki. Pergaulannya cukup dibatasi, karena baginya bukan itu tujuannya memilih Amerika sebagai tempatnya menuntut ilmu. Ia ingin meraup ilmu sebanyak-banyaknya dari sana dan dipraktekkannya pada perusahaan papanya yang sekarang telah dipercayakan padanya.

Pikirannya sampai pula pada May, gadis muslim yang dikenalnya setelah menabrak seorang laki-laki tua. May, putri Pak Abdullah itu telah menggetarkan seluruh persendiannya dengan lantunan bacaan yang begitu merdu di telinganya. Gadis muslim yang telah membuatnya merasakan takut yang begitu menjadi-jadi hingga air matanya menetes karena ketakutannya itu. Tatap matanya yang teduh, damai dan bersahabat telah mengantarkannya pada dunia baru yang ingin dikenalinya lebih dalam, yang ingin diselaminya sedalam-dalamnya hingga rasa dahaganya terobati. Dahaga yang amat sangat dahsyat. Ia ingin mendekatkan dirinya sedekat-dekatnya pada penciptanya yang selama ini tidak dikenalkan keluarganya padanya dan ia ingin mengenalkan itu pada semua keluarganya.

Suara ketukan dari luar membuatnya tersadar dari lamunannya, tapi ia masih tetap berbaring di atas ranjang. Ada rasa malas yang menghampirinya sehingga ia tak segera bangkit. Suara panggilan Gleztia dari luar hanya membuatnya menyahut dan menyuruh masuk. Gleztia membuka pintu dan berjalan menuju ranjang Gatan kemudian duduk di tepi ranjang.

“Gimana kerjanya, Kak? Capek, gak?” tanya Gleztia mengusap rambut Gatan dan membelai-belainya.

“Mana ada kerja yang gak capek. Ada-ada aja kamu.” jawab Gatan mencubit pipi adiknya.

“Mau Gle pijitin?” tawar Gleztia.

“Benar?”

“Ya. Tapi mandi dulu sana!”

Gatan akhirnya bangkit dan membuka lemarinya. Pakaian ganti segera dikeluarkannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Dari kamar mandi terdengar suaranya bernyanyi-nyanyi kecil.

Dalam kamar itu, Gleztia membereskan semua yang tidak pada tempatnya. Tas kakaknya dibukanya, di sana ia menemukan sebuah buku tentang agama yang dianut oleh Maysaroh, sahabatnya. Dikernyitkannya dahinya dan sejenak dipalingkannya mukanya ke arah kamar mandi. Ia tidak mengerti apa maksud buku itu. Buku itu akhirnya diletakkan di atas meja dan tas disimpan ke tempat biasanya. Pandangannya kembali diarahkan ke kamar mandi ketika suara pintu terdengar berderit.

“Apa maksud ini, Kak?” tanya Gleztia memperlihatkan buku itu pada Gatan.

“Kamu dapat dari mana?” balasnya bertanya dengan santai.

“Tas. Apa maksudnya ini? Apa kakak tertarik dengan Islam?”

“Aku pikir, itulah tujuanku sekarang, Gle.” jawab Gatan. “Selama ini kita telah menyalahi kodrat kita sebagai manusia. Kita pasti diciptakan sesuatu Dzat Yang Maha Tinggi. Seperti dalam buku itu ada diterangkan bunyinya begini…`Aku ciptakan jin dan manusia, semata-mata adalah untuk menyembah kepada-Ku.’ Secara logika ini dapat diterima. Kalau tidak, untuk apa kita diciptakan oleh sesuatu Dzat Yang Maha Tinggi itu. Kita diberikan semua kenikmatan hidup berupa mata, tangan, telinga dan sebagainya. Sudah pantaskan kita berterima kasih untuk itu. Sekarang, pertanyaannya adalah bagaimana cara berterima kasih itu? Itu yang ingin kakak cari.” terang Gatan sambil duduk dihadapan adiknya.

“Jadi kakak mau masuk Islam?” tanya Gleztia sambil memegangi bahu kakaknya dan mulai memijit.

“Kakak tertarik dengan agama Islam!” balas Gatan sambil sendawa mengeluarkan angin yang ada dalam tubuhnya.

“Dengan alasan apa kakak tertarik dengan Islam?” tanya Gleztia lagi sambil memperkeras cengkeramannya pada bahu kakaknya.

“Kakak juga belum tau alasan itu. Itu makanya kakak belum melanjutkan niat ini. Lagian, kakak berniat mengajak kalian semua masuk Islam. Bagaimana menurutmu?”

“Kalau aku sih, Kak, tertarik juga dengan Islam. Hampir setiap hari aku menerapkan ajaran-ajaran kecil yang diajarkan Maysaroh padaku. Cara bergaul, menghargai orang lain, saling mengasihi sesama makhluk dan hal-hal ringan lainnya.”

“Kapan kamu mengenalkan kakak padanya?” tanya Gatan.

“Mengenalkan untuk apa?” tanya Gleztia heran tidak mempedulikan pertanyaan kakaknya.

“Ya, sekedar bertanya sesuatu hal.”

“Bertanya untuk sekedar tau atau untuk mendebatnya?”

“Untuk mengetahui agamanya, bukan untuk niat lain. Jangan berprasangka gitu sama kakak, dong.”

“Boleh. Kapan kakak bisa? Minggu depan? Bulan depan? Terserah sama kakak. Kalau aku tiap hari ke situ, kok.”

“Kalau sekarang, sih, kakak belum bisa. Masalahnya kakak masih ingin memokuskan diri pada perusahaan. Pokoknya kapan kakak bisa, kakak kasih tau.”

“Sip, deh!”

Gatan bangkit dari duduknya dan mengambil buku yang ada di meja. Beberapa materi buku yang telah menggugah hatinya terhadap agama Islam itu diperlihatkan pada adiknya. Ia memperlihatkan bagaimana kehidupan dunia yang harus dijalani dan bagaimana balasan-balasan yang akan diterima sesuai dengan apa yang dikerjakan.

“Jika ini benar, bagaimana dengan kehidupan kita setelah ini? Sementara kita tak pernah melakukan sesuatu apapun yang seperti dalam buku ini disebut hablumminallah atau hubungan dengan Tuhan yang telah menciptakan itu.”

“Kak, ini merupakan sesuatu berkah bagi kita. Andai papa dan mama tidak setuju dengan apa yang kita bicarakan ini, mungkin Gle akan ikut kakak, karena selama ini Gle juga sudah sangat ingin memiliki agama karena Gle selalu disisihkan dalam pergaulan. Kalau bukan karena Maysaroh tak ada seorang pun yang mau berteman bahkan bersahabat dengan Gle.”

“Kebetulan kamu ada bersama mereka yang memiliki pikiran picik. Waktu kakak sekolah di sana tak satu pun teman kakak yang berpikiran seperti itu.”

“Ya. Itu keuntungan bagi kakak. Mungkin kakak ingin mengenal agama dari kebersamaan itu sementara Gle, ingin mengenal agama dari penyisihan itu.” balas Gleztia. “Singkatnya, Gle ingin seperti Maysaroh, yang banyak disukai orang. Memiliki hati yang bening dan menerima siapa saja. Dia tak pandang bulu dalam pergaulan. Dia menganggap semua orang sama.”

“Sepertinya banyak hal yang menarik dari teman kamu itu.”

“Kalau itu aku ralat.” protes Gle. “Semua tentangnya sangat menarik. Kecantikannya, agamanya, kebrilliant-an otaknya, bahkan kemiskinannya selalu membawanya pada rasa syukur yang tak berkesudahan.” lanjut Gleztia. “Aku jamin, pada pandangan pertama saja, kakak pasti sudah jatuh hati padanya, apalagi ditambah dengan sejumlah keterangan yang aku berikan ini. Kayaknya kakak semakin terpesona dengan sahabatku itu.”

“Sok tau kamu!”

“Mau taruhan berapa?”

“Gak usah pake taruhan segala. Kita ini mau memperbaiki hidup, bukan untuk mencari jalan yang tidak baik.”

“Oke…! Kalau memang kakak sudah punya waktu silahkan call contact person Gleztia!” katanya bangkit. “Sekarang Gle mau tidur!” lanjutnya meninggalkan kakaknya.

Gatan kembali membaringkan tubuhnya dengan rasa pegal yang sudah berkurang karena pijatan adiknya. Kembali ia tenggelam dalam angannya tentang May. Gadis yang selalu menjelma dalam angannya bahkan sering menari-nari ketika ia memulai pekerjaannya di kantor. Dan semua semakin dinikmatinya ketika ia mulai menikmati istirahat malamnya.

***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler