Skip to Content

NOVEL: DI SATU SISI HATI (...persahabatan, cinta, dan dendam....) (Bag. 05)

Foto SIHALOHOLISTICK

LIMA

 

MALAM itu, Aris mengajak Ario ke rumah Papa Surya. Ia ingin adiknya lebih akrab dengan keluarga itu. Tadi ia sudah memeriksa motor Kawasaki Ninja yang dibawanya dari Sidempuan, motor itu milik Om-nya. Sekarang ia sedang bersiap-siap di kamarnya. Celana jeans hitam dipadu kemeja motif kotak-kotak warna hitam cokelat muda. Setelah merasa pas, ia keluar dari kamarnya dan ikut bergabung di meja makan bersama ayah dan ibunya.

“Yah, Aris izin ke rumah Papa ama Ario.” katanya di sela-sela suapannya.

“Boleh. Tapi pulangnya jangan sampai larut malam.”

“Mm...Aris mo nginap sekalian, Yah. Aris gak enak jika terus-terusan nolak, takut Papa dan Mama tersinggung.”

“Boleh. Tapi jangan kerayapan.”

“Iya, Yah.”

“Asal jangan nakal-nakal, ibu izinkan saja. Jangan buat Papa kamu salah paham seolah-olah kami yang mengajari kalian untuk nakal.”

“Bu. Ibu tenang aja, Ibu seperti gak kenal aku ama Ario aja.”

“Ya. Kami juga tak bisa melarang kalian dekat dengan mereka, karena mereka lebih dekat dengan kalian. Mereka juga berhak mengambil kalian dari kami.”

“Kok, ngomong gitu, Bu. Aris merasa lebih dekat dengan Ayah dan Ibu. Aris lebih dulu ngenal Ayah dan Ibu, mungkin tanpa Ayah dan Ibu, Aris gak bakal bisa masuk SMA.”

“Jangan terus menerus merasa berhutang budi pada kami, Ris.”

“Iya, Yah.” balas Aris. “Kalau gitu kami pamit dulu.” kata Aris bangkit, Ario mengikuti kakaknya.

“Hati-hati! Malam Minggu jalanan rame.”

“Iya, Bu!” sahut Ario.

Keduanya keluar. Aris menyalakan mesin motornya. Setelah Ario naik, motor segera melaju di atas jalan beraspal.

Malam Minggu, jalanan memang ramai oleh pasangan-pasangan anak muda yang lagi pacaran. Mereka begitu saja bertebaran di pinggir jalan, ada yang berduaan duduk di tepi trotoar, ada yang sambil jalan, ada juga yang ngumpul rame-rame sambil genjreng-genjreng gitar dan nyanyi bareng-bareng.

Kebanyakan mereka itu anak-anak kuliahkan di Sekolah Tinggi samping kantor Polres. Itulah satu-satunya yang dimiliki kota kecil itu. Sekolah itu cukup diminati dan mahasiswanya cukup banyak. Hampir sepuluh tahun dan alumninya sudah bertebaran ke mana-mana.

Banyak yang memilih sekolah ke situ, karena biayanya cukup enteng ketimbang universitas-universitas yang punya sarana lengkap, gedung menjulang namun mutunya hampir berimbang.

Di samping anak-anak mahasiswa, banyak juga anak-anak SMA dan bahkan anak SMP. Sebagian hanya menikmati malam panjang itu.

Lebih-lebih kalau malam valentin, seluruh ruas trotoar lebih ramai dari malam Minggu, maklum, semua merayakan hari kasih sayang yang tak jelas kenapa saban tanggal 14 Pebruari disebut sebagai  hari kasih sayang dan entah siapa pula yang mencetuskannya.

Namun di kota ini, seperti kota lainnya, tradisi malam valentin memang saat bahagia, meskipun jomblo, paling tidak sekedar kumpul dengan teman-teman. Dan sepertinya para orang tua menerima kehadiran tradisi yang tak jelas asal usulnya itu.

Aris menghentikan laju motornya di depan pagar, Sheila yang sudah menunggu dari tadi segera bangkit dan membukakan pagar. Aris memasukkan motornya ke dalam pekarangan yang luas itu.

Kedua kakak beradik itu turun dari motor dan mengucap salam. Salam itu di balas Sinta yang sedang mengobrol dengan seorang pemuda di teras rumah.

“Ada tamu malam Minggu, Mbak?” tanya Aris berbasa basi.

“Iya. Kenalin, Ris, teman Mbak.”

“Aris. Lengkapnya Aris Wicaksana.” kata Aris mengulurkan tangannya.

“Dudung. Lengkapnya Dudung Pramudya.”  balasnya sambil menerima uluran tangan Aris dengan sangat bersahabat.

“Nama yang cukup menarik, aku suka.” kata Aris. “Kenalin adik saya, Ario Wicaksana.”

“Senang berkenalan dengan kalian.” ungkap Dudung dengan senyum. Oh ya, kamu kan Aris Ws yang banyak menulis di koran Warta Aji, itu?”

“Benar, Dung. Ini dia penulis yang aku ceritain ke kamu.” jawab Sinta pada temannya.

“Ah, coba-coba saja.” balas Aris merendah.

“Baru coba-coba, kok, puisinya banyak yang merasa tertampar?”

“Jangan terlalu memuji.” balas Aris. “Oh ya, silahkan terusin ngobrolnya, aku ke dalam dulu.” kata Aris beranjak masuk ke dalam sambil mengucap salam kembali.

“Sepupu kamu, Sin?”

“Adik angkat. Bokapnya anak angkat oppung aku. Kedua orang tuanya udah meninggal dan Papa ngangkat mereka sebagai anak. Mereka tinggal di rumah Pak Imron yang lebih dulu ngangkat mereka sebagai anak angkat.”

“Asyik ya, punya adik kek Aris. Orangnya ramah, sopan dan gayanya menarik.”

“Ya itulah dia. Kata Papa dia sangat mirip dengan mendiang ayahnya, gayanya, bentuk tubuhnya, pokoknya mirip bangetlah, apalagi kepribadiannya.”

Sementara di dalam Aris ngobrol dengan papa dan mamanya sambil bercanda, sesekali terdengar suara tawa mereka yang pecah.

Kedua orang tua angkatnya begitu menyukai kepribadian  Aris yang persis seperti ayah kandungnya.

Mamanya tahu betul kepribadian, mendiang Hidayat, rekannya. Apalagi mereka sering curhat-curhatan. Begitu pula papanya. Pak Surya sadar betul, kenapa adiknya begitu menyukai mendiang, namun Tuhan berkehendak lain. Lagi pula semua sudah berlalu. Adiknya meninggal dua puluh tahun yang lalu. Hidayat juga sudah meninggal enam tahun yang lalu, bahkan istri Hidayat juga sudah meninggal empat bulan yang lalu.

“Pa, boleh nggak, Aris ngajak Sheila nonton bioskop?” tanya Aris ragu.

“Film apa?”

“Film Laskar Pelangi, kabarnya ada tayang ulang.”

“Boleh, tapi pulangnya jangan sampai larut. Habis nonton langsung pulang.”

“Sip, Pa. Aris rencana nginap di sini dan Ario juga gak ikut.”

“Tapi kalian jangan pacaran, ya!”

Aris akhirnya tertawa. “Aris gak mungkin pacaran ama Sheila, kita kan saudara, Pa.”

“Tahu, deh, Papa. Mikirnya sama anak kok negative thinking, gitu.”

“Maksudnya papa kalian bukan gitu, ntar kalau udah nyampe sana ketemu ama pacarnya, trus cari jalan masing-masing.”

“Kalau Sheila berani pacaran di depan Aris, pasti Aris jitak, dong, Ma. Aris aja belum pacaran.”

“Tapi Kak Aris jadi cowok rebutan, Ma. Banyak cewek yang ngantri jadi pacar Kak Aris, apalagi Kak Aris dikenal sebagai penulis berbakat, bahkan khabarnya guru juga ada yang naksir ama Kak Aris.”

“Tapi penulis yang terluka.”

“Salah sendiri, masak cewek kek Kak Misbah direlain ama sobat sendiri, jadinya gigit jari, deh.”

“Kakak gak tau pacaran, cuma jadi pemuja rahasia.”

Akhirnya Aku Tersingkir, nih ye. Kakak pikir, Sheila gak ngerti, apa?”

“Udah! Katanya mau nonton, ayo sana ntar tiketnya habis.” kata Papanya melerai.

“Iya, Pa.” balas Aris bangkit diikuti Sheila.

“Mo ke mana, Ris?” tanya Sinta melihat Aris dan Sheila gembira.

“Aris ama Sheila, kan pasangan serasi, ya nggak Mas Dung?” yang ditanya hanya senyum saja.

“Norak, masa saudara pacaran.” balas Sinta.

“Siapa yang larang? Gak ada RUU-nya, Mbak.”

“Udah...udah, sana cepat, berisik tau, ganggu orang aja.”

Aris tertawa sambil menyalakan mesin, gas ditekan dan masuk ke badan jalan. Setelah Sheila naik, motor pun melaju dengan kecepatan sedang. Mereka terus melaju sampai di bioskop. Sebelum masuk mereka beli makanan ringan untuk cemilan dan minuman kaleng.

Di dalam, mereka asyik menikmati film yang sarat dengan nilai jiwa nasionalisme oleh si tokoh Lintang. Ada-ada saja yang diperbuatnya, yang membuat bulu kuduk merinding dengan semangat jiwa nasionalismenya. Aris memang sudah baca bukunya, tapi ia ingin sekali menyaksikan peran tokoh Lintang dalam film Laskar Pelangi buah karya Andrea Hirata, itu.

“Kak...!”

“Mm...!”

“Kenapa, sih, Kak Misbah itu direlakan ama Kak Rhei? Nurut aku, Kak Misbah itu cocoknya ama Kakak.”

“Tau dari mana kamu soal cewek imajiner kakak itu?”

“Itu, dari ketua gugus lima.” jawab Sheila. “Tapi mengapa, sih, mesti menyingkir hanya karena minder?”

“Ah, udah, deh! Gak usah dibahas lagi, lagian udah berlalu, kok.”

“Tapi, Kakak masih suka ama dia kan? Nurut aku, dia juga suka ama Kakak dan masih berharap kalau suatu saat dia akan merasakan gimana rasanya pacaran ama Kakak, paling tidak sekejap, dia masih nunggu kalau suatu saat Kakak ngungkapin perasaan Kakak ke dia, lihat saja sorot matanya yang penuh harap tapi gak punya arti apa-apa selain luapan perasaan yang sangat tulus.”

“Shei, udahlah!”

“Kenapa, Kak?”

“Semua udah berlalu!”

“Hanya karena itu? Sejarah mungkin berulang, Kak!”

“Benar! Tapi, tokohnya gak sama lagi. Kakak udah nyoba ngelupain semua, jadi jangan buat ingatan kakak terus dibayangi kejadian itu. Kakak udah coba menghindarinya dan kamu lihat waktu nyokap kakak meninggal, dia gak ada. Ya, udah, mungkin dia benci ama kakak. Kami juga udah gak saling negor.”

“Kok, gitu?”

“Ntahlah!”

“Kok, segitu rumitnya?” tanya Sheila selidik. Aris hanya diam. “Rindu dalam Dendam.” gumam Sheila bangkit dari duduknya, karena film udah selesai.

Aris ikut bangkit, mereka keluar dari gedung bioskop. Di luar Aris segera menyalakan mesin motornya dan melaju setelah Sheila naik.

* * *

MENJELANG ujian semester genap yang tinggal satu setengah bulan, kegiatan belajar Aris semakin ditingkatkannya, ia tak mau kegagalan yang dialaminya di semester ganjil terulang lagi. Memang nilai Aris sangat itu anjlok sekali karena hal-hal yang terus menimpanya, namun kegagalan itu kini dijadikannya motivasi. Ia tak mau kesibukannya di toko membuat perhatiannya hanya soal duit dan duit.

Toko yang kini telah bertingkat dan lantai atas adalah tempat Aris melakukan aktivitasnya, belajar dan mengarang.

Hanya sebuah ruangan, tanpa ruangan-ruangan khusus, selain kamar mandi. Di samping toko ada sebuah tangga beton yang menghubungkan dengan sebuah teras di lantai atas, di teras itu ada beberapa pot bunga yang menghidupkan suasana yang mampu menyuplai udara yang gerah menjadi sejuk. Ada beberapa buah bangku dan sebuah meja.

Di pojok teras, yang sejajar dengan tangga, ada sebuah pintu masuk ke dalam ruangan, di sebelah kanan pintu masuk ada sebuah lemari es. Di hadapan pintu ada sebuah ranjang berukir khas yang dihias dengan berbagai aksesoris, hingga ranjang itu menjadi begitu indah.

Di samping sebelah kiri agak ke tengah, sepasang sofa ada di sana, di atas meja ada vas bunga yang terbuat dari kaca.

Sekitar tiga setengah meter ke kiri sofa, ada sebuah televisi berukuran besar dan antara sofa dan televisi terhampar karpet. Sebelah kiri dinding ada satu unit komputer pentium empat dan di sebelahnya ada rak buku besar yang bersandar ke dinding.

Rak buku itu berisi koleksi buku-buku pengetahuan , sastra, psikologi, filsafat, komik, novel-novel, bacaan-bacaan ringan dan ada pula tumpukan majalah yang dikumpulkan menurut jenisnya.

Di pojok sebelah kanan sana, ada sebuah pintu yang jelas bersampingan dengan alat-alat elektroniknya – kira-kira berjarak dua belas meter – pintu itu adalah pintu masuk ke kamar mandi. Di atas langit-langit tergantung lampu yang mampu menerangi seluruh ruangan dan di sampingnya ada sebuah kipas angin.

Di dinding, di tempat-tempat tertentu, ada beberapa lukisan bergantungan dan beberapa kaligrafi menempel di dinding hasil buatan Rheiner. Ada juga foto-foto keluarganya, termasuk foto mendiang kedua orang tuanya dan foto mendiang adiknya Magdalena Wicaksana.

Hari ini, ia berada seorang diri di sana, berbaring di atas karpet sambil menonton berita di sebuah stasiun televisi swasta. Sesaat kejenuhan menyerangnya, ia pun bangkit sambil mematikan televisi dengan sebuah remote control dan berjalan ke arah komputer.

Komputer itu dinyalakan dan dibukanya file-file karangannya yang ada dalam komputer itu. Berpuluh-puluh cerpen dan beratus puisi, beberapa outline novel dan juga sebuah novel yang sedang digarapnya.

Akhirnya Aku Tersingkir, itulah judul novel yang sedang digarapnya, cerita itu dikembangkan dari puisi ke cerpen ke novelet dan akhirnya menjadi novel. Hampir separuh tulisannya hadir di halaman rubrik-rubrik khusus beberapa surat kabar. Hingga namanya sudah tidak asing lagi di telinga orang, apalagi Minggu lalu ia hadir di rubrik Sosok koran Warta Aji. Dari birokrat, pejabat, sampai rakyat biasa, apalagi kalau puisi kritik politiknya, banyak para pejabat yang merasa ditelanjangi oleh kata-kata seni yang pedas dari Aris Wicaksana. Kini ia berniat menerbitkan novel, kumpulan cerpen dan kumpulan puisinya sekaligus.

Asyik mengutak-atik komputer, ia teringat dengan dua pucuk surat yang diterimanya di sekolah tadi. Segera dihubunginya Ario dan meminta untuk mengantar dua pucuk surat yang ada dalam tasnya. Tak cukup lama, adiknya sampai dan menyodorkan surat itu padanya.

“Surat dari mana, Kak? Surat dari pacar, ya?”

‘Nggak! Ini dari percetakan dan penggemar cerita Kakak.”

“Kakak mau nerbitin buku? Wah, duit lagi, nih! Apa gini yang dikejar-kejar duit?”

“Kok, kamu jadi mikirin duit. Tugas kamu sekarang belajar.”

“Rio belajar, kok.” jawab Ario sambil menyalakan televisi. “Kak, ajari Rio ngarang, dong!”

“Emang kamu pengen?”

“Iya, dong! Jago ngarang kek Kakak. Pasti banyak cewek yang naksir.” kata Ario menambah volume televisi.

“Yo, kecili, dong! Berisik, tau!” kata Aris. “Kamu masih kecil udah ngebahas cewek. Emang kamu pikir, jago ngarang itu mudah dapatin cewek, apa?” kata Aris sambil melipat surat yang baru dibacanya. “Yo, kalo ngarang itu gak mesti diajari. Biar cepat bisa, harus banyak membaca. Kamu baca, nih semua koleksi Kakak, mumpung lagi kecil.”

“Sebanyak ini? Mana muat di kepala!”

“Kepala kita sama besar, tapi, kok, kakak bisa.”

Aris kembali membaca surat yang satunya, dari seorang siswi SMA swasta yang suka baca tulisan-tulisan Aris di media. Dalam surat itu, diungkapkannya rasa kecewa pada Aris, karena cerita Aris tak ada yang bertemakan remaja, selalu bertemakan keluarga. Ia menyarankan pada Aris untuk membuat cerita untuk remaja.

Aris hanya tersenyum membaca surat itu, surat itu diletakkan di sebelah kirinya dan diambilnya dua lembar kertas HVS serta balpoint dan Aris mulai menulis surat balasan untuk penggemar ceritanya.

Aris memaparkan alasannya lebih banyak memuat cerita keluarga ketimbang cerita remaja, bukannya dia gak punya. Tapi ia ingin mengajak semua orang untuk menjunjung solidaritas dalam kehidupan keluarga, baik yang sudah menikah maupun yang belum. Ia juga memaparkan, ingin menjadi suami yang baik buat istrinya kelak dan ingin menjadi ayah yang baik untuk anaknya, yang benar-benar menentang bentuk kekerasan, perselingkuhan dan adat poligami.

Aris juga mengungkapkan, kalau ia sedang menggarap sebuah novel yang judulnya masih di rahasiakan. Akhir suratnya, Aris mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan pengirim surat itu. Aris meminta adiknya untuk mengantar suratnya ke kantor pos.

“Kilat khusus, ya, Yo!” katanya sambil menyodorkan uang dua puluh ribuan.

Ario hanya mengangguk dan langsung beranjak. Selanjutnya Aris menghubungi Yuyun untuk datang ke tempatnya.

“Ada apa, Ris? Tumben, nih?” tanya Yuyun ketika sampai ke tempat Aris.

“Gak ada apa-apa. Duduk dulu! Mau minum apa, nih?”

“Gak usah repot-repot, kali.”

“Gak, kok!”

“Apa aja, deh!”

Aris membuka lemari es dan mengambil dua minuman kaleng, satu diberikan pada Yuyun dan ia duduk di sebelah kanan Yuyun yang duduk di sofa.

“Gini, Yun, tadi aku nerima surat dari PT.EPA. mereka nawarin untuk nerbitin kumpulan cerpen aku. Gimana nurut kamu?”

“Kesempatan emas, dong. Nurut aku ini awal dari cita-cita kamu, apalagi cerita kamu banyak di sukai, pasti laris.”

“Ini dia masalahnya, Yun. Aku lagi fokus ke novel dan gak pengen ke ganggu ama yang lain. Di samping itu waktu semesteran juga udah dekat, gak mungkin aku nomor duain pelajaran. Rencananya aku mau break dulu, eh, malah ada fans yang nuntut aku bikin cerita untuk remaja. Uh, rasanya pusing tujuh puluh tujuh keliling.”

“Trus, kamu nolak? Kan, mubazir, Ris. Rejeki gak boleh ditolak, bisa ketiban sial, lo!”

“Jauh-jauh, deh. Tapi aku belum tau, nih, makanya aku panggil kamu ke sini, minta pendapat kamu.”

“Butuh bantuan?”

“Mungkin! Kamu pilih mana yang nurut kamu bagus, susun, print dan langsung jilid. Untuk coba-coba, mungkin sepuluh atau lima belas. Kalau emang laris, yang lain nyusul.”

“Dengan senang hati, aku bakal bantu kamu.” kata Yuyun sambil senyum. “Tapi....”

“Tapi..., apa, Yun? Pake syarat, ya?”

“Ah..., nggak, kok.”

“Bilang aja, gak papa lagi.”

“Cinta gak pake syarat apa-apa, Ris.”

“Oo...itu, rasanya gak ada yang perlu diragukan dari sikap aku ke kamu, kan?”

“Emang! Makanya gak jadi.”

“Ya, udah. Aku balik sebentar ngambil cerpen yang ada di rumah. Sambil nunggu, kamu liat novel aku dulu!” kata Aris sambil mungut kunci motornya.

Sekitar seperempat jam, Aris udah balik lagi. Ia bawa sesuatu dalam kantong plastik.

“Apa tuh, Ris?”

“Makanan khas Jakarta, kesukaan kamu.”

“Yang di bawah?”

“Udah!”

“Satu lagi buat siapa, kok tiga?”

“Ario, dia baru balik dari kantor pos.” jawab Aris sambil duduk di sofa. “”Gimana ceritanya?”

“Kalo soal alur ceritanya kelihatannya saling mendukung, cuma struktur bahasanya agak janggal, sorot balik mungkin bisa dikurangi. Trus, istilah ke daerahannya membuat ceritanya lebih sederhana, namun kehebatannya masih di dapat dari unsur lain, semisal klimaks, unsur ekstrinsiknya mantap, kok. Kamu bukan orang Batak, tapi dengan cerita ini orang bakal ngira kamu orang Batak tulen.”

“Thank’s banget, Yun. Ini cerpennya.” kata Aris nyerahin plash disc pada Yuyun. “Kita makan dulu!” ajak Aris melihat Ario muncul.

Ketiganya pun menikmati gado-gado sambil nonton televisi, acara Tom and Jerry. Sesekali mereka tertawa melihat si Kucing Tom dikerjai habis-habisan oleh si Tikus Jerry.

Saat-saat seperti itulah saat yang menyenangkan bagi Yuyun, berada di antara Aris, laki-laki yang selalu membuat hatinya bahagia, menjadikan dirinya begitu berharga. Juga Ario, yang mempunyai kepribadian yang hampir sama dengan Aris, kakaknya.

“Rio, habis ini balik, ya! Bantu Bi Ijah, kasihan, kerjanya banyak. Jangan kehadiran kita bikin dia tambah repot, harusnya dia merasa terbantu.”

“Ya, Kak.” kata Ario sambil beresi piring.

“Eh..., biar kakak aja yang beresin.” cegah Yuyun.    

“Gak papa, Kak, Ario udah biasa, kok.”

“Udah, kakak aja.”

“Kalau gitu Ario pulang, ya, tapi jangan asyik kissing-kissing-an.”

“Yo, bilang apaan, sih?”

“He...e..., I’m sorry my brother.” kata Ario menirukan Bahasa Inggris yang tadi dipelajarinya di sekolah sambil melangkah.

“Kasihan Ario, masih kecil udah ngadapi kenyataan kek begini, tanpa orang tua, hidup nompang.”

“Udahlah, Ris! Semua udah terjadi. Itu sebabnya aku ama Rhei trus ngasih spirit ke kamu, kasihan adik kamu.”

“Ma kasih banyak, Yun.” kata Aris bangkit sambil matiin televisi. Ia beralih ke komputer dan memutar MP3 Larut-nya Dewa 19 mengalun. “Lagu kesukaan aku, nih, sama kek si Dul, anaknya Dhani.”

“Alasannya?”

“Lagu ini pas banget ama suasana hati aku. Dengar aja...!”

...........................................................................

Mungkin aku pernah merasakan cinta...(cinta...)

Tapi tak pernah ...(pernah...) sehebat ini....(sehebat ini...)

Mungkin aku juga pernah merasakan rindu...(rindu...)

Tapi tak pernah...(pernah...) sedalam ini... (sedalam ini...)

Mungkin kamu takkan pernah percaya...iya...iya...

Bahwa sesungguhnya aku t’lah terjatuh

...........................................................................

“Maksudnya..., kamu udah bisa ngelupain Misbah, Ris?”

“Iya, Yun. Dia udah aku anggap masa lalu, yang udah ngajari aku talenta ini, meski gak secara langsung, tapi..., ah, sudahlah. Sekarang ada kamu di hati aku, yang bisa buat aku lebih berarti di dunia ini dan aku pengen kamu tetap ada di hati aku sampai kapan pun.”

“Thank’s, Ris. Ternyata kamu bisa buat aku berarti dalam hidup kamu.”

“Mm... aku ke bawah dulu, nutup toko, udah kelamaan, nih.” kata Aris menuju ke bawah. Selesai menutup toko, Aris kembali naik sambil membawa kertas A4 satu rim dan menyerahkannya pada Yuyun. “Aku antar pulang, ya.”

“Boleh!” kata Yuyun.

Keduanya melangkah keluar dari ruangan itu. Setelah dikunci, mereka turun. Aris ngantar Yuyun pulang.

* * *

SABTU pagi, Yuyun, Rheiner, dan Misbah berangkat ke sekolah bareng, mereka jalan kaki. Memang, jalan kaki ke sekolah adalah tradisi di SMA mereka. Meskipun anak orang kaya, mereka gengsi naik kenderaan ke sekolah, apalagi diantar, mereka akan diolok-olok oleh yang lain.

Kebanyakan guru-guru di SMA mereka heran melihat tempat parkir yang selama ini penuh sekarang jadi lengang. Guru-guru merasa heran melihat tradisi aneh ini, tak seorang pun siswa yang mau naik kenderaan.

Selidik punya selidik, ternyata asalnya dari kelas dua. Mereka menamainya GADAM (Gerakan Anti Deskriminasi dan Anti Minder). Kepala sekolah merasa berbangga hati akan prinsip itu dan anehnya, usulan itu datang dari beberapa anak orang kaya.

Ketiga anak tadi pun ikut memprakarsai gerakan itu, sebab sekolah itu milik siapa saja yang sekolah di situ. Bahkan tidak sedikit siswa yang tak mampu ikut mengangkat reputasi dan popularitas itu.

Ketiganya terus berjalan sambil mengobrol, topik apa saja, dari pelajaran sampai soal kuliah. Membicarakan soal kuliah memang lagi panas-panasnya, sebab semua orang sudah siapkan universitas-universitas idolanya dan sekolah tinggi yang ada di kota itu pun jadi sasaran banyak siswa. Rheiner memilih kuliah ke Surabaya, sedangkan Yuyun dan Misbah kuliah di Bandung.

“Aris udah ngomong mo kuliah ke mana, Yun?”

“Belum, tuh. Menurut kamu dia bakal kuliah ke mana?”

“Kayaknya ke UI, deh, soalnya di situ Fakultas Sastranya jago. Banyak penulis yang kuliah di situ, bahkan dosennya langsung sastrawan. Kalo dia ke situ, pasti eksistensinya bakal terjaga.”

“Kayaknya kamu benar, soal biaya dia gak perlu susah. Gak nyangka nasibnya mujur. Bahkan dia lebih kaya dari Pak Imron.”

“Iya, ya. Lihat aja toko yang dikelolanya, tambah besar. Pantas Pak Imron dan Bu Imron sayang padanya.” kata Rheiner. “Hubungan kalian gimana.”

“Tambah lengket, deh. Kemarin aku ke situ, dia minta aku ngopy cerpennya, ada perusahaan percetakan yang nawarin untuk nerbitin kumpulan cerpennya. Dia lagi sibuk rampungin novelnya yang udah hampir selesai, cukup bagus juga materi novelnya.”

Misbah hanya jadi pendengar, rasa penasaran menggelitik pikirannya mendengar perkataan Yuyun soal novel yang digarap Aris. Dia juga peminat karya-karya Aris. Semua tulisan Aris yang sudah terbit, secara diam-diam dikoleksinya dan disimpannya serapi mungkin. Beruntung dia, Aris mengirim banyak tulisannya ke redaksi beragam surat kabar hingga ia bisa terus menikmatinya. Soal novel yang sedang digarap Aris, sepertinya ia harus sabar sampai Aris menerbitkannya, meski entah kapan.

“Jangan terlalu percaya pada seseorang, berteman boleh-boleh aja, tapi jangan kelewat akrab. Kalian harus waspada, dia punya rencana jahat pada kalian.”

“Ah, kamu mulai lagi, nih. Omongan kamu, kok, ngada-ngada aja. Kalau dia punya rencana jahat ama aku, mungkin kemarin aku udah dihabisi.”

“Iya, nih, Mis! Jangan terus-terusan ber-suuzzon ama Aris, deh.”

“Aku udah ngira hal ini sebelumnya. Kalian gak bakal percaya ama aku, karena di depan kalian Aris selalu bertampang manis, tapi kalian gak nyadar kalau dia lagi bersandiwara. Aku emang gak punya bukti atas semua omongan aku. Suatu saat, aku bakal ngebuktiinnya. Tunggu aja!”

“Gimana nurut kamu, Yun?” tanya Rheiner mulai terpengaruh.

“Yah, aku masih belum percaya, sikap Aris masih bisa didikte, kok. Sekali-sekali dia nanyain keadaan Misbah ke kita, itu artinya dia masih peduli ama Misbah.”

“Kamu benar, cuma Misbah aja yang gak mau peduli ama Aris. Padahal Aris jauh lebih baik dari sebelumnya, sebelum semua berubah dalam hidupnya. Dia gak pernah bedain orang, miskin ama kaya, cantik ama jelek, dia gak peduli, semua diakrabi.”

“Udah, deh! Mending kita masuk aja, ntar kita ngisi formulir untuk milih jurusan di kelas tiga, nanti.”

“Aku milih IPA aja, kamu juga, kan?”

“Iya, dong. Aku lebih suka ama ilmu pasti dari pada jabar ngejabarin.”

Keduanya masuk ke dalam kelas. Di situ mereka melihat Aris sudah gabung dengan anak-anak yang lain. Tak berapa lama, bel apel pagi berbunyi. Semua siswa turun ke lapangan untuk mengikuti apel pagi. Hanya lima menit, mereka dengan tertib masuk ke ruangan kelas.

“Selamat pagi anak-anak!” sapa wali kelas mereka.

“Selamat pagi, Pak!”

“Ketua kelas, tolong bagikan dulu formulir ini!” kata wali kelas meletakkan di atas meja.

Rheiner segera maju dan melaksanakan perintah wali kelas.

“Sekarang kelas dua akan mengisi formulir untuk mengambil program di kelas tiga nanti. Di sekolah kita hanya ada dua program, IPA dan IPS. Kalau sekolah-sekolah besar banyak programnya. Dulu di sekolah kita sudah pernah dibuka program bahasa dan sastra dengan persiapan yang seadanya, tapi peminatnya hanya beberapa orang, setelah itu tidak pernah dicoba lagi.” kata wali kelas mereka, dia berhenti ketika Rheiner mengembalikan sisanya.

“Sudah kebagian semua?”

“Sudah, Pak!”

“Ada yang tidak masuk?”

“Tidak, Pak!” jawab Misbah yang menjawab sebagai sekretaris kelas.

“Baiklah, coba kalian perhatikan, jangan menulis dulu!” perintah wali kelas. “Di sini diminta untuk mengisi nilai rapor semester ganjil, agar tidak ada manipulasi, sertakan fotocopy-nya. Kemudian pilihan. Untuk memilih program IPA, nilai rata-rata pelajaran yang bersangkutan harus 7,5 kalau tidak, kalian tidak berhak masuk program IPA. Pada bagian paling bawah, di situ ada pilihan pertama dan pilihan kedua. Jika kalian memilih IPA untuk pilihan yang pertama, maka untuk pilihan kedua adalah IPS, begitu sebaliknya.” terang wali kelas. “Paham semua?”

“Paham, Pak!”

“Baiklah! Besok kumpulkan pada ketua kelas, pilihannya sesuai dengan hati nurani masing-masing, jangan mau terpengaruh dengan pilihan teman. Selanjutnya, persiapkan diri kalian untuk semesteran yang tinggal beberapa bulan lagi, jangan sampai bapak malu dengan prestasi kalian.”

Selanjutnya mereka belajar Kimia, pelajaran yang cukup mereka senangi, mereka punya alasan menyenanginya. Yap, pelajaran yang penuh tantangan, mereka suka bergelut dengan tantangan, rumus dan lambang unsur yang berat. Ditambah lagi pelajarannya disampaikan wali kelas sendiri yang cukup sabar menyampaikan materi pelajaran.

Waktu istirahat, Yuyun dan Aris ke perpus. Yuyun mau belajar sambil mengobrol dengan Aris. Di perpus, Aris mengambil buku karangan H.B.Jassin, sedang Yuyun mengambil buku Kimia yang berbeda pedoman belajar mereka.

“Ris, wali kelas itu nyenangin, ya. Dia pengen akrab ama kita, jadi belajarnya santai banget. Selama ini, aku ngira belajar Kimia itu ngebosanin dan sulit, ternyata nggak juga.”

“Semua balek ke kita, kalau ada kemauan dan menyukai gurunya. Emang, guru itu berbeda-beda karakter. Kalau galak dan belajarnya serius banget, susah juga. Belajar itu, ‘SERSAN POLISI, Serius tapi Santai Pokoknya Lihat Situasi’, jadi enjoy gitu,deh.”

“Kamu benar, aku berharap, beliau yang ngajar Kimia di kelas tiga, biar nyambung dan gak perlu adaptasi lagi.”

“Kamu pilih IPA, ya?”

“Iya, dong. Emang kamu enggak?”

“Aku pikir IPS aja, biar kuliah nanti aku ambil Ekonomi, aku pengen jadi bisnis-man atau kerja di bank.”

“Wah, gak bareng lagi, nih. Padahal kamu kan jago ilmu pasti. Kenapa gak IPA, aja?”

“Aku lebih tertarik di Ekonomi.”

“IPA aja, deh, dari IPA masih bisa ambil Ekonomi.”

“Gak nyambung, dong.”

“Iya, sih. Kalau gitu, aku pilih IPS aja.”

“Lho, kok jadi gitu. Kamu mesti nanya hati kamu, dong. Aku paling gak suka lihat orang yang suka kepengaruh ama pilihan orang lain, itu namanya munafik, tau. Kita masih bisa ketemu di perpus, di kantin atau di mana aja. Kamu pilih IPA aja, jangan gak konsisten gitu. Atau kita ambil jalan sendiri-sendiri aja.”

“Kamu, kok, ngomong gitu?”

“Aku gak punya maksud gitu. Aku sayang ama kamu, tapi ini soal pilihan, jalan terus tapi gak mesti ngorbanin diri. Mungkin dari situ kita bakal saling memahami. Kamu lagi, kalo gak nyambung di IPS, kan percuma. Aku gak bakal ke mana-mana, kok. Aku akan tetap di hati kamu selama kamu mau percaya ke aku. Udah, pilih IPA aja, kan lebih punya gengsi di mata anak-anak, IPA itu lebih elit, lagi.”

Yuyun terdiam mendengar kata-kata Aris. Dia sadar, tidak selamanya perbedaan akan jadi pemisah, bisa saja jadi ruang untuk saling memahami.

“Misbah juga pilih IPA, kan?”

“Gak tau, aku gak pengen nyampuri urusan dia.”

“Emang napa?”

“Dia terus aja suuzon ke kamu.” kata Yuyun. “Apa benar, sih, kamu pernah ngancam dia terus mau ngelampiasin ke aku ama Rhei?”

“Nurut kamu?” tanya Aris tenang.

“Ya enggaklah. Tapi aku pengen dengar dari kamu, kan gak salah.”

“Nurut aku salah, dong. Kalau pun, iya, mana mungkin aku ngaku.”

“Kamu coba jujur aja ke aku.”

“Terserah, Yun. Kamu gak percaya ama diri kamu sendiri. Kamu masih aja ngedengar omongan murahan kek gitu dan anehnya kamu percaya. Kalau kamu percaya ama Misbah ketimbang aku, apa arti aku bagimu, mending kamu pacaran ama Misbah, jangan ama aku. Sekarang kamu pilih, percaya ke aku artinya lanjut dan percaya ama dia, kita putus. Oke.” kata Aris bangkit dan meninggalkan Yuyun.

“Ris...! Aris, dengar aku dulu!” teriak Yuyun.

Aris tetap tak peduli, hatinya kesal. Sementara Yuyun bingung, tak tau apa yang mau diperbuatnya. Namun beberapa detik kemudian ia bangkit dan mencari Misbah.

“Eh, puas lo sekarang?  Lo asyik ngalor-ngidul ama Rhei di sini sementara lo juga nyebar fitnah. Apa, sih mau, lo?” kata Yuyun emosi.

“Kamu kenapa, Yun?”

“Gak usah berlagak bego, deh. Gak nyangka, cantik-cantik tapi hatinya jelek juga. Apa sebenarnya salah Aris ke lo, hingga lo sampai hati nyebar fitnah? Dasar brengsek!” makinya sambil pergi.

“Yun...Yuyun....” teriak Rheiner menyusul Yuyun.

Aris segera mendekat pada Misbah dengan diam-diam. Dipandangnya Yuyun dan Rheiner dari belakang Misbah.

“Ck...ck...ck!”

Misbah kaget dan mendongak pada Aris.

“Kasihan Yuyun.” katanya sambil memegang bahu Misbah. Aris melepaskan ketika Misbah menepisnya. “Gimana drama besutan Aris Ws, menegangkan bukan?”

Misbah tak menjawab.

“Kayaknya episode kedua udah dimulai dan sebentar lagi lo bakal bisa menerka gimana kelanjutannya.” kata Aris pelan dengan intonasi mengejek. “Kejahatan bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah!” kata Aris menirukan ucapan Bang Napi ala Sergap-nya RCTI Oke. “Lo liat sendirinya, Yuyun udah ada di genggaman gue, jadi gue bisa ngelakuin apa aja buat dia. You uderstand?”

“Apa mau lo sebenarnya?”

“Cuma satu, gak banyak. Ngancurin idup lo hingga gak berharga di mata siapa pun, bahkan di mata bokap nyokap lo sekalipun. Satu persatu bakal ancur di tangan Aris dan target pertama sepupu lo. Lo masih punya waktu nyelamatin dia, tapi rasanya percuma karena lo udah terlanjur tercemar di matanya dia. Bukan cuma itu, lo jaga diri, jangan sampai masuk perangkap gue.” kata Aris tertawa.

Malamnya, Aris pamit pada kedua orang tuanya. Di toko ia mampir sebentar ngeprint draft novel yang akan dikerjakan bersama Yuyun.

Malam ini mau bertemu dengan Yuyun, tapi dia masih belum yakin akan datang ke rumah orang tua Misbah. Tak lama, dia memantapkan  niatnya, tidak lupa membawa draft novelnya yang akan dibicarakan dengan Yuyun. Segera ia memacu motornya.

Dengan perlahan, Aris mengetuk pintu sambil mengucap salam. Di dengarnya suara balasan dari dalam dan pintu terbuka.

“Cari siapa, Nak?” tanya seorang wanita paruh baya.

“Yuyun-nya ada, Tante?”

“Ada. Silakan masuk!” balas wanita paruh baya itu. “Pacar Yuyun, ya?”

“Cuma teman dekat, Tante.” jawab Aris senyum.

“Silakan duduk! Tante panggil Yuyun dulu.”

“Ma kasih, Tante.”

Wanita itu beranjak, ditujunya kamar Yuyun. Pintu kamar di ketuknya.

“Yun, ada teman kamu yang nyari, tuh.”

“Siapa?”

“Gak tau! Lihat sendiri.”

“Cowok apa cewek?”

“Udah, liat aja!”

“Ya, Tante!” balas Yuyun bergegas keluar menuju ruang tamu. Betapa kagetnya ia melihat Aris yang duduk di sofa.

“Kok...? Ris?” katanya tak percaya sambil duduk di sofa.

“Iya, Yun. Sorry, aku gak ngasih tau kamu lebih dulu. Aku cuman pengen minta maaf soal tadi siang. Aku gak punya maksud kasar sama kamu. Aku cuman pengen kamu ngerti aku dan gak pengen dicurigai terus.”

“Kamu gak salah, Ris. Aku maklumin itu.”

“Udah, deh. Mendingan di lupain aja.”

“Iya, Ris.”

“Lho, kok temannya gak di kasih minum, Yun? Pantas kalian gak pernah diapeli teman.” kata wanita  paruh baya itu muncul lagi. “Ayo, ambil sana!”

“Eh, iya. Maaf ya, Ries. Mau minum apa?”

“Gak usah repot-repot, Yun!”

“Gak repot-repot amat, kok.”

“Terserah kamu aja, deh.”

“Ya udah ambilin sana, Yun. Sekali lagi kalau ada tamu buatin minumnya. Tante senang, kok, kalau teman kalian bertamu. Gak ada salahnya, toh. Ya kan, Nak?”

“Iya, Tante.”

“Namanya siapa, Nak?”

“Aris, Tante. Aris Wicaksana, anak almarhum Hidayat, anak angkat Pak Imron.”

“Berarti ibu kamu yang meninggal waktu tabrakan di Siantar itu?”

“Iya, Tante.”

“Jadi, kamu yang namanya Aris? Tampan rupanya. Pantasan Misbah ama Yuyun selalu aja ribut kalo ngomongin kamu.”

“Ah, Tante, bisa aja.” balas Aris.

“Iya, kok, Misbah selalu bela-belain beli koran edisi Minggu sampai sepuluh macam. Eh, rupanya mau baca ceritanya Nak Aris.”

“Apa?” tanya Aris heran.

“Iya. Semua cerita Nak Aris di koleksi dan disimpan di tempat khusus.”

Aris berpikir sejenak, sepertinya Misbah masih memperhatikannya, tapi dia segera menepisnya.

“Nih, minumnya, Ris.” kata Yuyun menghidangkan segelas teh di depan Aris.

“Ma kasih, Yun.”

“Silakan ngobrol, Nak Aris. Tante tinggal dulu.”

“Iya, Tante.”

“Gimana novel-nya, Ris? Udah selesai?”

“Belum. Aku lagi butuh inspirasi untuk menyelesaikannya, jadi perlu penjiwaan yang serius  agar nilai kebetulan tidak mempengaruhi.” jawab Aris. “Antologi cerpennya, gimana?”

“Hampir selesai, mungkin Minggu ini udah clear, tinggal cover sampul dan prakatanya dari kamu.”

Thank’s, Yun. Mungkin tanpa bantuan kamu, aku udah nolak tawaran bagus ini.” kata Aris menyanjung Yuyun. “Sebenarnya aku ke sini mo ngajak kamu bikin novel dan ini aku bawa draft-nya.” kata Aris sambil menyerahkan kertas-kertas yang dibawanya tadi.

“Judulnya Nyanyian Tengah Malam, ceritanya ringan aja, ngadaptasi dari FIFA WORLD CUP GERMANY 2006, seorang cewek yang gandrung ama sepak bola dan ini berawal dari tahun 2004, waktu EURO PORTUGAL 2004. Dia ngerasa terus-terusan di nomor duakan cowoknya hanya gara-gara nonton bola. Tapi akhirnya ia suka nonton bola, karena saking gondoknya liat cowoknya yang lagi asyik nonton bola.

Dia berpikir, apa hebatnya sih nonton bola apalagi sambil teriak-teriak. Dan anehnya, dia malah ikut teriak ketika terjadi gol meski tanpa disadarinya. Di jalan pulang, dia hanya menjawab ‘menegangkan’ ketika cowoknya nanya soal itu. Sejak itu, dia jadi suka nonton bola dan mulai ngoleksi pernak-pernik sepak bola.

Dia paling suka liat Cristiano Ronaldo dengan skill yang bagus mengolah alih bola, dia juga paling ngefans ama Wak Haji Zidane. Menjelang Piala Dunia Jerman 2006, dia lebih memilih Tim Ayam Jago asuhan Raymond Domenech, sedang pacarnya lebih ngunggulin tim Azzuri Italia yang diasuh oleh Marcello Lippi. Namun, peristiwa tragis menimpa pacarnya bersama rekan group band lokalnya seminggu menjelang perhelatan akbar itu digelar.

Pacarnya, sang gitaris Libera meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika mereka pulang manggung, sementara yang lain luka parah. Akhir perhelatan itu dimenangkan oleh tim Azzuri Italia, jagoan pacarnya. Sejak saat itu, setiap malam ia selalu terbangun di tengah malam mendengar genjrengan gitar dan suara nyanyian theme song Piala Dunia. Hingga pada suatu malam ia bangkit dan keluar mendekati suara itu secara diam-diam.

Betapa kagetnya ia, laki-laki gondrong yang memainkan gitar itu ternyata pacarnya dan berpesan agar dia ngantar bendera Italia ke kuburnya dan sosok laki-laki yang berwajah pucat itu menghilang. Esoknya ia sadar, ternyata hanya mimpi, namun ia tetap memberi tau seluruh anggota band Libera yang ternyata juga mengalami mimpi yang sama.

Akhirnya mereka sepakat untuk mengantarkan bendera itu ke makamnya. Sejak saat itu, dia gak pernah muncul lagi.” papar Aris panjang lebar.

“Hebat juga ceritanya, Ris!” puji Yuyun. “Okey aku bakal pelajari draft-nya.”

Mereka terus membicarakan novel yang akan mereka rampungkan bersama. Dalam draft novel itu, Aris sudah membuat kerangka karangannya untuk memudahkan Yuyun menyusun alur yang logika. Sebelum pulang, Aris minta diantar ke kamar mandi. Pukul sepuluh, Aris pamit pada Yuyun dan tantenya.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler