Skip to Content

NOVEL: DI SATU SISI HATI (...persahabatan, cinta, dan dendam....) (Bag. 08)

Foto SIHALOHOLISTICK

DELAPAN

 

MALAM itu, ketika Misbah ingin keluar, tak berapa jauh dari depan rumahnya, dia melihat Rheiner bersama laki-laki yang bersamanya waktu dilihatnya di pusat perbelanjaan. Niatnya yang semula ke toko buku diurungkannya dan dia memutuskan untuk mengikuti Rheiner secara diam-diam.

Misbah menghentikan langkahnya ketika Rheiner dan temannya berhenti di perempatan hampir di sebelah selatan kota itu. Misbah agak menyembunyikan dirinya di balik rumpun bunga yang tumbuh rimbun.

Rheiner dan temannya berhenti di perempatan itu di bangku sebuah halte. Jalanan memang agak sepi dan Rheiner tidak memperhatikan orang yang berlalu lalang di depannya. Dia asyik mengutak-atik ponselnya. Sejurus Rheiner menempelkan ponsel ke telinganya dan Misbah semakin mendekat pada kedua orang itu. Tak terlalu lama, Rheiner kembali menurunkan ponselnya.

“Gimana, Pram?”

“Dia minta kita datang jam sepuluh, mBang.”

Misbah yang mendengar percakapan itu merasa aneh, karena Rheiner dipanggil Pram.

“Pram...?” Misbah mengernyitkan keningnya. Matanya segera membeliak mengingat berita dalam surat kabar tentang sindikat jaringan pengedar narkoba yang berelasi dengan cukong dari Singapura dan nama yang baru didengarnya itu ikut terlibat.

Misbah mencoba mendekat pada kedua laki-laki itu, tapi keduanya belum sadar kalau ada seseorang yang sedang memperhatikan mereka. Mereka terlalu asyik memperhatikan layar ponsel.

“Rhei...!” sapa Misbah ketika berada di hadapan keduanya. Rheiner menoleh dan batapa kagetnya dia ketika melihat Misbah.

“Mis...Mis...Misbah?” katanya tak percaya.

“Ya, aku Misbah. Kenapa? Kamu kaget, Pram...eh...Rhei?”

“Ngapain kamu di sini, Mis? Tempat ini terlalu berbahaya buat kamu.”

“Siapa, Pram? Apa perlu dibereskan?” tanya temannya.

“Gak perlu, dia teman aku.” jawabnya. “Ada apa, Mis?”

“Aku mau ngomong ama kamu. Bisa, kan?”

“Soal apa?”

“Banyak! Kamu bisakan suruh teman kamu ninggalin kita sebentar!”

“Maaf, aku gak punya waktu.”

“Kenapa? Kamu mau transaksi?”

“Dari mana kamu tau?”

“Ternyata sekian lama kita pacaran kamu belum tau aku. Aneh!”

“Aneh apanya?”

“Semuanya!”

“Tinggalkan kami sebentar, mBang!” pinta Rheiner pada temannya.

“Tapi...?” balas temannya.

“Kamu tenang aja. Aku gak bakalan apa-apa. Dia mantan aku.”

“Okey! Jaga diri kamu baik-baik.” kata temannya menjauh.

“Kenapa kamu bialang aku mantan kamu? Kita belum bubaran.”

“Apa mesti bubaran? Aku rasa nggak! Sejak Aris dan kamu menjalin hubungan, sejak kamu nyingkirin keberadaan aku di hati kamu dan sejak Yuyun pindah ke Bandung, aku rasa semua udah berakhir.”

“Tapi, antara aku dan Aris belum ada hubungan apa-apa.”

“Aku gak perlu dibo’ongi, Mis. Aku udah tau semuanya, kok. Semua berawal dari kejadian malam itu, di situ aku baru nyadar, kalau omongan kamu benar. Tapi sorot mata Aris gak bisa bo’ong, di sana tersimpan rindu yang dahsyat. Trus, aku juga tau gimana indahnya suasana malam syahdu di pelabuhan itu. Kalian kelihatannya bahagia. Udah lama aku pengen lihat Aris bahagia, Mis, kebahagian yang gak pernah didapatnya dari Yuyun. Dari sebuah tulisannya aku tau, kalau Yuyun itu wanita yang ingin berkuasa atas kehidupannya. Sedang orang yang mau ngerti dirinya cuma satu orang, yaitu kamu. Dari tulisannya itu juga, aku tau kalau potongan pertama kue sweet seventen-nya ingin disuapin ke kamu bukan Yuyun. Baginya khayalan tinggal khayalan dan kenyataan telah mencabik semua munajat cinta-nya hingga yang paling menyedihkan dia menantang Tuhan. Dia ingin membuat perhitungan dengan­-Nya.

Kejadian tengah malam di rumah sakit itu, jangan kamu kira aku gak tau. Aku tau, Mis. Tapi aku gak pengen lagi ngalangi Aris mendapatkan cintanya. Aku lihat, bagaimana kalian bercanda, saling kecup, saling belai, saling melimpahkan kasih sayang. Aku putuskan untuk jarang datang ke rumah sakit, aku hanya ada ketika kamu gak ada. Aku emang mencintai kamu, tapi Aris gak hanya mencintai kamu, bahkan ia ingin menggali kuburnya dalam hatimu.

Kamu tau, kenapa aku gak pernah ngapeli kamu, gak mau dekat ama keluarga kamu, gak mau ngenalin kamu ke keluarga aku? Jangan bilang aku pengecut! Jangan bilang aku gak tau tempat yang paling kamu sukai. Semua ini aku lakuin, karena aku gak pengen jadi pagar yang makan tanaman. Aku ngerasa, Aris hanya nitipin kamu ke aku, sebab aku tau kek gimana dia dulu, dia hanya minder. Dia  beranggapan, orang miskin gak akan berarti apa-apa buat orang kaya. Dia bunuh cintanya, bahkan dia pernah pengen pindah sekolah tanpa alasan yang jelas. Aku berhasil membujuknya dan mengajaknya berkompetisi Road to the Best dan ngikutin kamu.

Aku ngerasa bersalah dan sedih ketika aku tau segalanya. Tahun lalu, ketika semua terlanjur kamu tau, ketika acara malam renungan MOS itu, saat dia mukul aku karena pengen mutusin kamu, sebenarnya dia malu karena udah terlanjur berkorban. Dia gak pengen kamu nilai dia sebagai laki-laki pecundang yang sok jadi pahlawan.” Rheiner mengakhiri ceritanya.

“Jadi kamu udah terlanjur tau, Rhei?”

“Bukan terlanjur tau, Mis. Akulah saksi bersatunya cinta kalian, semua itu tanpa kalian ketahui.”

“Kamu kecewa, Rhei?”

“Sebagai sahabat, aku terima dengan rela, mengingat gimana sulitnya Aris menghadapi   kenyataan tercabiknya semua impiannya dalam munajat cinta-nya. Tapi, sebagai laki-laki yang       punya perasaan, jelas aku kecewa. Aku bukanlah Superman, aku juga bisa nangis, jika kekasih hatiku pergi meninggalkan aku. Aku kecewa ama diri aku, kecewa ama cinta dan kecewa ama kehidupan yang aku jalani ini.”

“Maksud kamu, Rhei?”

“Aku kecewa ama diri aku yang udah tega ama Aris, sobet aku sendiri. Aku kecewa ama cinta, kerena aku udah terlanjur cinta ama kamu. Bukan hal mudah untuk ngelupain kamu dan aku juga gak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan kamu. Sekarang terserah ama apa yang terjadi.

Dan aku juga kecewa ama kehidupan yang aku jalani ini. Aku punya bokap dan nyokap, tapi kenyataannya nggak. Aku cuma punya Pak De dan Bu De, sementara orang tua aku, wajahnya aja aku udah lupa. Padahal aku pengen banget dekat ama mereka. Pengen akrab dengan adik-adik aku, ama kakak-kakak aku. Tapi apa? Komunikasi sama sekali nggak ada, nanya ama Pak De dan Bu De, takut mereka tersinggung. Aku memang disayang ama mereka, tapi tetap aja, aku bukan anak kandung mereka, bukan orang tua yang bikin aku ada. Aku bukan hasil hubungan antara Pak De dan Bu De, meskipun mereka nyayangi aku seribu kali lipat dari kasih sayang orang tua aku. Dan seperti apapun mereka menutup jurang perbedaan itu, malah jurang itu kian dalam, sebab aku bukan darah daging mereka.

Sekarang aku mulai jengah di rumah dan gak tau mau ngelakuin apa. Di saat kalut begitu, aku ketemu ama Bambang. Dia nyuruh aku ngisap, awalnya aku nolak, tapi akhirnya aku takluk juga. Dan kenyataan yang paling menyedihkan, Pak De dan Bu De gak punya naluri orang tua ke aku. Mereka gak bisa ngelihat gurat-gurat perubahan di wajah aku, hingga akhirnya aku lepas kendali.”

“Rhei, aku ngerti ini terlalu berat buat kamu jalani. Aku ngerti banget. Tapi, aku gak abis pikir, kenapa mesti barang-barang jahanam itu yang naklukin kamu. Masa depan kamu bakal hancur, sekolah kamu bakal terbengkalai dan hidup kamu juga bakal hancur. Kamu bakal semakin tersisih bahkan dengan terang-terangan akan disisihkan.”

“Aku tau, Mis. Rasanya bukan kerena itu, soalnya sejak dulu aku udah disisihkan. Nengok aku sekali aja gak pernah, jangankan itu, nelpon tiap tahun aja nggak.”

“Ya, aku ngerti posisi kamu. Tapi setidaknya ini motivasi buat kamu untuk ngebuktiin kalau kamu gak seperti alasan yang mereka buat hingga kamu disisihkan. Seharusnya kamu lebih sukses dari saudara-saudara kamu, buat mereka membutuhkan kamu. Kamu ngertikan maksud aku?”

Rheiner hanya terdiam mendengar penjelasan Misbah, dia memeluk kedua tangannya.

“Rhei, kembalilah! Kamu tau kan, pekerjaan kamu terlalu berbahaya, resikonya gak sebanding dengan apa yang kamu dapatkan. Apalagi  pihak kepolisian sudah tau sindikat ini, cepat lambatnya akan tertangkap juga. Polisi hanya butuh barang bukti dan membuat jebakan. Hukumannya terlalu berat buat kamu. Jaga nama baik dan reputasi Pak De kamu sebagai polisi. Jangan rusak citranya dengan keterlibatan kamu bersama para sindikat itu, terlebih-lebih Pak De kamulah yang paling getol memerangi narkoba dan jabatannya sebagai Anggota Kehormatan Reskrim Narkoba jangan sampai ternoda. Apa kata orang-orang, jika kamu ikut terjaring?”

“Semuanya bisa di atasi asal kamu gak melapor ke polisi. Kamu bisa, kan?”

“Berarti aku melindungi peredaran narkoba. Keselamatan aku ikut terancam dan resikonya lebih besar.”

“Itu soal gampang, sekarang kamu pulang dan anggap pertemuan ini gak pernah ada, jangan pernah temui aku lagi setelah ini. Kamu percaya ke aku, kalau aku bisa jaga diri.”

“Tapi, apa gak ada jalan lain, Rhei?”

“Cara apa lagi, Mis?”

“Kamu kembali kek dulu lagi, ada di antara kami, menjalani hidup apa adanya.”

“Aku gak bisa. Aku udah terlanjur terlibat. Kalau aku keluar, mereka bakal neror aku, aku bakal dibunuh, sebab aku udah terlanjur tau siapa dan gimana mereka. Mereka bakal ngebunuh aku, sebab aku bakal jadi ancaman bagi mereka. Aku juga gak pengen ganggu hubungan kamu ama Aris.”

“Rhei, itu gak terlalu penting, yang penting sekarang diri kamu dan nurut aku, nyerahin diri ke polisi adalah yang terbaik.”

“Apa...?” pekik Rheiner kaget dengan mata membeliak. “Kamu nyuruh aku nyerahin diri ke polisi? Gak, Mis. Aku gak mau nginap di penjara, mending aku mati.”

“Tapi, Rhei...!”

“Gak ada tapi-tapian. Sekarang kamu pulang, aku mau pergi, aku udah ditunggu.” kata Rheiner bangkit dan pergi.

“Rhei...Rheiner..., jangan pergi! Rhei...!” cegah Misbah.

Rheiner berhenti dan menoleh pada Misbah.

“Rhei, kembalilah! Aku mohon, Rhei. Kembalilah!” teriak Misbah sambil menangis.

Rheiner menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Misbah, aku harus pergi. Kita udah beda, sekarang aku jadi orang hina. Kamu masih punya masa depan, hidup di tengah-tengah orang yang ngebutuhin kamu. Aris butuh kamu dan kedua orang tua kamu juga butuh kamu. Sekarang aku hanya punya dua pilihan: membunuh atau dibunuh. Pulanglah! Aku do’ain kalian bahagia. Titip salam buat Aris.” kata Rheiner dengan pelan pada Misbah. Rheiner kembali berbalik dan berjalan. Orang yang tadi bersamanya, menemuinya.

“Kita udah ditunggu, Pram!” kata laki-laki itu.

“Aku tau, mBang. Sekarang kita ke sana.” ajak Rheiner.

“Rheiner...!” panggil Misbah.

Tapi Rheiner tak lagi menoleh, dia dan temannya terus berjalan. Misbah menatapinya dengan mata yang berlinang air mata. Bibirnya terkatup erat menahan kesedihannya. Di perempatan jalan itu, yang berjarak seratus meter dari tempat Misbah berdiri, Rheiner dan temannya yang bernama Bambang, membelok ke sebelah kanan, menuju arah utara kota kecil itu.

Rheiner sudah menghilang dari pandangannya, tapi Misbah tetap berdiri di tempatnya. Dia mengusap air mata yang menetes dari kedua pelupuk matanya.

Kembali ia duduk di bangku halte, dia merasa kesedihannya memuncak mengingat keadaan Rheiner. Ingin rasanya ia membantu Rheiner keluar dari masalahnya, tapi Rheiner menolak.

Misbah mulai bimbang, siapa yang akan dipilihnya. Dia merasa kedua-duanya sangat membutuhkannya. Aris dan Rheiner sangat membutuhkannya. Kalau ia pilih Aris, Rheiner mengobati kekecewaannya dengan jalan konyol yang dirasanya terlalu konyol. Kalau dia memilih Rheiner, Aris bahkan telah berani menentang Tuhan dan ingin membuat perhitungan dengan-Nya. Ini bahkan lebih konyol dari semua yang konyol-konyol.

Akhirnya ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan di atas trotoar menuruti langkah kakinya.

Hampir sejam dia melangkahkan kakinya, hingga dia tak sadar kalau dia sudah berada di depan sekolahnya. Dia berhenti, ditatapnya bangunan sekolahnya dengan tatapan kosong. Kesedihannya kembali pecah, hatinya perih, nyeri dan ngilu, hancur luluh lantah mengenang jalan hidup yang dipilih oleh Rheiner. Lama dia menatapi gedung sekolah itu, takkan lama lagi  dia akan meninggalkan SMA itu dan masuk ke perguruan tinggi yang telah direncanakannya.

Kembali senyum kepasrahan Rheiner hinggap dalam benaknya dan menambah rasa sedihnya.

Rhei, kita bertemu di sini dalam suasana was-was, ketika kakak-kakak senior membentak, menggertak dan mengerjai kita. Kamu dan Aris bantu aku ketika aku dikerjai. Sejak itu kita jadi sobat dengan nama Trias Prienship - sehidup semati, seiya sekata,dan seiring sejalan -. Seharusnya kita bertiga berpisah di sini sambil nenteng map berisi kertas tebal bertulis angka-angka keberhasilan yang membanggakan dan memuaskan. Tapi barang biadab itu begitu cepat memisahkan kita. Apa kamu gak pengen nyelesainnya di sini, bergembira di hari kelulusan kita. Misbah bicara pada dirinya sendiri.

Dia menyandarkan tubuhnya di pagar sekolah. Keadaan sekeliling hening. Tempat itu memang sepi, jarang orang lalu lalang di situ karena ada mitos yang beredar kalau tempat itu angker.

Malam itu,  juga seperti biasanya, hening dan sepi, tak ada orang yang lewat dari situ. Hanya Misbah seorang diri. Dia tak peduli pada mitos itu, karena dia memang dia tak percaya sedikit pun.

Dikeluarkannya selularnya dan menghubungi Aris.

”Hallo, Mis, ada apa?”

“Ris...!” kata Misbah terisak.

“Ada apa, Mis? Kok, kamu nangis?” tanya Aris heran.

“Kasihan Rheiner, Ris!”

“Mis, kamu di mana sekarang?”

“Di depan sekolah!”

“Ngapain? Tempat itu kan angker. Kamu gak takut?”

“Ris, kamu datang, ya!” pinta Misbah.

“Oke! Aku segera ke sana. Tungguin, ya!”

“Cepat, Ris!”

“Okey...!” balas Aris memutuskan hubungan.

Hanya sekitar sepuluh menit, Aris sampai, dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi, dia takut terjadi sesuatu dengan Misbah. Aris segera turun dari motornya dan mendekati Misbah.

“Mis, kamu kenapa?”

“Aris...!” teriak Misbah dan memburu ke dalam dekapan Aris. Hampir saja Aris jatuh terdorong ke belakang karena dorongan Misbah. Untung saja ia cepat melebarkan kakinya ke belakang.

“Kenapa, Mis? Kok, nangis?” tanya Aris sambil melingkarkan kedua tangannya pada Misbah. Sesaat kembali merenggang. “Rheinernya mana?”

“Udah pergi, Ris. Kasihan dia, dia benar-benar udah make dan ngedar. Ternyata, dialah Pram yang diberitakan koran beberapa hari yang lalu.” kata Misbah sambil berjalan ke tepi trotoar dan duduk di sana.

“Apa?” Aris kaget dan mendekati Misbah. “Jadi kamu udah ketemu dia?”

Misbah mengangguk.

“Kalau benar dia itu Pram, berarti keselamatannya terancam? Kapan kamu ketemu dengannya?”

“Satu jam yang lalu di halte. Awalnya aku melihatnya di depan rumah ketika aku pengen ke toko buku. Aku terpaksa mengikutinya yang berjalan bersama laki-laki yang namanya Bambang, dia juga terlibat dengan sindikat peredaran narkoba itu dan dialah yang telah membujuk Rheiner untuk terlibat.”

“Kalian sempat ngobrol?”

“Ya, aku temui dia langsung saat asyik mengutak-atik ponsel dan dia gak bisa ngindar lagi. Aku udah coba kasih tau kalau pekerjaannnya itu sangat berbahaya, aku bilang polisi udah tau gerak-gerik mereka.”

“Trus...?”

“Dia gak peduli. Ketika aku nanya kenapa dia milih ini, awalnya dia gak mau cerita, tapi akhirnya dia cerita juga.”

“Ceritanya apa?”

“Katanya dia kecewa!”

“Kecewa soal apa?”

“Ada tiga hal, Ris.” kata Misbah mengangkat kepalanya. “Pertama, kecewa ama dirinya sendiri yang udah tega ngerebut aku dari kamu. Dia udah tau kejadian malam itu, di pelabuhan itu dan di rumah sakit itu. Kedua, ama cinta, sebab dia udah terlanjur mencintai aku. Dan ketiga, dia kecewa ama keluarganya. Dia benci kehidupannya. Aku pikir semua bersumber dari sini. Sejak kecil dia udah gak tinggal bersama keluarganya, ama orang tua yang ngelahirin dia....” Misbah terus menceritakan semua yang diceritakan oleh Rheiner sampai selesai.

“Mis, besok kita ke tempatnya pagi-pagi sekali, sebelum dia pergi. Kita sobat Rheiner, kalau bukan kita yang nyelamatinnya, maka siapa pun nggak.” kata Aris menenangkan hati Misbah.

“Baiklah! Besok kamu jemput aku cepat.”

“Sekarang kamu tenangin diri kamu. Kamu gak usah sedih gini. Hadapi dengan senyuman, semua kan baik-baik saja, itu kata Dewa 19, kan?” kata Aris menyodorkan sapu tangannya pada Misbah, tapi Misbah masih sesungukan.

Akhirnya Aris bergeser ke hadapan Misbah, sambil berjongkok, ia menyapu air mata Misbah. Aris merobah posisinya yang berjongkok menjadi berlutut. Rambut Misbah dirapikan dengan jari-jarinya.

“Kita pulang, ya, Mis!” kata Aris membantu Misbah berdiri. “Kamu tenangin diri kamu,                   ber-munajat-lah pada-Nya agar kita diberi jalan untuk nyelamatin sahabat kita, agar sahabat kita dibukakan pintu hatinya untuk ngelihat jalan yang lurus, shirotol mustaqiem.

Misbah mengangguk dengan pasti mendengar kata-kata Aris.

Esoknya, di tempat Rheiner, Aris dan Misbah menanyakan Rheiner, Bu De Rheiner mengatakan kalau Rheiner masih tidur. Aris akhirnya minta izin untuk masuk ke kamar Rheiner. Setelah diizinkan, Aris dan Misbah masuk ke kamar Rheiner.

Misbah memperhatikan kamar Rheiner yang rapi dan bersih. Buku-buku disusun rapi di atas meja belajarnya. Dinding kamarnya dihiasi banyak kaligrafi buatannya sendiri dan foto-foto bergantungan di tempat-tempat tertentu.

Pandangan Misbah terhenti pada sebuah foto yang dipajang di meja belajar. Foto mereka bertiga dengan seragam SMA di depan sekolah. Ia berada di tengah diapit oleh Aris dan Rheiner dengan senyum khasnya masing-masing. Misbah mencoba mengingat-ingat, kapan mereka berpose itu, sesaat ia mengingat. Ya, ketika mereka kelas satu setelah mengikuti upacara HUT RI 17 Agustus dilanjutkan jalan-jalan keliling kota tempat mereka tinggal.

Misbah menarik kursi belajar Rheiner dan duduk di sana, sementara Aris menghempaskan pantatnya di tepi ranjang Rheiner. Sementara Rheiner masih mendengkur halus dibalik selimutnya.

Aris kembali bangkit ketika mendengar panggilan dan membukakan pintu.

“Lho, kok gak dibangunin?” tanya Bu De sambil meletakkan tiga gelas teh dan makanan ringan di meja kecil.

“Kasihan, Tante. Tidurnya masih pulas banget. Tapi jadi ngerepotin Tante, neh!”

“Tante gak merasa direpotkan.” balas Bu De. “Ayo, silakan di minum! Ini tadi siapa namanya?” tanyanya pada Misbah.

“Misbah, Tante!”

“Ha...iya, ayo di minum, Nak!”

“Ma kasih, Tante.”

“Kalian lama gak di sini?”

“Lihat nanti aja, Tante.”

“Kalau lama, sebelum Rheiner bangun, Tante mo titip rumah, kami mau keluar sebentar ngajak Tyo jalan-jalan udah gak sabaran, tuh. Kalau lapar, di lemari ada lauk, kalian makan jangan malu-malu. Kamu juga, Mis, sahabat Rheiner, berarti kita juga sahabat.”

“Ma kasih banyak, Tante.”

“Tante tinggal, ya. Bilang ama Rheiner, mungkin pulangnya agak sore.”

“Ya, Tante!” jawab keduanya dengan serentak.

Deru suara mobil yang kian lama kian  kecil menandakan pemilik rumah sudah berlalu. Aris dan Misbah masih di tempat masing-masing dan bermain dengan pikiran masing-masing.

“Ris, perhatikanlah Rheiner! Mukanya pucat, badannya makin kurus dan seolah gak punya semangat buat ngejalani hidup lagi.” Misbah memecah keheningan.

“Iya, Mis. Senyum khasnya hilang seiring hilangnya semangat hidup itu. Kita mesti mengembalikannya dengan sesuatu hal.”

“Sesuatu apa, Ris?”

“Sesuatu yang bisa ngurangi kekecewaannya. Memang, sih, kekecewaannya pada kedua orang tuanya gak bakal bisa kita tebus, sedang Pak De dan Bu De saja gak sanggup. Tapi, setidaknya kekecewaannya ama dirinya dan cinta.”

“Maksudnya?”

Trias Frienship. Persahabatan kita mesti dipertahankan, gak perlu ada rasa suka, rasa suka udah ngancurin kita, rasa suka udah berubah jadi ego yang membuat kita jadi begini. Ancur dan semua udah hilang. Kamu ingat, kamu hampir saja terkorbankan karena keegoisan aku dan Rheiner udah jadi korban keegoisan kita bersama. Ini gak mesti terjadi, kan? Gak mesti, Mis! Gak mesti!” kata Aris. Ia tak sanggup lagi menahan air matanya yang menyesak.

“Tapi, Ris.... Aku....”

“Mis, lupain itu. Rheiner lebih berharga dari sekedar rasa suka itu.” bantah Aris.

“Tapi, Ris, aku butuh waktu untuk ngebunuh perasaan itu.”

“Mis, kalau bukan kita siapa lagi yang bakal nyelamatin dia. Apa artinya kita buat dia, kalau kita lagi dibutuhkan tapi kita malah gak ada? Apa gunanya kita bersahabat sekian lama? Apa arti sumpah setia Trias Frienship yang kita ucapkan itu  -  sehidup semati, seiya sekata, dan seiring sejalan.

“Okey, Ris. Jika ini emang yang terbaik, aku terima.” kata Misbah mencoba tegar. “Kamu emang benar, kalau bukan kita, siapa lagi yang bakal nolongin Rheiner.”

Suara Misbah akhirnya membangunkan Rheiner, ia melihat pada keduanya dengan bengong.

“Aris! Misbah!” katanya sambil bangkit. Matanya dikucek-kucek mengusir kantuk yang masih terasa. “Mau ngapain ke sini? Udah lama, ya?”

“Sekitar sejam. Aku ama Aris mo ngomong ama kamu.”

“Ngomongin apa? Kedengarannya serius banget.”

“Ini lebih serius dari apa yang kamu bayangkan.”

“O, ya? Mana Bu De?”

“Udah keluar, mereka balik agak sore.”

“Jam berapa?”

“Jam sembilan!”

“Bentar, ya, aku ke kamar mandi dulu.” kata Rheiner bangkit.

Tak berapa lama, ia kembali. Teh yang ada di atas meja diambil dan dipersilakan pada Misbah dan Aris. Setelah meletakkan gelas itu, ia kembali ke atas ranjang.

“Rhei...!”

Rheiner menoleh, menantikan Aris melanjutkan kata-katanya.

“Aku udah dengar semua dari Misbah dan aku harap kamu ninggalin jalan hidup yang salah itu, terlalu berisiko, Rhei. Lihat Rhei, semua udah berubah, gak kek dulu lagi, semua ilang. Aku tau semua ini adalah ego kita yang mestinya gak ada sama sekali. Apa kamu gak pikir, dengan cara bodoh itu, semua bakal nyisihin kamu, bahkan perasaan kamu sekalipun bakal nyisihin kamu. Kamu gak usah bantah jika aku katakan kamu sebenarnya tersiksa ngelakuin ini semua, karena ini sangat bertentangan dengan hati nurani kamu. Kamu ngelakuin ini semua hanya minta diperhatikan lebih, kenyataannya malah kamu kian kecewa, karena Pak De dan Bu De gak ngerti tujuan kamu. Kalaupun mereka tau, mereka gak akan kepikiran ke sana, yang ada mereka malah nilai kamu nakal dan terimbas oleh pergaulan bebas. Aku pikir ini adalah pikiran bodoh dan keliru, lebih baik kamu ngomong langsung, jadi gak perlu nyiksa diri sendiri kek gini, kan?”

“Rhei, Aris benar. Kamu mesti ninggalin semua itu.”

“Untuk apa? Aku udah terlanjur ngelakuin itu semuanya dan aku udah gak punya tujuan hidup lagi. Aku udah ngerasa hidup bahagia jika kalian udah ngerasai cinta kalian yang tertunda. Aku gak pengen ganggu hubungan kalian lagi.”

“Gak, Rhei! Kami udah nyelesain semua. Kita bertiga kembali lagi pada sumpah setia kita dengan Trias Frienship: Sehidup semati, seiya sekata, dan seiring sejalan.”

“Gak! Aku gak mau mati konyol dan meringkuk di penjara.”

“Kamu pikir polisi belum tau? Yang mereka belum tau itu hanya Pram yang ternyata keponakan seorang Anggota Badan Kehormatan Kasat Reskrim Narkoba yang paling getol memerangi peredaran narkoba. Mereka hanya butuh siasat menjebak kalian.”

“Ris, jangan paksa aku, aku punya cara sendiri. Kamu percaya sama aku, aku bisa atasi.”

Oke, Rhei! Kalau kamu nolak, gak apa, kami gak maksa. Tapi, rasa kesetiakawanan  tetap dijaga, sepertinya sumpah setia Trias Frienship: Sehidup semati, seiya sekata, dan seiring sejalan  bakal dibuktikan kali ini dan sumpah itu bukan hanya kata usang.” kata Misbah.

“Maksud kamu?” tanya Rheiner.

“Mau gak mau, aku ama Aris yang ngalah, seiring sejalan, kami terpaksa mengikuti jalan kamu, meski kami tau itu resikonya berat. Kami siap demi kamu, apapun resikonya. Tersisih dari keluarga, sama-sama tersisih. Meringkuk di penjara, sama-sama meringkuk.” kata Misbah tanpa ragu.

“Jangan! Aku bilang jangan, cukup hanya aku yang kek gini.”

“Gak bisa gitu, sumpah setia udah terlanjur terucap.”

“Persetan dengan sumpah itu. Masa bodoh!” balas Rheiner. “Aku ngerestui hubungan kalian.”

“Persetan dengan hubungan itu. Masa bodoh!” kata Misbah mengembalikan perkataan Rheiner.

“Terserah kalian, aku gak mau tau, asal kalian tau saja, aku gak mau mati konyol dan aku juga gak mau meringkuk di penjara.”

“Okey..., kami gak bakal ngelarang kamu. Jalani apa yang kamu suka, tentuin jalanmu!” kata Misbah dengan emosi yang memuncak. “Tapi ingat satu hal! Kamu juga gak berhak mencampuri urusan aku, kamu juga, Ris. Kamu gak perlu nelpon, apel atau negor-negor aku. Hari ini Trias Frienship: Sehidup semati, seiya sekata, dan seiring sejalan, udah gak ada artinya lagi dan kita bukan sahabat lagi. Kalian camkan itu!” kata Misbah. Emosinya kian memuncak. “Sorry, sekarang aku cabut, masih ada yang paling penting diurus dari pada urusan kek gini.” Misbah bangkit dan keluar.

“Mis, aku antar, ya!” cegah Aris.

“Gak perlu! Urus aja urusan kamu. Kamu bukan siapa-siapa aku lagi, gak pacar juga gak sobat. Lagian kota ini cukup aku kenal, aku gak mungkin nyasar.”

Di luar, Misbah hanya bisa menghapus air matanya. Sekuat tenaga ia menahan kesedihannya, tapi percuma. Air matanya tak mampu dibendungnya.

Aris bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Rheiner. “Pikir sekali lagi, Rhei, sebelum Misbah ngikuti jalan yang kamu jalani ini. Aku bukan mau lepas tangan, tapi seperti apapun aku berusaha sepertinya akan sia-sia. Sumpah setia tetaplah sumpah setia, tapi jangan di jadikan buat ambil jalan konyol gini. Kamu ngertikan?” terang Aris sambil menepuk bahu Rheiner dan dia juga beranjak.

“Ris...!” cegah Rheiner.

Aris berbalik.

“Susul Misbah, ajak dia kemari, aku mau ngomong ama dia.”

“Okey!” balas Aris lega. Ia segera menyusul Misbah.

Untunglah Misbah masih belum pergi, dia masih ada beberapa puluh meter dari tempat Rheiner, di bawah pohon Akasia di atas trotoar sambil sesungukan.

“Mis, berhentilah menangis, sandiwara kamu udah berhasil.”

“Aku gak pernah bersandiwara, Ris. Jika emang Rheiner gak berhenti aku bakal buktiin omongan aku.”

“Sepertinya gak perlu.”

“Kenapa? Kamu pikir aku gak berani?”

“Bukan itu, Rheiner mo ngomong ama kamu. Masuk lagi, yuk!”

“Ngomongin apa lagi?”

“Mungkin ajari kamu kek dia.”

“Gak perlu!”

“Udah, masuk dulu!” kata Aris sambil menggoda Misbah.

Akhirnya Misbah mau ngikuti Aris.

“Maafin aku, Mis!” kata Rheiner pada Misbah ketika Misbah udah berada dalam kamarnya lagi. “Aku terlalu egois ama kamu, tanpa pernah ngerti arti kehadiran Trias Frienship buat kamu. Trias Frienship: Sehidup semati, seiya sekata, dan seiring sejalan mungkin udah harga mati buat kamu dan gak bisa ditawar-tawar lagi buat kita bertiga, tapi bukan buat nentuin dan milih jalan yang salah kek gini. Aku terima kesetiakawanan kalian.” kata Rheiner menatap Misbah dan Aris bergantian. “Tapi ada syaratnya.” sambung Rheiner.

“Syarat apa?” tanya Aris dan Misbah serentak.

“Aku pengen kalian tetap pacaran. Aku gak pengen ngalangi hubungan kalian.”

“Tapi, Rhei...?” protes Aris.

“Gak, Ris. Ini semua jawaban dari munajat cinta kamu. Misbah adalah kiriman Tuhan buat kamu, kekasih yang baik hati yang bakal mencintai kamu apa adanya. Selama ini aku udah ngerampasnya dari kamu. Maafkan aku, Sob!”

“Rhei...?” Misbah ragu.

“Mis, aku tulus, tolong dihargai. Oke!”

“Gimana dengan keselamatan kamu?”

“Aku gak takut, Mis, karena aku punya kalian. Mungkin Tuhan udah nganggap aku mampu ngadapinya dan selama ini aku jalani juga, kok. Masih ada Pak De dan Bu De. Aku ingin izin ama mereka untuk manggil mereka papa dan mama, sama kek Tyo.”

Setelah Rheiner berkata begitu, Aris dan Misbah merangkul Rheiner dan sejak saat itu mereka kembali akrab.

Kini, ketiganya kembali bersama lagi menjalani sumpah setia Trias Frienship: Sehidup semati, seiya sekata, dan seiring sejalan, meskipun awalnya      Rheiner merasa tak kuat. Pikirannya selalu dibayangi kenikmatan-kenikmatan yang didapatnya setelah   ngisap.

Namun kesetiaan Aris dan Misbah membuatnya bertahan. Ditambah getar-getar sanubarinya kian membuatnya menjauhi barang-barang jahanam itu.

Ia sadar, kalau ia selalu sibuk dengan barang-barang itu, gak akan ada wanita yang menyukainya, terlebih wanita yang disukainya saat ini.

Sementara para kawanan sindikat peredaran narkoba itu mulai cemas. Bambang, laki-laki jangkung yang selama ini jadi pendamping Rheiner untuk mengantar pesanan pada pelanggan di tempat-tempat tertentu, jadi sasaran kemarahan para cukong-cukong pengedar itu. Mereka menuduh Bambang mengajak sembarang orang untuk bergabung. Apalagi setelah mereka tau Rheiner itu keponakan seorang polisi.

Meskipun Bambang membela diri dengan keuntungan yang diperolehnya hampir lima kali lipat setelah Rheiner bergabung. Namun resikonya jauh lebih besar dari keuntungan itu.

Mereka menyuruh Bambang melenyapkan Rheiner dalam waktu singkat dan kalau Bambang menolak, dia yang akan lebih dulu dilenyapkan.

* * *

RHEINER sudah beberapa kali mencoba mendekati wanita yang disukainya itu, mulai dari mengajak ngobrol dan macam-macam. Ia merasakan cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Wanita yang disukainya ternyata menyukainya pula, tapi semakin ragu ia mengungkapkannya.

Rheiner mencoba curhat pada Misbah. Waktu istirahat ia mengajak Misbah ngobrol.

“Ada apa, Rhei? Sepertinya ada yang serius gitu, Sob. Apa mereka menemui kamu lagi?”

“Gak! Bukan itu.”

“Trus, apa, dong?

“Aku suka ama seseorang, neh, tapi....”

“Kok, pake tapi-tapian segala, udah dor aja, siapa tau kena.”

“Aku masih ragu, neh. Aku takut Aris gak setuju soalnya cewek itu Sheila.”

“Kamu kek gak kenal Aris aja. Kamu lebih ngenal dia dari aku, kan?”

Percakapan mereka terhenti, ketika Aris datang menemui mereka.

“Lho kok ngobrolnya pause. Ada rahasia atau ngeganggu?” tanya Aris sambil duduk di dekat Misbah.

“Biasa, soal perasaan gitu.” balas Misbah. “Dari mana?”

“Ngambil surat di kantor dari pacar rahasia aku. Emang kenapa?”

Air muka Misbah langsung berubah. Bukan mustahil kalo hal itu terjadi apalagi setelah Aris jadi cover sebuah majalah remaja terbitan Jakarta. Ditambah cerita Aris akhir-akhir ini semakin romantis.

“Kalau udah ngambek tambah cantik aja kamu, Mis, apalagi ngembik, mbee...he...hek....” goda Aris menirukan suara kambing. “Cemburuan amat, sih?”

“Siapa tau, kan?”

“Cukup kita aja yang tau, kalau boleh Rheiner juga gak usah dikasih tau. Lagian gak mungkinlah. Ini surat dari PT. Esa Pratama Asia Publishingbook. Buku aku udah selesai dicetak dan mereka nanya apakah mesti launching atau nggak, soalnya ini buku perdana.”

“Nurut kamu?”

“Aku nyerahin ama kamu aja, deh.”

“Kok aku?”

“Sebagai hadiah Ulang Tahun kamu.”

“Emang sekarang tanggal berapa?”

“Dua Puluh Empat Agustus, Happy Birthday, ya!” kata Aris sambil mengeluarkan kotak mungil berwarna merah jambu  berpita.

“Ma kasih banget, Ris. Surprice banget, tau nggak. Aku aja gak ingat.” balas Misbah. “Apaan, nih, Ris?”

“Buka aja!”

Misbah membuka, sebuah kalung silver dengan liontin yang berukir nama Misbah.

“Sekali lagi, makasih, ya, Ris.”

“Ada lagi, Mis.” kata Aris menyerahkan sebuah kotak yang agak besar pada Misbah.

“Apalagi, nih?”

“Buka aja!”

Lagi Misbah membuka dan sebuah buku karya Aris Ws. dengan covernya wajah Misbah dan judul buku itu Dalam Syahadat Cinta (Antologi Cerita Pendek Spesial Ulang Tahun Misbah Hayati).

“Buku ini hanya aku cetak khusus buat kamu dan gak akan pernah aku jual. Soalnya ini perasaan aku, aku gak akan ngejual perasaan aku.”

“Makasih banget, ya, Ris.” balas Misbah terharu.

“Eits...tahan, ini sekolahan malu dilihat anak-anak.” cegah Aris ketika Misbah ingin mendekapnya.

“Mis, Happy Birhday’s, ya. Sorry, aku gak ingat, jadi gak ngasih apa-apa.” kata Rheiner.

“Biasa aja lagi, Rhei. Gak usah sedih gitulah.”

“Iya. Lagian orangnya aja lupa. Aku emang udah siapin dua bulan yang lalu, kalau buku ini gak nyampe kemarin juga kalung ini gak diantar, boro-boro aku ingat.”

“O ya, Ris, sobat kita ini lagi jatuh cinta. Tau gak ama siapa?”

“Seorang gadis manis pernah curhat ama aku nanya soal Rheiner. Tau gak gimana gayanya nanyanya? Kak Aris, Kak Rheiner itu orangnya gimana, sih, sepertinya nyenangin, optimis dan ceria banget?”

“Jadi kamu udah tau, Ris?” tanya Rheiner.

“Aris, gitu loh!”

“Trus, nurut kamu gimana? Setuju?”

“Gak Aris namanya kalau urusan yang gitu gak fair, gak demokrasi. Kalau orangnya terima, kenapa juga aku larang. Aku senang banget malah, soalnya aku kenal siapa Rheiner dan malah aku merasa terbantu dengan kehadiran Rheiner dalam kehidupan Sheila, aku jadi gak was-was untuk trus mantau orang yang dekat ama dia, aku juga berharap Sheila bisa jadi motivasi bagi Rheiner jadi kesannya simbiosis mutualisme: saling menguntungkan.

“Thank’s ya, Ris!” kata Rheiner.

Sejak saat itu Misbah dan Aris lega. Kehadiran Sheila dalam kehidupan Rheiner membuatnya kembali optimis untuk menjalani kehidupannya. Gak ada lagi keluhan yang keluar dari mulut Rheiner.

Satu setengah bulan berlalu, waktu yang cukup singkat bagi Rheiner dan Sheila menjalin hubungan asmara mereka dan dalam waktu yang singkat itu, keduanya telah begitu dekat.

Tapi, hari ini Rheiner masuk rumah sakit, keadaannya sangat parah dan segera mendapatkan perawatan di ruang ICU.

Siang tadi Rheiner mengalami kecelakaan yang sangat fatal sekali. Tubuhnya terhempas beberapa kali ke badan jalan dan motor kesayangannya tak berbentuk seperti motor lagi.

Dokter telah menjatuhkan vonisnya pada Rheiner, kalau Rheiner akan mengalami geger otak, karena benturan di kepalanya mengganggu susunan syaraf otak kecilnya.

Ketiganya sangat terpukul mendengar vonis yang dijatuhkan oleh dokter. Misbah tak henti-hentinya menangis di samping Rheiner yang tak sadarkan diri. Aris hanya bisa menatap sahabatnya dengan pasrah meski hatinya sangat terpukul. Yang paling sedih adalah Sheila, dia baru saja menjalin hubungan dan sekarang sudah menghadapi kenyataan yang pahit.

Sebulan sudah Rheiner terbaring, setiap mereka menjenguk, mereka harus menggunakan pakaian khusus dengan secarik masker penutup hidung dan mulut. Bau obat yang khas dan menusuk segera menerobos indra penciuman mereka ketika setiap kali mereka masuk ruangan tempat Rheiner berbaring tak berdaya.

Tubuh Rheiner semakin kurus. Raut wajahnya sayu dan tampak menyedihkan. Di hidungnya bertengger  sebuah slang yang terhubung dengan sebuah tabung. Tabung itulah yang membantu pernafasannya, di tangannya sebuah slang infus menancap. Dari sanalah sumber makanan diperoleh Rheiner.  Sementara itu, di kanan kiri ranjang tampak mesin-mesin yang entah apa namanya. Seluruh kerja alat vital seperti jantung dan hati dapat dipantau dari alat itu.

Setiap pulang sekolah, Aris, Misbah dan Sheila selalu menjenguk Rheiner ke rumah sakit. Begitu juga dengan hari ini, dengan tetap  berseragam sekolah mereka ke rumah sakit setelah mengisi perut yang sudah bernyanyi sumbang.

Melihat kedatangan mereka bertiga, Bu De Rheiner jadi lega.

“Gimana, Tante, apa ada perkembangan?” tanya Aris.

“Tadi dokter mengecek perkembangan Rheiner, katanya fungsinya alat-alat vital dalam sudah mulai normal.”

“Syukur, deh, Tante.” kata  Misbah lega.

“Orang tuanya sudah nyampe, Tente?”tanya Aris lagi.

“Barusan papanya nelpon, katanya belum bisa datang mereka harus ke luar negeri dan pulangnya belum ada kepastian, kalau mereka pulang, katanya langsung kemari, gak ke Menado lagi.”

Mereka bertiga mengangguk.

“Tante bisa pulang sebentar? Kasihan Tyo di rumah.”

“Ya, udah, Tante pulang aja dulu, biar kita yang jagain Rheiner. Ntar kalau ada apa-apa kami kasih tau, Tante.”

“Tante permisi dulu!”

“Silakan, Tante!”

Setelah wanita paruh baya itu berlalu, ketiganya hanya bisa menatap Rheiner dengan pandangan iba. Aris akhirnya beranjak ke kursi yang berada di dekat dinding di sebelah kanan pembaringan Rheiner. Misbah dan Sheila pun mengikutinya.

“Kak, berapa lama lagikah Kak Rheiner harus berbaring gak berdaya seperti ini?” tanya Sheila duduk di sebelah kanan Aris. Sedangkan Misbah duduk di sebelah kiri Aris.

“Ntahlah, Shei! Kakak juga gak tau. Rasanya kakak ingin tau siapa sebenarnya pelakunya. Kakak ingin membuat perhitungan dengannya.”

“Percuma. Sebelum Rheiner siuman, sampai kapan pun kita gak bakal tau. Polisi aja belum berhasil mengungkapnya. Aku jadi heran, seperti apa, sih, kinerja kepolisian itu hingga udah sebulan urusan, kek, begini aja belum selesai.”

“Kerjaan mereka bukan cuma ini doang, Mis. Jangan kek gitu lah, mereka juga manusia biasa yang punya banyak keterbatasan. Kita gak boleh saling nyalahin. Susahnya, kasus ini gak punya bukti nyata dan saksi mata yang ada di TKP saat itu. Kalau mereka tau, tanpa bukti dan saksi, urusannya gak akan bisa selesai. Mereka gak bisa main tangkap aja, itu ngelanggar kode etik tugas mereka sebagai penganyom masyarakat.”

“Kak Aris benar, tanpa peran aktif masyarakat, mereka gak bisa ngapa-ngapain.” tambah Sheila.

“Agh...!”

Suara erangan setengah mendesis dari arah pembaringan membuat mereka menoleh ke arah Rheiner. Mereka melihat tangan Rheiner bergerak dan matanya terbuka dengan sangat perlahan.

Ketiganya segera bangkit bersamaan seperti mengikuti sebuah komando dan mereka mendekati pembaringan Rheiner.

“Rhei, kamu udah sadar? Syukurlah!”

Rheiner tak menyahut, dia hanya menatap Aris, Misbah dan Sheila secara bergantian. Ia tersenyum pada ketiga sahabatnya.

Keadaan Rheiner semakin membaik dan tanda-tanda ia mengalami geger otak, tak sedikit pun kelihatan.

“Aku capek banget!” kata Rheiner.

“Sabar, ya, Rhei!” kata Misbah.

Rheiner kembali tersenyum pada mereka bertiga.

“Aku minta maaf pada kalian semua!”

“Maaf untuk apa, Rhei?”

“Untuk apa saja, Ris. Siapa tau aku gak lama lagi.”

“Kamu gak salah apa-apa.”

“Itu nurut kamu. Nurut aku, aku mungkin salah, selama ini udah ngerampas....”

“Itu lagi...itu lagi....” potong Aris. “Aku kan udah kasih gantinya, nih Sheila!”

Rheiner kembali tersenyum.

“Rhei, siapa sih yang nabrak kamu, ampe kek gini?”

“Mereka! Aku liat Bambang ada dalam mobil. Awalnya aku gak ngerasa mereka pengen nabrak aku, tapi semakin dekat, mobil itu semakin kencang dan aku gak sanggup ngindar lagi.”

“Bambang...!” gumam Misbah sambil menyalut dendam. “Rhei, aku bakal ngebalasnya dan dalam waktu dekat mereka harus mendekam dalam penjara. Aku berjanji Rhei, sebelum mereka berhasil kami jebloskan ke penjara, kami gak bakal bisa hidup tenang.”

“Percuma, Mis. Mereka cukup lihai dan mereka bukan tandingan kalian untuk ber-kongkalikong.”

“Aku gak peduli, Rhei!”

”Okey...!” balas Rheiner sambil menoleh pada Sheila. “Shei, kakak senang setiap ada di samping kamu. Rasanya, gimana...gitu, kek ngerasain kasih sayangnya nyokap, tau nggak. Padahal kakak gak tau gimana tulusnya kasih sayang nyokap itu.”

“Ma kasih, Kak Rhei. Tapi kakak jangan ngomong gitu! Jangan jelek-jelekin orang yang udah ngelahirin kita. Meskipun kita gak pernah ngerasain kasih sayangnya, tapi jangan orang lain sampai tau hal itu. Kakak janji, gak bakal ungkit itu lagi, udah cukup kami bertiga yang tau.”

“Suer..., Kakak janji. Kakak... gak... ba... kal... u... la... ngi....” balas Rheiner tersendat-sendat. Nafasnya tidak normal lagi.

“Rhei..., kamu kenapa?” tanya Misbah panik.

Rheiner tersenyum. “A...a...ku... gak... ku...at... la...gi....”

“Kak, Kakak pasti kuat. Bertahanlah!”

“Ka...kak...u...dah...co...ba....”

“Rhei..., Rheiner, bertahanlah!” kata Aris mendekat.

“Gak Ris...!” kata Rheiner dengan kata-katanya yang kembali normal. Ditariknya nafasnya dalam-dalam. “Ris, Mis... berjanjilah ke aku kalau kalian gak bakal saling menyakiti, kalian gak bakal pisah. Ris, kamu mesti bisa konsisten ama perasaan kamu. Apapun yang terjadi kelak pertahankan hubungan kalian. Aku tau kamu orang yang optimis, jangan gampang nyerah ama keadaan dan kamu, Mis, yang namanya cewek itu mesti setia dengan keyakinan, pasti kamu tau siapa Aris sebenarnya.” kata Rheiner. Dia kembali menoleh pada Sheila. “Shei, jangan kecewa, jika hubungan kita hanya beberapa bulan, aja.”

“Cukup, Rhei! Kamu gak akan pergi, kamu gak akan ninggalin aku, Misbah apalagi Sheila, kan?”

“Aku bakal ada di hati kalian meskipun hanya sekedar kenangan dan Trias Friendship itu jawabannya.”

“Okey, Rhei, jika kamu emang ingin pergi, pergilah dengan tenang. Tapi kami gak bakal tenang sebelum kami berhasil ngebalas ini semua buat kamu. Kami mohon restu darimu.”

“Aris, Misbah..., juga Sheila, lakukanlah atas nama persahabatan, cinta dan kesadaran hukum agar semua sempurna, jangan atas nama dendam.” balas Rheiner. Dihelanya nafas dalam-dalam.

“Rhei, akhirilah dengan senyuman jika kamu ingin mengakhirinya.” kata Misbah dengan pedih, bibirnya terkatup rapat, matanya berkaca-kaca.

“Pasti, Mis!” balas Rheiner tersenyum dengan mata yang mulai sayu. “’Hidup ini Indah!’, ya kan, Ris?”

Aris mengangguk menahan kesedihannya. “Ya, Rhei. Hidup ini Indah!

“Titip salam buat Pak De, Bu De juga Tyo. Aku sayang ama mereka.” kata Rheiner. “Bantu aku mengakhirinya!” tambah Rheiner.

Mendengar itu, mereka bertambah sedih. Ketiganya bergantian menuntun Rheiner untuk menghadap-Nya dengan membisikkan dua kalimat syahadat di telinga Rheiner dengan lembut. Rheiner menggerakkan bibirnya mengucapkan dua kalimat syahadat meskipun suaranya tak lagi kedengaran. Rheiner mengembangkan bibirnya dengan senyum yang dimilikinya.

Aris berlari keluar ruangan dan berteriak memanggil dokter. Dokter segera men-cek up Rheiner setelah berada di ruangan itu. Namun ia menggeleng kepalanya sambil melepas stetoskop  dari telinganya.

“Apa yang terjadi, Dok?” tanya Misbah, meskipun ia tau, Rheiner telah tiada.

“Maafkan kami, Nak! Kami hanya berusaha dan hasilnya ada di tangan Yang Maha Kuasa.” jawab dokter itu menatap mereka bertiga. “Dia telah kembali pada-Nya. Dia telah tiada.” lanjut dokter itu pelan, sambil menghembuskan nafasnya dengan berat.

Kedua suster yang mengikuti dokter segera melepas peralatan medis yang menempel pada tubuh Rheiner. Alat-alat pengontrol alat vital, seperti jantung dan hati kembali dimatikan.

Aris segera menghubungi Bu De dan memberi tau kalau Rheiner sudah tiada dan selanjutnya Bu De memberi tau suaminya.

Tidak berapa lama, mereka tiba di rumah sakit dan segera mengurus jenazah Rheiner.                Bu De segera memeluk tubuh Rheiner yang sudah tak bernyawa itu diiringi isak tangisnya.

“Rhei..., kenapa kamu ninggalin kami? Kenapa begitu cepat kamu pergi, Nak? Sejak awal kami udah berharap kamu manggil Bu De dan Pak De dengan sebutan mama dan papa, tapi baru beberapa bulan kamu memanggil kami begitu, kamu udah pergi ninggalin kami.”

“Udahlah, Tante! Tante, yang sabar, yang tabah. Relain kepergiaan Rheiner! Dia pergi dengan tenang, dengan sebuah senyuman yang gak bakal bisa kita lupain selamanya.” kata Aris mendekat pada Bu De almarhum.

Tapi kata-kata Aris tak mampu menghentikan tangis Bu De.

“Tante...!”

“Biarkan saja, Nak Aris! Biarkan tante kamu melepaskan luapan emosionalnya. Nanti kalau dia sudah capek akan berhenti sendiri.” kata Pak De.

“Ya, Om!” kata Aris menjauh dari Bu De.

Aris hanya menatap tubuh Rheiner dengan hati yang hancur, dia mencoba pasrah dan mengendalikan emosionalnya. Sedangkan Misbah dan Sheila terus menangis.

“Bambang...!” gumam Aris dalam hati sambil menggigit gigi gerahamnya, menyalut dendam, “...air mata yang menetes ini, kelak akan menyeret kalian ke dalam penjara. Ingat itu, mBang! Lo gak bakal gue izinkan hidup tenang, lo gak bakal gue izinkan lama-lama ngirup oksigen di alam bebas ini.” kata  Aris dalam hatinya. Meskipun ia tidak mengenal Bambang tapi Misbah akan membantunya mencari laki-laki yang bernama Bambang.

Di pemakaman, Aris ikut memasukkan jenazah Rheiner ke dalam liang lahat. Sedangkan Misbah dan Sheila terus menangis. Begitu juga Bu De almarhum. Ketiganya menangis seiring tanah merah mulai menimbun tempat peristirahatan Rheiner yang terakhir, melepas Rheiner kembali ke pangkuan-Nya.

Perlahan-lahan, pekuburan mulai ditinggalkan oleh  orang-orang yang ikut mengantar jenazah Rheiner. Pak De dan Bu De almarhum Rheiner juga ketiga sahabatnya masih berada di sana, di hadapan makam Rheiner.

Tak lama kemudian, Pak De dan Bu De almarhum Rheiner, pergi setelah menabur bunga di atas gundukan tanah yang masih basah.

Kini Aris, Misbah, dan Sheila yang masih tinggal di sana, keadaan sekeliling sunyi dan senyap, hanya suara tangis Misbah dan Sheila yang terdengar memecah kesunyian. Angin sore mulai berhembus memainkan perasaan ketiganya yang simpang siur dengan kesedihan yang mereka, mereka kehilangan Rheiner, seorang sahabat yang pernah menjadi bagian kehidupan mereka, yang pernah hadir di ruang yang entah ruang apa namanya dan ruangan itu kini sepi yang ada di sana hanya serpihan reruntuhan  dari kenangan yang tak akan  mereka biarkan  menghilang selamanya sampai mereka menyusul sahabat mereka ke alam barzah, kenangan itu akan dibawa.

Bagi Aris, Rheiner bukan sekedar sahabat tapi ibarat saudara, suka dan duka mereka lalui bersama. Keduanya tak pernah berselisih, perselisihan yang membuat persahabatan mereka merenggang.

Bagi Misbah, Rheiner adalah orang yang pertama membuatnya merasa jadi wanita sejati. Ungkapan cinta Rheiner, meski Rheiner mengungkapkannya dengan ragu, tapi buat Misbah itu awal baginya menjadi gadis remaja.

Bagi Sheila, tak jauh berbeda dengan Misbah. Kehadiran Rheiner dalam hidupnya menjadi warna dalam hari-harinya.

Dan hari ini semua berakhir dengan kesedihan. Rheiner pergi memenuhi perjanjiannya dengan Rabbul Azza Wajalla dengan kata akhir Innanillahi wa inna ilaihi raji’un: dari tanah kembali ke tanah.

Aries berjongkok di samping makam Rheiner dengan bulir kesedihan yang tersisa. Bunga yang masih tersisa dalam keranjang bunga diambilnya dan ditaburkannya di makam Rheiner.

“Rhei, istirahatlah dalam pembaringan abadimu, tidurlah dalam tidur panjangmu. Aku tau, kamu dan kami yang kamu tinggalkan gak bakal tenang sebelum mereka membayar kesedihan orang-orang yang kehilanganmu. Air mata Pak De dan Bu De kamu harus ditebus. Kesedihan Tyo harus dibayar lunas. Harus, Rhei! Itu harus!” kata Aris menggenggam tanah pemakaman Rheiner yang masih basah. Giginya gemeretak menahan emosinya.

“Ris, kasihan dia. Tak seorang pun keluarganya yang datang melayatnya. Apa sebenarnya yang terjadi dalam kehidupan keluarganya? Orang tua macam apa mereka, anaknya meninggal, mereka toh gak ada? Benar-benar keterlaluan.”

“Udahlah, Mis! Gak usah di bahas lagi. Apapun yang terjadi kita gak perlu ikut campur. Semuanya udah berlalu dengan begitu cepat. Kita gak pernah menduga kalau Rheiner bakal pergi secepat ini. Hari ini yang tertinggal buat kita hanya kenangan, gak lebih.” balas Aris.

Ketiganya melangkah meninggalkan pemakaman yang telah sunyi dari tadi dengan membawa kesedihan dalam hati masing-masing.

 

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler