Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (02/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

DUA 

 

MALAM udah pukul setengah sepuluh, tapi Melani masih sibuk ngutak-ngatik komputer milik kakaknya yang dibeli dari hasil tabungan. Dia lagi bikin copy-an hasil KONFERENSI THE PARLEMENT I yang udah di gelar tadi siang.

Banyak hal yang begitu membekas di hati gadis berkacamata minus ini. Ada sedikit kecambah ajaib yang tumbuh di lubuk hatinya dan terus menghentak dadanya.  Di saat Bayu menyuapinya, di saat ia menyuapi Bayu. Dia hanya ngerasa kalau konferensi tadi siang yang isinya pembantahan dari apa yang ia rasakan saat ini hanyalah Konferensi Asmara bukan Konferensi Jomblo. Dari bibirnya tersunging sebuah senyum manis.

Seketika ia menepis perasaannya, ia nyadar kalo perasaan itu gak mesti ada dalam hatinya, soalnya konferensi tadi siang menolaknya untuk memiliki perasaan itu.

Berulang kali disugingkan senyumnya, hingga ia gak nyadar kalau sepasang mata kakaknya menatap dengan aneh.

“Mel...Mel!” suara kakaknya negor dia.

Dia hanya menoleh tanpa bisa nyembunyiin rasa kagetnya. “Apa?”

“Lo kenapa? Kayak orang gelo. Ngutak-ngatik komputer sambil senyam-senyum, gitu.”

“Ah, kakak tega. Masak adik semata wayang yang gelis pisan dibilang gelo. Emang enak punya saudara gelo?”

“Habisnya, sih...” protes kakaknya sambil berdiri dan ngedekatinya. “Kalo jatuh cinta jangan dibawa gelo. Jatuh cinta bisa dan kakak gak ngelarang. Siapapun orangnya pasti yang terbaik buat kamu. Liberalisme Cinta, aja. Yang pasti kakak senang, soalnya adik kakak yang semata wayang yang katanya gelis pisan ini, cewek tulen.” katanya sambil nyubit pipi adiknya  dan  ngusap  rambut  adiknya  sambil ngulas senyum. “Bokap ama nyokap payah, Cuma bisa bikin dua anak.” kata kakaknya bercanda.

“Ih, kakak, apa-apaan, sih? Rese, deh ama orang tua. Emang kakak pengen punya adik berapa?”

“Maunya selusin, biar rame.”

“Ih, ribet ngurusnya tau! Kakak aja yang bikin anak banyak, bilangin ama pacarnya, tuh.”

“Ember!” balas kakaknya.

“Tapi soal jatuh cinta, Mel-Mel bareng teman-teman di The Parlement udah sepakat ngejomblo selama SMA.”

What it’s this The Parlement?” tanya kakaknya.

“Itu nama grup band kami. Awalnya cuma gank tapi ngelihat  kesesuaian  antar sesama, kita sepakat bikinnya jadi grup band. Tadi siang kita udah ngadain KTT dan hasilnya ngejomblo selama SMA, dilarang keras ngonsumsi rokok, narkoba, miras, dan seks bebas sekaligus ngeresmiin hari jadi The Parlement. Namanya oke punya, kan, kek The Rock?”

“Emang kalian berapa orang?”

“Lima. Dua cowok. Soal ngeband, kami bakal les dulu di Altar Big Band. Kita pengen nyaingi grup band papan atas di Indonesia.”

“Uh, gaya, lo!”

Why not? Gak ada yang mustahil dalam hidup. Ya, nggak?”

“Boleh juga filsafat lo, belajar di mana?”

“Gak di mana-mana. Cuma kita punya komitmen. Di samping ngeband, kita kelompok belajar juga, kok. Makanya Mel-Mel serius banget.”

“Okey, lo terusin. Kakak juga mo serius untuk sarjana, nih, biar bisa kerja di perusahaan bonafit, trus married, deh.” kata kakaknya beranjak.

“Kak, untuk semntara, jangan kasih tau bokap ama nyokap dulu, ya. Ntar kalo udah nongol di TV baru kasih tau.”

“Boleh, asal belajar diutamakan. Jangan gara-gara ngeband, sekolah berantakan, itu gak konsisten namanya.”

“Boleh. Kalau kakak ntar jadi Doktor, Mel-Mel jadi Frof.DR, gimana?”

“Asal benar, aja!”

“Pasti, dong. Mel-Mel, gitu loh!” katanya. Dia kembali ngelanjutin pekerjaannya. Kakaknya udah larut lagi ama buku diktat persiapan meja hijaunya.

Sekali-sekali, bayangan Bayu masuk lagi dalam benaknya, menjadi raja di sana. Namun setiap bayangan itu hadir, ia menepisnya.

Dia nyadar, kalo Bayu gak akan pernah menyukainya. Ia tau, Bayu lebih menyukai Maghdalena, kalo nggak, kejadian sebulan yang lalu gak bakal terjadi.

Bayu dan Lucky sama-sama suka Maghdalena. Emang, dibanding Melani dan Aida, Maghdalena jauh lebih cantik, baik, pintar dan gak suka beda-bedain orang. Maghdalena nganggap semua sama.

Melani nyadar, gak gampang nepis bayangan Bayu, karena setiap hari ia bakal ngumpul di Parlement untuk ngebangun impian.

Paginya, Melani nyampe di sekolah dan sobat-sobatnya udah pada datang.

“Udah lama?” tanyanya pada sobat-sobatnya.

“Baru, kok!” balas Maghdalena.

“Tambah cantik aja, nih kelihatannya.”

“Deg...serrrr...!” jantung Melani berdegub kencang. Ia gak nyangka kalau pagi ini Bayu memujinya seperti itu.

“Ah, biasa aja, kok.” balas Melani berusaha tenang. “Mungkin karena bahagia aja kali. Orang yang bahagia itu kan terkesan agak beda.”

“Ce...ile..., bagi-bagilah bahagianya.” kata Bayu lagi.

“Kebetulan, dong!” kata Melani ngeluarin map warna biru. “Nih, copy-an hasil Konferensi The Parlement I, silakan ditandatangani!” kata Melani meletakkan pulpen di atas map biru.

Mereka secara bergantian menandatangani hasil Konferensi The Parlement I di atas nama masing-masing.

Ketika Maghdalena menerima map itu dari Lucky, ia senyum.

“Kok, senyum, ada yang lucu?”

“Gak, kok! Cuman geli aja lihat acara ini, kek di PBB aja rasanya.”

“Moga-moga, deh, salah satu di antara kita atau semua aja sekalian, suatu saat bisa mewakili delegasi Indonesia ke PBB.” kata Bayu. “Mestinya lengkap ama logo dan stempel, nih, sekalian.”

Bel pagi mengakhiri acara mereka dan mereka segera turun ke lapangan untuk ngikuti apel pagi..

Pelajaran pagi itu di mulai, seorang guru usia tengah baya masuk ruangan kelas mereka. Guru satu ini, lain dari pada yang lain. Guru satu ini beda dengan guru yang udah pernah masuk ke ruangan kelas mereka. Bodynya kek Silvester Stallone. Kumis tipis melintang di bawah hidung. Rambutnya agak gondrong tapi dibuat serapi mungkin. Ia juga memelihara jenggot yang menambah karismanya sebagai laki-laki. Senyumnya mengembang ketika memasuki ruangan kelas.

“Selamat pagi, anak-anak!” sapanya sambil meletakkan buku di atas meja.

“Selamat pagi, Pak!”

“Pelajaran apa pagi ini?”

“Bahasa Indonesia!”

“Bahasa dan Sastra Indonesia!” kata guru itu memastikan. “Kelas I2 kan? Siapa wali kelasnya?”

“Bapak Drs. Handoko Heriadi, MPd, Pak!”

“Sudah kenal?”

“Belum, Pak!”

“Kok, belum?”

“Belum pernah masuk!”

“Sama Bapak sudah kenal?”

“Belum, Pak!”

“Lho, kok belum kenal sama guru paling ganteng di SMA kita?”

“Belum pernah ketemu. Guru baru, ya, Pak?”

“Bukan! Bapak sudah mengajar di sini selama lima belas tahun. Bapak mulai mengajar saat berusia kurang lebih dua puluh enam tahun dan sekarang sudah memasuki empat puluh satu tahun. Baiklah, kenalkan nama Bapak Handoko Heriadi, lengkapnya Drs. Handoko Heriadi, MPd, jadi Bapaklah wali kelas kalian. Pendidikan Bapak S-2 Universitas Indonesia Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bapak sudah menikah satu kali dan rencananya hanya satu kali. Bapak punya empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Semua tampan dan cantik persis kedua orang tuanya. Anak Bapak yang paling tua kelas II SMP, nomor dua kelas V SD, nomor tiga kelas II SD , dan yang bungsu masih usia dua setengah tahun dan rasanya sudah cukup punya empat anak. Bapak dan istri bapak juga tamatan SMA ini, waktu bapak sekolah di sini namanya bukan SMA Pelita Bangsa, tapi SMA Ibu Pertiwi.” ceritanya pada siswanya. “Bagaimana rasanya sekolah di sini?”

“Asyik, Pak!”

“Sudah pasti. Baiklah, hari ini kita tidak belajar dulu, kita adakan pemilihan fungsionaris kelas, sebab hanya kita yang belum punya fungsionaris kelas. Kebetulan Bapak baru pulang dari Yokyakarta mengikuti Pelatihan Peningkatan Mutu Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sesuai KTSP – Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan – se-Indonesia selama dua Minggu di Universitas Gajah Mada, hasilnya setiap sekolah harus meningkatkan mutu pembelajaran untuk meningkatkan konsepsi pemahaman siswa terhadap sastra Indonesia yang sudah hampir terlupakan oleh kita semua. Baiklah, Bapak dapat informasi dari panitia MOS kalau kalian terdiri dari delapan kelompok yang masing-masing terdiri dari lima orang. Tapi calon yang dibutuhkan hanya ada lima orang dan silakan berkolaborasi untuk mendapatkan dukungan dan mengajukan calon dari masing-masing kelompok kolaborasi. Bapak ke kantor sebentar, jangan ribut dan jaga ketenteraman.”

Guru itu keluar ruangan kelas. Para siswa mulai mengadakan kolaborasi kek menjelang Pilpres lalu. Setelah ngajuin lima nama, ketika Pak Handoko masuk, pemilihan fungsionaris kelas pun dimulai.

Bayu Ardi Nugraha terpilih sebagai ketua kelas, Putra Prihatin sebagai wakil ketua kelas, Ella El-Fauziah sebagai sekretaris kelas, Rasyidah Pertiwi sebagai bendahara dan Arshaff Siagian sebagai koordinator kelas.

Pak Handoko segera menobatkan dan melantik kelima siswa yang terpilih sebagai Pejabat Tinggi dalam masa bakti satu tahun. Bel pun berbunyi menandai penobatan dan pelantikan kelima siswa terpilih itu.

* * *

RENCANA mereka untuk ngediriin band bukan sekedar obsesi. Usai Shalat Jum’at, mereka ngumpul dan berangkat ke Altar Big Band. Sanggar musik itu cukup luas, banyak orang yang belajar di sana. Mereka berlima di terima seorang gadis cantik.

“Ada perlu apa ya, Dek?” tanya gadis itu menghampiri mereka.

“Gini, Mbak, kita berencana ikut belajar di sanggar ini. Gimana caranya, ya, Mbak?” balas Maghdalena.

“Oh...! Mari ikut, Dek!” ajak gadis itu sambil berbelok ke arah kanan. Mereka ngikuti gadis itu dari belakang.

“Cantik juga ya, Yu? Kenapa, sih, kita mesti ngejomblo kek gini? Apa enaknya, lagi?” bisik Lucky dan Bayu.

Bayu hanya ngangkat bahu sambil menggelengkan kepalanya.

Mereka terus mengikuti gadis itu dari belakang. Di depan sebuah pintu yang bertulis RUANG ADMINISTRASI DAN INFORMASI, gadis itu mengetuk dan menolak pintu.

“Mbak, ada yang mau daftar!” katanya.

“Suruh masuk!” perintah sebuah suara dari dalam.

Gadis itu mempersilakan mereka masuk.

“Lho, Bayu...?!?” kata gadis itu ketika melihat Bayu.

“Lho, kok...? Apa kabar, Mbak? Udah lama gak ketemu!” balas Bayu setelah tau kalau gadis itu Sapta Setiowati, pacar kakaknya.

“Baik, Yu. Mau belajar musik, ya?”

“Ya, Mbak.” balas Bayu. “Masuk dulu, Mbak!” kata Bayu.

“Oh, silakan!”

Dalam ruangan itu mereka dipersilakan duduk di atas sofa.

“Adek-adek mau belajar apa?” tanya wanita itu bangkit dari duduknya dan mendekati mereka, ikut duduk di sofa.

“Gini, Mbak....” kata Bayu buka bicara. “... kedatangan kami belum pasti mo ngedaftar, baru sekedar cari informasi. Soalnya kedatangan kami atas inisiatif sendiri tanpa membebani orang tua. Jadi, kami tau dulu biar kami bisa ngatur managementnya. Kalau uang saku gak sanggup ngimbangi biayanya, mungkin kami cancel dulu dan cari dana tambahan.” jelas Bayu.

“Wah, bagus kalau gitu, kedengarannya tepat sekali. Baru kali ini Mbak ngedengar hal yang demikian. Okey, dengan senang hati Mbak akan berikan informasi yang kalian butuhkan.”

“Mungkin banyak, dari biaya pendaftaran, bulanan, jadwal dan semua yang perlu kami ketahui.” terang Maghdalena.

“Oh, soal itu. Tapi mau belajar apa? Vokal, musik, teater atau menulis?”

“Band, Mbak!” jawab Lucky.

“Udah bisa main alat musik?”

“Belum sama sekali. Soalnya, rencana awal hanya pengen ngumpul-ngumpul, belajar bareng, trus ada usul buat nyibukin diri ama hal-hal positif dan kita sepakat ngeband.”

“Agak ribet juga sebenarnya, meskipun tujuan kalian kedengaran hebat.” balas wanita itu sambil berpikir.. “Gini aja, ngebandkan ada drumer, bass, melody, gitar/rhytim, dan vocalis, kalian gitu, kan?”

“Benar, Mbak!”

“Gimana kalau belajarnya misah-misah dulu, drumer gabung ama kelas drumer, yang lain juga gitu. Trus kalau udah ngerasa bisa baru gabung, ini juga buat ngemat biaya dan bulanannya juga beda-beda. Kalau langsung gabung, Mbak jamin kalian cepat bosannya, yang ngajar juga agak ribet. Kalau udah bisa baru gabung dan bakal ngelewati beberapa tahapan lagi, mulai dari kekompakan sampai bikin lirik lagu. Kami berharap anak didik kami gak cuman nyanyiin lagu orang, tapi mesti punya lagu sendiri hingga bisa nembus dunia belantika musik Indonesia. Sejauh ini, memang belum ada yang berhasil sesuai harapan kami, pasalnya persaingan cukup ketat. Tapi di Hamburgas ini kita punya Power Woman, mereka hampir aja ikut LA Lights Indifiest, tapi ada halangan hingga gak jadi. Kenal ama Power Woman? Kalau dilihat dari penampilan, orang gak bakal yakin kalau empat cewek cantik dan lugu, yang cocoknya jadi pegawai kantoran atau wanita karir itu adalah Power Woman yang aksi panggungnya gak kalah saing ama Jamrud 2001. Kenalkan, Power Woman?”

“Ya, dong, Mbak. Drumer Power Woman itu saudara kandung drumer kami ini, Mbak!” kata Melani menunjuk Lucky.

“Saudara kandung? Berarti anak Pak Amran?”

“Betul, Mbak. Saya anak ketiga dan satu-satunya anak laki-laki.” jawab Lucky.

“Kalau gitu Mbak kasih diskon 20% kalau kalian udah masuk kelas band.”

“Ma kasih banyak, Mbak!” kata Maghdalena senang.

“Kami yang seharusnya berterima kasih pada Pak Amran. Beliau donatur kami, dan beliau pulalah yang menghimpun donatur dari luar daerah, hingga sanggar ini gak jadi ditutup.” balas wanita itu. “Lantas gimana dengan tawaran belajar terpisahnya?”

“Kalau Mbak ngerasa gitu lebih efisien, kenapa juga di tolak.” kata Bayu.

Wanita itu akhirnya bangkit. Di meja kerjanya, ia mengambil beberapa lembar formulir pendaftaran.

“Ini formulirnya.” kata wanita itu menyodorkan lembaran formulir. “Yang di atas untuk formulir pendaftaran band, sekalian isi sekarang saja.”

Seketika mereka sibuk dengan formulir pendaftaran masing-masing dan langsung menyelesaikan administrasinya masing-masing, selesai itu mereka permisi dan gak langsung pulang, mereka ngelilingi sanggar yang mirip pendopo kraton kesultanan Yogyakarta.

Ketika Bayu melihat gadis tadi, ia memisahkan diri dari sobat-sobatnya dan menghampirinya.

“Hai, Mbak! Boleh duduk di sini?” sapa Bayu sambil ngulas senyum.

“Silakan, Yu!” balas gadis itu tersenyum sambil bergeser sedikit.

“Mbak kerja di sini, ya?” tanya Bayu sambil duduk.

“Iya, ngajar anak-anak nulis. Ya, nambah-nambah penghasilan buat biaya kuliah. Saat mo selesai ini biaya tambah banyak. Emang, sih gak seberapa, tapi buat nambah-nambah  lumayanlah.”

“Udah putus ama kak Aris, ya?”

“Kok tau, Kak Aris cerita, ya?”

“Nggak, kok. Cuman, Mbak udah lama gak ke rumah, jadi Bayu nyimpulin gitu. Kok putus, Mbak? Kak Aris selingkuh, ya atau ngebetein atau gimana?” tanya Bayu nyari tau hubungan kakaknya dengan gadis yang bernama Sapta Setiowati itu. “Kak Aris bodoh banget!”

“Kok, kakak sendiri di bilang bodoh?”

“Gimana gak bodoh, coba? Gadis cantik kek Mbak, pintar, sopan, dan baik diputusin gitu aja.”

“Bukan Kak Aris yang salah, Yu.” katanya sedih. Air mukanya berbias penyesalan. “Mbak yang udah ngianati ketulusan Kak Aris. Mbak yang selingkuh ama cowok lain. Kak Aris pantas kecewa dan ninggalin Mbak.” ungkapnya sedih. Intonasi bicaranya menyiratkan penyesalan yang dalam.

“Mbak nyesal?” tanya Bayu sambil merhatiin gadis di sampingnya.

“Sangat nyesal, Yu!” ungkapnya sedih.

“Kalau nyesal, berarti Mbak masih sayang ama Kak Aris.”

“Sebenarnya Mbak gak pernah berniat ngianatinya, tapi semua terjadi gitu aja dan Kak Aris gak mau ngedengar penjelasan Mbak lagi.”

“Jadi ceritanya hanya salah paham? Gimana kalau Bayu bantu Mbak nyelesain masalah ini.” tawar Bayu.

“Gak mungkin Kak Aris mau nerima orang yang udah ngecewain dia.”

“Kok jadi pesimis gitu. Gak salah, kan dicoba. Setahu Bayu, Kak Aris gak pernah akrab dengan cewek lain setelah kalian bubaran. Keluar malam juga gak pernah, kerjanya cuman di depan komputer dari bangun sampai tidur lagi. Siapa nyangka kalau cerita bersambung yang berjudul Tujuh itu miliknya dan isinya ngarapin seorang kekasih yang udah pergi.”

“Lho, itu kan tulisan A.A.Nugraha!”

“Emang! Tapi siapa nyangka kalau A.A.Nugraha itu adalah nama pena dari Aris Ardi Nugraha. Bayu aja yang sekamar dengannya awalnya gak tau.”

“Trus, gimana kamu bisa tau?”

“Secara gak sengaja, Bayu nemuin naskah tersebut beserta wesel pos honor dari cerita itu. Ceritanya persis banget. Aneh nggak? Waktu kami ngebahas cerita itu ama Mbak Yanti dia bilang cerita itu cengeng. Setelah tau dia pengarangnya, Bayu langsung ngerti makna cengeng itu.”

“Maksud kamu?”

“Ternyata di balik ketegarannya, hatinya cengeng juga untuk ukuran cowok. Bagai ayam jago yang keok ama penantang baru.” kata Bayu membuat idiom. “Nyokap ama bokap sering nyindir Kak Aris ama pantun.”

“Pantun apa?”

“Tujuh kali tujuh, sama dengan empat sembilan. Setuju gak setuju, kita ke pelaminan.

“Om ama Tante, kok kek gitu?”

“Mereka emang gitu ngedekatin diri ama anak-anaknya.” kata Bayu. “Jadi, gimana Mbak soal hubungan kalian ama Kak Aris.”

“Terserah Kak Aris saja. Kalau dia masih mau nerima, Mbak senang banget.”

“Pasti maulah, Mbak. Meski tujuh kali disakiti, tujuh kali pula ia mau maafin. Itu pesannya dalam cerbungnya itu.” kata Bayu senyum. “Ya, udah, Mbak. Bayu cabut dulu, sobat-sobat Bayu udah pada nungguin, tuh.” kata Bayu berdiri.

Ditinggalkannya gadis itu, dia gabung lagi ama sobat-sobatnya yang lain.

* * *

ENAM bulan berlalu, mereka melewati masa-masa tersulit belajar memainkan alat musik di pendopo Sanggar Altar Big Band. Dengan masuk sanggar itu, hampir setiap hari mereka bersama.

Setiap Minggu sore, mereka ngumpul di markas Power Woman, untuk latihan di bawah bimbingan para personil Power Woman.

Dengan bimbingan para personil Power Woman, mereka dapatkan  sesuatu yang berharga untuk semangat yang mereka bangun.

Bayu pun ikut andil sebagai promotor ngebesarin keyakinan sobat-sobatnya. Ia gak mau, cuman gara-gara hal sepele bakal berdampak buruk bagi mereka. Begitu pula bagi sobat-sobatnya, mereka menyadari kehadiran Bayu cukup berarti.

Bayu juga sudah berhasil nyatuin kembali hubungan kakaknya Aris dengan pacarnya, Mbak Sapta.

Jum’at, mereka ke sanggar, namun udah hampir jam empat sore, guru yang dinantikan belum juga datang.

Bayu ngambil inisiatif untuk latihan bareng meski tanpa guru. Udah satu bulan mereka latihan bareng, meskipun pada hari-hari tertentu mereka belajar terpisah lagi, sesuai jadwal yang ditentukan.

Lucky sengaja nyalain sound system agar mereka nyoba kekompakan dan mental buat manggung.

“Okey, sobat nongkrong, kami The Parlement, gue Bayu sebagai vocalis, Maghdalena melody, Aida bass, Melani gitar dan Lucky drumer bakal nyoba menghangatkan situasi dengan sebuah lagu hasil kreativitas Mas Dhani ‘Dewa 19’ yang ada dalam album Republik Cinta, inilah kami The Parlement dengan lagu Laskar Cinta.” katanya semangat.

Musik segera mengalun diiringi suara Bayu yang mirip suara Ahmad Dhani dan dialihkan ke suara Once sang vokalis ‘Dewa 19’. Ketika masuk reff, Bayu mendengar musik yang kejar-kejaran, sehingga ia berhenti bernyanyi dan ngangkat tangannya. Musik segera berhenti.

“Gimana Mel, Da, Maghda..., lagunya kecepatan, ya?” tanya Bayu sambil tersenyum.

Sorry, Yu. Emak Gue Jagoan!” kata Aida melepas bass yang tergantung di pundaknya.

“Emang, nyokap gue Nicky Astria, apa?”sambung Maghdalena senyum mendengar ucapan Aida. Ia juga ikut melepas melody yang tergantung di pundaknya. Melani pun ikut meletakkan gitarnya.

“Ya, udah! Gak apa-apa, kok. Kita kan sekedar nyoba dan hasilnya belum muasin.” kata Lucky.

“Ya, udah, deh. Break dulu sambil ngobrol-ngobrol soal tolak ukur biar lebih termotivasi dan lebih semangat lagi.” kata Bayu.

“Kalau soal itu, nurut gue gak perlu ditukar lagi. Yang jelas masuk dunia belantika musik Indonesia, gimanapun caranya. Liat Julitte dan Antique, mereka ngorbitin diri lewat KFC dengan lagu Satu Bintang.”

“Udah yakin, nih? Gak gampang, lho, masuk dunia belantika musik Indonesia. Liat Kangen Band belum apa-apa udah di bajak ama orang rese.” ungkap Bayu ngeyakinin Melani ama ucapannya dan menoleh ama sobat-sobatnya satu per satu.

Sobat-sobatnya hanya saling pandang. Sementara Bayu meraih bass dan memainkannya dengan lagu tadi. Sesaat dia berhenti dan menoleh ama sobat-sobatnya.

“Gimana? Kok diam? Mesti yakin, dong! Kalo nggak, percuma kita buang-buang duit, buang-buang waktu. Kalau waktu latihan kurang, kita tinggal layangin surat permohonan ama Direktur SMA Pelita Bangsa. Gue yakin, beliau pasti kasih izin dan kayaknya beliau sangat senang, karena dengan adanya kita band sekolah jadi ke urus.”

“Ya, pasalnya kita baru sebulan latihan bareng, itu pun sekali-sekali kita masih latihan terpisah. Lo mesti tau, dong, main musik gak segampang nyanyi.” ujar Melani gak semangat.

“Lho, kok jadi mojokin gue. Gue gak maksa dan masang target, sekedar ngasih pertimbangan, biar pikirannya sama-sama terbuka. Namanya aja Parlement, biar demokratis, dari kita, untuk kita, dan oleh kita.

“Ya, nyantai dikitlah. Lagian jalan masih panjang, keburu kemana. Usia kita masih belasan tahun, ntar aja, deh, sekarang latihan-latihan aja dulu.” balas Melani.

“Itu...itu...itu yang gue gak suka. Makanya dari awal gue nanya, sejauh mana keinginan kita buat ngeband? Apa yang kita kejar? Kalo gak ada, semangat gampang patah. Kalo ada tujuan, kita bisa tetap serius. Tapi gue gak nganggap kalian main-main. Gue udah buat target awal, perpisahan tahun depan, kita manggung di sekolah.”

“Wah, sampe segitunya, lo!” ungkap Lucky kaget.

“Iya, nih, kepagian kali!” Aida nyahut.

“Soal yang kek beginian gak ada istilah kepagian segalalah. Emang naik Jupiter Z, apa?” balas Bayu. “Yang penting semangat. Jangan kek karet, sedikit-sedikit kendor.”

“Benar lo, Yu. Kita mesti pasang target, kalu gak, semua bakal percuma. Yang ada kita capek. Kenapa kita gak terima tawaran Power Woman soal festival tahun depan. Gak usah mikirin saingan. Kalah pun jadi asal ada nyali buat nyoba.” kata Maghdalena ngedukung Bayu.

“Lo benar. Tahun depan kita ikut festival, apapun alasannya. Biar kita lebih ambisius.” ungkap Bayu dengan pasti.

“Ya, udah. Kalo gitu kita nyoba lagi. Kita kejar waktu itu demi The Parlement.” kata Aida kembali semangat.

Diulurkannya tangannya ke depan setinggi pinggang dan menelungkup, keempat sobatnya langsung menyambut dengan semangat.

“Okey kita coba lagi!” katanya nerima bass dari Bayu.

“Kita coba lagu nyantai dulu, tapi masih tetap bersama Dewa 19, Hidup Ini Indah.” kata Bayu.

Tanpa ba-bi-bu lagi, musik segera mengalun. Bayu sengaja menghadap sobat-sobatnya agar bisa ngasih instruksi .

“Hampir sempurna!” kata Bayu setelah lagu selesai. “Kelihatannya kita keok ama lagu cepat, tapi mesti kita pelajari juga, gitu juga ama lagu yang lain. Kalau udah semangat kelihatannya lebih baik.” lanjut Bayu.

“Jelas, dong, Bos!” kata Melani senyum simpul.

“Kalau gitu, besok udah bisa bikin surat permohonan buat sekolah, nih.” ungkap Maghdalena.

“Terserah kalian, deh. Gue setuju aja. Yang gue pikirin kalian, nih, ntar bokap nyokapnya marah lagi, abis gak bisa bantu-bantu di rumah.”

“Kalau gue gak ada masalah. Kapan aja siap.” balas Maghdalena.

“Kalau gue gak tau juga, sih. Soalnya nyokap suka kerja-kerja dadakan.” balas Melani. “Cuman bisalah gue kasih teu kalau emang kek gitu.”

“Gue, sih, sebulan non-stop gak ada yang keberatan. Cuma gak kuat aja kali.” sela Aida.

“Nyokap ama bokap aku fine-fine, aja asal jangan telantarin sekolah. Kalau sempat, mungkin Idul Adha depan gue bakal dijadiin qurban, trus disantap bareng.” kata Bayu tertawa. “Baiklah, kalau gitu kita serahi ama Melani untuk buat surat permohonan lima buah, satu buat arsip. Kalau udah gak ada lagi, kita balik aja.” kata Bayu ngasih komando untuk beres-beres. Setelah semua beres mereka pulang.

Esok, pagi-pagi, Melani segera nyerahin surat itu ama Bayu untuk diperiksa. Bayu ngerasa gak ada yang kurang dan secara bergiliran surat itu mereka tanda tangani.

Surat kembali ditangani Melani untuk distempel dan dimasukkan ke dalam amplop yang memiliki logo The Parlement.

Waktu istirahat, Melani dan Aida keluar dari ruangan kelas dan menemui Kak Prasetyo yang sedang asyik ngobrol dengan Kak Sheila di depan ruangan kelas III IPA1.

“Mat siang Kak Pras..., Kak Shei...! Mo ganggu, nih. Bisa nggak?”

“Boleh aja, asal saling nguntungin, simbiosis mutualisme, gitu deh.”

“Ya, ela..., belum apa-apa juga.”

“He...he.... emang mo ngapain, sih? Kelihatannya serius amat!”

“Mo minta tolong nyampain surat permohonan sekaligus pemberitahuan sekaligus harapan dan izin kepada Pak Direktur, Pembina OSIS, Wali Kelas dan Ketua OSIS, bahwasanya The Parlement ingin memakai band sekolah.”

“Oo..., cuman itu! Tapi gak pake prangko, nih?” tanya Prasetyo.

“Prangko? Boleh...boleh. Sorry banget, Kak!” kata Melani sambil merogoh kantongnya dan ngeluarin uang dua puluh ribuan. Uang itu di sodorkan.

“Eh, kok dijadiin serius? Gak usah, cuman bercanda, kok!”

“Udah! Ambil aja, Kak. Serius, kok!” kata Melani.

“Kakak cuman bercanda, kok. Apa-apaan, sih? Udah kantongi lagi atau gak jadi dikasihin, nih!”

“Iya, Mel! Cuman bercanda, kok dibawa serius.” kata Sheila. “Udah, masukin lagi! Diambil juga tanggung.”

“Kalau gitu, makasih banyak, ya, Kak!” kata Aida.

Keduanya berlalu dan segera menemui Ketua OSIS, tapi orang yang dicari kebetulan gak masuk. Keduanya langsung ke kantor guru dan nyerahin pada Pembina OSIS, Wali Kelas I2. Selanjutnya mereka masuk ke ruangan Kepala Sekolah.

“Surat apa ini, Prasetyo?” tanya Kepala Sekolah setelah menerima surat itu.

“Begini, Pak! The Parlement ingin meminta izin dari Bapak sekaligus bermohon untuk menggunakan band sekolah kita yang menganggur itu.” terang Prasetyo.

“The Parlement?”

“Benar, Pak. Mereka ini siswa kelas I2, orang ini Bayu, Lucky, Maghdalena, Aida dan Melani.” Prasetyo melanjutkan penjelasannya.

“Coba panggil wali kelasnya, Pembina OSIS dan Ketua OSIS!”

“Kebetulan saya sudah memberi surat yang sama pada mereka, Pak. Sedangkan Ketua OSIS, kebetulan tidak masuk, Pak. Sebentar saya panggilkan.”

Prasetyo keluar dari ruang Kepala Sekolah. Ia memberi tau Pak Siddiq, Pembina OSIS dan Pak Handoko, wali kelas I2 untuk ngadap ke ruang kepala sekolah.

“Soal The Parlement, Pak?” tanya Pak Handoko setelah duduk di sofa.

“Benar, Pak Han. Kita sudah menerima surat permohonan untuk pemakaian band sekolah. Kebetulan band itu sudah lima tahun tidak dipedulikan. Jadi menurut saya pribadi, hal ini tidak menjadi masalah. Rasanya sia-sia rusak begitu saja, tidak pernah dipedulikan dan tidak terawat.”

“Jadi, menurut Bapak, mereka diizinkan memakai sekaligus merawatnya.?”

“Betul, soalnya kesediaan mereka memakai sekaligus merawatnya, sudah cukup membantu kita.” terang kepala sekolah. “Bagaimana menurut Pak Siddiq?” kepala sekolah beralih pada Pak Siddiq.

“Selama tidak berdampak  negatif pada nama baik sekolah ini, saya rasa keputusan Bapak itu tepat sekali. Apalagi alasannya logis.”

“Menurut saya, tidak ada dampak negatifnya.” kata kepala sekolah meyakinkan. “Menurut kalian , bagaimana?’ kepala sekolah beralih pada Prasetyo dan Sheila.

“Kalau saya berpendapat, apa yang terbaik untuk sekolah ini, mungkin itulah yang pantas untuk didukung. Kalau memang mereka bersungguh-sungguh dan bisa membawa nama sekolah ke mana-mana, tentunya dengan keberhasilan, sepertinya tidak ada alasan untuk menolaknya.” Prasetyo mencoba berdiplomasi.

“Saya mendukungnya, Pak. Apalagi kelihatannya mereka tidak sekedar bermain-main. Manajemen persuratannya resmi, kop surat, nomor surat, ditandatangani dan stempel.” kata Sheila.

“Baiklah! Kalau begitu sampaikan pada mereka untuk hadir pukul 15.00 nanti sore. Kalau Pak Siddiq dan Pak Handoko tidak ada halangan, saya harap Bapak bisa hadir. Prasetyo dan Sheila, kalian juga hadir untuk meyakinkan mereka. Kalau mereka serius, tak salah kita semua mendukung.”

“Baik, Pak! Kami permisi dulu!” kata Prasetyo pada ketiga guru itu.

Keduanya segera berlalu dan segera menemui kelima sahabat itu dan menyampaikan berita gembira kalau kepala sekolah mengundang mereka sore ini pikul 15.00 di sekolah.

Begitu gembiranya mereka, hingga belum sampai jam tiga sore, mereka sudah hadir di SMA Pelita Bangsa, sekolah tempat mereka menimba ilmu pengetahuan, tempat lahirnya sebuah semangat dalam sanubari mereka, The Parlement, yang udah nyatuin harapan, kebersamaan, persahabatan dan kekeluargaan.

Pukul 15.00, kepala sekolah hadir di sekolah, beberapa waktu sebelumnya Pak Handoko dan Pak Siddiq sudah hadir dan Prasetyo juga Sheila udah hadir sejak awal.

Kepala sekolah menyerahkan kunci pada Prasetyo dan semua beranjak ke laboratorium. Prasetyo kembali membuka sebuah pintu ruangan yang ada dalam ruang laboratorium dan mereka masuk ke sana. Cukup luas ruangan itu, hampir seluas ruangan kelas. Terlihat di sudut ruangan alat-alat band yang ditutupi kain lusuh.

Lucky segera mendekati drum yang posisinya agak ditinggikan. Dengan perlahan, kain lusuh itu ditariknya dan debu-debu yang menempel segera beterbangan. Lucky menutup hidungnya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengibaskan debu-debu yang beterbangan.

Sepasang stick yang terbuat dari kayu jati terletak di atas drum itu segera diraihnya dan tanpa pikir panjang lagi, segera digebuknya dengan ketukan Munajat Cinta-nya The Rock.

“Drumnya masih bagus, Pak!” kata Lucky setelah berhenti. “Suaranya masih oke punya. Keliatannya ini yang nomor satunya.”

“Kalau kualitasnya, Bapak kurang paham. Cuman ini sumbangan kakak kelas kalian tahun ’90-an. Waktu itu Bapak belum kepala sekolah, masih guru Matematika. Mereka yang pertama sekali mengadakan band di sini, selanjutnya ’93, ’97 dan terakhir 2002, setelah itu sekarang baru disentuh lagi.” jelas kepala sekolah.

“Berarti masih tuaan band ini dari kita, ya, Pak?” tanya Bayu.

“Ya! Pertama sekali namanya The Lover’s, Ing Swasta, The Vektor dan The Bismut. Sekarang menjadi The Parlement.” cerita kepala sekolah.

Kelimanya segera berbenah, debu-debu disingkirkan. Maghdalena, Melani dan Aida memeriksa alat-alat musik yang lain. Prasetyo ikut membantu Lucky mengetes sound system, sedangkan Sheila ikut membersihkan debu-debu.

“Ngomong-ngomong, apa kalian sudah bisa main musik?” tanya Pak Siddiq.

“Lumayan jugalah, Pak, enam bulan belajar di Altar Big Band.” kata Bayu.

“Jadi persiapan kalian sudah lama rupanya?” tanya Pak Handoko.

“Ya, begitulah. Kami juga sudah punya rencana untuk kelanjutannya.” kata Maghdalena.

“Rencana apa?” serobot kepala sekolah.

“Pertama sekali mengikuti festival yang dimotori Class Mild yang bertajuk Class Mild the Sensation Competition yang menurut informasi yang beredar, awal tahun depan di stadion Kaki Langit Hamburgas. Selanjutnya merilis Album percobaan. Lanjutnya lagi, kalau ada ajang-ajang kompetisi musik di televisi seperti Bintang Band Sekolah.”

“Wah, sudah sangat jauh rupanya.” gumam kepala sekolah.

“Memang jauh...!” kata Prasetyo seketika. Semua menoleh padanya. “...tapi ada satu hal yang terlupakan.”

“Apa, Kak Prast?” tanya Aida.

“Kalian lupa dengan jasa Prasetyo dan Sheila...!”

“Jasa apa?”

“Nama Parlement itu dari Prasetyo dan Sheila, dan berhubung kami kali terakhir di sini, kami pengen The Parlement bisa manggung saat lulus-lulusan nanti. Biar saya dan Sheila nyanyi bareng untuk The Parlement.”

“Soal gampanglah, Kak! Kakak tinggal klik aja di website kami www.the_parlement_band.co.id.” kata Melani sambil tertawa.

“Memangnya kamu sudah yakin lulus, Prast. Nilai terendahnya 5,50, lho. Tidak ada neko-neko lagi soal UNAS tahun ini.” sela Pak Handoko.

“Yah, mau tak mau, lulus tak lulus, saya tetap cabut dari sini, Pak. Malulah jadi siswa abadi.”

“Itu namanya pecundang!”

“Biar sajalah, Pak! Yang penting harga diri gak dipertaruhkan.”

“Lagian Prasetyo mau nyanyi apa, Pak. The Parlement mana mau ladeni lagu Potong Bebek Angsa. Gengsi, dong, nama beken, lagunya kek begituan.” sambung Sheila.

“Ya, lagu Ada Band, Setengah Hati.

“Setengah nilai aja, Prast!” goda kepala sekolah.

“Pak, bagaimana kalau kami mencoba dulu?”

“Silakan!” balas kepala sekolah.

“Oke sobat-sobat, kita coba dulu sebuah lagu dari Sheila on Prasetyo, eh, Sheila On 7, maksudnya, dengan judul Pemenang salah satu Thema Song FIFA WORLD CUP GERMANY 2006, yang kita persembahkan untuk sepasang manajer kita Kak Prasetyo dan Kak Sheila. Tidak menutup kemungkinan untuk penasihat kita Pak Kepala Sekolah, Pak Wali Kelas dan Pak Pembina OSIS.” kata Bayu sekalian ngetes sound system.

Segera lagu Pemenang mereka bawakan dan masing-masing memainkan penampilan terbaik mereka. Mereka berharap dengan penampilan terbaik mereka mendapat dukungan penuh dari ketiga gurunya yang sedang menyaksikan aksi panggung mereka juga buat kedua senior mereka yang mereka anggap sebagai latar belakang berkibarnya bendera demokratisasi The Parlement di dasar hati mereka.

Setelah lagu itu usai, mereka berhenti dan hanya memetik-metik alat musik, sementara Bayu dan Lucky tidak melakukan apa-apa.

“Kelihatannya kalian punya atensi di bidang musik. Hampir tidak ada yang sumbang. Bapak sudah merasa cukup akrab dengan lagu ini. Tadi di reff, ada sedikit bentrokan, hingga Bayu ragu untuk memasukkan lagu. Tapi jika ditelisik ke belakang, kalian cukup punya kemajuan, soalnya kalian beru akrab dengan alat musik enam bulan terakhir. Jadi Bapak menilai bukan hanya cukup tapi sangat punya atensi. Main musik bukan suatu hal yang gampang, iti hal yang mendasar di sini.” Pak Siddiq memberi masukan panjang lebar.

“Benar! Kalian hanya latihan lebih maksimal agar atensi yang dikatakan Pak Siddiq itu tetap terasah hingga penampilan di festival tahun depan. Tapi ingat, kalian harus lebih mengutamakan belajar.” kata kepala sekolah.

“Iya, lho! Bapak sebagai wali kelas kalian, mengingatkan dan menekankan untuk lebih mengutamakan pelajaran. Jangan sampai ada laporan dari guru lain tentang nilai kalian yang jelek.”

“Kami sudah membicarakan hal ini dan cara mengatasinya, kami memutuskan belajar disela-sela bermain band. Setiap kami ke Altar Big Band, ke markas Power Woman dan nantinya kemari, kami bawa buku pelajaran. Jadi, The Parlement bagi kami adalah segala-galanya. Kelompok persahabatan, group band, dan kelompok belajar juga. Buktinya semesteran yang lewat, nilai kami tidak terlalu mengecewakan.” Bayu meyakinkan.

“Baiklah, jika kalian punya rencana sebaik itu. Tidak apa-apa. Tapi, yang perlu kalian ingat, sebuah group band itu memiliki kelemahan yang rawan dengan kehancuran, apalagi kalian masih remaja. Ingat, uang dan pacaran sangat berbahaya, karena keduanya adalah sumber masalah besar.” terang Pak Siddiq.

“Kalau soal pacaran, kami punya aturan yang kami rumuskan saat Konferensi The Parlement I berlangsung. Kami menyadari, The Parlement didirikan dengan pondasi cinta, persahabatan dan kekeluargaan, namun ada dua poin yang harus kami jaga. Pertama, selama SMA tidak boleh pacaran dan kedua dilarang keras mengonsumsi rokok, narkoba, miras dan seks bebas. Masalah uang, kami memungut iuran wajib perminggunya yang dialokasikan dari uang saku yang diberikan orang tua. Biaya belajar di Altar Big Band juga tak pernah memberatkan orang tua, bahkan mereka tidak tau kami bermain musik. Tapi ini bukan masalah rahasia, Pak. Kami hanya ingin berkomitmen dan berusaha mandiri.” jelas Maghdalena.

“Wah, rupanya kalian tak main-main.” kata kepala sekolah berdecak kagum. “Baiklah! Hari ini, kalian Bapak percayakan memakai dan merawat band sekolah ini. Bapak meminta pada kalian berlima untuk bergiat. Jadi kalian boleh berlatih kapan saja, dengan catatan, kalian jangan membawa luar kemari. Jangan kecewakan Bapak.” kata kepala sekolah memberikan kunci serap pada Bayu.

“Terima kasih, Pak, atas kepercayaan yang Bapak berikan. Kami berjanji akan menjaga amanat ini dengan sebaik-baiknya.” balas Bayu.

Jam lima sore, semua keluar dari ruangan itu. Bayu mengunci ruangan itu setelah ketiga guru itu menyalami mereka satu persatu. Prasetyo dan Sheila pun tak mau ketinggalan memberikan selamat pada mereka.

Di luar pagar, mereka semua berpisah menuju rumah masing-masing. Pak kepala sekolah masuk ke dalam mobilnya dan melaju meninggalkan sekolah dengan bunyi klakson. Pak Handoko dan Pak Siddiq melakukan hal yang sama setelah menaiki motor masing-masing. Prasetyo dan Sheila  pun berlalu dengan motor Prasetyo. Lucky dan Melani berjalan berdua menuju kompleks rumah mereka yang berdekatan. Bayu, Maghdalena dan Aida berjalan bersama. Tak cukup lama, Aida pun memisahkan diri dari kedua sahabatnya dan masuk kompleks rumahnya.

Bayu dan Maghdalena terus berjalan sampai ke kompleks perumahan mewah itu.

“Yu, hari Minggu kita tetap ke markas Power Woman, kan?”

“Pasti, dong! Soalnya, di sana kita dapat bimbingan dari mereka. Ini keuntungan sambil nyelam minum air.” balas Bayu.

“Trus, jadwal latihan ke sekolah, kapan, Yu?”

“Ntar aja kita atur! Yang penting sekarang kita udah diberi kepercayaan penuh oleh Pak Direktur. Kita harus menjaga amanat ini, seperti kita ngejaga amanat yang termaktub dalam Konferensi The Parlement I itu.”

“Itu pastilah! Yang mesti kita pikirkan sekarang adalah waktu. Gimana kita memenej waktu dengan baik. Jangan ampe hal-hal yang penting dikorbankan sobat-sobat kita hanya karena kebetulan kita punya waktu luang yang banyak. Kita gak boleh egois gitu.”

“Lo benar! Apapun alasannya, The Parlement mesti ngutamain tiga hal dan ini mungkin bisa jadi landasan dasar kita, cinta, persahabatan dan kekeluargaan. Dengan penjabarannya, di Perlement, kita sebenarnya saling mencintai satu sama lain yang diikat dengan tali persahabatan yang sebenarnya kita saling terbuka. Rahasia itu gak ada, sebab kita ini satu keluarga yang intinya kita nyatuin keluarga masing-masing ke dalam The Parlement.” ungkap Bayu.

“Gue setuju banget!” dukung Maghdalena.

“Ngomong-ngomong, orang tua lo udah tau belum, kalo lo itu main band?”

“Belum dan jangan ampe tau. Mereka pengen gue jadi dokter, tapi gue ngerasa gak sanggup. Gue lebih suka seni dan gak tau dapat dari mana semua ini. Padahal semua anggota keluarga gue gak ada yang suka seni, semua lebih tertarik jadi dokter, kek gak ada sekolah lain aja selain sekolah kedokteran. Gue ngerasa gak cocok jadi dokter.”

“Itu pendapat Alex L.Tobing, aja. Dokter harus sanggup menguapi sebagian dari perasaan dengan kehangatan api rasionya. Dokter manusia, seniman juga manusia, toh. Gue juga berpikir, buat apa dipaksakan kalau akhirnya ngecewain.” kata Bayu. “Tapi sampai kapan lo nutupi semua dari mereka?”

“Gak tau, Yu. Mungkin sampai semuanya jelas. Sampai kita berhasil ngeliris album percobaan. Gue pengen serius banget belajar bikin lirik di season berikutnya. Kita mesti semangat terus untuk ngejar semua impian demi ngeyakinin orang tua kita, kalau kita punya komitmen tentang hidup kita kelak.” kata Maghdalena. “Gak mampir dulu, Yu?” ajak Maghdalena ketika tiba di depan rumahnya.

“Kayaknya gak usah, deh, gue terus aja, mungkin masih bisa bantu-bantu di rumah.” kata Bayu sambil senyum. Senyum itu mengakhiri perjumpaan mereka hari ini.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler