Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (03/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

TIGA

 

MAGHDALENA memasuki halaman rumahnya. Rumah dr.Alfiansyah Hermanto, SPks, orang tuanya yang lumayan mewah. Sebuah mobil Suzuki Volvo berwarna silver ada di garasi samping. Di teras rumah sebuah Kawasaki Ninja milik kakaknya dan sebuah Yamaha Mio milik Mbaknya dan Mamanya. Kakaknya udah jadi dokter, sedangkan Mbaknya masih kuliah di jurusan kedokteran.

Kakaknya paling sirik kalo liat orang lagi senang, Mbaknya yang rada judes itu sangat sulit diajak kompromi. Mamanya yang fanatik itu sering bikin Maghdalena jengkel kalo lagi ada di rumah. Semua yang dikerjakannya serba salah di mata mamanya. Papanya, kadang perhatiannya terlalu berlebihan hingga membuat seisi rumah iri padanya. Tapi terkadang cueknya minta ampun, apapun gak dipeduliin.

Maghdalena hanya ngerasa kalo rumah itu hanya sebuah neraka baginya. Kekayaan gak bisa membuatnya bahagia dan tenang di rumah dan pengen selalu di luar.

Itulah sebabnya ia begitu semangat bersama The Parlement. Dia rela ngorbanin uang sakunya yang emang royal dan berlebihan. Bahkan ia siap ngorbanin tabungannya untuk The Parlement.

Hasratnya yang menggebu siap berontak, andai suatu saat keluarganya tau dan ngutuk pilihannya jadi anak band.

Dimasukinya rumah itu, rumah yang gak sedikit pun bisa membuat hatinya bahagia. Cinta dan kasih sayang gak pernah tumbuh jadi pohon rindang yang bisa melindunginya. Yang ada hanya keegoisan.

Hanya papanya saja yang terkadang memahami posisinya sebagai anak dalam keluarga itu. Selainnya, anak manis dan lembut juga penurut ini, seakan gak ada yang menginginkannya. Kadang ia berpikir, anak siapakah ia sebenarnya, sehingga ia begitu gak dipeduliin mamanya.

Keceriaan yang selama ini ditunjukkan pada sobat-sobatnya, hanyalah keceriaan yang disusunnya sebagai pe-er, yang mulai dilakoninya di saat ia mulai meninggalkan rumah itu. Materi emang gak dipersoalkan dalam keluarganya. Tapi sayang, bukan itu yang diharapkannya.

Semakin lama ia di dalam rumah itu menatapi satu persatu keluarganya, semakin besar kekecewaannya pada keluarganya. Padahal selama ini, ia mengenal papanya orang baik, selalu tersenyum ramah pada pasien yang datang. Biaya perobatan yang tak mencukupi gak begitu dipedulikan. Seolah papanya punya beribu cinta, tapi cinta yang gak pernah dimengertinya. Entah cinta apa yang dimiliki papanya. Apakah hanya cinta akan sebuah kepopuleran dan kehormatan di mata semua orang seluruh kota Hamburgas? Ia gak pernah ngerti. Mungkin, ya....

Dilangkahkan kakinya menuju kamarnya, di sana dibaringkannya tubuhnya di atas ranjang berukir bagus. Ditariknya nafasnya lalu dihembuskannya dengan pelan.

Entah pada siapa ia harus mengadu. Berbagi penderitaan batin yang sekian lama ia jalani. Berbagi pada sahabat-sahabatnya? Ia gak pengen sahabat-sahabatnya sibuk ngurusi dirinya. Sedang ia gak pengen bermanja-manja, meskipun itu yang diinginkannya. Yang diinginkannya dari orang tua dan saudara-saudaranya.

Tanpa disadarinya, air matanya mengalir ke sprai tempat tidurnya. Ingin rasanya ia memekik sekuat tenaganya, melepaskan semua penderitaan yang menghimpitnya. Memang lebih baik menderita badan daripada menderita batin.

Sekian lama terlarut dalam kesedihan, kembali ia tersadar akan dirinya. Entah apa guna ditangisi nasibnya yang malang. Akhirnya, ia memilih bangkit dan meraih handuk, ia menuju kamar mandi.

Selesai makan malam, ia kembali ke kamarnya. Selama makan malam, gak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya mendengarkan canda tawa yang sebenarnya hanya berisi omong kosong. Ia mengutuk kesombongan yang bersarang di balik dada mereka. Tatapan heran papanya tak sedikit pun dihiraukannya, malah ia berlagak acuh gak acuh.

Dalam kamarnya, ia berpikir keras, mikirin sesuatu yang bisa ia lakukan agar ia bisa di terima sebagai seorang bagian dari keluarga itu. Terlebih di mata mamanya.

Di saat bingung seperti itu, ditariknya beberapa helai kertas yang tersusun rapi di samping komputer sasar itu. Komputer malang yang dibuang pemiliknya karena telah mempunyai laptop yang lebih efisien, yang bisa dibawa ke mana-mana. Diraihnya sebuah pulpen yang ada dalam gelas yang terletak di sudut meja belajarnya. Dicobanya menulis penderitaan batinnya yang mencoba berontak dari nasib yang menimpanya.

Lelah menulis, ia kembali merebahkan badannya di atas ranjang, badannya yang mungil itu terasa amat lelah. Rasa kantuk telah menyerangnya, namun penderitaan itu gak bisa melelapkannya begitu aja ke alam mimpi. Semua penderitaannya kini menyesak memenuhi ruang dadanya dan benaknya. Tanpa dapat ditahan air matanya kembali mengalir.

Ah, apa gunanya gue nyesali semuanya yang udah terjadi. Tuhan pasti punya rencana lain di balik ini semua.” katanya dalam hati mencoba menghibur dirinya sendiri.

Diingatnya keceriaan sobat-sobatnya, barulah ia bisa tersenyum. Senyum yang ngikis sedikit kesedihannya hingga akhirnya ia terlelap juga.

Minggu pagi ia bangun. Setelah mandi, ia ikut sarapan bersama keluarganya. Suasana meja makan masih seperti biasanya, kehadirannya gak pernah dipedulikan. Ada dan tiada sama saja. Di meja makan, ia hanya makan sedikit, seleranya lagi gak ada. Ketika ia ingin bangkit dari duduknya, papanya cepat mencegah.

“Sebentar, Maghda, Papa mau bicara!”

“Soal apa, Pa?” tanyanya heran, sebab ia gak pernah diajak ngobrol di meja makan.

“Gimana sekolah kamu? Apa kamu suka sekolah di situ? Papanya gak peduli dengan pertanyaannya.

“Tumben, nih, Pa. Gak biasanya Papa nanyain sekolah Maghda!”

“Gak ada gunanya, deh, Pa, nanyain anak ini. Papa dengar sendiri kan, ditanyai baik-baik malah bilang tumben. Sedikit pun ia gak ngargai Papa. Dasar anak gak tau diuntung.” protes mbaknya.

“Ya, tumben lah! Selama ini juga gak ada yang peduli ama aku. Sebenarnya apa, sih salah aku hingga diberlakukan kek begini? Kalau emang aku gak diinginkan, apa aku pernah minta dilahirkan? Gak, kan? Atau mungkin aku hanya anak pungut atau adopsi?” kata Maghdalena getir.

“Maghda...!!!” teriak papanya keras sambil memukul meja dengan kerasnya. “Jaga mulut kamu atau kamu papa tampar!”

“Silakan, Pa! Tampar anak kurang ajar ini! Materi emang gak masalah bagi keluarga ini, tapi bukan itu yang aku harapin. Biarlah semua serba kekurangan asal ada setetes cinta dan kasih sayang. Aku gak butuh keegoisan, kesombongan apalagi kemunafikan dalam dada kalian.” kata Maghdalena tambah getir.

Semua diam mendengar kata-kata Maghdalena dan berhenti menyuap nasi. Mereka tertegun mendengar kata-kata Maghdalena. Mereka gak nyangka, Maghdalena yang selama ini pendiam bisa bicara kek gitu.

“Hari ini aku udah tau semua setelah sekian lama aku menyimpannya. Semua yang ada di benak aku, kini jadi kenyataan dan semua udah terjawab. Aku bakal nurutin keinginan mama, Mas, dan Mbak. Aku bakal pergi dari rumah ini. Aku bakal cari tau siapa aku sebenarnya.” katanya bangkit dan berlari ke dalam kamarnya.

Dalam kamarnya, diambilnya tasnya, beberapa potong baju dan celana dimasukkan ke dalam. Uang saku yang baru beberapa hari diterimanya dan buku tabungannya dimasukkan juga.

“Maghda..., apa yang bakal kamu lakukan? Tetaplah di sini, Papa minta maaf. Selama ini Papa gak pernah peduli sama kamu, tapi Papa mohon jangan pergi.”

“Udahlah, Pa! Semua udah jelas. Aku juga tau diri, gak mungkin aku terus di sini sedang orang-orang di rumah ini gak suka. Mama aja gak peduli.” kata Maghdalena melangkah keluar kamar. Ia berhenti di samping papanya. “Maafkan Maghdalena selama ini, Pa,  jika umur Maghdalena pendek. Maghdalena gak bisa lagi tinggal di sini.” Ia terus melangkah setelah mengatakan kata-kata itu.

Dilangkahkannya kakinya keluar rumah. Ketika ia melewati pagar, dihapusnya air matanya dan ia melangkah menelusuri jalan yang entah sampai ke mana. Tanpa disadarinya, ia sudah berada di terminal bus. Diperhatikannya bus-bus yang berjejer di depan loket terminal.

Ia bingung, ke manakah ia akan pergi. Ke rumah Pak De, Tante, atau Paman, tapi ia berpikir, mungkinkah ia diterima dengan tangan terbuka di sana. Di saat bingung seperti itu, diingatnya rumah nenek di desa Jadul. Segera ditujunya loket bus yang berangkat ke sana. Tanpa pikir panjang, dibelinya sebuah tiket dan segara naik ke sebuah bus mini yang hampir penuh dan gak cukup lama, bus itu segera berangkat meninggalkan kota Hamburgas.

Di dalam bus, ia mengenal seorang ibu yang duduk di sampingnya.

“Mau ke mana, Nak?”

“Ke rumah nenek di Kampung Jadul, Bu!” jawabnya.

“Berarti kita sama-sama ke sana. Siapa nama nenek kamu?”

“Namanya Kusrinah, tapi orang sering memanggilnya dengan Mak Inah atau Nek Inah.”

“Oo..., kebetulan sekali, Mak Inah itu tetangga ibu.”

Selanjutnya mereka ngobrol panjang lebar soal Mak Inah. Obrolan itu membuat Maghdalena  lupa akan masalahnya yang coba disembunyikannya.

Tanpa terasa, akhirnya mereka sampai. Perjalanan panjang selama lima jam tak terasa. Keduanya turun di rumah ibu itu. Maghdalena membantu ibu itu mengangkati barang-barang ibu itu ke rumah yang berbentuk ruko itu.

Setelah selesai, ia pamit pada ibu itu dan berjalan ke arah belakang lewat jalan setapak yang ada di samping rumah ibu itu. Di sebelah kanannya terhampar sawah yang luas. Padi-padi itu hampir menguning. Seingatnya, sawah itu adalah milik neneknya, cukup luas, hampir tiga hektar. Menurut cerita neneknya, sawah itu adalah pembelian papanya Alfian, yang selama ini dipanggilnya sebagai papa. Tapi ia yakin, dokter itu bukanlah orang tua kandungnya.

Sampai di depan rumah panggung itu, dinaikinya tangga yang masih tetap kokoh dan sampai di teras rumah yang luas dengan kursi tertata rapi di sana. Di ketuknya pintu sambil mengucap salam.

Pintu terbuka, dilihatnya sepasang suami istri yang lanjut usia itu membukakan pintu. Dia segera sungkem pada keduanya. Dia segera masuk setelah dipersilakan keduanya.

Hari-hari selanjutnya dijalaninya di kampung Jadul, nama asli kampung itu adalah Desa Sukorejo. Nama Jadul itu hanyalah pemberian anak-anak kampung itu. Mereka menyebutnya jadul, karena tepat di samping jalan setapak itu ada tiang kecil yang terbuat dari semen dan bertuliskan KM 80.

Dalam istilah musik, angka 80 itu melambangkan era klasik. Lagu-lagu tahun 80-an itu disebut dengan tempoe doeloe. Jadilah kampung itu dengan sebutan Jadul. Entah siapa yang memulai dengan sebutan itu, namun akhirnya berkembang dengan pesat. Bahkan nama Sukorejo perlahan-lahan hilang. Hanya untuk urusan yang bersifat resmi dan bersifat pemerintahan saja nama itu dipakai. Selebihnya mereka menganggap nama Jadul yang mengarah ke kata cabul itu adalah nama yang pas. Bahkan pemuda desa telah mengusulkan nama Sukorejo diganti dengan Jadul. Namun pemerintah desa hanya menganggapnya sebagai angin lalu dan ide gila.

Gak terasa waktu begitu cepat berlalu, ninggalin semua yang terukir dengan indah dan pedih.

Dua setengah bulan sudah Maghdalena berada di Sukorejo, melewati hari-hari yang terus berjalan tiada henti. Musim panen telah usai. Di musim panen itu, adalah saat yang sangat membahagiakan baginya, ikut memanen padi, meski ia belum tau menyabit padi, bermain dengan lumpur dan akrab dengan anak kampung.

Memang melelahkan, tapi ia gak peduli dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Di kota ia gak bisa ngapa-ngapain, sebab semua bakal jadi bahan omelan. Sedangkan di desa ia bisa ngerjain semua, masak, nyuci, turun ke sawah dan semua membuatnya bahagia. Inilah yang diinginkannya selama ini, bekerja keras, disayang, diperhatikan dan diberi sedikit kebebasan hingga ia bisa jadi dirinya sendiri.

Kedua orang tua itu mulai curiga dengan kehadiran Maghdalena di desa, karena mereka tau seharusnya ia bersekolah.

“Sebenarnya kamu ini kenapa, Nduk? Kamu terlalu asyik di sini. Apa kamu ndak sekolah, ha?”

“Emang kenapa, Nek? Maghdalena senang, kok. Bisa bekerja dan ngelakuin sesuatu. Punya kesempatan untuk jadi wanita yang sebenarnya.”

“Maksud kamu, opo Nduk?”

“Ya..., di sini aku bisa kerja, dari masak, nyuci dan ngerjain semua. Kalau di sana, semua yang aku kerjai selalu salah di mata mereka. Apa kakek dan nenek ndak senang liat aku bahagia atau kakek dan nenek keberatan aku di sini.”

“Bukan begitu, Nduk...” jawab kakek. “Kamu, kan seharusnya sekolah. Jangan-jangan Papa kamu ndak tau kamu di sini. Apa yang sebenarnya terjadi, Nduk? Kami ndak marah kamu tinggal di sini, malah kami senang, ndak kesepian di sini.”

“Ceritakan saja, Nduk, apa yang terjadi! Teman-teman kamu pasti sudah sibuk nyari kamu.”

“Biarkan saja, Nek!” katanya mengalihkan wajahnya ke televisi. Kembali diarahkannya pandangannya pada kedua orang tua itu. “Kek...Nek..., sebenarnya Maghdalena anak siapa, sih?”

“Lha, kok nanya gitu, Nduk? Ya..., anak Fian. Kamu itu cucu kami.”

“Ndak mungkin, Kek...Nek...! kenapa mereka seolah gak pengen aku ada di situ. Ibu macam apa itu, kok dia senyum dengar aku mau pergi. Apa seperti itu sikap seorang ibu liat anak perawannya minggat. Kakak dan mbak seolah bicara, kenapa ndak dari dulu aku pergi.”

“Lha, kok jadi gitu, Nduk? Padahal waktu kecil ibu kamu paling sayang sama kamu.”

“Katakan saja, Kek! Siapa orang tua Maghda sebenarnya? Maghda gak percaya kalau mereka orang tua Maghda.”

“Sudahlah, Nduk! Kamu tidur saja, semua pasti baik-baik saja. Suatu saat ibu kamu pasti sadar, apa yang dilakukannya itu salah.”

Dengan perasaan kecewa, ia bangkit dan berjalan ke kamar. Sampai di kamar, ia teringat pada Bayu, Lucky, Aida dan Melani, juga sebuah impian yang mereka bangun bersama The Parlement. Dia balik keluar dan buka pintu depan.

“Mau kemana kamu, Nduk?”

“Ke depan, Kek, mau beli amplop buat ngirim surat ama teman-teman sekolah!” jawabnya sambil keluar.

Dia pergi ke kedai milik ibu yang pertama dikenalnya dalam bus waktu ia datang ke kampung Jadul. Di situ ada beberapa pemuda dan pemudi nongkrong sambil main gitar.

“Hai semua! Lagi asyik main gitar, ya?” tanyanya berbasa-basi.

“Eh, Maghda. Iya, nih! Gabung yuk sambil nyanyi bareng. Dengar-dengar gosip, kamu pandai nyanyi.”

“Cuma gosip.” balas  Maghdalena sambil duduk di tempat kosong, di samping laki-laki yang main gitar.

“Kamu kok jarang keluar, padahal kita di sini kok tiap malam.”

“Males saja, Bang, soalnya gak biasa.” balasnya. “Boleh pinjam gitarnya, Bang?” tanya Maghdalena setelah lagu yang mereka nyanyikan abis.

“Emang bisa?”

“Lumayan! Kebetulan pernah belajar di sanggar musik.” katanya menerima gitar yang disodorkan.

“Kalian bisa nyanyi Munajat Cinta-nya The Rock?” tanyanya sambil memperbaiki stelan senar gitar.

“Bisa ...!” jawab mereka.

Maghdalena pun memainkan gitar diiringi nyanyian mereka.

“Permainan kamu bagus banget. Bang Seno aja masih kalah.” puji seorang cewek setelah lagu selesai.

“Iya, nih! Gak nyangka banget, lho, kamu sehebat itu. Apalagi suara melodynya.”

“Kalau sering-sering latihan, kek gimana pun begonya, akhirnya bisa juga, kan.”

“Latihan apa?”

“Ngeband, Bang!”

“Oo..., pantaslah! Anak band kamu rupanya. Nama grupnya?”

“The Parlement!”

“Keren juga namanya, kek The Rock. Gitaris apa vokalis?”

“Melody!”

“Pantasan libasan melodynya nonjol amat, atraktif lagi.”

“Udah, ya. Aku cuma mo beli amplop, nih. Mo bikin surat ama teman-teman aku. Ibu itu ada?”

“Ada! Masuk aja!”

“Bu...! Bu...!”

“Ya...!”

“Amplopnya satu, Bu, yang besar.”

“Buat apa amplopnya, Neng?”

“Ngirim surat ama teman-teman di sekolah, Bu, sekalian rokoknya sebungkus, Bu.”

“Rokok apa?”

“Class Mild!”

Ibu itu nyodorin amplop dan rokok itu pada Maghdalena. Maghdalena menerima sambil menyodorkan pula uang dua puluh ribuan. Setelah menerima uang kembalian ia keluar.

“Bang, rokoknya diterima, nih!” kata Maghdalena menyodorkan rokok itu.

“Lho, kok repot-repot segala, Dek?”

“Gak repot, kok, Bang, cuman kebetulan ada uang lebih.”

“Aduh, jadi gak enak, nih!”

“Gak papa, anggap saja sebagai tanda persahabatan.” balasnya.

“Kalau gitu, Abang terima, nih. Makasih, ya!”

“Sama-sama. Pamit dulu, ya, Bang!” katanya berlalu.

Di rumah, Maghdalena langsung ke kamarnya, di situ ia menulis surat untuk sahabat-sahabatnya di The Parlement.

Pagi sekali ia sudah bangun dan langsung beresin kamarnya. Selesai itu, ia ke dapur gantiin nenek yang sedang masak.

“Nek, bus ke kota biasanya lewat jam berapa?”

“Kamu mau pulang, Nduk?” balik neneknya yang bertanya sambil berharap cucunya menjawab ya.

“Mau pulang ke mana, Nek? Aku cuman pengen nitip surat buat teman-teman di sekolah.

“Kamu gak boleh begitu, Nduk. Kamu mestinya bersyukur punya orang tua seperti Fian dan Sri.”

“Gak, Nek! Maghdalena gak bisa mensyukurinya, sebab selama ini, Maghdalena hanya ngerasa tertekan. Kekayaan bukan jaminan untuk kebahagiaan.” balas Maghdalena. “Kalau memang nenek gak suka aku di sini, ndak apa. Aku akan pergi, tapi bukan ke rumah Papa Fian. Aku akan pergi ke manapun sampai aku tau siapa orang tua Maghdalena sebenarnya.”

“Kamu ndak usah pergi, Nduk. Kamu itu perempuan.”

“Kalau perempuan kenapa, Nek? Perempuan juga harus kuat, Nek. Ndak boleh lemah dan selalu nerima welas kasihan orang lain.”

Nduk, kamu gak boleh pergi kalau ndak ke rumah Fian. Nenek ndak kasih ijin. Kalau kamu mau tinggal di sini, tinggallah selamanya.” balas neneknya sambil memegang pundaknya.

“Untuk apa, Nek? Kalau kakek dan nenek ndak rela nerima aku di sini. Mending aku pergi, toh.”

“Ndak, Nak. Kakek dan nenek rela sekali kamu tinggal di sini. Jangan pergi, ya, Nduk.” balas neneknya memeluknya.

Maghdalena gak mampu menahan air matanya mengalir. “Aku ndak akan pergi, Nek.” balasnya menenangkan orang tua itu, pelukan mereka pun merenggang.

“Kamu janji, ya?”

“Ya, Nek. Maghdalena janji.”

“Ya, sudah. Ayo sana, nanti busnya keburu lewat, biasanya jam segini sudah lewat, mungkin sebentar lagi.”

Maghdalena segera beranjak menuju kamar mengambil surat yang semalam di tulisnya dan bergegas ke depan. Nenek berdiri dan mendekati suaminya di teras yang sedang minum kopi sambil menikmati tembakaunya.

“Kasihan anak itu, yo, Pak. Sepertinya ia tau apa yang sebenarnya terjadi. Apa kita kasih tau saja, ndak usah nunggu sampai ia mau menikah.”

“Iya, sebaiknya kita beri tau saja, tapi kita tunggu waktu yang tepat agar ia bisa nrimo kenyataan.”

Nenek tua itu hanya mengangguk mendengar perkataan suaminya, kemudian ia kembali ke dalam mengajak suaminya sarapan.

Tak berapa lama Maghdalena kembali dan segera ikut sarapan di meja makan.

“Kek, aku ikut ke ladang, ya.” katanya disela-sela suapannya.

“Ndak usah, kamu di sini saja. Kalau mau kerja juga, di sini saja bersih-bersih. Di ladang sepi, bisa berbahaya.”

“Ya sudah. Kerja di sini pun tak apalah, asal kerja. Tapi kalau ada buah jangan lupa ya, Kek.” kata Maghdalena menyudahi makannya.

Segera ia menyiapkan perlengkapan kakek dan neneknya sebelum berangkat ke ladang.

“Biar aku saja yang beresin, Nek.” katanya segera ketika melihat neneknya membereskan meja. “Kakek dan nenek sudah saatnya pensiun, menikmati hari tua dengan jerih payah selama ini. Kenapa mesti susah-susah, anak sudah pada berhasil, sawah luas, ladang ada, kiriman datang tiap bulan.”

“Kami ini petani, ndak ada istilah pensiun. Lagian kalau ndak kerja rasanya ada yang kurang, badan jadi meriang dan gelisah.”

“Ya, Maghda ngerti, Kek. Setidaknya dikurangi.” balasnya memberi saran. “Musim depan, Maghdalena ikut nyewa sawah, Maghdalena mau jadi petani saja dan netap selamanya di sini.”

“Jadi petani itu susah, Nduk. Lebih baik kamu sekolah saja.”

“Maghdalena pikir-pikir dulu, Kek!”

“Ya, sudah! Kami berangkat dulu.” kata kakeknya. “Ayo, Bu. Sudah terlalu siang, nanti diketawai di jalan.”

Keduanya segera turun dari rumah dan segera menuju ke ladang. Maghdalena pun segera memulai pekerjaannya dengan menyuci piring. Setelah nyuci piring,. Ia beralih ke pekarangan. Selanjutnya ia membersihkan rumah itu. Kamar kakek dan neneknya pun ikut dibersihkan dan ditata rapi. Ketika ingin keluar dari kamar, matanya tertuju pada sebuah gitar yang tergantung di balik pintu.

Segera diraihnya dan dibawanya keluar. Di luar, debu-debu yang menempel pada gitar itu dibersihkan. Dipetiknya gitar itu, tapi suaranya sudah sumbang karena sudah lama tidak terpakai.

Gitar itu diletakkan di atas meja dan kembali ke dalam. Semua pakaian kotor di bawa ke sumur dan di cuci.

Selesai mencuci, pakaian itu dijemur di halaman belakang. Ia mandi dan berganti pakaian, selanjutnya ia ke depan memperbaiki senar gitar tapi senar-senarnya tidak bisa lagi bisa dipakai, hingga ia menggantinya.

* * *

DUA setengah bulan, Bayu, Lucky, Aida dan Melani, kehilangan Maghdalena, sahabat mereka. Sebuah kabar pun belum mereka dapatkan tentang kepergian Maghdalena. Selama itu, mereka kehilangan semangat dalam ngejar impian mereka bersama The Parlement.

Waktu festival band yang pengen mereka ikuti tinggal beberapa bulan lagi. Orang-orang udah mulai ngomongin soal festival  itu meskipun waktunya masih beberapa bulan lagi. Bayu udah mutusin untuk gak ikut festival. Gimana mo ikut, latihan aja udah gak pernah serius.

Sejak kepergian Maghdalena, udah berulang kali mereka mendatangi dr.Alfian nanyain kabar dari Maghdalena. Tapi tiap kali mereka datangi, tiap kali pula mereka mesti nelan kekecewaan. Mereka udah ngasih saran ke dr.Alfian untuk ngelakuin sesuatu, semisal nyari dengan memasang iklan di surat kabar atau mohon bantuan pihak kepolisian. Namun jawaban dr.Alfian lebih ngecawain dari apa yang mereka harapin.

Dokter itu lebih ngutamain nama baiknya sebagai dokter yang dikenal baik oleh masyarakat ketimbang keselamatan dan keberadaan Maghdalena.

Dokter itu takut nama baiknya tercemar. Mana mungkinlah anak dr.Alfian yang terkenal baik bisa minggat dari rumah hanya karena hal sepele.

Mendengar jawaban itu, betapa geramnya Bayu. Ingin rasanya ia nonjok wajah dr.Alfian, namun dicobanya menahan emosi dengan menggigit bibirnya bagian bawah.

Dari jawaban itu, Bayu, Lucky, Melani dan Aida menyimpulkan kalau Maghdalena bukan anak dr.Alfian. ketika mereka menyampaikan hal itu pada kepala sekolah dan wali kelas mereka. Hingga kedua guru itu melarang mereka untuk terus mengonfirmasikan segala hal tentang Maghdalena pada dokter itu.

Waktu istirahat hari ini tidak di sambut dengan baik, sama seperti dua bulan terakhir ini. Mereka merasa ada yang hilang dari sisi mereka, sesuatu yang pernah dekat telah lepas dari tangan dan mengucur lewat sela jari-jari mereka. Namun hari ini mereka sangat merindukannya kembali.

Sesaat nama Bayu dipanggil dari pengeras suara untuk mengambil sebuah surat di meja piket dalam kantor guru.

“Maghdalena...!” secara spontanitas Bayu menyebut nama itu dan setengah berlari ia keluar dengan guratan harapan  yang terlukis di wajahnya. Ia berharap itu kabar dari Maghdalena.

Lucky, Melani dan Aida segera mengikuti Bayu. Di depan kantor guru Bayu sedang berdiri menatap surat itu dengan sedikit kecewa, tanpa nama pengirim.

“Buka saja, Yu! Siapa tau dari Maghdalena, kan.” Aida memberi saran.

Bayu segera membuka amplop dan mengeluarkan surat itu. Dengan hati berdebar, ia membuka lipatan surat itu dan mata mereka serempak melihat ke akhir surat, dan harapan mereka terkabul. Nama Maghdalena  tertera di situ beserta tanda tangannya. Mereka menuju ruangan kelas, dan di sana mereka membaca surat itu bersama.

........................................................................................................................................

Dear The Parlement

Sobat-sobat gue yang tercinta, salam de djombloer’s buat lo semua.Bayu, Lucky, Aida ’n Melani tersayang.

Maafin gue yang udah ninggalin lo semua gitu aja, ninggalin The Parlement, tanpa satu pesan hingga hari ini hampir tiga bulan berlalu. Gue tau, lo semua udah pasti kecewa ama gue, karena gue pergi gitu aja. Seolah gak peduli dengan kehadiran gue di antara impian yang kita bangun bersama The Parlement. Sekali lagi maafin gue. Bukannya gue gak suka jadi bagian The Parlement. Jangan salah paham dulu, bendera The Parlement masih berkibar dalam sanubari kek gitu juga dengan semangat itu. Mungkin tanpa semangat itu, hari ini gue udah musnah.

Kepergian gue hanyalah bentuk pengembaraan batin yang mencari sebuah bukti terciptanya gue ke dunia ini. Sebuah jati diri yang mungkin harus kita miliki atau setidaknya kita ketahui meskipun nantinya adalah aib, tapi setidaknya gue tau siapa gue.

Seperti liriknya Dewa 19 pujaan kita dalam lagunya yang berjudul Kirana dalam album Pandawa Lima itu tepat buat gue....

... 

Lusuh lalu tercipta...mendekap diriku 

Hanya usung sahaja...kudamba kirana

Ratapan mulai usang...nur yang ku mohon

Kuingin rasakan cinta

Manis seperti mereka

 

Ayah bunda tercinta...satu yang tersisa

Mengapa kau tiupkan... nafasku ke dunia

Hidup tak kusesali...mungkin kutangisi

Kuingin rasakan cinta

...

Begitulah kenyataan yang gue hadapi. Dari syair itu, timbul pertanyaan yang gue gak tau siapa yang bakal ngejawabnya. Anak siapakah Maghdalena Setiawan? Sementara semuanya hanya bisa membisu, hanya desiran angin yang menggoyangkan dedaunan yang berbunyi, yang bersuara. Tapi suara-suara itu gak mampu menghimpun sebuah jawab yang gue impikan. Sebenarnya gue gak bisa ngerti pesan apa yang tersirat di desiran angin, pesan apa yang tersirat di detak detik jarum jam, pesan apa yang tersirat di antara tetes-tetes air hujan, pesan apa yang tersirat dalam kelam, pesan apa yang di bawa ombak yang tiada henti bergulung.

Mungkin dr.Alfianyah Hermanto SPKs yang terhormat itu, gak pernah ambil pusing dengan semua ini. Nama baik dan reputasi mungkin lebih penting baginya. Gak mungkin banget, kan, anak seorang dokter yang terkenal baik pada semua orang, ramah, sopan, santun dan ngerti segala kondisi pasiennya, minggat dari rumah hanya karena hal sepele.

Dari syair tadi, kadang gue kepikiran, mungkin gue hasil zina, lantas setelah lahir gue dibuang begitu aja

...

Ayah bunda tercinta...satu yang tersisa

Mengapa kau tiupkan...nafasku ke dunia

Hidup tak kusesali...mungkin kutangisi

...

Bisa kalian bayangin, ketika gue mutusin pergi, gak sedikit pun mama ngelarang atau ngerasa cemas dan saudara-saudara gue malah ngulum senyum, seolah mereka ngarapin hal ini sejak dulu-dulu.

Kini teka-teki itu masih belum sanggup gue pecahin. Gue terpaksa ngadapi dengan senyuman, kek lagunya Dewa 19 itu....

...

Hadapi dengan senyuman

Semua yang terjadi biar terjadi

hadapi dengan tenang jiwa

semua ‘kan baik-baik  saja

 

Bila ketetapan Tuhan sudah ditetapkan

tetaplah sudah

tak ada... yang bisa merubah...

dan takkan... bisa berubah

 ...

Sobat-sobat, sebenarnya gue kangen banget ama kalian dan pengen pulang, tapi gue gak tau pengen pulang ke mana. Sebab gue udah janji, gak bakal nginjak rumah Papa Fian lagi.

Gue harap ama lo berempat untuk ngejar impian yang kita bangun meski tanpa gue sekalipun. Gue janji, suatu saat gue bakal balik pada The Parlement.

Teruskan berlatih, sebab festival itu adalah langkah awal. Gue yakin banget ama kemampuan lo semua. Dan satu yang cukup membang-gakan dari The Parlement, jika mas Dhani Ahmad Prasetyo sampai ngajak kita jadi anggota RCM, tentu kita gak bakal nolak.

Okey, sobat-sobat, saat ini lo gak perlu nyemasin gue. Gue sehat dan dalam keadaan aman.

 

 

Salam de’Djombloer’s

Dari sobat kalian

 

Maghdalena Setiawan

........................................................................................................................................

 

Bayu dan sobat-sobatnya terharu dengan masalah yang dihadapi Maghdalena. Aida dan Melani sempat netesin air mata, tapi segera menghapusnya ketika Bayu dan Lucky menoleh mereka.

“Kasihan Maghdalena!” ujar Aida mendesis.

“Lo benar. Kasihan dia!” balas Bayu ngangguk sambil memegang bahu Aida.

Keempatnya hanya bisa pasrah menerima kenyataan itu. Kenyataan yang teramat pahit bagi mereka. Sobat yang udah ikut ngebangun keutuhan The Parlement mesti pergi nyari jati diri, hingga demi itu semua terkorbankan.

“Apa rencana kita sekarang? Semuanya buntu, gak ada yang begitu pasti buat diselesaikan. Bantu dia, kita gak tau dia di mana.” kata Lucky.

“Ya..., kasihan dia! Gadis secantik dia, yang baik, ramah dan penurut malah ngadapi ujian sebesar ini.” kata Melani. “Orang dewasa aja belum tentu sanggup ngadapi masalah kek begini.”

“Hei..., surat dari siapa barusan?” suara Sheila yang tiba-tiba terdengar bikin lamunan mereka buyar. Prasetyo mengikuti dari belakang.

“Kebetulan banget, Kak, kalian datang. Nih, baca dulu suratnya.” kata Bayu nyodorin surat dari Maghdalena.

“Langkah pertama yang kita lakukan adalah nyari tau di mana dia berada.” usul Sheila setelah baca surat itu.

“Caranya?” tanya mereka serentak.

“Minta amplopnya!”

“Gak ada, Kak!” kata Bayu sambil nyodorin amplop itu.

“Sekarang kita ke depan!” balas Sheila setelah nerima amplop itu.

“Ngapain?” tanya mereka.

“Ya, usaha.”

“Usaha apaan?”

“Usaha kecil-kecilan.” balas Sheila bercanda. “Eh, dengar dan perhatikan baik-baik, jangan ntar ditanya pada nggak tau. Surat ini bukan dari pos karena gak pake prangko, kalau bukan dari pos berarti titipan. Pertanyaannya, siapa yang nitipin?”

“Gak tau!” jawab Aida cepat.

“Makanya, jangan asyik mikir. Kalau gak usaha, gak bakal pada tau semua sampai kapan pun. Sekarang ikut ke depan nanyain satpam, soalnya cuman dia yang tau.” terang Sheila. Keterangan Sheila membuat mereka bergegas mengikuti Sheila.

“S’lamat siang, Pak!” sapa Prasetyo pada kedua satpam yang lagi asyik main catur.

“S’lamat siang, Prast. Ada apa, nih, rame-rame, kek mo demo aja. Emang ini kantor Komnas HAM, apa?” tanya satpam yang bertubuh tegap.

“Bercandanya ntar aja, Pak. Kami mo konfirmasi, nih, sama bapak. Tadi ada surat yang datang, tapi bukan dari pos, soalnya gak pake prangko, jadi otomatis titipan. Bapak ingat gak siapa yang nitipin?”

“Ooo..., itu. Bang Risman yang nitipin kemari, sopir Perkasa Ekspress Travell itu.”

“Kalau gitu ma kasih banget, Pak, kami cabut dulu.” kata Prasetyo ngajak teman-temannya.

“Sekarang tinggal nanya Bang Risman dan selesai urusan pertama.” ujar Sheila.

“Kakak benar. Tapi soal permintaan kalian untuk acara lulus-lulusan kayaknya kami gak bisa. Sorry banget, waktunya udah kepepet. Coba kalau Maghdalena gak pake acara minggat.”

“Udah, soal itu gak usah dibahas. Jangan salahin dia, ini cuman faktor gak nasib aja. Kalau pun dia gak pake acara minggat, yang namanya gak nasib pasti ada-ada aja halangannya. Dewi Fortuna lagi married kali tahun ini.” balas Prasetyo.

“Eh, pacar Dewi Fortuna, kan gue.” balas Bayu.

“Iya, tapi bokap ama nyokapnya gak setuju ama lo. Jadi, deh, dia married ama Datuk Meringgih.”

“Gak boleh dibiarin, nih.”

“Telat, lo. Dewi Fortunanya udah sempat hamil. Mending sekarang lo mikirin Maghdalena. Ntar lagi kalian mo semesteran, nih.”

Bel akhirnya bunyi, Prasetyo ama Sheila langsung ke kelasnya III IPA 2 yang ada di pojokan sekolah. Sedangkan Bayu ama yang lain menuju kelas I2.

Di saat ngikuti pelajaran, mereka gak sanggup musatin perhatian ke pelajaran. Angan mereka melayang pada Maghdalena. Mereka pengen sekali nanya Bang Risman, di mana gerangan Maghdalena berada.

Tapi dasar sial, menunggu emang ngebosnin dan waktu sejam rasanya setahun. Udah beberapa kali mereka ditegor guru yang ngajar di depan kelas. Padahal mereka satu pelajaran lagi yang masuk sebelum waktu pulang.

Bayu kelihatan udah gak sabar nunggu pulang. Hatinya mulai gelisah. Namun dicobanya juga berkonsentrasi ama pelajaran terakhir hari itu. Lama-lama dia bisa juga musatin perhatiannya ke pelajaran, tapi ujung-ujungnya larut juga ke dalam lamunannya.

Tanpa terasa, bel akhir sekolah akhirnya bunyi juga.

“Hore...!” Bayu segera kegirangan sambil berdiri dan mengangkat kedua tangannya.

Kelakuan aneh Bayu itu membuat puluhan pasang mata teman-temannya tertuju padanya. Lucky yang berada di sampingnya terkejut dan heran lihat tingkah Bayu kek anak SD.

“Bayu Ardi Nugraha!”

“I...ya, iya, Bu!” balas Bayu gugup.

“Coba maju ke depan!”

Dengan gugup, Bayu maju ke depan dengan perasaan yang gak nentu.

“Kenapa kamu menjerit kegirangan saat bel berbunyi?” interogasi guru Ekonomi itu.

Bayu hanya bisa diam ngedengar pertanyaan guru itu. Dia gak bisa jawab pertanyaan itu, karena ia juga gak tau kenapa ia mesti menjerit.

“Kenapa diam kamu? Ayo jawab!”

“Maaf, Bu. Saya tidak sengaja. Saya juga tidak mengerti, kenapa saya menjerit, mungkin hanya refleks dan spontanitas.” Bayu berdalih.

“Refleks dan spontanitas, ya? Tapi kenapa hanya kamu yang refleks dan spontanitas, yang lain tidak? Memangnya kamu sedang melakukan apa?” guru itu memburu Bayu dengan pertanyaan.

“Maafkan saya, Bu. Saya tadi melamun.” jawab Bayu tetap menunduk.

“Melamun? Jadi, dari tadi kamu hanya melamun? Melamunkan apa?”

Bayu gak langsung menjawab, dia mencoba mencari alasan untuk gak ngutarain apa isi lamunannya pada guru Ekonomi yang gelis pisan itu, masih single, jomblo lagi.

“Apa yang kamu lamunkan Bayu?” tanya guru itu setelah gak dengar jawaban Bayu. “Pacar kamu?” tanyanya lagi karena ia tau Bayu gak pengen nyeritainnya. “Siapa, ya, gadis malang yang hanya punya tempat dilamunan Bayu? Atau, jangan-jangan kamu malah lamunin Ibu jadi pacar kamu? Langsung saja lamar pada orang tua ibu.” kata guru itu lagi. “Kamu itu ketua kelas, seharusnya memberi contoh yang baik, ini malah melamun saat belajar. Bagaimana nanti teman-teman kamu ikut melamun, hingga kelas ini cocok diberi julukan pemurah – pemuja rahasia. Ini pake acara menjerit lagi seperti anak SD. Sekali lagi jangan ulangi!” peringat guru itu sambil nyubit perut Bayu yang keroncongan.

“Iya. Adaw..., sakit, Bu!”

“Biar. Ayo duduk sana!” perintah guru Ekonomi itu. “Minggu depan kita ulangan, jadi persiapkan diri kamu. Sekarang kita pulang. Selamat siang!” kata guru itu keluar.

Seluruh siswa membalasnya dan berhamburan keluar ruangan. Bayu masih memberesi peralatannya.

“Waktu orientasi, lo sok jadi pejantan tangguh, terus sekarang jadi pemuja rahasia. Ha...ha..., dasar lo, Yu.” celetuk Aida.

Bayu yang diketawai hanya bisa ngulum senyum, sambil terus beresi alat-alatnya.

“Luck, ntar malam temani gue, ya, ke rumah Bu May”

“Ngapain?”

“Mo ngapain lagi, ya, mo lamar Bu May lah, lo gak dengar dia tadi nyuruh gitu. Cuma laki-laki bodoh yang nolak. Apa kurangnya Bu May, coba? Cantik, sopan, ramah, punya pekerjaan, hidup mapan, anak tunggal lagi. Bu May itu, cewek yang paling susah dicari tandingannya, deh.” Bayu terus ngoceh dengan percaya diri sambil ngadap ke belakang, tempat teman-temannya duduk.

“Jadi, Yu?” sebuah suara mengejutkan mereka. Serentak mereka noleh ke arah suara, dan... tiba-tiba Bu May udah berdiri di meja guru sambil meraih bukunya yang ketinggalan.

Mereka gak tau sejak kapan Bu May berada di ruangan kelas itu.

“Ha...ha...ha....!” tawa teman-temannya pecah lagi ketika melihat Bayu gelagapan tertangkap basah oleh orang yang diomongi Bayu.

“Rencana, sih, Bu!” kata-kata Bayu melompat begitu saja. Teman-temannya kaget mendengar kata-kata Bayu.

“Ye..., pake rencana lagi, kelamaan, dong.” ledek Lucky.

“Dasar, lo, pemuja rahasia cap kuda terbang.” lanjut Lucky.

Yang lain hanya bisa tertawa mendengar ledekan Lucky. Bu May juga akhirnya ikut tertawa.

“Ibu tunggu nanti malam, lho, Yu.” kata Bu May sambil pergi.

“Insya Allah, Bu. Kalo gak ada halangan, mudah-mudahan Bayu datang.” balas Bayu akhirnya. Ia sebel dengar ledekan Lucky, namun ia gak bisa berbuat apa-apa selain ngucapin kata-kata tadi. “Gue bakal datang, Bu. Lihat aja!” kata Bayu dalam hati.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler