Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (05/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

LIMA

 

PAGI sekali, Bayu udah bangun. Dia sengaja bangun cepat untuk bersiap. Semalam sebelum tidur, ia keluar menuju rumah Bu May, ia udah ngasih tau soal kepergiannya bareng temannya ke Sukorejo menjenguk Maghdalena. Ia pun memperlihatkan surat izin dari kepala sekolah meskipun ia terpaksa berbohong kalo wali kelas ikut, tapi bohongnya gak ngerugiin siapa-siapa, hanya ngasih ketenangan pada kedua orang tuanya. Dan ia berjanji gak bakal bikin masalah.

Semalam, waktu apel ke rumah Bu May, ia merasa ada yang terpenuhi dalam perasaannya, rindu dan hal itu tanpa sungkan diungkapin terus terang. Jantungnya berdegub kencang ketika wajah Bu May bersemu merah mendengar ucapannya, meskipun diucapkan dengan setengah bercanda tapi tulus. Mungkin ketulusan itu mampu dibaca Bu May di wajah Bayu yang tenang dan perhatian.

Bayu jadi penasaran, seperti apa sebenarnya luka hati yang disembunyikan Bu May dalam hatinya. Ingin sekali ia mengobati dengan caranya sendiri. Udah beberapa kali ia ngarahin pembicaraan ke situ. Tapi, sekian kali pula Bu May ngalihin pembicaraan ke topik lain, hingga akhirnya Bayu nunda hal itu. Ia berpendapat, mungkin Bu May masih enggan nyeritain semua ke dia.

Namun, niat itu gak akan diabaikannya, sebab dengan mengetahui penyebabnyalah, luka hati itu bisa diobatinya. Dan keinginan itu semakin menggebu, sebab ia pengen kehadirannya bisa dimengerti dan bisa lebih berarti di hati sang guru. Ia gak peduli lagi jarak usia mereka, karena ia berpendapat: cinta gak sebatas suka, tapi lebih dari itu, cinta adalah kerelaan dan ketulusan yang benar-benar rela dan tulus. Dan Tentang Cinta Sejati milik Khalil Gibran adalah sebuah kenyataan baginya.

Pagi itu, senyum gurunya yang cantik itu masih ada di benaknya. Kalau ia gak akan pergi hari itu menemui sahabatnya, ia lebih milih kembali berbaring sambil menghayal, mengenang dua pertemuannya dengan Bu May.

Akhirnya ia menyambar handuk dan segera ke kamar mandi. Selesai mandi, dipakainya pakaian yang rapi, kemeja kotak-kotak dipadu ama celana jeans warna hitam. Sebelum keluar untuk sarapan, kembali diperiksanya ransel, takut ada yang ketinggalan.

Di ruang keluarga, ia nagih janji ama bokapnya dan ia beranjak ke meja makan untuk sarapan.

“Mbak punya duit, nggak?” tanyanya di sela-sela suapannya.

“Tinggal cepek limpul. Emang bokap gak jadi ngasih?”

“Jadi, sih. Tapi istilahnya biaya gak terduga, ya, siapa tau motornya lagi gak kompromi. Gini aja, Mbak. Bayu pegang aja duitnya, kalo emang gak kepake, Bayu balikin.”

“Boleh!” balas mbaknya beranjak ke kamarnya. Gak berapa lama, mbaknya kembali dan ngasih uang ke Bayu.

Bayu beranjak ke kamar ngambil ranselnya dan minta kunci motor ama kakaknya.

“Kak...Kak, kunci motornya mana?” tanya Bayu sambil menggoyang-goyang tubuh kakaknya.

“Itu, di samping komputer. Di laci ada duit, kamu ambil berapa yang kamu mau.”

“Waw, banyak banget! Berapa, nih? Sejuta, ya?” tanya Bayu nyeplak iklan ponsel Esia.

“Gak, 299 ribu!” balas kakaknya senyum sambil bangkit. “Itu honor nulis dan sekarang lagi ngerampungin novel untuk sayembara, hadiahnya lumayan, 10 juta dan laptop, uangnya lumayan buat modal nikah.”

“Udah kebelet rupanya, ya?”

“Gak juga, cuman ngargai usaha kamu.”

“Gak tulus banget kedengarannya!” balas Bayu. “Bayu punya terawangan baru, nih soal hubungan kalian. Tapi semua ada di tangan Yang Maha Kuasa.”

“Coba ceritain!”

“Gak nyesal, nih? Soalnya orang yang udah tau masa depannya bakal was-was, karena sedikit banyaknya bakal jadi beban pikiran juga, apalagi sedikit no happy.”

“Ceritain aja! Kalau emang no happy biar dicari solusinya.”

“Bayu udah siapin ama solusinya jadi pas satu paket. Semua ada di tangan kakak. Kak Aris mesti bersikap bijak ngadapi istri. Pernikahan mulus dan kalian pasangan sejati. Cuman bakal banyak kemelut. Solusinya, hindari adu mulut dan kakak gak boleh nyinggung masa lalu. Kalau kakak nyinggungnya, dia bakal ngira kakak gak tulus dan kalau gitu dia ngerasa gak dimengerti. Ingat kata Ada Band  karena wanita ingin dimengerti. Kakak ngalah aja, dari situ dia bakal ngerti, mesti tujuh kali di sakiti kakak maafin tujuh kali lagi. Satu lagi, jangan ngasari dia kalau emang gak pengen cerai.”

“Jadi pelengkap penderita, nih!”

“Bukan! Bukan pelengkap penderita. Asal kakak bisa ngertiin dia, kakak bakalan lebih berharga baginya. Karena dia udah pernah ngerasaain gimana hidup tanpa kakak, setelah ia didustai oleh laki-laki itu. Ini sebenarnya yang harus terus kakak tunjukin ke dia, tapi bukan untuk balas dendam.

“Thank’s banget, Yu. Semoga kakak bisa ngikuti saran lo.”

“Tapi jangan terlalu dipikiri, cuman terawangan sepihak dan semuanya ada di tangan Yang Maha Kuasa.”

“Ya, udah. Sekarang lo bersiap, ntar ditunggui lagi.”

“Baik, Kak!” balasnya berlalu dari situ. Di ruang keluarga, ia pamit pada kedua orang tuanya.

“Kapan pulang, Yu?” tanya nyokapnya.

“Mungkin besok, Ma. Soalnya perjalanan agak jauh, kalau dipaksakan, takut kemalaman di jalan.”

“Nginap di mana?” tanya bokapnya.

“Di rumah mertua Pak Han!”

“Oo..., kalau nginap di rumah orang, jaga kelakuan, ya. Jangan malas-malas. Kalau kerja jangan nunggu di suruh.”

“Baik, Ma. Bayu bakal ingat pesan Mama. Bayu pamit, ya.” katanya menyalami kedua orang tuanya. “Cecilia, sini dekat kakak dulu.” katanya pada adiknya yang berada di pangkuan papanya.

“Ada apa, Kak?” tanya adiknya yang centil itu masih di pangkuan papanya.

“Sini dulu! Udah sekolah, kok, masih dipangkukan Papa. Mau dibilang anak manja, ya, sama Walsito. Ih, malu dong, ah.”

“Bialin. Emang gue pikilin. Lagian dia siapa?”

“Anak Wak Kasim!”

“Semua olang juga tau, kalo Walsito anak Wak Kasim.”

“Sini dulu! Kakak mau pelgi, lho.”

“Ikut, ya!”

“Gak boleh, kakak mau jauh, ada acala sama teman-teman kakak.”

Adiknya akhirnya mendekat padanya. Dikecupnya kedua pipi adiknya.

“Jangan ngebut, ya, Yu! Helm dan jaket jangan lupa.” peringat papanya.

“O-i-a!” katanya sambil masuk lagi. Ia keluar dengan memakai jaket Army-nya sambil menuju ke dapur pamit sama mbaknya. Setelah itu ia ke depan, dikeluarkannya motor dan dinyalakan. Sambil menunggu mesin panas, ia memakai sepatunya.

Motor dinaikinya sambil pamit sekali lagi dan ngucapin salam. Dia sengaja lewat dari depan rumah Bu May, sebab dari situ rumah Aida lebih dekat. Di rumah Bu May, ia berhenti sejenak, ngobrol-ngobrol dan pamit lagi.

Di rumah Aida, ia berhenti dan segera Aida naik di belakangnya sambil make helm dan seketika motor melaju menuju sekolah menemui kepala sekolah dan Pak Han.

Di sana mereka ketemu ama Lucky yang udah stand by. Kak Prasetyo dan Kak Sheila juga ada. Setelah ngobrol sebentar, ketiganya pun pamit.

Kedua motor itu pun segera melaju dengan kecepatan sedang dan di pom bensin mereka berhenti untuk ngisi bensin dan lanjut lagi.

“Akhirnya kita bakal ketemu Maghdalena lagi, ya!” kata Aida.

“Ya, gue senang banget, lho. Gue pengen ngerayu dia habis-habisan biar dia mau balik bareng kita. Tapi sepertinya dia bakal nolak, sebab apapun alasannya dia gak bakal mau balek ke rumah dokter keparat itu.” kata Lucky geram. Ia begitu kesal bila ngingat dokter itu.

“Kalau dia mau, tinggal di rumah gue aja. Bokap pasti bersedia banget. Soalnya, waktu gue ceritain hal itu, dia simpatik banget dan masalah kepergian ini, dia ngedukung banget.”

“Mustahil juga, Da, kalian satu kompleks ama dokter terhormat itu.”

“Ah, boro-boro bilangin terhormat, Yu. Yang pastinya brengsek malah.” Lucky geram lagi.

“Tapi gue kesal juga ama Maghdalena. Apa salahnya, sih dia ngomong ke kita, minta solusi, yang pastinya bukan ngindar kek gini.”

“Ya, namanya aja orang kalut, Yu. Dia aja gak tau mo ngelakuin apa. Mungkin kalo gue yang ngalami, mungkin lebih parah dari sini kayaknya. Yang pastinya, di tempatnya yang sekarang dia bisa nyari jawabnya.”

“Kalau, ya, kenapa ampe sekarang di belum tau siapa orang tuanya?” tanya Lucky.

“Mungkin ada sesuatu yang mereka rahasiakan dan belum saatnya dikasih tau atau mereka sengaja menutup-nutupi.” bela Aida.

“Buat apa? Itukan hak dia buat tau siapa bokap nyokapnya. Untuk apa ditutup-tutupi, sedangkan semua udah nyata, kalau dia bukan anak dokter sialan itu.” Lucky tetap geram, setiap kata dokter keluar dari mulutnya selalu ada embel-embel sialan, keparat, etc, etc, etc.

“Mungkin pesan kedua orang tuanya emang gitu.” kata Bayu mengira-ngira.

“Tapi sesakral apapun perjanjian itu, suatu saat bisa diabaikan. Kesakralan itu bakal keliatan gimana ia nerima kenyataannya. Kalau ia sanggup, kesakralan itu bakal berdampak buruk. Liat sekarang, dia udah nelantarin semuanya. Mungkin kalau ia tau, beda lagi ceritanya, siapa nyangka kan akan numbuhin semangat baru baginya dengan berbagai petimbangan. Dia itu cewek yang ambisius, gak mudah nyerah. Kalau pun orang tuanya pembunuh, tahanan politik, pezina sekalipun, setidaknya ia bakal ngejadiin ini sebagai motivasi dengan alasan, anak pembunuh gak selamanya jadi pembunuh pula, anak tahanan politik gak selamanya pula jadi pengkhianat bangsa dan anak pezina gak selamanya jadi pezina pula.” jelas Lucky panjang lebar.

“Lo benar. Tapi gue mohon sama lo, jangan pernah singgung masalah anak zina lagi. Gue gak suka!” balas Bayu.

“Eh, ada kios tuh. Mampir dulu beli bekal sekalian foto bareng. Gue bawa kamera, nih.” kata Aida yang hobi fotografer.

Ia takut perdebatan Bayu dan Lucky bakal nimbulin kesalahpahaman lagi antara keduanya. Keduanya udah pernah berantem gara-gara Maghdalena dan hari ini bukan gak mungkin terjadi hal seperti itu lagi.

Keduanya menuruti permintaan Aida dan masuk ke halaman kios itu. Keduanya ngerti maksud Aida, untuk ngindari perdebatan mereka soal Maghdalena yang kian memanas.

“Rame juga di sini. Banyak perumahan dan di seberang jalan, hamparan sawah. Enak dong tinggal di sini.” gumam Aida sambil turun dari motor Bayu.

Bayu dan Lucky segera masuk ke dalam kios beli biskuit, minuman kaleng, aqua, juga buah jeruk. Sementara Aida segera membidik tempat-tempat bagus dengan kameranya yang bermerek Canon Eos Tipe 350D keluaran baru, harganya sekitar lima jutaan.

Bayu dan Lucky segera mendorong motor ke tempat Aida yang asyik membidik beberapa fokus yang akan diabadikannya. Bayu manggil orang yang kebetulan berada di depan kios. Aida segera ngasih tau gimana cara make kameranya pada orang itu. Beberapa kali mereka di shot orang yang disuruh Bayu. Akhirnya mereka ngelanjutin perjalanan setelah ngucapin terima kasih sama orang yang mereka minta tolong.

Seketika terdengar ring back tone Mistikus Cinta di kantong Aida.

“Halo, Pa!” sapanya setelah melihat layar ponsel dan papanya yang calling.

“Halo! Gimana, asyik gak jalan-jalannya?” tanya papanya.

“Aida gak jalan-jalan, kok. Kan udah bilang sama papa mo ke Kampung Jadul nengok Maghdalena.”

“Ya, papa tau. Tapi sekalian jalan-jalan juga, kan?”

“Iya, sih. Tapi niatnya gak gitu.”

“Ya. Udah nyampe mana, nih?”

“Masih dekat, kok. Baru kilometer 25.”

“Kok, lama banget?”

“Nyantai aja,kok. Kita gak ngebut.”

“Baguslah kalo gitu.”

“Pa, boleh gak kita balik Minggu? Plis, deh, Pa!”

“Boleh. Tapi Senin gak boleh libur lagi.”

“Oke, Pa. Thank’s banget, Pa.”

“Iya. Hati-hati!”

“Iya, Pa!”

“Tut...tut...tut....” hubungan terputus.

“Siapa, Da?” tanya Lucky.

“Bokap. Dia ngasih izin balik Minggu.”

“Minggu? Yes, asyik dong! Kita bisa puas-puasin ngerayu Maghdalena untuk ikut.” kata Bayu.

“Ya, tapi motor lo milik Kak Aris. Apa dia kasih izin?” balas Lucky.

“Kak Aris orangnya mudah diajak kompromi.” jawab Bayu.

Ketika mendekati persimpangan, Aida menyuruh lurus. Mereka terus melaju di jalan dengan kecepatan yang sedikit dipercepat, karena jalanan sepi dan gak berliku.

Sudah hampir dua jam mereka melaju, namun mereka belum sampai setengah perjalanan. Akhirnya Bayu semakin mempercepat laju motornya. Tak berselang lama, laju motor kembali dipercepat dan mereka sudah melewati setengah perjalanan.

Bayu menghentikan laju motor dengan perlahan sambil menyalakan lampu samping sebelah kiri.

“Kenapa, Yu? Ada yang rusak?” tanya Lucky mendekat.

“Gak, kok, kita break dulu. Ada panorama indah, nih, kayaknya. Ini objek yang bagus untuk fotografer kita. Sayang banget, kalo gak diabadikan.” jawab Bayu sambil membuka helmnya.

Mereka melangkah  ke pinggir sungai. Di situ Aida buka bekal dan menyiapkan untuk Bayu dan Lucky. Abis itu ngeluarin kameranya dan segera membidik tempat-tempat indah.

“Ada orang, tuh, keliatannya anak sekolah, mungkin dari SMA. Kita panggil nggak, biar bisa bantu nge-shot, sekalian gabung dan kenalan.

“Ya, Da, panggil aja.” teriak Lucky yang ada di dalam sungai, sedangkan Bayu membaringkan tubuhnya di bawah kelapa sawit.

Dengan sedikit basa-basi, Aida berhasil ngajak orang itu berhenti dan gabung.

Bayu segera bangkit dan ngulurin tangannya, ketika anak sekolah itu tiba di dekatnya.

“Kenalin, Mas, gue Bayu, ini Aida dan ini Lucky.” kata Bayu ngenalin diri dan kedua sobatnya.

“Gue Abraham, ini Carlos, ini Diana dan ini Sasri, kami anak SMA Tarem.” balas laki-laki yang bernama Abraham sambil menerima jabat tangan Bayu. Semua akhirnya saling bersalaman dan kembali menyebut nama masing-masing.

“Hari ini kan libur, kok pada sekolah?” tanya Aida.

“Kami liburnya besok, biar nyambung ama Minggu. Jadi teman yang kost-kosatan di sana bisa pulang.”

“Kalian sekolahnya di mana? Masih pada sekolah, kan?” Carlos ikut nanya.

“Masih. Kami sekolah di SMA Pelita Bagsa.” jawab Bayu.

“SMA Teladan, dong. Trus, pada mo kemana? Kek mo hijrah aja, pake tas gede-gede gini?” Diana ikut nimbrung juga.

“Mo ke kampung Jadul, liat teman yang minggat dari rumah. Udah hampir tiga bulan gak ada kabarnya dan pas dapet kabar udah di sana aja.” balas Lucky.

“Sebenarnya bukan Kampung Jadul, tapi Desa Sukorejo. Hanya karena tiang Km 80 itu saja.”

“Eh, Da, bagilah bekalnya ama teman kita ini!” kata Bayu sambil menyodorkan biskuit.

Aida ngeluarin coca cola kaleng dari plastik. “Silakan, Mas!”

“Gak usah repot-repot amat, deh.” balas Abraham meraih biskuit yang di sodorkan Bayu.

Suara RBT Munajat Cinta berbunyi. Abraham merogoh kantong celananya dan menjauh. Gak berapa lama ia udah balik.

Bayu segera nawarin tukaran nomor, Abraham menyetujuinya, Aida juga ikut-ikutan.

“Sekolah kalian di pasar, ya?” tanya Lucky pada yang lain, yang gak ikutan tukaran nomor.

“Ya, kira-kira seratusan meterlah dari pasar. Kalau kampung kami, simpang tadi belok kiri dari sini, namanya Sukorame Kanan yang ke kanan Sukorame Kiri.”

“Tapi satu kepala desa, kan?”

“Nggak. Jalan ini sebagai batasnya dan sekarang kita lagi di Sukorame Kiri.”

“Rame yang mana?”

“Kanan. Di situ ada SMP juga. Kalo Sukorame Kiri sekolah SMP ke tempat kami dan kalo SMA ada yang ke Hamburgas ada juga yang ke Tarem.”

“Tapi banyak ke Tarem ketimbang ke Hamburgas kali, ya? Soalnya dekat.”

“Ya, lagian ada bus sekolah yang antar jemput.”

“Enak, dong!”

“Bayarnya enak juga, lho. Sebulan lima puluh ribu.” jawab Abraham sambil ngeluarin rokok dari tasnya. Kedua teman baru mereka itu merokok, Abraham segera nawarin ke Bayu dan Lucky.

“Kita gak ngerokok. Kita punya perjanjian dalam grup band, gak boleh ngerokok, ngonsumsi Narkoba, miras dan seks bebas.” jawab Lucky.

“Kalau narkoba, miras dan seks bebas, nggak, kok. Tapi kalo gak ngerokok gak gaul.” balas Carlos.

“Gaul gimana? Kalo udah penyakitan gimana mau gaul? Tapi jangan kesinggung, ya. Emang soal ngerokok ini individu banget. Sensi banget ama perasaan. Gak jarang orang bubaran cuma gara-gara si cewek ngelarang cowoknya ngerokok.” balas Aida. “Kalau kami pacaran aja dilarang selama SMA dan gabung di grup band.” sambung Aida.

Hati Bayu jadi cemas ketika mendengar kata-kata Aida barusan. Soalnya, hubungannya ama Bu May semakin akrab dan udah bisa dibilang pacaran. Senyuman manis dan kerlingan mata itu kembali diingatnya. Jiwanya serasa melambung tinggi ke atas awan yang penuh warna-warni.

“Wah, berat juga, dong, kalo gitu. Mungkin gue gak sanggup. Mending hengkang aja dari grup band.” balas Diana.

“Awalnya emang gitu, tapi kita semua yakin kalo pacaran itu kek teorinya Mas Slamet Rahoyo penting tapi gak mendesak.” balas Aida pula.

“Nama bandnya, apa?”

“The Parlement!”

“Keren juga, kek The Rock, gitu.”

“”Ya, kita emang penggemarnya Ahmad Dhani.” balas Lucky.

Bayu akhirnya minta bantuan teman-teman baru mereka untuk men-shot mereka di dalam sungai. Mereka segera buka sepatu dan masuk ke sungai meloncati bebatuan yang besar-besar. Setelah Abraham bersedia men-shot mereka dengan kamera Canon Eos-nya Aida.

Kamera  itu segera dibidikkan kepada mereka bertiga dan beberapa kali hasil shot di simpan dalam memori.

Setelah puas di shot dalam sungai, mereka kembali ke darat dan shot bareng. Terakhir mereka shot di jalan, di atas motor masing-masing.

“Hari Minggu kita bisa ketemuan kan, sambil ngasihin fotonya ke kalian.” kata Aida sambil masukin kameranya ke dalam sarungnya.

“Jam berapa?” tanya Sasri.

“Ntar aja kita calling. Tapi di sana ada conter HP, kan?”

“Di pasar ada.”

“Okey, deh, kalu gitu sampai ketemu Minggu, ya.”

Bayu, Lucy dan Aida bersiap melanjutkan perjalanan ke kampung Jadul. Sedang teman-teman baru mereka bersiap pula melanjutkan perjalanan mereka.

Di saat itu, lewatlah bus sekolah yang mereka dengar dari cerita teman mereka tadi. Bus sekolah itu menderu-deru bagai kesetanan dan sorak-sorai penumpang pun begitu membisingkan. Mereka menyoraki Abraham dan teman-temannya.

“Woi, kalo mo kencan jangan ikutan bolos, dong, lo.” teriak sebuah suara dari bus itu.

“Lagian kalo hari Jum’at  jangan kencan, bisa kualat, kupelintir setan, lo...” teriak yang lain

“Gue bilangin ama bokapnya, di dor, keok, lo....” teriak yang lain.

“Kalo enak, mo di bilang apa!” balas Abraham.

“Rese banget, sih, lo! Setan...! Makanya, pacaran dong, lo, biar tau gimana enaknya.” balas Carlos pula.

Bayu dan sobat-sobatnya hanya bisa senyum mendengarnya. Mereka baru tau, kalau teman baru mereka itu pasangan. Tapi sayangnya, pacaran jadi pemicu mereka buat bolos. Itu namanya salah kaprah dalam cinta.

Jam nunjukin setengah dua belas, ketika mereka mulai melaju kembali menuju Kampung Jadul. Bayu memacu motornya, ia bermaksud dalam waktu dekat menemukan masjid atau mushalla untuk ikut shalat Jum’at..

Setengah jam mereka melaju, barulah sayup-sayup terdengar suara alunan ayat suci Al Qur’an dari pengeras suara. Bayu dan Lucky pun mempercepat laju motor mereka.

Suara adzan sudah berkumandang ketika Bayu dan Lucky sampai di depan masjid. Bayu dan Lucky memarkir motor mereka di depan kedai kopi. Ransel-ransel mereka diangkat dan dibawa ke dalam kedai, kemudian dititipkan di sana. Keduanya segera bergegas menuju masjid. Sedangkan Aida duduk di kedai sambil nunggu keduanya selesai shalat Jum’at.

“Kok, gak ikut shalat, Dek?” tanya pemilik keluar dari dalam.

Mendengar pertanyaan itu Aida jadi heran. “Cewek kan gak wajib shalat Jum’at, Mbak.” balasnya.

“Lho, kamu cewek rupanya? Aduh, maaf banget ya, Dek. Mbak pikir tadi cowok.” katanya lebih mendekat pada Aida.

“Biasa ajalah, Mbak.” balas Aida senyum, mencoba ngilangin rasa bersalah pemilik kedai itu. “Mungkin karena aku dandan kek cowok kali ditambah aku orang baru di sini.”

“Emang, sih. Tapi maaf banget, ya. Mbak benar-benar gak tau, lho.”

“Udahlah, Mbak. Gak perlu berasa salah ampe segitunya. Biasa lagi. Aku gak marah, kok.”

“Emang mo kemana, Dek?”

“Kampung Jadul. Kami dari Hamburgas, mo liat teman sekolah yang minggat beberapa bulan yang lalu. Pas dengar kabarnya tau-tau udah nyampe di kampung Jadul, aja.”

“Sekolah di mana? Soalnya, Mbak juga sekolah di Hamburgas dulu.”

“Sekolah di mana, Mbak?”

“SMA Pelita Bangsa, alumni 2004.”

“Berarti satu angkatan dong sama Mbak Nova.”

“Nova Susanti maksud kamu? Anak Pak Imron Saidi?”

“Iya. Dia saudara aku satu-satunya.”

“Wah, kebetulan, nih. Dia teman akrab mbak. Di mana dia sekarang? Udah married?”

“Belum. Dia masih pengen nyelesaiin S1-nya, kebetulan sekarang lagi ngerampungin skripsi. Sekarang dia di rumah.”

“Udah lama banget kami gak ketemu, sejak acara lulus-lulusan lah.”

“Mbak udah married?”

“Baru setengah tahun. Kalo seandainya mbak tau dia di Hamburgas, pasti mbak ngundang.” balasnya sedikit nyesal. “Bagi nomornya lah!”

“Boleh!” kata Aida sambil ngeluarin HP dari kantongnya dan menyebutkan sederetan nomor.

“Makasih, ya. Kalau balik sampaikan titip salam mbak buat dia, bilang dari Nova ‘Meong’, mereka ngasih julukan itu, karena paling akrab ama kucing. Kalau mbakmu Nova ‘Manis’, soalnya dia paling cantik di antara kami bertiga yang dijuluki ‘Nova Kubik’. Satu lagi Nova ‘Kribo’ .” cerita pemilik kedai itu. “Pak Han masih ngajar?”

“Masih mbak. Dia wali kelas kami, I2.”

“Udah lama banget lho dia ngajar di situ. Istrinya dulu siswanya, pas tamat, mereka langsung married. Istrinya itu paling cantik dulu, tapi sayangnya punya ibu tiri yang kejam. Itulah sebabnya, Pak Han cepat-cepat ngawini dia dan kebetulan istrinya itu bersedia. Udah berapa anak beliau?”

“Empat. Anak pertama kelas dua SMP dan paling bungsu umur tiga tahun.”

“Kalau gitu kamu yang namanya Aida?”

“Ya, Mbak.”

“Ya, udah. Ntar makan siangnya di sini, aja, baru ngelanjutin perjalanan. Gak usah malu. Suami mbak juga kenal dekat ama mbakmu. Mbakmu yang nyomblangin kami, malah.”

“Makasih, Mbak!”

Shalat Jum’at udah bubar, namun Bayu dan Lucky masih di dalam masjid. Mereka masih tenggelam dalam zikir mereka seterusnya berdo’a dan shalat sunat. Selesai shalat sunat, mereka kembali ke kedai itu.

Di situ, mereka gak liat Aida lagi. Mereka nanyain ama pemilik kedai dan pemilik kedai itu bilang, Aida lagi shalat.

Bayu nyuruh wanita pemilik kedai itu rebus indomie untuk ganjal perut.

“Makan di dalam aja, Dek. Mbak udah siapin.”

“Lho, kok...” kata Bayu heran.

“Gak papa. mbaknya Aida, si Nova itu sobat dekat mbak dulu waktu sekolah di SMA Pelita Bangsa. Ayo masuk aja, gak usah sungkan-sungkan.”

“Adik si Nova mana?” tanya seorang laki-laki keluar dari dalam.

“Anak Pak Imron.”

“Nova ‘Manis’?”

“Iya, Kang. Kalo gak percaya, tanya tuh ama Aida!” perintah wanita itu ketika Aida keluar. Suaminya menoleh.

“Apa benar?”

“Benar, Mas.” balas Aida. “Ini adiknya Kak Aris.” sambung Aida menunjuk Bayu.

“Aris Ardi?” tanyanya menoleh pada Bayu.

“Betul, Mas. Mas kenal ama Kak Aris?”

“Si Aris itu rekan bolos di kantin.” balasnya. “Udah... udah.... Ayo masuk! Jangan nolak. Adik temannya rupanya.” balas laki-laki itu. “Titip salam ama A.A.Nugroho itu, dia pikir mas gak tau. Dari ceritanya Tujuh yang sentimentil itu, mas udah tau kalau yang dimaksud itu si Sapta. Bilangin dari Rusdi, kalo dia gak kenal, ketok kepalanya sekali. Kelewatan namanya itu. Udah married dia?”

“Masih mo tunangan, Mas.”

“Ah, kelamaan dia. Mikirin apa lagi, sih. Kerjaan udah mantap, pemasukan banyak. Dia gak tau kayaknya, kalau married itu enak.” protes laki-laki yang bernama Rusdi itu. “Jadi ama si Sapta?”

“Ya, gitulah, Mas. Kek ceritanya itu, ...meski tujuh kali disakiti, tujuh kali pula ia bakal memaafkan.... Sentimen banget.”

“Ya, Mas juga nilai gitu. Kalo acaranya jadi, suruh dia ngundang Mas Rusdi.”

“Boleh, Mas!”

Ketiganya akhirnya makan siang di situ, karena terus didesak oleh suami istri itu. Hingga mereka merasa gak enak menolaknya.

Selesai makan, Aida segera ngeluarin kamera Canon Eos 350D-nya dan suami istri itu segera diabadikannya dalam LCD kameranya. Selanjutnya Bayu minta bantuan Mas Rusdi men-shot mereka di depan masjid. Mereka segera beranjak keluar, ransel-ransel segera diangkat dan disandang. Helm diberikan pada Aida, setelah mereka makai sepatu masing-masing.

Sepeda motor dinyalakan dan dinaikkan ke atas ruas jalan. Aida hanya berjalan kaki saja ke depan masjid. Mereka bertiga ber-fose di depan masjid Baiturrahman Desa Kemulen. Terakhir sekali, Lucky ngambil alih Canon Eos 350D milik Aida dan men-shot suami istri itu didampingi Bayu dan Aida di depan kedai mereka.

“Makasih, ya, Mas!” kata Bayu.

“Sama-sama!” balas Mas Rusdi. Kalian mo kemana sebenarnya? Bawa ransel gede-gede gini.”

“Mo ke Kampung Jadul, Mas. Liat teman yang minggat dari rumah. Udah hampir tiga bulan gak ada beritanya. Pas dapat beritanya, eh, tau-tau udah nyampe di Kampung Jadul. Jadi, Pak Han nyuruh kami nengok dia ke sana. Kalau dia mau balek, ya di bawa.” balas Bayu.

“Pamit, Mas, Mbak!” kata mereka serentak. “Makasih makan siangnya!” tambah Bayu.

“Sama-sama. Pulangnya mampir, jangan sungkan!”

“Iya, Mas!” balas Bayu.

“Permisi Mas, Mbak. Sekali lagi makasih banyak.” kata Aida.

Keduanya mengangguk sambil tersenyum.

Motor kembali melaju di jalan beraspal. Tak berapa lama, mereka pun sampai di jalan berlobang. Serta-merta laju motor diperlambat, karena mereka takut bus, mobil atau motor dengan kecepatan tinggi datang secara tiba-tiba.

Pukul setengah tiga, laju motor dihentikan di depan toko kecil yang keliatan sepi. Di saat itu, Bus Perkasa Express Travel 313 melaju dengan perlahan, meningkahi jalan yang berlobang.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler