Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (06/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

ENAM

 

AIDA segera turun dari motor ketika berhenti di depan toko kecil itu, di dekat simpang  Desa Sukorejo. Di mulut simpang ada sebuah Gapura yang bertuliskan DIRGAHAYU KEMERDEKAAN RI, di tiang sebelah kanan itulah meteran jalan terpancang dengan kokoh.

Aida buka helmnya ketika turun dari motor. Saat itu bus Perkasa Ekspress Travell 313 yang dikemudikan Bang Risman, melaju perlahan ngikuti irama geyolan jalan yang berlobang. Kalo yang berjalan itu sepeda kumbang, maka lirik lagu Oemar Bakrie milik Iwan Fals bakal dikenang. Laju sepeda kumbang dijalan berlobang sudah seperti itu sejak zaman Jepang....

Bayu ngelambaikan tangan ke Bang Risman dengan senyum. Bang Risman hanya membalas dengan bunyi klakson yang kedengarannya sangar dan garang.

Sementara Aida segera sibuk dengan kameranya sambil membidik tempat-tempat yang disukanya. Bayu dan Lucky melangkah ke teras itu dan langsung duduk di sebuah bangku.

Aida akhirnya mendekati keduanya sambil ngeluarin sebuah foto post card dari dalam tasnya.

“Maturnuhun...!” teriaknya agak keras.

“Monggo...monggo...!” sebuah suara terdengar dari dalam dan seorang ibu paruh baya muncul dari dalam. “Ae naon atuh, Neng?” tanya ibu itu.

“Minta teh botolnya tiga, Bu!” kata Aida sambil duduk di samping Bayu.

Gak berapa lama, ibu itu muncul dengan tiga buah teh botol Sosro. “Silakan, Nak!” kata ibu itu.

“Makasih, Bu.” balas Aida.

“Apa ini Kampung Jadul, Bu?” tanya Bayu pengen mastiin.

“Betul, tapi nama sebenarnya Desa Sukorejo.”

“Oo...!” balas Bayu mengangguk. “Bu, apa di sini ada orang yang kek begini?” tanya Bayu sambil nunjukin foto post card yang dikeluarin Aida dari tasnya tadi.

Ibu itu menerima foto itu dan memperhatikannya, lalu mengernyitkan keningnya, seperti orang mengenal foto itu. Matanya di alihkan pada ketiganya dengan gak berkedip sedikit pun.

“Siapa kalian sebenarnya?” tanya ibu itu curiga.

“Ibu jangan takut. Kami bukan orang jahat. Kami teman sekolahnya.” kata Bayu meyakinkan ibu itu.

“Siapa namanya?” tanya ibu itu belum yakin.

“Namanya Maghdalena, putri dr.Fian. ceritanya dia minggat, karena gak cocok ama kedua saudaranya. Rabu, kemarin lusa, kami terima surat dari dia dan setelah cari tau ke sana ke mari, ternyata dia di sini.” cerita Bayu.

“Kalau ibu masih belum yakin, ibu boleh periksa surat-surat kami dari sekolah.” kata Aida sambil ngeluarin semua surat-surat yang mereka punya bersama kartu pelajar miliknya. Melihat itu, Bayu dan Lucky ikut ngeluarin kartu pelajarnya masing-masing.

Ibu itu segera memeriksa surat yang dikeluarkan  oleh Aida dan kartu pengenal sekaligus menyesuaikan ama orang yang bersangkutan.

“Ibu percaya...!” kata ibu itu akhirnya.

“Jadi, dia ada di sini ya, Bu?” tanya Bayu.

“Iya. Dia emang di sini dan udah hampir tiga bulan. Pertama kali ibu ngenalnya di bus perkasa 313, ketika itu, ia duduk di dekat ibu.” balas ibu itu. “Awalnya ibu curiga ama dia. Dari raut wajah, ibu bisa liat sebuah kesedihan yang begitu jelas ngimpit jiwanya.”

“Mm..., ibu bisa ngantar kami ke tempatnya?” tanya Aida gak sabar.

“Bisa...!” kata ibu itu sambil masuk ke dalam. Di saat itu, Bayu segera membayar minuman mereka.

Di dalam, ibu itu nyuruh anaknya jaga toko sebentar dan ia ngajak ketiganya. Mereka nyandang ransel masing-masing. Mereka ngikuti ibu itu dari belakang melewati jalan setapak yang beberapa tahun lalu di aspal pake dana PKPS BBM atas kebijakan Presiden SBY untuk ngurangi subsidi BBM, sejenis kompensasi untuk masyarakat miskin.

Dari jauh terdengar sayup-sayup suara dua buah gitar yang sedang dipadu mengiringi sebuah lagu dari Ada Band. Meskipun suara gitar agak kejar-kejaran dengan lagu. Namun tak urung juga mereka menikmatinya.

Semakin lama, suara gitar itu semakin jelas, karena jaraknya semakin dekat. Gak berapa lama, terlihatlah orang yang memainkan gitar itu. Satu cowok dengan ngebas dan satunya cewek dengan melody.

Lagu Setengah Hati-nya Ada Band terus mengalun mengikuti irama gitar. Ada sekitar lima orang yang berada di atas teras rumah panggung yang bercorak Jawa Kuno. Mungkin pemilik rumah itu keturunan ningrat atau demang.

...                                                                                                                                                                                                            mungkin ku tak akan bisa jadikan dirimu                                                                                                                       kekasih yang sepenuhnya mencinta                                                                                                                                        namun... kurelakan diri                                                                                                                                                                      jika hanya setengah hati                                                                                                                                                         kau redupkan jiwa ini                                                                                                                                                           ...

Bayu, Lucky dan Aida memasuki pekarangan rumah itu mengikuti ibu yang membawa mereka. Aida segera menangkap wajah gadis yang main gitar itu. Namun segera terhalang oleh tubuh ibu yang naik tangga.

Gadis itu segera bangkit dan menoleh ke bawah. Di saat itu Aida memanggil nama gadis itu dengan gembira. Gadis tadi segera turun ngejar Aida dan mereka berpelukan di halaman rumah panggung itu.

Kedua sahabat itu pun segera bertangisan di halaman rumah itu. Gak berapa lama rangkulan itu mengendur, gadis yang bernama Maghdalena itu menoleh pada Bayu dan mendekatinya.

Bayu hanya memegang pundak Maghdalena, namun Maghdalena segera menghambur ke dalam pelukan Bayu. Di sana ia memecah tangis. Bayu mengusap rambut Maghdalena dan mengecupnya. Sesaat angan Bayu melayang pada Bu May, entah kapan ia bisa mengecup Bu May seperti itu.

Seorang laki-laki di atas terasa itu ngalihin wajahnya dengan masam. Hatinya panas ketika kecupan Bayu mendarat di ubun-ubun Maghdalena. Api cemburu membakar hatinya.

Maghdalena melepaskan dekapannya pada Bayu, ditatapnya Bayu dengan seribu perasaan bersalah. Selanjutnya ia mendekati Lucky.Di hadapan Lucky ia masih terisak. Lucky segera mengusap air matanya dengan kedua belah tangannya.

“Senyumlah, Sob! Hapus semua kesedihan, lo. Kami datang bukan mo liat  air mata lo. Tapi senyum lo yang kami rindukan.”

Mendengar kata-kata Lucky, Maghdalena menunduk. “Tapi air mata ini bukan kesedihan, Luck. Air mata ini adalah rasa haru, gue terharu akan kedatangan kalian.” kata Maghdalena. “Tapi Melani mana?”

“Dia gak bisa ikut. Dia cuman pesan kalo lo harus balik. Semua minta lo balik.”

“Tapi...”

“Gak ada tapi-tapian. Apa pun alasannya lo mesti balik.” kata Lucky.

“Eh, ayo masuk dulu.” ajak Maghdalena.

Ketiganya naik ke tangga setelah buka sepatu dan ngucapin salam.

“Mas, Mbak, ini dia teman band gue yang pernah gue ceritain, mereka teman sekolah gue. Ini namanya Bayu, dia vocalis sekaligus President The Parlement.”

Bayu segera menyalami mereka satu persatu sambil menyebut namanya. “Senang berkenalan dengan kalian!” kata Bayu terakhir sekali.

“Kalo yang ini Lucky, sang drumer.” kata Maghdalena memperkenalkan Lucky. Lucky melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bayu tadi. “Dan yang ini namanya Aida, pemain bass.” kata Maghdalena mengenalkan Aida juga.

Aida juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh kedua sahabatnya tadi.

Ransel-ransel segera mereka tanggalkan dan meletakkannya di lantai. Sementara Bayu dan Lucky permisi mengambil motor ke depan. Bersamaan dengan itu, ibu yang tadi mengantar mereka ikut pamit. Ketika Bayu dan Lucky kembali, orang-orang yang tadi udah gak ada lagi. Bayu dan Lucky segera naik ke atas teras rumah panggung itu setelah memarkir motor di bawah pohon rambutan yang mulai masak buahnya.

“Gimana kabar, lo?” tanya Bayu sambil duduk di samping Maghdalena.

“Seperti yang lo liat. Tapi gue belum tau siapa orang tua gue sebenarnya. Tapi gak mungkin kan gue gak punya orang tua. Aneh, kehadiran gue gak dipengen tapi terlahir. Rasanya gue gak pernah minta. Apa sebenarnya salah gue, hingga ngadapi cobaan seberat ini.”

“Lo jangan pesimis gitu. Belum tentu juga lo dibuang. Siapa tau lo dititipkan dan takdir mengubah segalanya.” balas Aida.

“Magda, kita ini manusia yang gak luput dari salah dan dosa. Cuman yang gue sesali tindakan lo ini. Kenapa lo pergi tanpa ngasih tau kami? Apa lo nganggap kami orang lain. Sebenarnya inilah maksud kita bikin The Parlement dan ngejadiinnya sebagai bagian dari kehidupan kita. Agar semua masalah yang dihadapi kita hadapi bersama. Gue kecewa amal o, gue pikir selama ini lo tegar, tapi apa yang gue liat sekarang gak seperti yang gue liat dulu. Lo gak ubahnya seperti...”

“Udah, Luck. Lo jangan marah dulu ama Maghdalena!” pinta Aida.

“Gue gak marah. Gue kecewa, kesal dan benci ama dia. Dulu gue suka ama dia, tapi demi persahabatan gue rela ngikisnya. Lo nganggap kami orang lain, hingga lo pergi gitu aja. Lo gak pernah mikirin gimana perasaan kami.” kata Lucky ngusap air matanya yang mengalir.

“Kenapa lo nangis, Luck?” tanya Bayu.

“Ya, kenapa juga gue nangis. Tapi ini semua bukti kepedulian buat dia, tapi kepedulian itu sekarang berbuah kekecewaan.”

Orang-orang yang tadi pergi dari rumah itu heran mendengar suara ribut di rumah Mak Inah. Mereka segera mendekat dan melihat Lucky yang emosi. Bukan mereka aja yang kaget, anak-anak dan orang tua yang dengar keributan itu juga kaget dan bergegas keluar dari rumah masing-masing dan ingin mengetahui apa yang terjadi. Seumur-umur, baru kali ini mereka mendengar teriakan  seperti itu di desa mereka yang selama ini aman dan tenteram.

“Gue sekarang nyadar...” kata Lucky lagi tanpa peduli dengan orang yang mulai ramai di jalan. “...kalo demi cinta, apapun alasannya, sesuatu bakal terjadi. Meski sebodoh apapun itu, termasuk mukul sobat sendiri. Lo malah ngina gue waktu itu, laki-laki bodoh-lah brengsek-lah, apalah. Lantas, cewek apa yang pantas gue sebut buat lo? Cewek apa? Ha?” teriak Lucky lantang.

Maghdalena hanya bisa diam, hanya suara tangisnya yang semakin keras.

“Ayo jawab! Kenapa lo diam? Ha...?” pekik Lucky lagi.

“Lucky..., malu diliat orang, lo kesini bukan mo bikin onar, tapi ngajak Maghdalena pulang.” kata Bayu mendekati Lucky.

“Biarin! Biarin mereka semua tau!” kata Lucky keras dan lantang. Bayu hanya bisa menggeleng.

“Dengar semua! Ini dia Maghdalena, cewek yang dulu gue cintai, yang membuat gue mukul dia ...” katanya nunjuk ke Bayu. “...hanya karena gue cemburu liat dia dekat ama Maghdalena. Sekarang Maghdalena seolah cewek yang entah apalah namanya. Gue tau, dia lagi ngadapi masalah gede. Tapi, apa kek gini nyelesaiin masalah? Lari dari kenyataan. Gue pikir seenteng apapun masalah, kalau dia lari dari kenyataan, masalah itu gak bakalan selesai. Malah nimbulin masalah baru. Ya kan?” tanyanya pada orang banyak yang udah tumpah ruah sampai ke jalan setapak.

“Ya...!” jawab anak-anak serentak tanpa sungkan. Sehingga banyak orang yang tertawa mendengar keberanian anak-anak lugu itu.

“Lo dengar anak-anak itukan? Seharusnya lo malu ama mereka. Lo udah remaja gak bisa berpikir kek mereka. Lo gak nyadar, tindakan lo ini malah bikin masalah baru buat lo bahkan berimbas ama orang lain. Kenyataannya lo gak bisa ngapa-ngapain karena lo lupa manusia itu makhluk sosial yang gak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Lo tau nggak, kami, Pak Han, Pak Kepala Sekolah, Kak Prasetyo dan Kak Sheila ngawatirin lo. Sementara lo malah asyik-asyikan di sini main-main gitar, ngumpul-ngumpul. Lo terlalu egois. Lo gak nyadar, impian yang kita bangun,  ancur gara-gara mikirin lo. Dasar lo terlalu egois...!” pekiknya bertambah emosi.

Bayu akhirnya gak sabar liat lucky. Dengan setengah memaksa, dia membawa Lucky duduk di kursi. Aida segera nyodorin aqua ke Lucky. Maghdalena masih nangis sementara orang-orang di halaman ngomel-ngomel dengan tindakan Lucky.

“Huh..., dasar gak tau malu. Datang ke sini cuman mau buat onar, aja.” sebuah suara terdengar keras dari tengah kerumunan itu di sambut ama omelan-omelan yang lain.

Mendengar itu, kepala Bayu jadi pusing. Ia gak tau mesti berbuat apa. Yang jelas, ia sangat nyesal akan ulah Lucky yang gak tau tata krama bertamu.

Masih untung hanya diomeli, gimana kalo diusir atau dilempari. Suara riuh masih saja bersahutan, suara omelan yang kadang-kadang diikuti kata-kata kasar hingga membuat hati Bayu jadi panas dan emosi. Tapi ia mencoba meredam, karena mereka yang salah.

Ketika kata-kata kasar itu semakin gencar berlompatan dari mulut yang satu ke mulut yang lain. Bayu memilih turun dan menemui semua warga. Anak-anak yang ada di depan segera menyingkir.

Sementara suara riuh diiringi kata-kata kasar dan kotor masih terdengar dari arah belakang. Sesaat Bayu menoleh ke sana, dilihatnya remaja-remaja seusianya ada di sana bergerombol, cowok dan cewek. Cewek-cewek sementara terdiam melihat ke arahnya dengan terkesima. Sedangkan yang cowok masih berlagak acuh. Bayu ngalihin pandangannya kepada segenap orang yang ada di sana.

“Bapak, Ibu, saudara, saudari, teman-teman dan adik-adik sekalian...” katanya buka mulut. “... saya dan teman saya tadi minta maaf yang sebesar-besarnya pada kalian semua. Kelakuan dan tindakan teman saya tadi sudah mengusik ketenangan  di desa ini. mungkin ada di antara Bapak, Ibu, saudara, saudari, teman-teman dan adik-adik sekalian yang terganggu istirahat siangnya. Tempat yang semula tenang, tiba-tiba berubah tegang dengan teriakan itu. Segala omelan dan kata-kata kasar memang pantas terlontar ke kami dan kami terima. Tapi, kami berterima kasih karena tak langsung diusir dan dilempari. Saya pribadi merasa malu dengan kejadian ini. Mungkin kami segera pergi dari sini. Tapi amat keterlaluan rasanya, jika kami tidak terlebih dahulu bertemu dengan pemerintah desa dan pemilik rumah. Jadi, kami memohon kesediaan bapak, ibu, dan saudara-saudari sekalian untuk mengizinkan kami menanti kedatangan pemilik rumah ini. Awalnya kami memang ingin melapor, tapi kami bermaksud istirahat barang sejenak dan tak disangka kejadiannya seperti ini. Dengan sangat berharap sekali, kami mohon kesediaan bapak, ibu, saudara-saudari sekalian untuk memaafkan kami.” kata Bayu panjang lebar.

Setelah berkata begitu, satu persatu pun pergi, hingga tak berapa lama halaman itu telah sepi. Hanya beberapa orang anak saja yang kejar-kejaran di sana. Bayu pun kembali naik.

Maghdalena masih menangis dalam dekapan Aida. Dia menyadari kesalahannya. Dia udah ninggalin sobat-sobatnya yang nyayanginya dengan tulus. Dia udah buat masalahnya jadi rumit, dia udah biarin The Parlement kehilangannya. Membiarkan semua terbengkalai. Sekolahnya, persahabatannya, impiannya bahkan masa depannya hanya karena sebuah jati diri yang entah seperti apa.

Semua diam, bermain dengan pikiran masing-masing. Hanya isak Maghdalena yang terdengar.

Seketika Maghdalena ngelepasin dekapannya pada Aida dengan sisa-sisa isak tangisnya. Dipandanginya sobat-sobatnya satu persatu dengan perasaan gak menentu.

“Maafin gue! Gue emang salah, membiarkan semua terbengkalai tanpa sedikit pun gue peduli. Sekolah gue, kekecewaan kalian, persahabatan dan impian The Parlement. Bahkan masalah yang udah bikin semua terbengkalai malah ikut terbengkalai. Tapi, apapun alasannya, gue harus tau siapa gue sebenarnya, siapa kedua orang tua gue. Sedang lo semua, punya orang tua yang gak pengen kehilangan kalian dengan sejuta canda dan tawa serta kebahagiaan. Sementara gue hanya punya nafas yang entah siapa ngembusin ke jasad gue.” katanya. Isak tangisnya kian menjadi-jadi.

“Gue gak tau, apakah gue hubungan zina. Kedua orang tua gue entah siapa dan entah di mana. Kalau mereka udah tiada, kenapa orang-orang sekeliling gue gak ngasih tau, kenapa mereka gak nunjukin pusaranya. Kepergian gue gak ada yang ngerasa kehilangan kecuali kalian, Pak Han, Pak kepala sekolah, Kak Pras dan Kak Sheila. Tapi, apakah kalian itu, Pak Han itu, Pak kepala sekolah itu, kak Pras itu dan Kak Sheila itu bisa menjawab siapa gue?

Apakah gue salah berlari mencarinya sendiri? Ngejarnya seorang diri dan memilikinya seorang diri? Gue gak pengen, penderitaan dari ketidaktauan yang dititipkan Tuhan ke gue jadi bagian hidup kalian. Tapi, andai kalian nganggap cara gue salah, maafin gue. Gue gak bermaksud ngecewain kalian, gue gak bermaksud ngancurin impian kita. Gue hanya mencoba tegar dan ngadapinya sendiri. Tapi andai kalian nganggap itu kecengengan, kebodohan dan kekonyolan, sekali lagi maafin gue. Makasih atas ketulusan persahabatan kalian yang begitu besarnya. Kalian masih peduli ama gue yang malang ini.

Gue emang brengsek, mungkin karena gue hasil zina. Gue gak bisa buat kalian bahagia, sebab gue gak punya itu. Gue gak bisa buat kalian tersenyum karena gue hanya punya air mata dan itulah yang bisa gue berikan. Senyum yang selama ini, kebahagiaan yang selama ini gue punya, hanyalah sebuah plagiat dari ketulusan dan kasih sayang kalian.”

Lucky tercenung mendengar perkataan Maghdalena. Ia merasa tersudut dengan vonis yang terlalu cepat diputuskannya.

Aida kembali meraih tubuh Maghdalena dan nyandarin ke dalam dekapannya. Di dekapnya Maghdalena seerat dan sehangat mungkin. Ia pengen Maghdalena tau, ia juga ngerasain kesedihan itu.

“Lo jangan ngomong kek gitu, dong. Kami semua begitu kehilangan lo. Kalau Kak Prast dan Kak Sheila sedang gak lagi nyiapin diri mo ujian nasional, mereka mungkin ikut. Semua pengen lo kek dulu, menyemangati impian The Parlement. Kepala sekolah dan Pak Han ngecap kami udah melempem dan kehilangan semangat. Kami menyadarinya. Kami semua sayang ke lo, jadi tolong beri kami peluang untuk ngebuktiin ketulusan kami pengen bersahabat dengan lo. Kami pengen bikin lo bahagia menjadi sahabat kami dan ngikis semua kesedihan lo. Seingat gue, kami gak pernah nuntut lo macam-macam. Siapa pun lo, kek gimana pun lo, kami gak peduli. Yang kami tau, lo itu cewek yang selama ini kami kenal baik, cewek periang, punya semangat yang menggebu, ya, meskipun itu plagiat menurut lo, kami malah sedikit berbangga hati. Kenapa? Soalnya kami bisa buat lo tersenyum, meski hanya beberapa kejap saja.” kata Bayu ngibur Maghdalena.

“Iya Mghda, ...” kata Aida lembut tetap mendekap Maghdalena. “...kami gak pernah punya niat yang buat lo kecewa. Kami gak pengen lo mikir sebegitu negatifnya ama bokap nyokap lo. Kalau kenyataannya gak gitu? Tega lo nganggap mereka sehina itu? Jadi, sebelum lo tau, berpikir positiflah dulu. Ntar kalo kenyataannya gitu, lo boleh kecewa ama mereka.” pujuk Aida dengan lemah lembut.

Segera Maghdalena melepaskan dekapan Aida, ditatapnya wajah Aida dengan senyum. Kata-kata Aida barusan membuat jiwanya tenang.

Aida membalasnya dengan senyum lembut diiringi anggukan kepala. Dengan segera Maghdalena kembali mendekap Aida.

“Makasih banyak, Da!” ujarnya sambil mempererat dekapannya.

“Hampir Ashar, nih. Gimana kalau kita ke masjid aja?” tanya Bayu sambil berdiri. Diangkatnya ransel ke dalam rumah. Tanpa minta dua kali, sobat-sobatnya yang lain segera bergerak untuk bersiap pula. Tak berapa lama mereka udah berada di jalan menuju masjid.

“Tau dari mana gue di sini?”

“Dari Bang Risman. Awalnya, dia sempat ngotot gak mau ngasih tau dan nuduh kami pengen jahati lo. Bayu langsung emosi dan ngancam Bang Risman bakal nyeretnya ke polisi dengan tuduhan nyembunyiin lo. Sebagai bukti surat lo dan satpam sekolah sebagai saksi. Bang Risman langsung ngasih bogem mentah ke Bayu. Kalau Kak Prast gak muncul saat itu, mungkin hari ini Bayu lagi ditangani dokter di ruang ICU. Dengan ngaku pacarnya lo, Kak Prasetyo, berhasil bujuk Bang Risman.” cerita Lucky.

“Jadi wajah Bayu memar karena dipukul Bang Risman? Gue pikir brantem lagi ama lo.” sambut Maghdalena. “Emang kalian gak tau, kalo Bang Risman itu galak?”

“Demi lo, apapun bakal gue hadapi.” balas Bayu.

“Eh, tau nggak, gara-gara lo, Bayu juga jadi bahan ketawaan di kelas.” kata Aida.

“Emang kenapa? Kok diketawain?”

“Ceritanya, setelah tau yang bawa surat lo itu Bang Risman dari satpam. Kak Sheila nyuruh kita nyari tau ke Bang Risman dan rencananya setelah bubaran sekolah. Jadi, lo taulah, kalo nunggu itu waktu yang paling ngebosanin, ya, lama kelamaan ngelamun, deh. Ketika bel bubaran bunyi, Bayu langsung teriak kencang, terang aja seisi kelas jadi kaget, Bu May...”

Ketika dengar nama itu, Bayu langsung keingat ama guru pemilik senyum manis dan kerlingan mata super genit itu. Udah berulang kali ia nafsirin arti semua itu, tapi sekian kali pula ia gak percaya. Meskipun nurut keluarganya ia punya talenta yang bisa baca alam bawah sadar, tapi hal satu itu benar-benar ia gak yakin.

Aida terus ceritain kejadian itu ke Maghdalena dan ketiga sobatnya itu terus ketawa.

“Ketawanya udahan deh. Kita udah nyampe, nih. Ntar orang lain keganggu lagi.” kata Bayu sambil matiin ponselnya. Aida pun berbuat hal yang sama.

Mereka pun segera berpisah menuju tempat wudhu’  dan segera masuk ke masjid setelah selesai wudhu’nya.

“Apa rencana lo selanjutnya?” tanya Lucky setelah selesai shalat dan keluar menuju pulang.

“Ntahlah. Gue gak tau mesti mulai dari mana.”

“Gini aja, kita gabung lagi, sekolah bareng, main band bareng, dan bangun impian baru dengan The Parlement. Demi jati diri, lo gak mesti ngorbanin masa depan lo, mau jadi apa lo kelak. Kita berpikir dari segi positif aja. Mungkin semua ini ditutupi, agar lo bisa ngejar masa depan lo terlebih dahulu.” Aida berargumentasi.

“Apa mungkin gue kembali lagi ke situ? Terus terang, gue gak bakal ke situ lagi. Mereka bakal lebih ngelecehin gue.”

“Urusan tempat tinggal soal gampang. Asal lo mau, kita ngatasinya bareng. Kita semua rela banget nyisihin uang saku buat lo atau gue minta bantuan ama bokap, soalnya gue udah ceritain semua dan sepertinya dia cukup prihatin.” Lagi-lagi Aida ngeyakinin Maghdalena.

Mendengar hal itu, Maghdalena jadi serba salah. Ia gak tau mesti terima atau nggak. Kalau ia terima ia gak pengen jadi beban orang lain. Sementara kalau ia nolak, so, sobat-sobatnya bakal kecewa lagi.

“Ntahlah!” putusnya.

“Ntahlah, gimana?” ungkap Bayu kecewa.

“Yu, kalo gue nunda hal ini, gue takut kakek dan nenek keburu meninggal. Ama siapa lagi gue nanyain hal ini? Gak mungkinkan ama dokter yang baik hati itu? Sekarang aja dia udah gak peduli. Gimana nanti?’ ungkap Maghdalena berharap pengertian sobat-sobatnya.

“Okey, ntar malam lo coba lagi nyinggung ke situ. Kalau mereka masih mencoba mengelak dan gak pengen ceritain yang sebenarnya, kami bakal bantu lo untuk ngeyakinin mereka.” usul Lucky.

“Baiklah. Kalau gitu, ntar malam gue coba, deh.” kata Maghdalena sambil naik tangga diikuti oleh sobat-sobatnya.

Tak berseling satu jam, kakek dan nenek Maghdalena kembali dari ladang. Maghdalena segera menyambut keduanya dengan gembira. Apalagi keduanya membawa buah dari ladang. Maghdalena mengatakan ada temannya dari kota.

Ketiganya segera sungkem pada orang tua itu sambil memperkenalkan diri masing-masing.

“Dari ladang ya, Kek?” tanya Bayu.

“Iya, Nak. Kebetulan sekali, kalian punya rezeki, kakek bawa buah.” balas kakek sambil duduk di kursi rotan. “Ayo, dimakan, jangan malu-malu!”

“Iya, Kek.” balas Aida. “Ladangnya jauh gak, Kek?”

“Tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu kiloan dari sini, cuman jalannya sulit untuk ditempuh.”

“Buah apa saja yang ada?”

“Macam-macam. Ada rambutan, duku, manggis, tapi kebanyakan cengkeh. Buahnya hanya seling-seling saja.”

“Luas gak, kek?”

“Hanya dua hektar, itu pun tak semua ditanami.” balas kakek. “Kalian orang Hamburgas, ya?”

“Ya, Kek. Teman sekolahnya Maghdalena dan kemari mau liat keadaan Maghdalena. Tapi, kami pulang sekarang juga, Kek.”

“Tidak nginap di sini saja? Sudah terlalu sore, bisa-bisa kemalaman di jalan.”

“Ya, mau dikata apa, Kek. Tadi kami sempat bikin kesan yang gak enak di sini, gara-gara emosi. Tadi kami udah minta maaf ama warga dan minta izin untuk ketemu kakek dan nenek juga pemerintah desa. Sekarang tinggal ketemu sama kepala desa, baru kami pulang. Kalau gak sempat nyampe ke kota, paling gak di kampung sebelah, di depan Masjid Baiturrahman. Di situ ada kenalan, moga mau ngizinin kita untuk nginap semalam.”

“Ya, Kek. Rumah kepala desanya yang mana, Kek?”

“Ada, di dekat masjid. Tapi kalian gak perlu pulang, biar nanti kakek yang ngantar kalian ke sana sekalian ngomong sama kepala desanya.”

“Iya, kalian nginap aja, biar gue masakin makan malamnya.” kata Maghdalena berdiri.

“Gue ikut masak, dong!” kata Aida berdiri mengikuti Maghdalena.

Keduanya beranjak ke dapur.

“Kakek mandi dulu, sudah jam lima, ya.” kata kakek bangkit. “Ayo, dimakan buahnya!”

Bayu dan Lucky akhirnya asyik bernyanyi dengan petikan gitar Bayu setelah kakek bangkit dari duduknya.

Selesai masak, Maghdalena dan Aida ngajak Bayu dan Lucky mandi ke sungai dan langsung ikut shalat Maghrib di masjid.

Di sungai, mereka menuruni beronjong sungai, di tengah-tengah sungai terhampar bebatuan yang membelah air di dua tepian.

Aida segera asyik dengan kamera Canon Eos tipe 350D-nya dan membidik tempat-tempat yang bagus.

“Apa di sini cowok ama cewek mandinya gabung aja?” tanya Bayu melihat laki-laki dan perempuan hilir mudik silih berganti.

“Otak lo tu ya!” semprot Aida mendengar perkataan Bayu. “Jelas nggaklah!”

“Ya, gue kan cuman...!”

“Udah, deh, lo emang doyan dengar yang kek begituan.” potong Aida. “Mendingan ngumpul, deh, ada objek bagus, nih!” mereka segera pasang aksi di depan kamera Canon Eos 350D milik Aida dan berkali-kali Aida men-shot mereka dan nyimpan hasil shot di memory card.

Setelah puas, mereka beranjak ke tempat mandi masing-masing dan Bayu segera ngambil alih kamera milik Aida, mereka beranjak menuju hulu sungai, sementara Aida dan Maghdalena menuju hilir sungai tempat mandian cewek.

Di situ, Bayu segera ngumpulin anak-anak yang berlompatan untuk di shot. Anak-anak itu segera ngumpul, namun ada juga yang gak mau.

Bayu memasukkan kamera ke sarungnya dan meletakkan di dekat handuknya. Setelah masing-masing melepas baju dan jeans-nya, keduanya masuk ke dalam air.

“Enak di sini, ya, Yu. Rasanya nyaman. Liat aja, suasana semarak oleh bocah-bocah yang ramai.”

“Iyalah. Desa emang gitu. Semua serba nyenangin.”

“Sepertinya sengai ini cocok banget buat lokasi syuting bikin video clips. Gimana ntar kalo kita jadi bikin album?”

“Ide lo boleh juga, gue setuju banget.”

“Bang...Bang...!” panggil seorang bocah yang ada di atas batu gede. Dari tadi dia udah merhatiin Bayu dan Lucky.

“Ya, Dek! Ada apa?” tanya Bayu keluar dari air sambil nyambar sabun kemudian mendekat pada anak itu. Lucky mengikuti dari belakang.

“Abang orang mana? Kok baru sekali ini keliatan?”

“Abang dari kota, lagi jalan-jalan ke tempat kamu yang indah ini sekalian nengok teman.”

“Abang punya teman di sini? Siapa?”

“Kalo kamu kenal, namanya Maghdalena.”

“Kak Maghdalena yang di rumah Nek Inah, ya?”

“Maksud kamu, rumah yang di belakang toko di pinggir jalan itu?”

“Iya, Bang!”

“Kamu benar!” balas Lucky. “Kamu kok gak ikut tadi difoto? Takut, ya? Kok, takut, sih? Emang abang kek orang jahat, ya?”

“Takut, sih, nggak. Cuman aku gak kenal. Jadi, gak kenal maka gak sayang.”

“Pinter! Namanya siapa?”

“Aan!”

“Aan KDI, ya?”

“Gak. Kalo Aan KDI sukanya dangdut, kalo aku nggak.”

“Trus sukanya apa, dong?”

“Rock, kayak lagunya Munajat Cinta.... Tuhan kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati, yang mencintai aku, apa adanya....”  bocah itu malah nyanyiin lagu itu. Suaranya mantap banget lagi.

“Lagu siapa, tuh? Kalau suka lagunya, mesti tau dong siapa yang nyanyiin.”

“The Rock!”

“Kamu benar. Abang juga paling suka.” balas Bayu. “Jadi gak mau nih dipanggil Aan KDI?”

“Gak banget. Aan masih kecil lagi.”

“Kecilnya kelas berapa?”

“Empat SD. Kalo Abang masih sekolah nggak?”

“Masih. Kelas satu es-em-a.”

“Berarti dua tahun lagi selesai, dong, sekolahnya. Abis itu mo ngapain, Bang? Nikah, ya?”

“Eh, dasar kamu, ya. Ya sekolah lagi, dong.”

“Sekolah apa? Emang masih ada sekolah abis es-em-a?”

“Masih, dong. Namanya Perguruan Tinggi atau Universitas.” balas Lucky. “Cita-cita kamu apaan, sih?”

“Mo jadi rocker, kayak si Saprol kek film Kiamat Sudah Dekat.”

“Kok, jadi rocker, sih?” 

“Aku pengen nyanyi bareng Ahmad Dhani di atas panggung kek di tivi-tivi.”

“Yeh, asyik, dong, kalau bisa nyanyi sepanggung ama Ahmad Dhani. Abang juga pengen banget, lho.”

“Kalau gitu sama, dong.” balas anak itu berdiri dan melompat lagi ke air. Bayu dan Lucky pun ikut melompat dari tempat Aan.

Setelah selesai, Bayu dan Lucky langsung beresin perkakas mandi dan pake baju ganti. Mereka pamit ama bocah-bocah itu sambil ngulas senyum ke mereka dan ngelambain tangan.

Mereka berjalan di atas bebatuan yang berserakan menuju ke tepian seberang sungai sambil ngobrol-ngobrol.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler