Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (07/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

TUJUH

 

SAMPAI di pinggir, keduanya udah ditungguin sama Aida dan Maghdalena. Mereka di tunggu di sebuah pondok kecil milik pemilik kebun kelapa itu.

Bayu dan Lucky segera ngajak mereka beranjak dari situ menuju masjid, karena waktu shalat Maghrib tinggal sepuluh menit lagi. Di masjid, mereka segera ngambil air wudhu’ dan gabung dengan jamaah yang udah pada siap untuk ngelaksanaain shalat berjamaah.

Selesai shalat Maghrib, mereka gak langsung pulang, mereka gabung ama anak TPA ngaji Al Qur’an sambil nunggu waktu Isya.

Selesai shalat Isya, barulah mereka ikut kakek ke rumah kepala desa untuk ngelapor. Kakek yang ngetuk pintu segera disambut baik dan hangat serta hormat oleh kepala desa, karena kakek termasuk sesepuh desa dan orang tertua di desa itu. Senior abis dan pernah jadi kepala desa cukup lama di zaman orde baru.

Di saat almarhum Pak Harto ngundurin diri  sebagai presiden RI tahun 1998, kakek pun ikut ngundurin diri sebagai kepala desa. Dan saat Pak Harto wafat, kakeklah orang yang paling sedih di desa itu. Selama seminggu hari berkabung, ia gak pernah keluar rumah dan di depan rumahnya bendera setengah tiang gak pernah absen.

“Eh, Pak Nahar. Ayo, silakan masuk, Pak!” sambut pak kepala desa dengan hormat. Pak kepala desa juga mempersilakan Bayu dan sobat-sobatnya masuk. “Ada apa, Pak?” tanya kepala desa itu setelah mereka duduk.

“Begini, Pak. Cucu saya punya tamu dan ingin melapor.” jawab kakek setelah duduk.

“Dari mana?”

“Dari Kotamadya Hamburgas, Pak!” jawab Bayu.

“Kalian punya surat-surat dan kartu pengenal?”

“Ada, Pak. Tapi surat-suratnya hanya dari sekolah bukan dari kelurahan atau kepolisian, sementara kartu pengenalnya hanya kartu pelajar, Pak. Kami belum mempunyai KTP.” kata Aida sambil menyerahkan surat-surat yang mereka miliki dan masing-masing mengeluarkan kartu pelajar masing-masing dan menyodorkan pada kepala desa itu.

“Tidak apa. Asal bisa dipergunakan.” balas kepala desa itu sambil menerima surat-surat dan kartu pengenal mereka. Sesaat beliau tenggelam dengan surat-surat itu. “Kapan kalian pulang?”

“Kalau kakek mengizinkan, kami menginap dua malam, mungkin hari Minggu, tapi kalau kakek keberatan, mungkin besok.” jawab Bayu.

“Bagaimana Pak Nahar?”

“Saya tidak keberatan, malah saya senang menerima tamu.”

“Baikalah kalau begitu. Sementara surat kalian tinggal di sini menunggu sekretaris desa membuatkan surat untuk kalian. Mungkin besok diantar beliau atau kalian saja yang mengambil kemari sambil shalat atau sambil mandi.”

“Terima kasih, Pak.” kata Lucky. “O ya, Pak. Kami minta maaf soal tadi siang, kami minta maaf kepada seluruh warga yang merasa terganggu atas kejadian itu. Kami begitu menyesal.”

“Jadi, kalian yang membuat keributan tadi? Bapak sudah dengar dari anak bapak. Kebetulan tadi bapak ke kantor kecamatan. Masalah itu lupakan saja.” kata kepala desa itu. “Jadi, jangan lupa, surat ini bisa kalian jemput ke sini, tak usah sungkan-sungkan.”

“Terima kasih, Pak.” kata Bayu meraih kartu pelajarnya yang dikembalikan pak kepala desa itu. Lucky dan Aida juga mengambil kartu pelajar masing-masing. “Kalau begitu, kami permisi pulang dulu, Pak.”

“Lho, kok cepat pulangnya, Nak. Ibu sudah buatkan minum.” kata ibu kades muncul dari dalam membawa enam gelas teh.

“Aduh, kok repot-repot segala, Bu.”

“Ah, sudahlah. Minumlah dulu. Kalian jarang ke sini dan ibu kalian merasa tidak direpotkan. Ibu kalian juga orang Hamburgas.” kata Pak Kepala Desa.

“Berarti teman sekampung, dong, Bu. Waktu di Hamburgas, tinggal di mana, Bu?” tanya Lucky.

“Di Pasar Belakang. Jakarta – Bekasi. Jalan Kartini  Atas – Belakang Kantor Polisi.”

Akhirnya mereka akrab ngobrol dengan asyik. Kalau bukan karena sudah lapar, mungkin mereka ngobrol sampai tengah malam, saking asyiknya. Mereka akhirnya permisi pulang pada kepala desa dan istrinya setelah saling berjabat tangan.

Sampai di rumah, mereka segera makan malam dengan menu sederhana. Sambal ikan teri campur kacang tanah dan sayur bayam tumis.

Namun, meskipun dengan menu sederhana, Bayu, Lucky dan Aida makan dengan lahapnya. Baru kali ini mereka menikmati menu masakan seperti itu. Melihat mereka, kakek jadi tersenyum.

“Enak rupanya masakan seperti ini?” tanya kakek.

“Ya, Kek. Kelihatannya emang sederhana, tapi cita rasanya jempolan. Kenapa masakan ini gak dijadiin masakan khas kampung Jadul, Kek.”

“Jawabnya mudah saja. Karena masakan ini juga dikenal di daerah lain dan asalnya kita tak tau dari mana. Kalau masakan nusantara, baru cocok.”

Bayu hanya mengangguk. Selesai makan, mereka beranjak ke depan. Di situ mereka menikmati pemandangan alam kampung Jadul di malam hari sambil diiringi petikan gitar Bayu. Aida dan Maghdalena nyuci piring di sumur. Sementara kakek dan nenek asyik menikmati sebuah sinetron di televisi.

Aida dan Maghdalena akhirnya gabung ama Bayu dan Lucky ke depan setelah mereka selesai nyuci piring.

“Maghda, mungkin ini saat yang tepat untuk nanyain kakek dan nenek, biar kami bisa bantu ngeyakinin mereka.” bisik Bayu ke Maghdalena setelah Maghdalena duduk di sampingnya. Aida dan Lucky membenarkan saran Bayu.

Maghdalena segera ngajak mereka masuk dan beberapa jenak mereka ikut asyik nyaksiin sinetron.

“Kek...Nek...!” panggil Maghdalena pada kedua orang tua itu pada saat iklan. Kedua orang tua itu menoleh. “Kalau kakek dan nenek tau soal orang tua Maghda, Maghda sangat mohon ama kakek dan nenek untuk nyeritain semuanya. Apa kakek dan nenek gak kasihan liat Maghda? Maghda siap kok menerima semua yang udah terjadi.” lanjut Maghdalena sambil memohon.

Kedua orang tua itu hanya berpandang-pandangan sambil ngembusin nafas mereka dengan berat, seolah mereka gak rela nyeritain semua. Sepertinya ada sesuatu yang menghimpit keduanya.

Melihat hal itu, Bayu akhirnya buka bicara. “Kek...Nek.... Sebaiknya kakek dan nenek ceritakan saja. Sepertinya perjanjian sudah saatnya dilanggar meskipun belum waktunya. Maghdalena sudah siap menerima kenyataan, seperti apapun kenyataannya. Perjanjian yang sakral ada kalanya boleh untuk dilanggar, selama tidak membawa hal-hal negatif. Lihatlah ia, merasa tersiksa dari ketidaktahuannya itu. Semua terbengkalai, masa depannya berubah suram dan sekolahnya gak dipedulikan.”

“Mungkin hanya pada kakek dan nenek tempatnya bertanya. Usia gak dapat dihitung dan ajal kapan saja bisa datang. Kami gak mungkin nanya dokter Fian, bukan ingin menjelek-jelekkan putra kakek dan nenek. Tapi, mungkin caranya nyimpan rahasia itu terlalu berlebihan dan semua terlanjur terbongkar. Yang buat kami kecewa, dia malah gak ngelakuin usaha apa-apa buat nyari Maghdalena....” tambah Aida.

“...hingga kami pun yakin, kalau Maghdalena bukan anak dokter Fian. Kalau memang ayahnya seorang pembunuh, apa boleh buat. Namun dengan alasan itu, ia bisa termotivasi, anak pembunuh belum tentu jadi pembunuh pula.” sambung Lucky.

“Sebenarnya berat bagi kami melanggar perjanjian ini. Sejak awal memang kami sudah ingin memberi tau, tapi perjanjian itu membuat kami menunda hingga batas perjanjian itu tiba. Sampai Maghdalena dilamar orang dan menikah.”

“Apakah mesti demikian, Kek? Jika harus, Bayu siap ngelamar Maghdalena, Kek.” kata Bayu pasti.

Ketiganya, Lucky, Aida dan terlebuh Maghdalena begitu kaget mendengar keputusan Bayu. Mereka menatap Bayu heran.

“Apapun bakal gue lakuin demi Maghdalena.” kata Bayu sambil ngeluarin ponselnya. “Sekarang gue bakal ngubungi orangtua gue.”

“Lo yakin, Yu?” tanya Aida.

“Yakin!”

“Tidak perlu...” potong kakek. “Kami akan menceritakannya asal Maghdalena bisa berbuat seolah kami tidak melanggar perjanjian itu.”

“Maghdalena janji, Kek.”

“Sebentar...” kata kakek sambil bangkit dan masuk ke dalam. Sementara nenek mematikan televisi. Beberapa saat ia di dalam, ia kemudian keluar membawa dua lembar foto usang.

“Maghdalena memang bukan putri Alfian, putra kami, dia bukan cucu kandung kami.” kata kakek duduk di tempatnya tadi. “Inilah kedua orang tua kamu sebenarnya, Magda.” kata kakek memberikan kedua lembar foto itu pada Maghdalena.

Maghdalena meraih foto itu. Diperhatikannya kedua foto itu. Seorang wanita cantik, mirip dengannya. Wajahnya lembut, bersahaja, punya tatapan mata yang berbinar-binar. Satu lagi, wajah laki-laki berwajah indo, kumis tipis yang melintang di bawah hidungnya bagai deretan semut yang beriring dan rambutnya agak gondrong. Rahangnya kokoh dan di dagunya ditumbuhi jenggot yang gak begitu lebat. Keduanya begitu sepadan.

“Nama ayah kamu Setiawan dan bunda kamu Rahayu Maghdalena. Dari situlah namamu diambil Maghdalena Setiawan.

Ayahmu bersahabat dengan Fian dan sering ke sini, bahkan menganggap kami adalah orang tuanya. Opa dan oma kamu dulu bercerai ketika ayahmu masih es-em-a dan ayahmu tinggal bersama opa kamu. Karena opa kamu yang seorang nakhoda berlayar sampai ke luar negeri, membuat ayahmu ikut Fian ke sini setiap kali libur sekolah. Fian kost di rumah opa kamu dan sekolah di Hamburgas. Sementara Oma kamu, setelah perceraian itu, ia pergi entah ke mana. Entah masih hidup atau tidak. Opamu meninggal setelah seminggu perkawinan ayahmu dan bundamu. Namun opamu tidak sempat mengenal bundamu. Kami hanya tau ia meninggal dari temannya.

Dulu ayahmu pacaran dengan Sri, istri Fian, yang selama ini kamu panggil mama. Namun Fian tidak tahu dan Fian pun suka pada Sri. Melihat kenyataan itu, ayahmu berusaha membuat sakit hati Sri dengan mendekati gadis lain dan merelakan Sri dimiliki Fian. Kedekatannya dengan wanita lain membuat Sri salah paham dan membenci ayahmu. Hingga ia segera menerima lamaran Fian yang waktu itu hampir selesai di kedokteran. Sedangkan ayahmu hanya sekolah teater dan sanggar drama. Kesalahpahaman Sri berbuntut dendam dan benci yang berkepanjangan karena ayahmu telah berkhianat.” kata kakek sambil melinting tembakau shagnya.

“Sekarang, di mana ayah dan bunda Maghdalena, Kek?” tanya Maghdalena gak sabar.

“Jangan dipotong dulu....” bantah kakek. Kakek menyulut hasil lintingan tembakau shagnya.

“Setelah beberapa bulan menikah dengan Sri, Fian berhasil menyelesaikan kuliahnya, tentu saja dengan bantuan ayah dan opamu. Menerima kenyataan itu, semakin sombonglah Sri pada ayahmu. Kami yang tau hal ini dari ayahmu menjelang pernikahan Fian, hanya bisa menyesali tindakan ayahmu. Namun kami dimintanya untuk merahasiakannya dari Fian dan sampai sekarang Fian belum tau apa-apa.

Singkat cerita, dikenal ayahmulah bundamu, cukup lama mereka pacaran, hampir lima tahun. Selama itu, ayahmu sering bepergian tapi setiap bulan ia kembali untuk menemui kekasihnya. Pada akhirnya, ayahmu melamar bundamu, tapi ditolak karena ia datang tanpa orang tua. Sedangkan opamu entah di mana saat itu, apakah di Prancis, Italia, atau di Argentina. Ketika ia memberi tau kami, maka kami pun menjadi orang tuanya dan melamar bundamu untuk ayahmu, tapi tetap ditolak, karena kami hanya orang miskin. Sementara mereka keturunan ningrat. Hubungan mereka tidak lantas berhenti di situ, cinta mereka besar dan bundamu meminta ayahmu untuk membawanya ke mana pun, karena ia akan dinikahkan dengan laki-laki beristri lima. Dengan tekad dan cinta yang besar, ayahmu membawanya kemari.

Di saat kami menikahkan mereka di rumah ini, eyangmu datang bersama polisi dan menangkap ayahmu serta memenjarakannya selama setengah tahun, waktu itu bundamu segera dikirim ke Kalimantan tempat saudara eyang kakungmu. Untunglah saudara eyang kakungmu itu mengerti dengan cerita bundamu dan segera membebaskan ayahmu dari penjara dan menikahkan mereka dengan resmi dan sekaligus ia menjadi wali nikah mereka dan terdaftar di kantor KUA. Bundamu hamil dan lahirlah kamu. Tak terkira kebahagiaan yang dirasakan ayahmu kala menyambutmu. Siang dan malam ayahmu melayani bundamu dengan penuh kasih sayang. Tapi....” kata kakek berhenti, ia mengusap air matanya yang meleleh di wajahnya yang keriput.

“Kakek kenapa?” tanya Maghdalena.

“Belum genap usiamu setahun, bundamu meninggal dunia akibat demam panas yang dideritanya.”

Mendengar itu pecahlah tangis Maghdalena. Kesedihannya bertambah menjadi-jadi. Sekian tahun diimpikannya kasih sayang seorang ibu, yang gak dirasakannya dari Sri, yang emang bukan ibu kandungnya. Setelah ia tau siapa ibu kandungnya, ternyata sudah tiada. Pupus sudah harapannya. Hilang pula keinginannya untuk merasakan setetes kasih sayang dari wanita yang udah melahirkannya. Gak terkira pedih hatinya mendengar berita itu.

Ketiga sahabatnya hanya bisa menatapi kesedihannya. Mereka memakluminya  dan menilai kesedihannya adalah duka yang tertunda setelah sekian lama dipendamnya.

“Betapa hancurnya perasaan ayahmu menerima kenyataan itu. Wanita yang begitu disayanginya, meninggalkannya bersama buah cinta mereka untuk selamanya. Ayahmu begitu menyayangi bundamu melebihi dari menyayangi hidupnya sendiri. Hampir setahun ia berlarut-larut dalam kesedihannya. Ia hanya melamun dari pagi sampai sore. Kamu jadi terabaikan. Untunglah Fian sangat bersedia mencukupi kebutuhanmu dan kamilah yang mengasuhmu. Kesedihannya itu membuat jiwanya terganggu dan ia gila. Keadaannya itu membuat Fian menyerahkannya ke sebuah rumah sakit jiwa di Jakarta  dan mengambil hak asuh atas dirimu. Sri dan kedua saudaramu itu tidak setuju, tapi Fian meminta mereka keluar dari rumah kalau tak setuju. Ternyata mereka tak mau dan semakin dendamlah Sri padamu dan ia menanamkan dendamnya pada anak-anaknya.”

“Lalu, bagaimana keadaan ayahku, Kek?”

“Setelah masuk rumah sakit jiwa, dokter yang menanganinya angkat tangan dan mengaku menyerah. Dokter itu menganjurkan untuk dibawa ke Surabaya, sebab di sana ada seorang dokter muda ahli jiwa baru lulusan Amerika yang telah banyak menyembuhkan pasien, bahkan lebih parah dari yang diderita ayahmu. Tanpa berpikir berapa sudah dan berapa lagi biaya yang dikeluarkan, Fian tetap membawa ayahmu ke Surabaya untuk menemui dokter muda itu.

Ternyata dokter itu teman sekelas mereka waktu mereka di es-em-a. Kebetulan itu membuat mereka bertiga kembali bertemu. Dokter itu bersedia mengobati ayahmu tanpa bayaran apapun.

Akhirnya ayahmu sembuh juga setelah ditangani dokter itu tanpa usaha yang terlalu berarti, karena ayahmu disembuhkan lewat penyebab yang dialami ayahmu. Tiga tahun ayahmu gila. Setelah ayahmu kembali, Fian menyerahkanmu kembali, tapi ia menolak dan meminta Fian untuk terus membesarkanmu. Ia meminta kepada kami semua untuk merahasiakan dirinya sampai kamu akan menikah. Ia juga berpesan, siapa pun yang melamar kamu kelak, asal laki-laki itu baik dan punya tanggung jawab dan kamu menerimanya, kami harus merestuinya, jangan dihalangi oleh sebab apapun, terlebih karena kemiskinan.

Ayahmu pamit setelah ziarah ke makam bundamu, di situ ia berdo’a sambil menggendongmu. Terakhir dikecupnya nisan bundamu. Kabar terakhir, ia sudah menikah dan sekarang entah di mana dia.” Kakek mengakhiri ceritanya.

Kembali Maghdalena menatap kedua foto orang tuanya yang baru dikenalnya. Namun wajah ayu ibunya gak bakal pernah ditatapnya lagi walau sedetik pun di alam nyata. Dan wajah indo milik ayahnya, ia gak tau kapan wajah itu bisa ditatapnya. Masih sempatkah ia mendekap tubuh ayahnya? Semua hanya tinggal harapan.

Andai ia bertemu kelak, ia hanya berharap, agar istri ayahnya bisa menerimanya sebagai bagian dari keluarga mereka. Apabila suatu waktu ia bertemu dengan ayahnya beserta keluarga baru ayahnya.

Ia biarkan dua foto itu lepas dari tangannya ketika Bayu menariknya dan mereka bergantian melihat dua foto itu.

Aida mengembalikan foto itu kepadanya. Kembali ditatapnya dengan tak bosannya. Tersirat sebuah kerinduan yang begitu dalam di matanya yang berkaca-kaca. Kerinduan seorang anak pada orang tua yang belum pernah ditatapnya dan dirasakannya kasih sayangnya. Kerinduan itu begitu dalam, kerinduan dari samudera jiwanya yang bergemuruh. Untuk kesekian kalinya, bulir-bulir air matanya kembali menetes dari sudut matanya.

“Di mana pusara bunda, Nek?” tanyanya dengan suara bergetar menahan tangisnya pecah lagi.

“Di belakang rumah, di bawah pohon Kamboja.  Di nisannya tertulis Rahayu Maghdalena binti Wijayadiningrat.”

“Orang mana sebenarnya Om Setiawan ini dan apakah ia gak punya saudara?” tanya Bayu.

“Rumah orang tuanya di Hamburgas, tempat klinik Fian. Ia kelahiran Milan, ayahnya orang Italia. Ibunya orang Madura. Menurut ceritanya, ia punya dua saudara perempuan. Kakaknya saat itu berada di California sedang menyelesaikan kuliahnya, sedang adiknya ada di Barcelona bersama saudara ayahnya. Hanya dia yang mau diajak ke Indonesia dan menetap di sini. Menurutnya, Indonesia mempunyai alam yang indah dan menarik. Ia lebih tertarik mempelajari kebudayaan Indonesia daripada Italia dan Amerika. Ia sudah tau banyak bahasa daerah, terlebih-lebih bahasa Madura yang dipelajarinya dari ibunya.”

“Jadi orang tua Maghdalena ini orang baik-baik, Kek?” tanya Lucky.

“Maksud kamu?”

“Inilah yang menjadi pemicu kejadian tadi siang. Maghdalena selalu menganggap dirinya anak buangan yang dipungut dokter Fian, bahkan menganggap dirinya anak haram. Jelas saja kami tidak menerima hal ini.” terang Lucky.

“Tidak. Maghdalena adalah bukti kekuatan cinta. Dari namanya, Maghdalena Setiawan adalah satu-satunya buah cinta Rahayu Maghdalena dan Setiawan AR.”

“Lo dengarkan, Maghda? Lo bukan anak buangan, bukan anak haram. Lo adalah hasil sebuah kekuatan cinta. Lo juga gak usah kecewa kalo akhirnya bokap lo ganti nyokap lo.” kata Bayu

Maghdalena hanya diam sambil menatap dua foto yang masih berada di tangannya. Lama ia terdiam, bahkan yang lain ikut terdiam menatapnya.

“Bunda....” katanya sambil terisak. “Bunda... sekarang putrimu sudah besar dan kini putrimu begitu sangat merindukanmu. Kenapa begitu cepat bunda pergi ninggalin dunia ini, tanpa menanti kehadiran buah cintamu bersama suamimu. Bunda, tahukah bunda, hari ini Maghdalena-mu sangat merindukanmu. Tahu jugakah bunda, kepergian bunda udah membuat kekasihmu mengalami gangguan jiwa. Kekasihmu merasa terpukul akan kepergianmu. Bunda..., andai bunda masih ada sekarang, pasti bunda akan lihat betapa cantiknya buah cintamu bersama kekasihmu, tersenyum di antara kebahagiaan kalian dan kebersamaan kalian dalam cinta.” katanya.

Air matanya kini mengalir bagai sungai, sungai kerinduan yang begitu dalam, sedalam samudra jiwanya.

Aida bangkit dan mendekati Maghdalena, segera ia mendekap sahabatnya dengan erat dan hangat. Maghdalena membalasnya dengan dekapan sehangat kerinduan yang bergejolak di dadanya.

Sedangkan Bayu yang duduk di samping Maghdalena, hanya bisa mengelus rambut sahabatnya. Bagi Maghdalena, elusan itu bagai elusan kasih sayang seorang ayah. Kasih sayang yang selama ini diimpikannya.

Di saat ia tau siapa orang tuanya, ternyata bunda yang diimpikannya telah tiada dan ayah yang didambakannya entah di mana.

“Udahlah, Maghda, gak perlu lo tangisi, semua udah terjadi dan yakinlah semua pasti ada hikmahnya. Kita cuma bisa berdo’a padanya semoga arwah nyokap lo diterima di sisinya dan semoga lo masih diberi kesempatan bertemu dengan bokap lo.” kata Aida menghibur Maghdalena.

“Inilah yang tidak diinginkan ayahmu. Dia tidak ingin kamu terus bersedih dan mengabaikan masa depanmu. Dia tidak ingin kamu memikirkan dirinya dan almarhum bundamu yang sudah tiada.” kata kakek mengiba.

“Gak papa, kok, Kek.” balas Maghdalena. Dilepaskannya dekapannya pada Aida dan ngapus air matanya. “Justru Maghdalena kini bersyukur, karena kakek sudah memberi tau siapa sebenarnya Maghdalena dan Maghdalena menerima dengan lapang dada. Insya Allah, Maghdalena bisa menguatkan diri, karena semua bukan teka-teki lagi. Semua hal biasa saja, soalnya gak ada yang mustahil bagi-Nya.” balasnya pasti dan tegar menghadapi kenyataan.

“Baguslah, kalau begitu.” kata kakek. “Sekarang kamu tau, kenapa Sri yang selama ini kamu anggap sebagai mama, begitu membencimu dan acuh tak acuh. Itu karena dendam cintanya pada ayahmu yang telah mengkhianatinya.” lanjut kakek.

“Kek, masih adakah foto ayah dan bunda yang tersisa?” tanyanya sambil menatap wajah kakek yang keriput habis dimakan usia yang udah lanjut.

“Sebentar... kakek liat dulu.” jawab kakek sambil berdiri dan masuk ke dalam.

“Apa rencana lo sekarang?” tanya Lucky.

“Gue harus nyari ayah secepatnya. Semoga ayah masih hidup.” jawabnya antusias.

“Tapi, apa lo harus ngorbanin sekolah dan masa depan lo gitu aja? Gue rasa nggak. Lo gak boleh ngorbanin masa depan lo. Apa lo pengen ngecewain beliau? Gue rasa dia bakal kecewa banget ke lo. Nurut gue, dia ngerahasiain ini semua biar lo bisa ngejar masa depan lo dengan tenang. Dari segi positif, dengan lo ngelanjutin sekolah, berarti lo udah setengah jalan dalam nyari bokap lo. Lo ngerti kan?” nasihat Lucky.

“Benar, Maghda!” sambut kakek keluar dari dalam. Di tangannya ada sebuah koper dan diletakkan di atas meja. “Inilah semua kenangan yang tersisa dari ayah dan bundamu.” Kata kakek duduk di tempatnya semula.

Maghdalena meraih koper dan membukanya. Sehelai kebaya putih dan sehelai batik dikeluarkannya.

“Itu kebaya yang dipakai bundamu sewaktu jadi pengantin ayahmu. Dia begitu cantik dengan kebaya itu.” kata nenek.

Maghdalena mendekap kebaya itu setelah mengecupnya. Didekapnya dengan erat, seolah ia memang mendekap bundanya yang dirindukannya. Kebaya itu kemudian diletakkannya di pangkuannya. Diambilnya lagi sehelai bayu berwarna kuning muda, baju itu dikembangkannya di atas pangkuannya.

“Bagus sekali baju ini, Nek.” katanya.

“Ya. Dan baju inilah yang membuat hati ayahmu semakin terpukul. Susah payah ia mencarikan baju ini, namun belum sempat baju ini dipakai oleh mendiang bundamu. Mungkin baju seperti ini, kalau dicari sekarang sangat sulit didapat, atau mungkin tidak ada lagi.”

Dikeluarkannya pula baju-baju yang lain dan diletakkannya di atas pangkuannya. Kemeja putih panjang tangan, jas warna hitam, sebuah peci dan celana hitam panjang milik ayahnya. Paling akhir, ia melihat sebuah album foto dan kotak perhiasan.

“Itu perhiasan bundamu yang sengaja ditinggalkan ayahmu untukmu. Itu milikmu dan bawalah.” kata kakek.

Maghdalena membukanya dan terlihatlah beberapa perhiasan yang dimiliki oleh keluarga ningrat. Tapi ia segera menutupnya dan mengembalikan ke dalam koper dan meraih album foto itu dan diletakkan dipangkukannya. Dibolak-baliknya sambil mengenali orang yang ada di foto satu persatu.

Sementara yang lain hanya melihat apa yang dikerjakannya tanpa mengeluarkan kata-kata dan komentar. Mereka membiarkan Maghdalena berbuat seperti itu sesuka hatinya.

Cukup lama mereka terdiam, membiarkan Maghdalena berbuat sesuka hatinya. Aida meraih album foto itu, ketika Maghdalena selesai dan menutup album itu.

“Kakek dan nenek masuk dulu, sudah larut malam. Motornya dimasukkan lewat belakang. Maghdalena nanti buka pintunya.” kata kakek sambil bangkit dan diikuti nenek.

“Baik, Kek...Nek....” balas mereka serentak. Mereka memandangi kedua orang tua itu.

“Maghda....” kata Bayu, yang dipanggil hanya menoleh tanpa menyahut. “...malam ini lo udah punya jati diri dan kami harap semua bakal jadi motivasi buat lo. Gue, pribadi, pengen lo ngelanjutin semua yang pernah lo bangun dalam mimpi lo. Kek kata Mas Giring Nidji ...mimpi adalah kunci untuk kita meraih dunia...dalam lagu Laskar Pelangi. Gak ada kebahagiaan yang indah selain ngujutin mimpi dan cita-cita. Lo gak perlu mikirin kenapa bokap lo gak ngebawa lo saat itu, kenapa lo mesti dititipkan ama dokter Fian. Semua udah diatur ama Tuhan. Andai beberapa bulan ke depan, entah itu kapan, sekarang kita optimis aja dulu, sebelum lo sempat nyelesaiin sekolah di PB, tiba-tiba bokap lo datang..., siapa tau, kan? Trus dia ngajak lo ke manapun beliau membawa lo, satu yang mesti lo ingat, lo gak boleh lupa ke kami. Kami dengan setulus dan sepenuh jiwa kami mencintai lo, seperti saudara kami. Jangan lupa, sering ngasih kabar dan sering datang liat kami.” kata Bayu dengan wajah serius.

“Iya, lho. Lo jangan sungkan-sungkan ngajak kita ke Barcelona, California, apalagi ke kota Milan. Kami mau banget, cuman di gratisinlah, ya. Kota Milan, kota impian gue, tuh.” kata Aida ngajak Maghdalena bercanda, meskipun ia serius dengan omongannya.

“Semua permintaan gue terima, terlebih permintaan Bayu. Soalnya Indonesia Tumpah Darahku tempat gue dilahirkan, di sini gue punya sobat-sobat kek Bayu, Lucky, Aida, dan Melani. Keempat orang ini gak bakal gue lupain sampai gue peyot sekalipun. Kalian kenalkan ama sobat-sobat gue itu?”

“Gak. Orang Milan, ya?” balas Lucky.

“Ih, bolot, deh, lo. Gue bilang Indonesia malah bilang Milan. Gak nyambung kale...” balas Maghdalena. “Tapi permintaannya sabar-sabar aja kale...” lanjutnya. “Tapi apa gue masih bisa sekolah di situ?”

“Tentu saja. Kami ke sini bukan saja atas keinginan kami semata tapi dengan support dari kepala sekolah dan Pak Han. Malah, saking perlunya, kami dikasih izin libur besok, kita dikasih dispensasi.” terang Bayu.

“Lo pilih mo tinggal di mana, di rumah gue, Bayu atau Lucky. Atau lo mau nggak tinggal di rumah Pak Han?”

“Apa Pak Han dan istrinya bersedia nerima gue tinggal di rumahnya?”

“Sebentar, gue tanyain.” kata Bayu ngeluarin ponselnya dan segera menghubungi nomor milik Pak Han.

“Halo!” kata sebuah suara wanita dari seberang, setelah hubungan tersambung.

“Halo, Bu. Ini Bayu. Pak Han ada, Bu?”

“Sebentar, ada di teras depan.”

“Ya, Bu.”

“Halo! Kamu, Yu? Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa, Pak. Hanya ingin memberi tau Bapak, kalau Maghdalena bersedia melanjutkan sekolah, tapi dia tidak mau kembali ke rumah dokter Fian.”

“Lantas, kemana rencananya tinggal, Yu?”

“Inilah yang ingin Bayu tanyakan, mungkin Bapak bersedia menerimanya tinggal di rumah Bapak.”

“Bapak bersedia sekali, tapi Bapak perlu juga membicarakannya dengan ibu kalian. Do’akan saja, semoga ibu kalian bersedia.”

“Tentu, Pak!”

“Bisa Bapak bicara dengannya?”

“Boleh, Pak.” kata Bayu sambil menyodorkan ponselnya pada Maghdalena. “Pak Han mo ngomong ama lo.”

“Assalamu ‘alaikum, Pak!”

“Wa ‘alaikum salam. Bagaimana keadaan kamu?”

“Alhamdulillah, Pak. Baik-baik saja.”

“Syukurlah. Bapak senang mendengar, kalau kamu akan melanjutkan sekolahmu. Soal tempat tinggal, kamu tak perlu mempermasalahkannya, itu tugas Bapak merayu istri Bapak. Yang penting kamu mau sekolah lagi. Kemudian, soal biaya tidak perlu kamu permasalahkan, Bapak pastikan kamu tidak akan bayar kost dan masalah biaya sekolah, bapak juga yang akan usulkan pada kepala sekolah agar kamu dapat beasiswa, karena semester lalu, nilai kamu perlu diperhitungkan juga. Cukup memuaskan.”

“Terima kasih banyak, Pak. Maghdalena tidak tau mesti dengan apa kelak membayar kebaikan Bapak.”

“Jangan kamu pikirkan soal itu. Sekarang pacu semangat kamu untuk kembali belajar. Siapa tau kamu berhasil menjadi utusan sekolah pada penyisihan olimpiade sains tahun depan. Jika kamu masih ingin membayar budi bapak usahakan dengan jalan itu. Tapi bapak tidak menuntut, hanya jika kamu perlu membalasnya. Buktiin kalo lo emang beda di penyisihan Olimpiade Sains nanti.”

“Maghdalena akan berusaha sekuat tenaga.”

“Ya, sudah. Salam buat semua.”

“Iya, Pak.” setelah Maghdalena membalas salam Pak Han, hubungan terputus dan dikembalikannya ponsel Bayu.

“Yok, masukin motor, Luck!” ajak Bayu. Lucky segera bangkit. Maghdalena dan Aida bangkit menuju belakang dan ngebukain pintu.

Keluar dari situ, Bayu ganti sim card ponselnya dan segera mengirim sebuah pesan ke Bu May.

“Aq kangen bngt. Gmn k-adaan-a? Moga baik2 ja. Bls.” Setelah pesan itu dikirim, ponsel segera dikantongi.

Di dalam rumah, Bayu ngeluarin sebuah agenda dari ranselnya. Di kulit luar agenda itu tertulis: THE PARLEMENT’S OF AGENDA BY BAYU A.N “THE PARLEMENT’S” AS VOCALIST. Disertai logo The Parlement’s. Bayu kembali duduk.

“Oh, ya. Gimana, nih festival tinggal bentar lagi, kita jadi gak ikutan?” tanya Bayu meletakkan buku agendanya.

“Kenapa nggak? Kan rencananya udah gitu.” kata Maghdalena heran.

“Soalnya, kita udah gak pernah latihan, nih.” balas Aida.

“Tujuh bulan masih jauh, kan?”

“Ya. Tapi, kabarnya panitia udah nyebar spanduk dan selebaran ke mana-mana, bahkan udah sampai ke luar kota. Dalam festival nanti kita bakal nyanyiin dua lagu. Lagu wajibnya dari Dewa 19: Emotional Love Song. Lagu pilihannya ada tiga, dari Letto: Permintaan Hati, dari Padi: Sang Penghibur, dari Sheila On 7: Seberapa Pantas. Trus, kalo ada lagu ciptaan sendiri boleh dinyanyiin. Kalo kita bisa buat lagu, itu lebih baik. Gue udah siapin empat syair yang gue maksud bisa dijadiin lagu dalam album percobaan nantinya dengan judul Republik Ini Milik Kita. Gue juga udah rancang kostum kita nanti. Sebagai anggota parlemen, gue rasa cocoknya pake pakaian resmi. Celana panjang warna abu-abu dan kemeja putih lengan panjang, pake dasi dan jas warna abu-abu, peci hitam dan sepatu spot warna putih.”

“Kren juga rancangan lo, Yu.” sambut Maghdalena.

“Coba lo sebutin syair-syair lo!” pinta Aida.

“Pertama, Republik Ini Milik Kita: sebuah pernyataan sikap untuk seluruh rakyat Indonesia agar mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah kedaulatan yang berazaskan kepada Pancasila dan UUD 1945. Kedua, Demokrasi Cinta: sebuah kebebasan dalam memilih cinta, cinta bukan sekedar suka tapi ada kerelaan dan ketulusan di dalamnya. Ketiga, Jika Kita Bersama: sebuah keyakinan impian. Keempat, Jangan Pisahkan Aku: tentang sebuah keutuhan. Jangan pisahkan aku dari The Parlement apapun yang terjadi.”

“Gini, Yu. Gue kasih masukan dikit. Gue rasa, kalo judul albumnya Republik Ini Milik Kita, rasanya kurang sreg, deh. Kurang menarik perhatian audience. Karena semua orang tau kalau Republik ini emang milik kita. Kalau ada yang gak pengen, kita juga gak bisa ngusir mereka. Tapi kalo Demokrasi Cinta, kedengarannya lebih universal. Teori demokrasi juga bisa dipake dalam cinta. Dari cinta, untuk cinta, dan oleh cinta singkatnya ‘duo – CINTA’.”

“Ya, lo benar.” timpal Aida. “Kita berangkat dari cinta, berjuang untuk cinta dan tujuannya adalah cinta.”

“Filosofi yang bagus.” dukung Maghdalena. “Ditambah lagi, parlemen identik dengan negara demokrasi. Di Indonesia namanya legislatif.”

“Ya, kalian emang benar, cuman jangan cinta melulu, sekali-kali yang nasionalis, dong. Soalnya syair ini bermaksud ngucilin para koruptor biadab itu yang udah bikin semuanya porak-poranda. Indonesia termasuk negara terkorup di dunia. Memalukan!”

“Lo, emang benar. Tapi syair ini gak di delet cuman gak dijadiin walpaper. Pak Presiden juga udah mewanti-wanti hal ini, namun tetap saja korupsi jadi  game-nya para pejabat akhir-akhir ini. Penyebab semua ini, gak lain dan gak bukan, karena hukumnya masih terlalu enteng. Kita mestinya niru pemerintahan Cina, beberapa dekade yang lalu negri itu sama kek kita sekarang, disatroni koruptor. Tapi pemerintahan dan rakyat berjibaku dan nyediain peti mati bagi para koruptor. Mungkin kalo gue yang jadi presiden, hukuman buat mereka cukup berat. Mereka yang korupsi dibuat sekandang ama harimau Sumatera yang kelaparan setelah nyita hasil korupsi dan denda sepuluh kali lipat dari apa yang dikorupsinya. Ini malah penyolong ayam yang masuk penjara sementara koruptor enak-enakan nginap di hotel ama seleb-seleb murahan. Yang benar aja! Emang negeri ini mo dijadiin pergedel, apa? Pantaslah orang Eropa sana bilang Indonesia itu surga. Surganya koruptor.” papar Lucky panjang lebar.

“Ter.......la.......lu.............!” protes Maghdalena sambil godain Lucky.

“Pantas, aja, kalo lo gak diterima ngedaftar di KPU sebagai kandidat pasangan pilpres.” tambah Aida.

“Inilah sebenarnya yang perlu kita tuntaskan saat ini. Inilah pe-er kita sebagai warga negara saat ini. kenapa Indonesia gak bisa memberantas korupsi? Karena rakyat ikut mendukung maraknya korupsi.”

“Alasan lo?” pinta Maghdalena.

“Karena rakyat gak mau ngasih kesempatan ama orang yang benar-benar anti korupsi dan mau bikin hukuman kek begitu. Jadi, secara naluriah, orang yang berkoak-koak di depan gedung KPK, ...sidang ketua ini, hukum mati koruptor itu.... Semuanya gak ada gunanya, sebab dari awal mereka udah keliru. Ini menandakan kesadaran ber-Proklamasi dan ber-Pancasila itu udah hilang. Kekhidmatan yang kita liat saban 17 Agustus, saban 10 Nopember, saban 1 Oktober gak lain hanya sekedar nilai seremonial  sehari saja, yang gak punya arti apa-apa selain nilai historis sehari. Hanya sehari. Selanjutnya? Yang koruptor lanjutkan koruptor, penyimpangan demi penyimpangan fine-fine aja. Yang teriak, teriak juga. Yang nuntut, nuntut aja. Semua bebas tanpa ada kendali.

Pahlawan Pra-Kemerdekaan, Pahlawan Pasca-Kemerdekaan, dan Pahlawan Revolusi, kini harga jasa dan nilai pengorbanan mereka hanya sebatas monumen, tugu, dan SK Pengangkatan sebagai Pahlawan Nasional belaka, lain nggak. Kalau sekarang mereka             masih hidup, lantas ditanya: Apa yang harus kita lakukan untuk negeri ini sebagai balas jasa dan pengorbanan mereka? Gue pikir, mereka gak pengen dijadiin monumen, tugu, patung atau dikasih SK. Mereka pasti pengen, perintah negeri ini dengan jujur, adil dan bijaksana. Kalau memang mereka butuh monumen, tugu, patung atau SK, kenapa ratusan pasukan Demak tidak diberikan SK juga, kenapa ribuan pasukan perang Paderi gak dikasih SK, toh mereka juga ikut melawan penjajahan kolonial, mereka juga ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.” lanjut Lucky. “Jadi, kalau emang pengen brantas korupsi, yang paling awal itu menanamkan kesadaran ber-Pancasila dan ber-Proklamasi 1945. Koruptor itu tau enaknya aja. Orang yang berjuang, mereka yang menikmati hasilnya. Keterlaluan, kan?”

“Betul, Bung.” balas Bayu. “Pemirsa di studio dan di rumah, ulasan kita pada malam hari ini tentang Kesadaran Ber-Pancasila dan Ber-Proklamasi 1945 dan kelihatannya semakin malam semakin menarik untuk diikuti. Bagi anda yang ingin berinteraktif bersama narasumber kami malam ini, seorang pengamat politik yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bapak Frof.DR.Ir.Drs. Lucky Arman Prakoso, SH.MH, beliau lulusan S3 Fakultas Sosial Politik Universitas California, USA. Beliau sering di sapa Bung LAP atau lebih akrabnya Kain LAP, silakan kirim SMS anda ke 4477. Baiklah pemirsa di studio dan di rumah, setelah jeda pariwara berikut kami akan kembali, jangan ke mana-mana, tetap di......BINCANG MALAM.....” kata Bayu menirukan seorang pembawa acara.

Aida dan Maghdalena tertawa mendengar selorohan Bayu pada keseriusan Lucky.

“Brengsek, lo!” umpat Lucky. “Inilah kenyataan bahwa kesadaran ber-Pancasila dan ber-Proklamasi 1945 itu sudah hilang. Tanda-tandanya ini, orang kalo ngomong gitu selalu dianggap basi.”

“Bukan tanda-tanda Kiamat Sudah Dekat, Luck?” tanya Aida ikut meledek.

“Ah, kebanyakan nonton sinetron lo. Korban sinetron, nih, kayaknya.” balas Lucky.

SMS...SMS...SMS siapa ini, Bang? Ayo, dong, dibaca, Abang....” mendengar itu, Bayu merogoh kantongnya. “Sudah ada yang masuk, nih, sebentar gue bacain.” Bayu tetap tersenyum.

“Dari 081361750xxx. Pak LAP, gimana caranya menanamkan kesadaran ber-Pancasila dan ber-Proklamasi 1945 pada anak sedini mungkin. Dari Bu Sita, Medan.” kata Bayu tertawa. “Langsung saja kita tanyakan pada narasumber kita, Pak LAP. Bagaimana Kain LAP?”

“Monyong, lo, caranya!” jawab Lucky ngambek.

Ketiganya tertawa melihat Lucky yang ngambek.

Mereka akhirnya bangkit dan beranjak ke tempat tidur. Aida tidur di kamar Maghdalena, sedangkan Bayu dan Lucky tidur di luar.

Setelah bayu berbaring, diperiksanya kembali pesan dari Bu May tadi.

Mochtar, lo jngn gngu gw lg, lo udh merid ma Nita. Mskpn gw kcwa ma lo, tp smua dah b’rlalu ‘n gw dah ikhlas lo merid ma Nita. Smga lo bhgia ma dia.

Bayu jadi heran dan gak ngerti ama isi pesan itu. Setelah beberapa kali dibacanya, ia baru ngerti kalo luka Bu May karena cintanya dikhianati oleh Mochtar.

Bayu pun ngirim balasan dan ngasih tau kalo ia bukan Mochtar, tapi Bayu adiknya Aris.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler