Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (08/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

DELAPAN

 

DI SEKOLAH, Sabtu pagi. Kelas-kelas banyak yang gak belajar, siswa banyak yang asyik ngerumpi di kelas, di kantin, di koridor, di perpustakaan dan di sudut-sudut sekolah. Ada juga siswa yang bermain volly di lapangan, bermain badminton di dalam ruangan olah raga, bermain sepak takraw  di sudut sekolah dan bermain tenis meja di bawah pohon Akasia, di halaman perpustakaan.

Pagi itu, sejak selesai apel pagi, siswa hanya keliaran ke sana ke mari bagai anak ayam yang kehilangan induk. Ada juga yang mojok.

Proses belajar mengajar hanya berjalan sekitar 5% aja, ada dua kelas yang sedang belajar dan kedua guru itu hanya tenaga honorer yang nerima honor apabila masuk pada jam mata pelajaran yang diajarkannya. Selebihnya, guru yang berjumlah hampir 40 orang yang nota benenya berstatus PNS itu entah berada di mana. Tak tau di mana rimbanya....

Guru-guru yang ber-casing PNS itu acuh tak acuh ama siswa yang tetap hadir di sekolah pada hari itu. Mereka ngerasa, kalaupun gak hadir sebulan penuh, gaji mereka gak pernah di potong dan kerja sebulan penuh pun gaji gak pernah di tambah.

Dalam kelas I2, Melani duduk di bangkunya sambil membuka buku Sosiologinya. Tapi hanya beberapa saat saja ia bisa membaca, konsentrasinya segera buyar oleh teriakan siswa yang bermain volly, juga gelak tawa teman-teman sekelasnya yang asyik ngerumpi.

Dicobanya lagi untuk berkonsentrasi, tapi gagal. Buku Sosiologi itu akhirnya dimasukin kembali ke dalam tasnya dan ia pun bangkit dari duduknya.

Di pintu kelas, ia menoleh ke seantero sekolah. Banyak ruangan kelas yang nggak belajar. Dari ke-24 ruangan kelas, ia hanya melihat dua kelas yang belajar, yakni kelas III-A3 dan III-B3.

Dia baru nyadar setelah melihat ke kantor guru yang kelihatan sepi, kek makam angker. Ternyata banyak guru yang gak hadir. Dipikirnya hanya beberapa kelas saja yang gak belajar, termasuk kelasnya.

Kaca mata minusnya diperbaikinya letaknya sambil ngembusin nafasnya dengan berat. Ada sedikit keprihatinan dalam dadanya melihat keadaan sekolah yang kek begitu. Udah dua kali hari kesasar kek hari itu membawa imbas negatif untuk sekolah terkenal dan terpadat penduduknya, hampir 1000 orang.

Bukan dari kota itu aja yang sekolah di situ, ada juga yang berasal dari kabupaten sekelilingnya, disertai dengan pamor sekolah sebagai sekolah teladan, didukung dengan beasiswa  bagi  siswa  miskin  dan  berprestasi   yang   ikut mengharumkan nama sekolah. Ada pula dana kesejahteraan bagi siswa kurang mampu melalui para donatur yang digalang oleh pihak yayasan Pelita Bangsa yang cukup dikenal di Jakarta bahkan sampai keluar negeri.

Pemerintah kota pun ikut ambil bagian nyumbangin guru-guru yang berpotensi dengan mengangkat tenaga didik yang semula ber-cashing honorer menjadi tenaga didik yang ber-cashing PNS dan ditugasi di sekolah itu dalam program peningkatan mutu pendidikan yang berkualitas dan berstandar internasional lewat otonomi daerah.

Melani kembali menoleh pada teman-temannya yang asyik ngobrol sambil ketawa-ketiwi. Ada-ada aja yang mereka obrolin. Di sudut ruangan, ada sepasang manusia yang ngobrol. Di sudut lain ada seorang gadis yang sedang ayik menekuni sebuah buku. Keliatannya serius tapi nyantai. Di tangannya ada sebatang pensil yang diputar-putarin. Mulutnya asyik ngunyah permen karet. Sedikit pun ia gak ngerasa terganggu dengan hiruk pikuk di sekelilingnya.

Melihat hal itu, Melani pun tertarik untuk ngedekati dan pengen tau apa yang dikerjakan temannya.

“Lagi ngapain, Sis?” tanyanya setelah berada di samping temannya yang bernama Siska.

“Eh, lo, Mel....” katanya menoleh ke Melani. “Ini lagi baca buku. Males, gak ada kegiatan. Belajar nggak, mo ngerumpi gak ada obrolan menarik. Orang pada ngobrolin PMM-nya ama si do’i. Kalo kek gue yang jomblo, mana nyambung.”

“Oh. Tapi, gak bising ya, baca di tengah keramaiaan gini?” tanya Melani sambil duduk di samping temannya yang bergeser ke samping.

“Abis, mo diapain coba? Ditegor gak mungkin, yah, dibikin enak aja, sambil ngunyah permen karet, biar relax.”

“Emang ada pengaruhnya, permen karet dengan konsentrasi di tengah pasar gini?”

“Seratus persen, sih nggak, soalnya bukan hasil penemuan Michael Paraday, juga bukan hukum Archimedes atau Phytagoras. Cuma sedikit ngebantulah, tapi dibalikin keorangnya juga.” balasnya sambil senyum. “Mmm... yang lain pada ke mana, kok sendirian?”

“Lagi ke Kampung Jadul, menemui Maghdalena.”

“Udah ketemu?”

“Kok tau.”

“Kak Sheila sering cerita. Dia bilang Maghdalena itu ngarasa bukan anak dokter Alfian. Apa benar?”

“Nurut kami emang gitu. Soalnya ketika ditanyain keliatannya acuh gak acuh gitu.”

“Kasihan dia, ya? Padahal dia baik, pintar dan cantik.” katanya ke Melani yang cuma ngangguk doang. “Kalau udah kek begini, malas juga, ya?”

“Iya, nih. Sekolah sih nomor satu, tapi belajarnya masak kek gini. Mentang hari kejepit, masak belajarnya juga ikut dijepit, mending sekalian libur aja. Yang kek gini namanya pendiskriminasian. Guru libur didiemin, coba kalo siswa, yang dijemurlah, didendalah. Seharusnya ini dikasih tau ama kepala sekolah. Kita kan gak bisa dibuat seenaknya. Kita bayar iuran BP3 mahal-mahal, kok gak belajar, rugi, dong.”

“Eh, gayanya lo. Iuran BP3 kita di sini dari alokasi dana kesejahteraan siswa kurang mampu yang berasal dari para donatur yang dihimpun oleh pimpinan yayasan. Jadi, kalo kita nyelonong aja masuk ngasih kritik, kita gak bakal diterima. Kalau kita bayar iuran BP3, kita bisa manfaatin itu sebagai bahan argumen.”

“Soal gampang! Kita kan bisa manfaatin kebijaksanaan yayasan yang ngasih dispensasi buat meningkatkan mutu sekolah. Toh, guru-guru yang kejepit itu juga kebagian, kanapa masih disia-siain.”

“Boleh juga. Tapi, mestinya lewat forum yang sah dan terbukalah. Kalau berhadapan langsung, gue sungkan juga. Gue belum pernah bicara langsung ama beliau.”

“Alah, pake forum lagi. Emang lo pikir ini di PBB, apa? Ini sekolahan Non Siska. Lagian kalo langsung ke dia, beliau bakal ngerasa terhormat dan wibawanya sedikit ke angkat , meskipun dikritik oleh kita. Dari pada yayasan yang kritik beliau. Apalagi Bapak Drs. Suyitno Hambali, M.Pd itu orangnya terbuka dan dengar-dengar kabar, hal ini merupakan program kerja beliau saat dinobatkan sebagai kepala sekolah.”

“Wah, udah jadi detektif lo rupanya. Tapi, apa mesti sekarang, nih?”

“Maunya kapan? Ya, sekarang, dong. Lebih cepat lebih baik.”

“Okey, deh.” kata Siska meraih tasnya dan memasukkan buku dan pensilnya ke dalam tasnya. “Yok!” ajak Siska.

Keduanya berdiri dari tempatnya dan keluar dari kelas. Suasana sekolah masih kek tadi.

Di depan kelas III-A2, keduanya dicegat oleh Prasetyo dan Sheila. Prasetyo yang mantan ketua OSIS, tapi sekarang gak lagi, karena bulan Agustus yang lalu, sebelum acara peringatan Tujuh belasan, sidang paripurna OSIS sudah digelar dan Haikal Putra Dewa terpilih sebagai ketua OSIS dari kelas II-5.

“Ei, met pagi adik-adik manis!” sapa Prasetyo.

“Pagi Kak Prast ganteng, Kak Sheila cantik!” balas mereka.

“Mo kemana, nih?”

“Kebetulan mo ke KOMNAS-HAM, selanjutnya ke KEJATI untuk melapor.” balas Siska bercanda.

“Serius dulu, napa, sih.”

“Kalo Seuries, sih, Roker Juga Manusia, Kak.” sambut Melani ikut bercanda.

“Kalian gak berbakat jadi pelawak. Buktinya kakak gak ngakak. Udah, deh, mo kemana, sih.”

“Kakak gak belajar juga, ya?”

“Lho, ditanya kok malah nanya. Ya, gurunya lagi break, lagi ngaso.”

“Ini dia, mereka enak-enakan ngaso, sementara kita disuruh sekolah. Semua pada gak kekontrol. Jadi, kita mo nemui Pak Direktur agar ngadain penertiban guru-guru yang kejepit. Ini namanya pendiskriminasian.”

“Kalian benar. Semua gak kekontrol. Ketua OSIS kelihatannya dienjoy-in aja. Malah ide ini dari kalian.”

“Alah, kakak. Apa selama ini kakak kepikiran ke situ? Jangan-jangan, kakak malah tiap malam tahajud ngedoin moga guru kejepit tiap hari. Kalo gak hari, jepitan perangkap tikus.”

“Ih, lu tu ye. Berlebihan banget nilai gue. Apa dari tampang gue yang handsome ini ada nonjolin sifat yang nggak-nggak?”

“Waktu baru kenal, sih, nggak, tapi malah keliatan sekarang.” balas Melani tertawa. “Udah, ya. Kita berdua ke sana.”

“Kalau gitu, kami ikut aja sekalian.”

“Kebetulan, dong. Yok!”

Mereka berjalan melintasi koridor sekolah. Hanya dua kelas yang belajar dan itu gak dijamin berkonsentrasi ke pelajaran. Konsentrasi mereka bakal buyar oleh suara-suara yang ada di luar dan hasilnya sama saja gak belajar.

Hal inilah yang membuat Melani jadi prihatin dengan keadaan SMA Pelita Bangsa yang dicintainya.

Di ruang guru gak ada siapa-siapa, hingga mereka pun langsung ngetuk pintu ruang kepala sekolah sambil ngucap salam.

Pak kepala sekolah yang hanya ngutak-ngatik komputer segera mempersilakan mereka masuk.

“Ada apa anak-anak?” tanyanya setelah mempersilakan mereka masuk dan duduk. “Apa sudah ada kabar dari Bayu?”

“Kalau soal itu belum ada, Pak.” balas Prasetyo. “Ini, Melani mau menyampaikan keluh kesahnya tentang sekolah kita ini.”

“Oo..., silakan disampaikan, bapak akan segera menindak-lanjutinya.” ungkap kepala sekolah begitu antusiasnya.

“Tapi sebelumnya kami minta maaf dulu, jika nanti penyampaian kami terlalu maju atau membuat Bapak tersinggung.” kata Melani.

“Kenapa mesti tersinggung? Bapak bukan tipe orang seperti itu. Sampaikan saja, jangan sungkan-sungkan.”

“Baikalah, Pak. Sebenarnya hal sepele saja, tepi menurut penilaian kami, hal ini lambat-laun akan menjatuhkan popularitas sekolah kita di mata masyarakat. Mungkin bapak tidak menginginkan hal ini. Masalahnya, kami mohon kepada Bapak sebagai kepala sekolah yang memiliki wewenang penuh untuk mengadakan pendisiplinan guru yang mengabaikan tugasnya pada saat pelajaran berlangsung.” papar Melani.

“Iya, Pak. Kami hanya prihatin saja melihat siswa yang belajar seperti kelas III-A3 dan III-B3. Tapi, konsentrasi mereka tidak terjamin fokus pada pelajaran, mengingat hiruk-pikuknya di luar. Kami rasakan sendiri, seandainya kami yang sedang belajar itu, terus terang kami tidak bisa berkonsentrasi. Kami memang belum menjamin diri kami bisa belajar semaksimal mungkin, tapi kehiruk-pikukan itu  bisa menjadi alasan yang tak bisa diabaikan.” tambah Siska pula.

“Saya pribadi memang sadar, kalau saya terlalu lancang menyampaikannya secara langsung, karena iuran BP3 saya adalah bagian dari alokasi dana kesejahteraan siswa kurang mampu yang dianggarkan oleh yayasan. Tapi, hati saya merasa terketuk dan terhimbau atas hal sepele ini.” lanjut Melani merendah.

Drs. Suyitno Hambali, M.Pd merasa tertohok dengan keluh kesah siswanya itu, ia merasa wibawanya jatuh. Namun dibalik itu semua, ia merasa kagum pada kedua siswa itu. Penyusunan kata yang fleksibel, ringan dan tidak bertele-tele. Hingga kekagumannya itu kembali mengangkat wibawanya. Ia berpikir, seandainya pihak yayasan yang menegornya pastilah akan dipojokkan terus menerus tanpa ampun.

“Jangan berkecil hati. Inilah tujuan pengalokasian dispensasi diadakan dan orang seperti kalianlah yang paling berhak menerimanya. Sebab, tujuan utamanya memberi kesadaran pada siswa dan guru untuk lebih meningkatkan potensi sekolah kita ini, bahkan pemerintah kita ikut memberikan bantuan guru-guru berstatus PNS dan gaji mereka yang dialokasikan yayasan, setengahnya bisa dialihkan pada siswa. Dengan kesan yang lebih dalam dapat diungkapkan: jangan persulit anak bangsa dalam memperoleh pendidikan setinggi mungkin. Kalian jangan berkecil hati dengan keadaan kalian, malah bapak bangga sekali memiliki siswa kreatif seperti kalian. Soal pendisiplinan guru dan siswa, sepertinya bukan hal sepele dan Bapak berjanji akan menindak-lanjutinya secepat mungkin.”

“Terima kasih banyak, Pak. Kami sangat senang sekali dengan sambutan Bapak.”

“Bapak juga berterima kasih pada kalian. Bagaimana jadinya, seandainya yayasan yang menegor bapak? Kalian kelihatannya lebih brilliant dari pada senior kalian yang sudah berakar di sekolah ini, tidak pernah berpikir ke situ. Jangankan mereka, Bapak sebagai pimpinan saja tidak pernah berpikir ke sana.”

“Jangan terlalu memuji kami, Pak. Kami mengerti, tidak sedikit pekerjaan bapak demi sekolah ini. tiap hari ada saja yang lebih penting untuk diselesaikan. Mungkin inilah hikmahnya, seseorang itu tidak perlu marah bila dikritik.”

“Betul. Bapak sangat setuju. Kalau ada orang yang marah saat dikritik, itu orang yang berpikiran sempit dan kolot.” balas kepala sekolah. “Tapi, soal Bayu, belum ada kabar, ya?”

“Belum, Pak!” jawab Prasetyo.

“Apa terjadi sesuatu dengan mereka?”

“Entahlah, Pak.” balas Melani.

“Bapak tidak habis pikir, sampai hati dokter itu membiarkan hal ini terjadi tanpa perlu ambil pusing.”

“Mungkin benar, Pak. Maghdalena bukan putrinya. Jadi, pulang syukur, tidak lebih syukur, begitu barangkali menurutnya. Secara logika saja, mana ada orang tua yang membiarkan hal seperti ini terjadi. Yang namanya orang tua, sejahat apapun anaknya dia akan tetap mencintai anaknya.”

“Betul. Tugas kalian mengambil hikmah dari kejadian ini. Tidak semudah yang kalian bayangkan jadi orang tua yang baik. Sangat sulit. Kalau benar-benar belum sanggup, jangan menikah dulu. Kesanggupan bukan hanya dinilai dari materi, kesanggupan memenuhi nafkah lahir. Tapi, harus bisa memahami kepribadian anak yang terkadang tidak menuntut materi dan bagaimana pula menaklukkan anak yang terlalu banyak menuntut hal-hal yang melewati kemampuan ekonomi. Pernikahan bukan hal yang main-main, penuh resiko dan tanggung jawabnya besar sekali. Memberi kebebasan juga dibutuhkan, jangan memaksakan kehendak, hal ini bisa menghambat kreativitas anak dalam menggali potensinya tapi tetap mengontrol. Bapak juga demikian, dulu bapak berharap mereka menjadi seperti ini, seperti itu, namun bapak memberi kebebasan untuk menentukan masa depannya masing-masing. Jika salah pilih, bapak meminta mereka mempertanggungjawabkannya.”

“Betul, Pak. Saya paling benci melihat orang tua yang mendidik anak dengan kekerasan. Untunglah ada Undang-Undang Perlindungan Anak dari bentuk kekerasan dalam rumah tangga.”

“Hak azasi anak memang harus dilindungi, sebab sudah terlalu banyak anak Indonesia yang kehilangan masa depan akibat kekerasan dalam rumah tangga dan menjadi pengabdi jalanan. Kalau dibiarkan berlarut-larut, siapa yang bertanggung jawab pada negara ini bila generasinya tidak ada.” terang kepala sekolah.

“Baiklah, Pak, kami permisi dulu. Maaf sudah mengganggu Bapak.” kata Melani sambil berdiri diikuti Siska, Prasetyo dan Sheila. Kepala sekolah itu pun bangkit dari duduknya.

“Silakan! Sekali lagi, Bapak ucapkan banyak terima kasih atas kepedulian kalian pada sekolah ini. Bapak selalu mengharapkan bentuk kepedulian kalian pada sekolah ini dan jika ada masalah lain yang memerlukan kebijakan Bapak, Bapak harap jangan enggan menyampaikannya.”

“Baik, Pak. Kami permisi dulu.” balas Melani menjabat tangan kepala sekolah diikuti yang lain.

Mereka berempat akhirnya meninggalkan ruangan kerja kepala sekolah itu dan bermaksud menuju perpus.

Sementara kepala sekolah senyum bangga pada siswa-siswanya itu.

Siswa yang seperti inilah yang berhak menerima dispensasi. Siswa yang memiliki pikiran yang brilliant, patut diacungi jempol dan diberi tanggapan sebaik-baiknya. Kata kepala sekolah bicara pada dirinya sendiri.

Melani, Siska dan Prasetyo udah duduk di kursi yang ada di perpus dengan buku masing-masing. Sementara Sheila masih asyik milih-milih buku dari rak yang satu ke rak yang lain.

“Kak, sepertinya antara kalian ama Kak Sheila itu layaknya ungkapan aku ada karena kau pun ada. Kalian pacaran, ya?” tanya Melani.

“Dibilang pacaran, sih, nggak juga. Cuma teman dekat aja, kok. Kebetulan sejak kelas I ampe kelas III kita tetap sekelas dan kenyataannya kita berdua emang cocok dan nyambung.”

“Cocoknya buat pasangan, ya?” tanya Siska.

“Jujurlah padaku ada apa dengan kalian?” tanya Melani sambil ngaduk lagu Radja dan Peterpan.

“Kalau mau jujur, sih, kakak emang suka ama dia. Tapi waktu kakak nembak dia, pelurunya kurang tajam dan mempal, deh. Dia nolak.”

“Kacian dech Kakak. Punya cinta, kok ditolak. Tampang sih oke, tapi....” ledek Melani.

“Biasalah. Penolakannya kan logis, bukan karena punya gebetan lain, tapi karena dia gak pengen pacaran dulu sebelum selesai SMA. Tapi, kakak ngerasa gak ditolak, soalnya setiap kakak ngajak dia malam mingguan, dia oke-oke saja. Kakak ngarasa lagi Menjaga Hati.

“Cieh... Yovie and Nuno, nih kedengarannya, ...kau jauh aku takkan jauh, kau pergi aku takkan pergi, sebenarnya diriku masih mengharapkanmu....” Melani ngelantunin lagu Menjaga Hati milik Yovie and Nuno.

“Eh, dia datang, tuh...!” kata Prasetyo dan mereka segera nyoba konsen ama buku yang ada di tangan masing-masing ketika Sheila gabung lagi ama mereka sambil bawa novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata. Yang udah dibuat filmnya dan ditayangi di bioskop. Sayangnya, di Hamburgas, bioskopnya sudah lama ditutup dan Pemko mengalih fungsikannya menjadi Gedung Kesenian.

“Kok, diam? Emang lagi ngomongin apa tadi?” tanya Sheila sambil bolak-balik buku yang dipegangnya. “Ngomongin kakak, ya?” tanya Sheila lagi setelah gak dengar jawaban apa-apa.

“Iya, Kak...!” jawab Melani. “Adaw...uh...sakit tau.” gerutu Melani ke Siska.

“Kenapa lo, Mel?” tanya Sheila heran. “Emang lagi ngomongin apa tadi?”

“Itu, Kak. Kakak kok bisa, sih, secantik ini, body langsing, tapi dengar gosipnya di Kabar-Kabari, kakak doyan makan.”

“Oh, soal itu, Pasti Prast wartawannya, kan?” tanya Sheila menoleh pada Prast. “Yah, Prast-nya  pake malu lagi. Biasalah. Selera gak boleh ditahan, ntar jadi bahan pikiran. Yang penting olahraga secara teratur, biar body gak melar. Ntar gak ada yang naksir lagi.” ungkap Sheila.

“Pantesan, dong!” balas Melani. “Kak Prast, hubungi Bayu, dong!”

“Kebetulan, ponsel kakak ketinggalan di kelas. Kamu, Shei?”

“Ada. Tapi, nomor Bayu dan Aida gak ada. Kalo kalian ingat, nih pake.” kata Sheila menyerahkan setelah kembali mengaktifkannya.

Prasetyo masukin nomor Bayu seperti yang disebutin Melani dan dihubungkan. Nomor itu di luar jangkauan dan beberapa kali dihubungi tetap mailbox.

Mailbox mulu, Mel!”

“Gak ada sinyal kali di sana, atau ponselnya dimatiin.” kata Sheila.

“Kita coba nomor Aida.”

Melani segera nyebutin nomor milik Aida.

Aida bangkit dari tempatnya ketika ponselnya nyanyiin lagu Mistikus Cinta-Dewa 19. Ia segera menjauh sambil ngeluarin ponselnya dari saku celananya.

“Halo! Ini siapa, ya?” tanyanya setelah nerima panggilan tanpa identitas.

“Halo! Ini Kak Prast make ponselnya Kak Sheila. Gimana kabar kalian?”

“Baik. Semua baik-baik aja. Kalian gimana?”

“Baik juga. Kok gak calling Pak Direktur, sih, beliau kawatir banget, lho.”

“Ups, sorry, Kak. Kita lupa, nih. Tapi semalam udah calling Pak Han.”

“Hari Sabtu beliau ke SMA 1. Abis ini calling, ya.”

“Iya, Kak. Pada ngapain, kok rame banget? Gak belajar, ya?”

“Iya, nih. Guru-guru pada ikutan kejepit, nih, kayaknya. Bisa bicara ama Maghdalena, nggak?”

“Sorry banget, Kak, Maghdalena lagi baca surat Yassin di makam nyokapnya. Kita lagi ziarah, nih.”

“What’s? Serius lo kalo ngomong?”

“Benar, Kak. Nyokapnya udah meninggal saat dia belum genap setahun. Sementara bokapnya gak tau di mana. Kita do’ain aja semoga masih ada dan satu saat mereka bisa dipertemukan. Sekarang dia udah tenang meskipun masih nangis. Ya, kita maklum aja, mungkin luapan Emotional Love Song, aja kali.”

“Ya..., tapi kalo Emotional Love Song, berarti dia bakal pergi jauh, dong dan gak bakal kembali lagi untuk selamanya. Kalian coba bujuk dia, dong.”

“Maksudnya, bukan dia yang Emotional Love Song, tapi almarhum nyokapnya.” balas Aida. “Udah, ya, Kak. Kita cerita Senin, aja. Dia balik, kok bareng kita.”

“Okey, deh. Tapi abis ini langsung calling Pak Direktur, ya.”

“Ya, Kak!” balasnya mutusin hubungan.

* * *

SUARA alunan ayat suci Al Qur’an masih terdengar sayup-sayup dari mulut Bayu dan Lucky. Sementara Maghdalena hanya menangis di samping nisan nyokapnya sambil nyabutin rumput-rumput liar di atas pusara dan mungut daun-daun kering yang berserakan di atas pusara nyokapnya.

Aida masih ada di tempat tadi dan dia lagi ngomong ama Pak kepala sekolah. Gak berapa lama berselang, ia balik ke tempat teman-temannya.

“Bunda, kenapa bunda secepat itu pergi tanpa pernah ngasih kesempatan ke Maghdalena untuk natap wajah, ngenal senyum dan mencium wangi nafas bunda? Kenapa hanya pusara ini yang tersisa?” ratap Maghdalena memeluk nisan bundanya. Kepalanya tersandar ke batu nisan dengan sisa isak tangisnya.

Mendengar itu, Aida segera mendekatinya. “Lo gak boleh ngomong gitu, dong. Itu artinya lo gak ridho. Ingat, semua kita adalah milik-Nya dan Dia berhak ngambilnya. Lo boleh nangis, asal jangan meratapi kek gitu. Ntar lo malah berdosa.”

“Tapi....”

“Gak ada tapi-tapian. Dari pada lo meratapi, mending lo berdo’a, semoga nyokap lo diterima di sisi-Nya.” bujuk Aida. “Sekarang kita berdo’a, ya.” bujuk Aida setelah Bayu dan Lucky selesai ngaji.

Selesai berdo’a mereka berempat ninggalin pekuburan.

“Siapa yang calling tadi, Da?” tanya Bayu.

“Kak Prast. Dia nanyain kabar kita, trus nyuruh kita ngabari ke Pak Direktur. Katanya beliau kawatir banget. Ya, langsung aja gue calling beliau.”

Akhirnya mereka nyampe ke rumah. Di teras mereka memetik-metik gitar. Selanjutnya mereka nyanyiin lagu Permintaan Hati milik Letto. Aida ikut nyanyi sementara Maghdalena larut dengan pikirannya sendiri.

“Udah, deh. Lo gak usah mikirin yang nggak-nggak soal bokap lo. Lo gak usah negative thinking gitu. Masak, sih, lo tega berpikiran kek gitu sama bokap lo sendiri.” kata Bayu melihat mata Maghdalena yang nunjukin  penyesalan. “Gue yakin, kok, bokap lo ninggalin lo bukan karena gak sayang ama lo, tapi ada alasan lain yang maksa beliau nitipin lo ama dokter itu.”

“Lo benar, Yu. Seharusnya gue gak mikir sejauh itu ama bokap gue sendiri. Cuman gue kangen banget. Kek gimana ya, wajahnya sekarang? Apa dia bisa ngenal gue dan gue bisa ngenal dia, kalo suatu saat kami ketemu.”

“Jangan pesimis gitu, dong. Lo harus sabar dan berdo’a, semoga kalian bertemu. Kami siap ngorbanin jiwa raga kami buat ngebantu lo. Ingat, The Parlement’s kita bentuk buat ngarasain semuanya. Apapun yang lo rasain kami mesti ikut juga ngerasainnya.” kata Lucky.

“Ya, udah, gue mandi dulu, abis itu kita jalan ke pasar.” kata Bayu bangkit. Diambilnya perlengkapan mandinya. Di sumur ia ngubungi Bu May.

“Hello my teacher that beautiful!” sapanya lembut.

Opo cah gemblung?” tanya Bu May dari seberang.

“Lho...lho..., kok sewot gitu, sih? Ada apa, Mbak, kok marah-marah ke Bayu?”

“Gimana gak marah, bisa-bisanya kamu ngirim SMS kek gitu.”

“Emang napa? Apa gak boleh kangen ama guru sendiri? Bayu jujur banget, kok. Malahan Bayu ngerasa suka sama, Mbak.”

“Suka taikmu! Dasar bocah ingusan! Mana pake nomor yang gak dikenal lagi.”

“Oo..., soal si Muchtar, toh. Bayu udah ngerti, patah hati cuma gara-gara seorang Muchtar. Ih, kolot banget, sih, jadi cewek. Emang cowok dia doang, apa? Kek gimana, sih dia, ampe gak bisa dilupain?”

“Kek setan, sama kek kamu....”

Bayu segera matiin ponselnya. Ada seberkas penyesalan dan kekecewaan mengendap dalam hatinya, ketika dengar kata itu. “Kalau gue tau cinta kek gini, gue gak bakal jatuh cinta. Ya, iyalah, ngapain juga gue berkhianat.” katanya dalam hati.

Nomor Bu May langsung didelet dari memori ponselnya. Pesan yang dikirim dan diterimanya juga ikut didelet. Dia segera ganti kembali kartu ponselnya.

Selesai ia mandi, Lucky, Aida dan Maghdalena mandi secara bergiliran. Sambil nunggu, Bayu nongkrongin MTV Ampuh, mo liat info musik terbaru.

Pukul sebelas, semua udah pada siap. Kunci rumah di simpan Maghdalena di tempat yang biasa. Bayu dan Lucky nyalain motor dan segera melaju setelah Aida duduk di belakang Bayu dan Maghdalena bersama Lucky.

Di tempat-tempat tertentu, Bayu selalu berhenti dan biarin Aida asyik ama kamera Canon Eos Tipe 350D-nya bersama hobi fotografer-nya. Aida memang berbakat jadi fotografer seiring dengan hobinya melukis. Kameranya itu adalah hadiah dari nyokapnya saat ia ulang tahun ke-15 tahun lalu. Nyokapnya pengusaha batik, sementara bokapnya hanya seorang ketua salah satu LSM di kota Hamburgas.

Bayu berharap, Aida kelak bakal jadi desain cover dari album yang udah mereka rencanakan.

Di pasar, mereka nitipin motor ke tempat parkir. Mereka masuk sambil gandengan tangan. Bayu ama Aida dan Lucky ama Maghdalena. Mereka gak risih dengan pandangan orang ke mereka.

Lama mereka putar-putar, setiap ada barang unik, berupa pernak-pernik, mereka langsung mesan lima dan minta di logo ama ‘THE PARLEMENT’S’ dengan permanen.

Puas mondar-mandir, mereka mampir di warung sate buat ngisi perut yang udah keroncongan. Mereka menikmatinya sambil ngobrol-ngobrol. Suap-suapan gak membuat mereka risih dengan tatap-tatap mata orang yang ada di situ.

Selesai itu mereka pesan dua porsi untuk dibawa pulang, sedangkan perlengkapan dapur udah komplit. Malah Bayu beliin tembakau Shag dan sebuah pipa buat kakek.

Terakhir, mereka nyetak foto yang disimpan di memory cards Canon Eos milik Aida. Selesai di situ mereka beranjak ke tempat parkir dan setelah bayar jasa parkir, mereka terus melaju ke Kampung Jadul.

Di rumah, kakek dan nenek udah balik dari ladang. Maghdalena segera menyodorkan sate yang mereka beli pada keduanya. Melihat ada tembakau dan pipa, kakek begitu senang.

“Kek! Mungkin besok Maghdalena ikut balik. Maghdalena gak pengen ngecewain ayah, kelak, ketika kami ketemu kapan-kapan. Tapi, maafin Maghdalena ya, Kek, Maghdalena gak balik ke rumah papa Fian. Maghdalena gak nyaman ditekan terus. Kapan Maghdalena bisa belajar kalo mama Sri terus-terusan neror.”

“Lantas kamu tinggal di mana?” tanya kakek.

“Rencananya tinggal du rumah Pak Han, guru kami.”

“Terserah kamu saja, yang penting kamu sekolah. Tapi kamu harus ingat, jangan bandel lagi. Kalo punya masalah, ya mbok diceritain. Jangan main minggat wae! Ndak baik gitu, yo!”

“Iya, Kek!”

“Masalah biayamu, biar kakek yang ngirimi kamu tiap bulan.”

“Ya, Kek!” balas Maghdalena mengikuti sobat-sobatnya ke depan.

Di situ mereka duduk tanpa ngobrol. Masing-masing nikmati suasana pedesaan. Hanya Aida yang sibuk dengan kameranya, ngambil objek-objek yang bagus.

Pikiran Bayu kembali melayang pada Bu May, namun kata itu kelewat kasar di rasanya. Ia dikatain ‘setan’ padahal hanya bilang kangen. Dua jadi ngerasa aneh dengan perubahan Bu May.

Siapa sebenarnya Mochtar yang udah ngianati Bu May? Kek gimana, sih, hubungan mereka ampe sebegitu patah hatinya Bu May ketika Mochtar married ama Nita? Tanya Bayu dalam hatinya. Ah, masa bodo! Umpatnya dalam hati.

Ia meraih gitar yang ada di atas meja. Tanpa semangat, gitar itu dipetiknya, tapi akhirnya ia nyanyiin lagu Kosong milik Dewa 19.

........................................................................................................................................

Kamu... seperti setan

.....

“Setan apa hantu? Yang benar aja dong kalo nyanyi, jangan dijerumusin ke lembah yang hina. Dhani capek-capek bikin syair, kok dipelesetin. Bukan Baladewa  sejati, nih.” protes Lucky.

“Setan ama hantu apa bedanya, Luck? Sama-sama nyeramin, kok....” balasnya.

...........................................................................

Kamu...seperti setan

Terus...menyetaniku

Ke mana pun tubuhku pergi...

Kau terus membayangi aku....

Salahku...biarkan kamu

Bermain...dengan pikiranku

Aku tak bisa memusnahkan...

Kau...dari pikiranku ini

REEF:

Di dalam keramaian

Aku masih merasa sepi

Sendiri memikirkan kamu

Kau genggam hatiku

Dan kau tuliskan namamu

Kau tulis namamu...

INTRO:

Tubuhku...ada di sini

Tetapi...tidak jiwaku

Kosong yang hanya ku rasakan

Kau telah tinggal di ha...tiku

........................................................................................................................................

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler