Skip to Content

NOVEL: UNANG ISOLSOLI (2/8)

Foto SIHALOHOLISTICK

DUA

 

DALAM kamar, di tempat kost, yang ditempatinya bersama Arby, pikiran Delito masih saja dibayangi wajah Nelita dan terus berganti dengan wajah Rani. Ia sungguh tak mengerti, kenapa Rani tiba-tiba menghantuinya. Mungkinkah bayangan Nelita yang telah membuat pintu hatinya terkunci rapat pada siapa pun akan terhapus oleh kehadiran seorang gadis sombong yang siang tadi telah menampar pipinya. Ingin rasanya ia menatap wajah Nelita yang bersahaja dan mendengar suaranya yang lembut, agar keraguannya hilang, agar ia tahu pasti, kalau Nelita tidak pernah melupakannya.

Penyesalan menghantuinya, kenapa ia tidak menerima tawaran orang tuanya dengan cepat agar Nelita, tidak pernah jauh sampai ke Jakarta sana. Tapi, sudah berlalu dan kini ia sadar kalau ia dihadapkan pada keraguan yang cukup berat untuk dijalaninya. Sungguh, ia tak pernah berpikir untuk mengganti Nelita dengan wanita manapun. Meskipun saat ini Nelita mungkin tak mengingatnya lagi. Kata-kata perpisahan dari Nelita masih terngiang-ngiang di telinganya. Unang lupahon au, To. Holan ho do na adong di rohangki. Lomo hian do rohangki tu ho [1]).

Gitar yang sedari tadi di genjreng-genjrengnya tidak sedikit pun mampu menghibur hatinya. Arby yang sedari tadi sibuk dengan kertas yang ada di hadapannya, hanya heran melihat tingkah Delito sambil menggeleng. Biasanya, kalau lagi megang gitar, gak pernah Delito seperti itu, biasanya selalu ceria dan semangat. Kalau ia lagi nyanyi Batak, Arby paling suka, terlebih Pak Sitohang, pemilik rumah kost.

Sementara, di sebuah kamar, dalam sebuah rumah mewah yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas sekunder dan tersier, di atas sebuah ranjang berukir bagus, terbaring seorang gadis cantik. Dari tatapan gadis itu, terlihat ia sedang memikirkan sesuatu. Laptop yang ada di hadapannya dibiarkan terus menyala. Sedangkan angannya melayang pada kejadian yang dialaminya tadi siang di ruang perpus. Ketika jari seorang cowok menyentuh pipinya dengan lembut, kelembutan yang sempat dinikmatinya beberapa detik, hanya hitungan detik. Setelah itu, dengan kasar ia memaki dan menamparnya.

Tidak salah lagi, cewek itu adalah Rani. Angannya kembali terbuai, ketika sebuah kelembutan ditawarkan seseorang kepadanya dengan tulus, bukan sentuhan yang terkontaminasi oleh nafsu, tetapi cinta. Ya, tentu saja cinta, sebab beru pertama kali bertemu dan tanpa tau siapa di antara mereka, tiba-tiba saja kelembutan itu ditawarkan. Selama ini, ia belum pernah merasakan sentuhan seperti itu. Setiap laki-laki yang mendekatinya hanya menawarkan cinta palsu dan ingin merebut apa  yang dimiliki orang tuanya. Malah sakitnya, ia telah dijadikan taruhan oleh laki-laki usil saat ia duduk di bangku SMA. Menjadi taruhan bagi seorang wanita adalah sesuatu yang paling menyakitkan dari semua permainan cinta. Kalau taruhannya mahal masih mendingan, ini cuma selembar uang lima puluh ribu. Gak bangetlah. Kalau pun ada yang tulus mencintainya, kebanyakan mereka minder pe-de-ka-te ama dia.

Tapi kali ini lain. Ia tau, laki-laki yang bernama Delito itu baru mengenalnya ketika sahabatnya Eza memanggil namanya, tapi sebelum ia tau, laki-laki itu telah menawarkan sebuah kelembutan.

Angannya yang dirasuki laki-laki itu, membuat darahnya berdesir. Ia merasa hentakan dahsyat di jantungnya pertanda ia telah jatuh cinta. (...aku langsung jatuh cinta,...cinta pada pandangan pertama, cinta yang bisa merubah jalan hidupku jadi lebih berarti...). potongan lagu Kasidah Cinta milik Dewa itu memang pas dengan apa yang dirasakan oleh Rani.

Betapa tidak, selama ini ia menganggap enteng segala hal. Apa saja yang diinginkannya selalu terkabul dengan segera oleh orang tuanya yang memang jauh di atas mapan. Apa saja, tinggal sebut dan dalam hitungan detik akan segera terkabul dan beberapa jam kemudian sudah ada di tangannya. Ponsel, laptop, mercedes, semuanya hanya sebagian kecil saja. Jangankan itu, waktu ia meminta cuti kuliah selama perhelatan Piala Dunia untuk langsung menyaksikan ke Eropa sana, langsung saja dipastikan orang tuanya. Bukankah itu permintaan gila, tapi ia gak peduli dan papanya gak ambil pusing.

Tapi kali ini tidak sama dengan permintaan gilanya itu, kali ini ia tak bisa mengandalkan kekayaan orang tuanya, saat ini ia berhadapan dengan perasaan yang tak bisa disentuh dengan materi. Ia tak mungkin meminta pada papanya untuk mengeluarkan uang banyak untuk menyelesaikan masalahnya dengan meminta lelaki itu menawarkan sebuah kelembutan padanya dan mencintainya sepenuh hati. Cinta tak bisa di beli dengan uang. Berapa pun banyaknya. Yang jelas, ia harus merobah jalan hidupnya yang tidak mau tau apapun.

Lama-lama, ia menyadari kalau hatinya telah terpaut pada Delito. Laki-laki yang dalam hitungan detik saja mampu melambungkan angannya ke atas khayal yang indah dengan mimpi yang tinggi. Ia mesti merobah sikapnya yang acuh tak acuh menjadi lebih berarti bagi Delito, kalau ia memang ingin di cintai.. perasaannya miris, jika laki-laki itu malah bersikap acuh tak acuh padanya dan tak ingin mengerti apa yang berkecamuk dalam hatinya.

Perasaan menyesal menghinggapinya, ketika ia ingat, kenapa ia mesti menampar laki-laki itu tadi siang, padahal tanpa disadarinya ia terbuai ketika menikmati sentuhan itu. Ia merasa ada kehangatan di sana. Ada ketenangan dan kedamaian ketika ia beradu pandang sebelum laki-laki itu pergi dengan senyum yang entah apa artinya., yang pasti bukan mengejek. Ia juga menyesali perasaan yang hinggap di dadanya. Kenapa mesti perasaan itu hadir, setelah ia meninggalkan kesan buruk untuk laki-laki itu. Perasaannya semakin gelisah.

Apa yang diperbuatnya besok pagi ketika bertemu dengan laki-laki itu? Yang pasti bukan bermanis-manis. Ia tidak ingin laki-laki itu menganggapnya semudah itu. Ia jera bermanis-manis dengan cowok setelah apa yang ditorehkan Ades padanya, begitu menyakitkan. Lantas, apalagi yang bisa diperbuatnya untuk menarik simpati Delito? Gelisahnya memuncak ke ubun-ubun, ketika diingatnya Delito sudah punya pacar, pacar masa SMA. Cinta pertama yang tak akan pernah hilang.

Bangsat juga Delito! Jangan-jangan dia ngayalin pacarnya waktu nyentuh gue, katanya dalam hati ketika ingat percakapan Delito dengan temannya. Hatinya jadi cemburu.

Suara ketukan di depan pintu membuatnya tersadar, segera ia memperbaiki dirinya yang kusut karena dilanda gelisah. Ia baru sadar, kalau laptopnya masih menyala. Segera ia melanjutkan game soccer yang tadi ia mainkan. Ia tidak ingin sebuah tanda tanya pun hadir di benak mamanya.

“Masuk, Ma! Gak dikunci, kok!” katanya setelah meyakinkan dirinya tidak lagi menimbulkan tanda tanya.

Gagang pintu berputar dan ...”Kreeek...!” suara pintu terbuka. Rani menoleh mamanya.

“Belum tidur, Ran?” tanya mamanya sambil menutup pintu kamar kembali dan wanita paruh baya itu berjalan mendekati putri tunggalnya.

“Belum, Ma.”

“Lagia ngapain?” lanjut mamanya sambil duduk di sisinya yang menelungkup sambil mengusap rambutnya yang hitam pekat.

“Main game, Ma.”

“O-ya, tadi papa kamu nelpon dari Jakarta, trus nanyain soal nonton EURO, katanya biar sekalian pesan tiketnya.”

“Mm..., gimana, ya? Liat ntar aja deh, Ma. Tapi kayaknya gak jadi, mending nobar ama teman-teman. Mebih enak, ada teman ngobrol sambil taruhan bayar makanan.”

Wanita paruh baya itu heran liat tingkah aneh putrinya, terlebih dengan jawabannya. Biasanya, kalau udah nyoal pertandingan sepak bola kelas dunia, ngotot dan ambisiusnya minta ampun. Tapi tidak kali ini. wanita paruh baya itu melihat sesuatu yang berubah pada putrinya, perubahan positif. Wanita paruh baya itu mengernyitkan keningnya tanda sedang berpikir dan mengira-ngira apa yang sedang dialami putrinya itu. Tapi ia bukan ahli psikologi dan tak mampu menduganya.

“Kamu kenapa, Ran? Kok, keliatannya berubah?” tanya mamanya itu akhirnya, setelah tak mampu menduga. Di wajahnya yang masih cantik, meski sudah berumur di atas lima puluh tahun, keliatan sekali ketidakmengertian dengan sikap putrinya.

“Berubah? Berubah gimana maksud mama? Rani ngerasa biasa-biasa aja, kok.” balasnya mencoba menyembunyikan perasaannya yang gelisah. Ia merasa mamanya sudah mencium gelagat itu.

“Gak. Maksud mama, kamu beda ama yang lewat-lewat. Gak seantusias biasanya. Biasanya kalau udah dengar sepak bola kelas dunia, pasti ngototnya minta ampun. Gak penting di mana, apalagi Eropa.”

“Ya, Ma. Udah saatnya Rani  mikirin masa depan. Teman Rani udah pada mau selesai, sementara Rani masih di tingkat tiga juga. Rani udah terlalu sering nunda kuliah cuman gara-gara hobi aja. Orang juga hobi nonton bola, tapi gak mesti nunda kuliah. Satu hal lagi, Ma, Rani gak pengen lagi bersikap acuh tak acuh dengan hal sekecil apapun.”

“Maksudnya?” tanya mamanya dengan setengah tak percaya melihat perubahan putri tunggalnya. Sudah sejak lama ia menasihati putrinya untuk memikirkan masa depan, tapi tak pernah digubris, karena suaminya terlalu memanjakan anak semata wayang mereka itu. Hingga ia diam dan menyerahkan pada putrinya sendiri dan tanpa disadarinya, waktu itu telah tiba. Putrinya telah mau memikirkan masa depannya. Mungkin putriku telah menemukan seseorang yang membuat hatinya bergetar, pikirnya.

Rani menatap mamanya, ia merasa kalau mamanya telah mengerti apa yang sedang bergejolak dalam hatinya. Tapi, ia masih mencoba memberi alasan. “Rani pengen nyoba hidup mandiri, ya, setidaknya sedikit demi sedikit.”

“Gak nyambung...!” balas mamanya dengan mendelik, mencoba mendapatkan kepastian atas dugaannya.

“Ih, Mama. Ya, untuk masa depan Rani, dong.” balasnya sambil melipat laptop yang udah lama dimatikan.

“Kenapa dengan masa depan kamu? Bukankah ini semua milik kamu?” balas mamanya tambah heran. Karena harta suaminya bisa menyokong hidup putrinya kelak.

“Kita gak tau apa yang terjadi besok-besok. Rani cuman bersiap-siap menghadapi kemungkinan apapun. Katanya persiapan itu ibu nasib baik. Jadi, gak salah, dong. Dan satu hal yang harus Rani sadari sekarang, roda kehidupan terus berputar. Gak selamanya kita di atas, kadang kala kita akan terperosok ke bawah. Jadi harus siap-siap, jangan sampai 3S – stres, stroke, dan stop.”

“Itu bagus. Cuma, pasti ada sebabnya sampai kamu berubah drastis begini.”

“Gak semua yang berubah itu harus punya alasan, Ma.”

“Ho..., itu mustahil, gak ada asap kalau gak ada api, begitu juga dengan perubahan kamu. Ya, mungkin aja sesuatu yang berhubungan dengan perasaan kamu, contohnya, kamu lagi suka dengan seseorang, tapi dia gak peduli karena sikap kamu. Emang enak dicuekin?”

“Ah, mama, kok jadi ngeledek, sih?”

“Nah, ketahuan, kan?” kata mamanya ketika melihat wajahnya bersemu merah rona merona. “Apa benar, anak mama dicuekin? Kacian, deh aku!”

“Mama, udah, deh! Rani kan jadi malu.” rengeknya manja.

“Kok, mesti malu? Biasa lagi. Cinta itu bukan borok, sayang, yang mesti ditutup-tutupi. Malah kenyataannya, mama senang banget dengernya, ternyata anak mama masih bisa jatuh cinta. Mama pikir dulu kamu udah gak tertarik ama cowok setelah disakiti Ades.” balas mamanya. “Jadi pengen cepat-cepat gendong cucu, nih. Ternyata ada harapan.”

“Mama, apaan, sih?”

“Tapi benar, kan, kamu lagi jatuh cinta?” tanya mamanya.

Rani hanya mengangguk dengan senyum dikulum. Tapi seketika wajahnya berubah. Hal ini segera diketahui mamanya.

“Tapi, kok, tiba-tiba gak semangat gitu? Ada apa? Biasanya orang yang lagi jatuh cinta itu seperti bunga mekar, ini sepertinya makam angker. Apa benar dicueki ama pangeran impian?”

Rani menghembuskan nafasnya dengan berat, seolah ingin melepaskan sesuatu yang menghimpit dan mengganjal hatinya. “Rani takut, Ma. Benar-benar takut.” balasnya terus terang dengan dengan wajah sedih.

“Takut? Kok, jadi takut? Apa tampangnya seperti gorila?” tanya mamanya mengajak bercanda.

“Ma, Rani serius.” balasnya tambah sedih. Gurauan mamanya membuatnya semakin gelisah.

“Maafin mama. Sekarang ceritain sama mama, siapa tau mama bisa bantu.” balas mamanya serius.

“Rani takut, kalau ia gak suka ama Rani, karena selama ini Rani selalu bersikap kasar ama semua cowok, begitu juga dengannya tadi. Rani memakinya bahkan menamparnya, tapi dia malah membalas dengan ejekan. Dari situ, Rani berpikir, kalau dia  beda ama cowok-cowok yang pengen dekati Rani. Malah ia menatap Rani dengan bengong ketika Rani mendampratnya. Dalam waktu yang singkat, ia malah menawarkan sebuah kelembutan di pipi Rani lewat sentuhannya yang begitu tulus. Rani terpaksa menamparnya karena merasa malu dengan kejadian itu. Bayangkan saja, Ma, saat pertemuan pertama udah meninggalkan kesan gak cocok. Rani malah kecewa katika dengar ucapannya tadi dengan temannya kalau dia udah punya pacar. Rani jadi cemburu. Udah itu, wajahnya gak mau hilang lagi dari ingatan Rani.”

“Trus!”

“Apanya?”

“Ceritanya kamu!”

“Ya, yang jelas Rani keingat terus ama tatapan matanya yang lembut. Di situ Rani menemukan sebuah ketulusan dan kerelaan, tapi entah kerelaan dan ketulusan apa yang terpancar di sana. Rani hanya berharap kalau ia simpatik pada Rani. Tapi, apa mungkin ada cowok yang suka kalau Rani punya sikap seprti sikap yang Rani jalani selama ini?  Apa ada cowok yang ingin mencintai cewek kek Rani dengan rela dan tulus, serela dan setulus tatapannya itu. Rani pikir itu mustahil. Rani gak tau meski bersikap bagaimana besok kalau bertemu dengannya. Yang jelas, Rani pengen berubah. Rani pengen hapus semua penilaian buruknya pada Rani, tentang kekasaran Rani di matanya.”

“Ya, udah. Kalau begitu, selamat berubah saja.”

“Cuman itu?”

“Trus?”

“Ya, mama bantu apa, kek?”

“Maunya apa? Nguber-nguber dia agar mau jatuh cinta sama kamu?”

“Ya, enggak, dong, Ma. Mama kan bisa bantu Rani berubah. Ngelakuin apa aja. Pokoknya apa aja.”

“Mama senang dengarnya. Untung juga dicuekin, hingga kamu pengen berubah. Langkah itu memang paling tepat. Menurut Mama, siapa pun laki-laki itu, pasti gak suka liat cewek yang punya sikap seperti kamu. Cinta gak butuh sikap yang acuh gak acuh. Cinta lebih identik dengan kelembutan, seperti yang ditawarkan padamu.”

“Ma kasih, ya, Ma.”

“Ya, sudah! Mama ke kamar dulu.” kata mamanya. Hatinya begitu senang melihat putri semata wayangnya berubah.

Kini Rani tinggal sendiri lagi, bayangan Delito kembali menelusup ke dalam ingatannya. Ingin rasanya ia menatap wajah Delito, meski dari kejauhan, sebelum ia terlelap tidur.

Sementara Delito masih gelisah seperti tadi. Sebentar-sebentar ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, sebentar lagi berbaring kembali.. nafasnya sering dihembuskan dengan berat dan lirih, menandakan ada sesuatu yang benar-benar mengganjal hatinya.

“Kamu kenapa, To? Dari tadi, kok, gelisah melulu.”

“Ntahlah, Ar!”

“Mikirin Rani, ya?”

“Gak, Ar!” balasnya berbohong. Padahal ia lagi mikirin Rani yang gak bisa ditepisnya dari benaknya dan setiap bayangan itu hadir, bayangan Nelita tenggelam.

“Kamu gak perlu mikirin dia, To. Dia gak selevel dengan kita. Kamu bayangin aja, dia ngotot minta cuti kuliah hanya untuk berangkat ke Eropa untuk nonton EURO dan Piala Dunia. Nurut kamu gila, gak?”

“Ya...!”

“Kalau nyari cewek, yang kek Eza. Kaya juga, tapi dia rela ninggalin mobilnya dan naik angkot ama aku. Kebayangkan?”

“Iya! Coba kalau Eza bisa di kloning?”

“Mm.... Tapi kamu lagi mikirin apaan, sih?”

“Aku keingat Nelita. Udah kangen banget rasanya. Sayang, dia udah di Jakarta dan barangkali udah gak ingat aku lagi.”

“Nelita? Siap dia?”

“Dia teman aku paling akrab. Meski aku gak pernah nembak dia, tapi dia ngerasa kalau aku pacarnya. Waktu ia kan berangkat ke Jakarta, di depan semua keluarganya, ia meluk aku dan menangis sejadi-jadinya. Itu yang gak bisa aku lupain dan entah kapan lagi kami bisa ketemu. Dia yang paling ngoto ngajak aku kuliah agar kami bisa kuliah bareng. Tapi, sayang, saat itu ekonomi keluarga kami lagi seret-seretnya. Bokap aku memaksa aku kuliah, tapi aku gak pengen egois.”

“Jadi, ketika kamu nyentuh Rani tadi siang, kamu ingat Ne.... Siapa tadi namanya?”

“Nelita!”

“Ha..., iya.”

“Ya, aku keingat ama Nelita. Aku pernah berbuat seperti itu padanya.”

“Jadi dia cuman pelampiasan aja? Apa mereka mirip?”

“Gak. Sama sekali nggak. Tampang orang desa biasa-biasa saja, Ar. Pengertian dan perhatiannya yang membuat aku gak bisa ngelupain dia. Semua tingkahnya, sifatnya dan segalanya membuat kau begitu berarti di sisinya.”

“Tapi, kok ampe seagresif itu tadi?”

“Mungkin saking rindunya, kali.”

“Ya, udah. Yang penting kamu benar-benar gak suka ama cewek yang belagunya minta ampun itu.”

Delito hanya menangguk, tapi hatinya tetap gelisah. Setelah itu, ia terlarut kembali dalam lamunannya. Rani dan Nelita datang silih berganti. Namun ia mencoba tenang agar Arby tidak bertanya lagi. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, sedang benaknya berkelana jauh.

* * *

“EH..., cowok sialan!” bentak Rani pada Delito ketika mereka hampir bertabrakan lagi di perpus. Delito saat itu berjalan sambil bolak-balik buku. Betapa kagetnya ia mendengar makian itu, saking kagetnya, tanpa dapat dielakkan lagi, akhirnya menabrak Rani juga dan... “Cup!” bibir Delito menempel di pipi Rani.

“Plak...!!!” sebuah tamparan keras dan telak menempel di wajah Delito yang masih setengah sadar dari kagetnya. “Lo pandai, ya, cari-cari kesempatan. Dasar bajingan!” makinya lagi dengan sinis sambil berkecak pinggang. Tak diingatnya lagi, apa yang melandanya semalam.

Delito jadi emosi. Digenggamnya tangan Rani dengan cengkeraman yang kuat. “Eh, lo yang sialan! Jangan ge-er dulu, dong. Lo sendiri yang main bentak, bikin kaget orang, aja. Gak bisa lembut sedikit, apa? Lagian lo juga yang ngalang-ngalangi jalan gue. Kenapa, sih, mesti lewat sini, masih banyak jalan selain ini. jangan-jangan lo yang nyari kesempatan pengen dicium kali. Iyalah! Lagian cowok mana yang mau nyium cewek yang judesnya selangit. Kalau mo dicium, bukan gini caranya, sini gue ajari, lo ambil kertas Manila lo gantung di leher dan buat tulisannya gede-gede: GUE MAU DICIUM. GRATIS!!!” balas Delito setengah melucu.

“Hm...hm.... Nyari-nyari kesempatan pengen dicium? Ge-er banget, deh gue!” balas Rani sambil menarik tangannya dari cengkeraman Delito, tapi tidak berhasil. Delito malah mempererat cengkeramannya.

“Emang!!!!”

“Lo pikir lo siapa, ha?”

“Cuman cecunguk. Tapi, yang pasti bukan gampangan. Ama cowok lain lo boleh semena-mena, tapi bukan dengan gue. Lo emang cantik, tapi sayang, pengen dicium aja harus nyari kesempatan dalam kesempitan. Anjing aja gak bakal mau nyium lo, kalo lo lebih galak dari singa.”

“Eh, jaga mulut lo kalau ngomong. Lo belum tau siapa gue, ya?”

“Tau banget.” kata Delito sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Rani. “Siapa yang  gak kenal cewek gampangan kek lo.” lanjut Delito melepaskan cengkeramannya dan berlalu dari situ.

Semua mata cowok yang pernah diperlakukan Rani seperti itu, hanya senyum sinis kepadanya.

“Emang enak dibilang gampangan?” sela sebuah suara.

“Pelacur kali?” sambung yang lain.

“Eh, diem lo, atau lo mau mampus!”  kata Rani tambah emosi sambil nunding cowok yang bicara tadi.

“Gak usah dimampusin, Neng. Suruh aja dia nyium eNeng. Sayang kalo dimampusin, soalnya dia jago....”

“Kikuk...kikuk....” sambung yang lain sambil menirukan akting Boem-Boem dalam sinetron laga Jaka Tingkir di RCTI.

“Eh, coy, cewek begitu gak usah diladeni, ntar ketiban  sialnya, bisa kwali, eh kualat, lho...” kata Delito sambil ngakak diikuti yang lain.

Rani segera berlari keluar perpus dengan isak tangisnya. Melihat itu, semua semakin tertawa lebar. Di depan pintu, Rani menabrak seorang cewek, hingga buku yang ada di tangannya berserakan ke lantai.

“Eh, yang lo tabrak itu bukan cowok, tapi cewek. Gak usah cari kesempatan, atau lo suka juga ama cewek, is jijay...”

“Kikuk...kikuk...”

“Ha...ha...!” semua cowok yang ada di situ tertawa.

Rani segera keluar dari Mercedes Merah Murunnya dan membanting pintu dengan kesalnya ketika ia sudah sampai di pekarangan rumahnya. Matanya telah basah oleh desakan kesedihan yang memenuhi dadanya. Betapa tidak, baru kali ini ia diperlakukan seperti itu, dibilang cewek gampangan, ditertawai rame-rame dan direndahkan layaknya anjing oleh semua cowok yang pernah diperlakukannya semena-mena, sungguh baru kali ini.

Tukang kebun yang tadi membukakan pagar, heran melihat anak majikannya yang keliatan kesal dengan mata yang lembab. “Ada apa, Non?”

“Bukan urusan, lo!” bentak Rani dengan kerasnya, hingga tukang kebun itu terlonjak kaget bagai mendengar suara halilintar ditengah terik matahari. Ia segera pergi dengan terburu-buru dari hadapan anak majikannya yang lagi emosi itu.

“Eh, mo ke mana, lo?” teriaknya mencegah laki-laki itu pergi.

“Kerja, Non!” jawabnya gemetar sambil menunduk.

“Mana mama?”

“Arisan ke rumah Bu Suryo.”

Rani beranjak ke kamarnya. Di situ ia menumpahkan segala kesedihannya. Ia tidak bisa menerima perkataan yang ditujukan kepadanya. Keangkuhannya kembali memuncak. Ingin rasanya ia merobek mulut lancang Delito. Mulut yang pertama kali menghinanya. Mulut yang telah membuat mulut-mulut lain ikut mengoceh, menghina, meledek dan melecehkannya.

“Perhitungan. Ya, perhitungan. Gue harus membuat perhitungan dengan laki-laki brengsek itu.”  katanya seketika  dengan senyum sinis. “Tak ada yang bisa melecehkan Rani, Maharani Vitria Wiraningsih, putri tunggal Hadi Prawiro, pengusaha terkenal di kota Medan ini.”

Bayang-bayang penghinaan dan pelecehan tadi bersileweran di benaknya, membuatnya semakin emosi. Segera ia kembali ke dalam mobil sambil memencet klakson panjang.

Segera dipacunya mobil Mercedesnya setelah berada di atas badan jalan. Tukang kebun itu hanya menggeleng dengan muka cemberut menatap kepergian anak majikannya yang tak mau berubah itu.

***

 

[1]        Unang lupahon au, To! Holan ho do na adong di rohangki. Lomo hian do rohangki tu ho: Jangan lupakan aku, To! Hanya kamu yang ada dalam hatiku. Begitu sayang aku padamu.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler