Skip to Content

NOVEL: UNANG ISOLSOLI (8/8)

Foto SIHALOHOLISTICK

WALU[1])

 

SIANG itu, Rani berada di kampus bersama Eza. Mereka berjalan menuju perpustakaan yang berada di sebelah selatan kampus. Wajah Rani kelihatan pucat pasi. Sudah berkali-kali Eza menanyakan keadaan Rani, namun Rani tetap menjawab kalau ia biasa-biasa saja sambil mengulas senyum meyakinkan Eza. Meskipun senyum itu tidak seperti biasanya, senyum itu kelihatan tidak bersemangat.

“Za, ke perpusnya ntar aja, deh, aku lapar banget, rupanya aku belum sarapan tadi pagi. Tadi bangunnya kesiangan, jadi buru-buru ke kampus hingga gak sempat sarapan. Awalnya udah malas ke kampus, tapi ingat tugas dari Bu Silalahi, ya, terpaksa, deh.”

Oh, pantas muka kamu pucat pasi gitu, belum sarapan rupanya. Ya, udah, kita ke kantin dulu kalau gitu, kebetulan aku juga udah lapar banget. Cacing udah pada demo, nih, nuntut diisi.”

“Tapi, jangan ke kantin, aku pengen makan nasi. Rasanya udah tiga hari perut ini gak diisi ama nasi.”

“Boleh. Tapi, jauh lho, apa masih tahan?”

“Ah, palingan juga sepuluh menit udah nyampe.”

“Oke, deh!”

Keduanya akhirnya melewati perpustakaan. Mereka berdua menuju parkir. Mercedes berwarna Merah murun itu segera keluar dari deretan mobil yang ada di kiri kanannya dengan perlahan. Dengan perlahan pula, Eza mengemudikan mobil itu, sedang Rani duduk di sampingnya. Eza mengambil inisiatif untuk mengemudi karena dilihatnya Rani semakin lemah.

“Ngapain aja, sih, semalam, ampe telat bangunnya?”

“Ngerjain tugas yang tadi pagi dikumpul.”

“Tidur jam berapa?”

“Empat. Habis ngerjain tugas nonton Liga Champions dulu, sayang lewatin aksinya CR7[2])”

“Kamu selalu aja gitu. Udah ngerjain tugasnya SKS[3]) melulu, habis itu bukannya malah tidur, eh, nonton bola lagi. Di sini juga banyak pemain bola hebat.”

“Siapa? Baru dengar, tuh!”

“Tuh, pemain PSMS Medan. Lagian seberapa penting, sih, nonton bola ketimbang tidur?”

“Mmm...60 banding 40. Lagian kalau cuman pemain PSMS Medan apa hebatnya, permainnya gak gitu-gitu amat, tampang juga amburadul, gak kek CR7.”

“Ah, gak nasionalis kamu. Jelek-jelek kan milik sendiri.”

“Masalahnya bukan nasionalis atau nggaknya. Permainannya.”

“Hubungan kamu ama Delito gimana?” tanya Eza mengalihkan pembicaraan, karena percuma, Rani lebih tau soal sepak bola, bahkan kontrak para pemain pun Rani tau permusim kompetisinya.

“Ada perkembangan gitulah, kelihatannya dia udah mau ngobrol.”

“Udah tiga bulan, Cuma sebatas ngobrol? Gila dia, jual mahal banget, sih!”

“Eh, jangan ngina Delito di depan aku, aku gak suka.”

“Kacian deh kamu! Cowok kek gitu dibangga-banggain.”

“Biarin!”

“Lagak kamu!”

“Diam napa, sih!” kata Rani sambil memegang perutnya yang mual.

“Kamu kenapa, Ran, kok muka kamu tambah pucat?” kata Eza sambil membelok mobil ke areal parkir restoran langganan mereka. Eza menghentikan laju mobil di situ. Keduanya keluar dari mobil dan ketika Eza ingin membanting pintu mobil, dilihatnya Rani limbung dan jatuh.

Eza segera berlari mengejar Rani tanpe sempat meneruskan membanting pintu. Orang-orang yang berada di sekitar perkir itupun segera berkerumun.

“Ran..., Rani..., kamu kenapa?” kata Eza ambil menampar-nampar wajah Rani dengan pelan. Wajah Rani kelihatannya semakin pucat.

“Bawa ke klinik aja, mbak, dekat dari sini, kok!” usul seorang wanita yang ikut berkerumun.

“Apa? Eh, iya. Ayo, tolong bantuin masukin ke mobil, Mbak!” kata Eza cemas sambil berdiri membukakan pintu mobil bagian belakang. Beberapa wanita ikut membantu menggotong tubuh Rani dan memasukkan ke dalam mobil.

Segera mobil Mercedes Merah Murun  itu kembali keluar dari areal parkir dan melaju di jalan raya menuju klinik terdekat. Klinik dr. Fauziah Sitompul yang berjarak beberapa ratus meter dari situ.

Dalam klinik itu, Rani segera ditangani oleh dr. Fauziah Sitompul, sementara Eza hanya duduk di sebuah kursi di depan meja dr. Fauziah Sitompul. Eza segera bangkit menyongsong dr. Fauziah yang keluar dari kamar periksa yang hanya dibatasi tirai berwarna putih.

“Bagaimana dengan keadaan teman saya, Dok?” tanya Eza dengan kecemasan yang masih seperti tadi.

“Teman kamu gak papa, di hanya kurang tidur, lelah, dan makan tidak teratur ini mengakibatkannya kekurangan darah. Saya sarankan agar ia istirahat dengan teratur dulu, apalagi dia sedang hamil., kalau tidak bayi yang ada dalam kandungannya akan terganggu dan kemungkinan terjadi ketidaknormalan.”

“Apa?! Hamil?!” Eza kaget mendengarnya.

“Ya, hamil. Memangnya kenapa?” tanya dokter itu heran. “Apa dia belum menikah dan bayi itu hasil hubungan gelap?” lanjut dokter itu.

“Oh, tidak, Dok!” balas Eza sambil mengubah ekspresi wajahnya dengan rona gembira. “Dia sudah menikah selama tiga tahun. Mereka sudah putus asa kalau-kalau salah satu di antara mereka ada yang mandul. Dan suaminya menuduhnya yang mandul. Bahkan mertuanya  sudah menyuruh pada putranya untuk menceraikannya. Jadi berita ini akan mengakhiri kesalahpahaman mereka.” balas Eza berbohon menutupi aib temannya dengan tersenyum  membuat dr. Fauziah Sitompul menepis kecurigaannya  dengan membalas senyum Eza.

“Saya ucapkan selamat untuk keluarga teman anda dan segeralah memberi tau keluarganya. Sarankan kepada mereka untuk mengontrol kesehatannya, gizinya, dan tidurnya juga.”

“Terima kasih, Dok. Tolong buatkan pernyataan atau sejenis surat yang menyatakan ia positif hamil, agar keluarganya percaya dan menjadi surprice besar untuk mertuanya.”

“Baiklah, saya akan siapkan.” Kata dr. Fauziah Sitompul sambil menyiapkan kertas yang memiliki kop surat “PRAKTEK KLINIK SEHAT dr. FAUZIAH SITOMPUL”.

“Siapa namanya?”

“Maharani!”

“Suaminya?”

“Saya tidak mengenal suaminya, kami tidak begitu akrab. Kami hanya bertemu di kampus saja.”

“Ya, sudah, tidak usah diisi. Tak ada juga tak apa-apa.” kata dr. Fauziah sambil menandatanganinya dan membubuhinya stempel. “Sebentar saya siapkan resep obat yang harus diminumnya, kebetulan obat ini sedang tidak ada di sini, jadi beli ke apotik saja.”

“Makasih, Dok.” kata Eza. “Teman saya ini memang punya hobby buruk dan kebiasaan buruk.”

“Apa itu? Merokok? Kalau sedang hamil anjurkan ia berhenti setidaknya sampai ia selesai menyusui.”

“Bukan! Bukan merokok! Dia biasa menonton sepak bola sampai pagi dan makan tidak teratur.”

“Yang itu juga perlu ditinggalkan selama hamil, karena bayi yang sedang dikandungnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan si ibu.  Saya juga suka menonton sepak bola sampai larut malam, tapi saya selalu minum multivitamin dan makan teratur untuk mengimbangi energi yang terbuang karena begadang. Kalau saya hamil, saya meninggalkan semuanya.” cerita dokter itu. “Ini surat keterangannya dengan resep obat. Kalau bisa segera ditebus.” lanjut dokter itu menyerahkan yang ditulisnya tadi.

“Berapa biaya administrasinya, Dok?”

“Seratus lima puluh ribu.”

Eza segera menyerahkan uang sebanyak yang disebutkan dr. Fauziah Sitompul.

“Ma kasih.” kata dokter itu tersenyum. “Sementara biarkan ia di sini sampai siuman. Kalau anda ingin pergi, kasih tau suaminya dulu agar datang ke sini.”

“Suaminya sedang tidak ada, katanya ke Sibolga, Dok. Biar aku aja yang menunggu kami tidak masuk kuliah lagi.”

“Baiklah kalau begitu. Saya tinggal dulu, kebetulan saya ada pasien lagi.”

“Silakan, Dok!”

Rasa kaget Eza belum juga hilang ketika mendengar bahwa Rani positif hamil. ‘Siapa laki-laki yang telah menghamili Rani? Diperkosa? Di...?’ Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Eza.

Eza bangkit dari duduknya dan mendekati Rani sambil melipat kertas yang diberikan dr. Fauziah tadi, kertas itu dimasukkan dalam saku celananya.

Tak sampai satu jam Eza mondar mandir di samping Rani sambil menerka siapa laki-laki yang telah menghamili Rani. Eza mencurigai Delito dan Benny, salah satu di antara mereka. Bisa saja Benny yang melakukannya ketika Delito tidak ada atau malah sebaliknya. Rani akhirnya tersadar, wajahnya sudah tak pucat lagi akibat suntikan yang diberikan dr. Fauziah Sitompul tadi.

“Di mana aku?” tanya Rani pelan ketika matanya menangkap wajah Eza ada di sampingnya.

“Kamu ada di klinik, tadi kamu pingsan.” balas Eza sambil membantu Rani bangkit. “Kalau kamu udah kuat kita langsung pulang.”

“Sepertinya aku udah kuat.” kata Rani turun dari ranjangnya.

Eza menuntun Rani keluar kliik setelah permisi pada dr. Fauziah Sitompul dan mobil pun akhirnya meluncur di jalan beraspal.

“Ran...” kata Eza sambil tetap konsentrasi dengan kemudi yang ada di tangannya. Rani hany menoleh tanpa mengeluarkan suara. “...sepertinya ada sesuatu yang udah terjadi ama kamu.”

“Apa, Za?”

“Jangan pura-pura gak tau!”

“Please, deh! Aku benar-benar gak tau. lagian kamu ngomongnya kek TTS aja.”

Eza mengeluarkan kertas yang diberikan Dr. Fauziah Sitompul kepadanya. “Baca, nih!”

“Apa ini?”

“Baca, aja!”

“Apa? Hamil? Aku hamil, Za? Ini gak benar kan?” kata Rani dengan bibir bergetar. Dua bulir air bening mengalir dari kedua sudut matanya.

“Kenapa kamu nangis? Ini kan bukan rekayasa dan sekarang kamu jawab yang jujur, siapa ayah bayi yang ada dalam kandungan kamu?”

Rani tidak menjawab, ia hanya bisa menunduk dan terisak.

“Jawab, Ran! Siapa laki-laki yang udah ngelakuin ini? Atau kamu diperkosa?” buru Eza dengan pertanyaannya. Rani hanya menggeleng.

“Lantas siapa? Delito? Benny? Atau...?” serang Eza. Kali ini Rani tak bereaksi apa-apa. Diam bagai patung, tatapan matanya kosong.

“Jawab, dong, Ran!” pinta Eza melembut sambil menginjak rem dengan perlahan. “Jangan cuman diam. Ini bukan masalah yang bisa digampang-gampangin gitu aja. Ini menyangkut janin yang ada dalam kandungan kamu, kalau kamu hanya diam, bagaimana cara menyelesaikannya. Ntar perut kamu keburu gede, malukan, hamil tapi belum menikah.” bujuk Eza. “Delito? Benny? Atau malah Arby? Kalau emang Arby, aku gak bakal kecewa.”

“Bukam Arby, Za!” balas Rani buka mulut.

“Lantas siapa?”

“Delito!” jawab Rani dengan pelan bahkan hanya berupa desisan saja.

“Kok bisa?”

“Aku pengen ngeyakinin dia kalau aku mencintainya sepenuh jiwaku dan siap ngorbanin apapun, termasuk kesucianku.”

“Tapi kenapa dengan cara ini? Masih banyak cara lain salain ini.”

“Ga ada, Za. Ini satu-satunya. Kamu bayangin aja, selama lima bulan aku mencoba, tapi gak berhasil. Ternyata hatinya begitu hancur mendengar hinaan papa pada orang tuanya. Ah, aku jadi benci papa dan gak pengen jadi anaknya lagi. Aku gak tau mesti berbuat apa lagi dan mungkin inilah yang tepat untuk benar-benar meyakinkannya kalau cintaku bukanlah omong kosong belaka.”

“Lantas kenapa kamu berani memberikan kehormatanmu padanya? Pikir, dong, Ran, gimana kalau ia tetap tak peduli pada bayi yang ada dalam kandungan kamu?”

“Aku udah pikirkan semuanya dan aku gak peduli ia mau tanggung jawab atau tidak. Terserah padanya saja. Satu hal yang pasti buatku, cintaku tak akan pernah habis padanya, kalau pun ia tak mau tanggung jawab, akan aku besarkan anak ini sendiri dan akan aku anggap sebagai hadiah cintanya yang pernah tercurah padaku. Aku bahkan sudah siap terusir dari rumah.”

“Bodoh! Kamu emang bodoh. Baru kali ini aku ketemu ama cewek kek kamu.” rutuk Eza. “Siapa yang memulai?”

“Aku!”

“Oh my God!” desah Eza penuh sesal mengingat kelakuan temannya. “Oke, kalo kamu emang udah milih jalan ini, terserahlah. Tapi, asal kamu tau jaga kesehatan kamu, dan sering check-up ke dokter kandungan.”

“Sip, Bos!” balas Rani tersenyum. “Makan, yuk!”

Eza kembali menjalankan mobil menuju restoran yang tadi mereka tuju.

Malamnya, Eza mendatangi Delito di tempat kostnya bersama Arby. Mereka melihat Delito sedang ngobrol dengan beberapa orang di teras rumah sambil ngopi, ngerokok, mainin gitar dengan lagu Batak.

“To...!” sapa Eza setelah dekat. Delito menoleh. “Kita mo bicara ama kamu.”

“Di mana? Soal apa?”

“Ikut kami!” pinta Eza.

Delito bangkit, gitar diberikan pada salah seorang temannya. Sebelum ia pergi diraihnya rokok yang terletak di meja dan mengambil sebatang kemudian menyalkannya. Kopi miliknya diminum sampai habis. Ia mengikuti langkah Eza dan Arby dari belakang tanpa sedikit beban pun. Sampai di jalan raya, Arby menyuruh Delito masuk dan mobil segera dijalankan menuju Pantai Cermin. Ketiganya segera turun ketika sampai di tempat yang mereka tuju. Angin segera menghembus rambut Delito yang panjang. Ia merapatkan jaketnya.

“Ada apa, Za, Ar, kok ngajak aku ke sini?” tanya Delito.

“To, aku pengen kamu jujur ngejawab pertanyaan aku.” kata Eza. “Kamu kan ayah bayi yang ada dalam kandungan Rani?”

“Maksud kamu?”

“Kamu kan yang udah menghamili Rani?”

“Apa? Hamil? Kamu jangan bercanda, deh.”

“Aku gak lagi bercanda. Aku lagi serius dan emang kenyataannya, dia hamil dan aku punya bukti.” kata Eza sambil menyodorkan kertas yang diberikan dr. Fauziah Sitompul tadi siang.

Setelah membaca surat keterangan itu, barulah Delito percaya dan ia ingat apa yang telah dilakukannya pada Rani.

“Kenapa diam, To?” Arby buka bicara dengan menahan emosi yang sejak tadi coba disembunyikannya. Ingin rasanya ia melayangkan kepal tinjunya ke wajah Delito yang tak punya moral itu. Mendengar berita itu saja darahnya sudah mendidih. “Kamu kan yang telah menghamilinya? Aku tak menyangka, ternyata kamu tega melakukan perbuatan kotor itu.” kata Arby menahan emosi yang telah mendidih. Eza memberi isyarat kepada Arby untuk tidak bicara.

“Atas dasar cinta atau dendam?” tanya Eza.

“Dua-duanya!” balas Delito singkat. “Ini semua gara-gara kamu. Aku telah menghindar sejauh itu agar aku tak menyentuhnya, agar aku menikmati dendamku ini sendiri, agar dendamku ini melumatkan aku sendiri. Tapi kamu malah memberi taunya di mana aku tinggal dan akhirnya aku sebablasan.”

“Trus, gimana sekarang? Mau lepas tangan atau tanggung jawab?” sergah Eza tak memperdulikan perkataan Delito.

Delito terdiam. Pikirannya kalut. Rasa penyesalan hadir dalam benaknya tapi semua telah terjadi. Kalau ia tanggung jawab berarti ia mengorbankan kuliahnya yang hanya tinggal dua semester untuk meraih sarjana yang ia impi-impikan selama ini. Bagaimana ia harus menjelaskan pada orang tuanya. Kalau ia melepas tangan, ia merasa dosanya tak akan terampuni seumur hidupnya.

“Ntahlah!”

“Kok ntahlah? Enak benar ngomong gitu. Kamu pikir ini masalah apa, ha? Kamu pikir Rani itu kacang goreng, setelah kamu cicipi kamu buang begitu saja. Kalau kamu emang laki-laki, bertanggung jawablah atas perbuatan kamu. Selama ini aku kenal kamu sebagai laki-laki yang penuh tanggung jawab.”

“Za, kamu tau sendiri kan, aku ama Rani gak seagama, bagaimana kami bisa menikah.”

“Cukup!” bentak Arby. “Kenapa baru sekarang kamu kepikiran hal itu? Kenapa tidak sejak awal? Kamu jangan nyari alasan untuk melepaskan diri kamu. Kami tidak butuh alasan murahan itu. Apapun alasan kamu, kamu harus tanggung jawab.” jelas Arby. Eza segera mengisyaratkan pada Arby untuk tenang dan tidak bicara dulu.

“Asal kamu tau aja, betapa besarnya kebahagiaan yang dirasakannya saat ini dengan kehadiran janin kamu di rahimnya. Ia sungguh tak peduli kamu mau tanggung jawab atau tidak. Tapi itu bukan alasan atau jalan mulus bagi kamu untuk melepaskan diri dari perbuatan kamu yang amoral itu. Lagian, kalo kamu belum siap kenapa kamu lakukan itu?”

Delito melongo mendengar penjelasan Eza.

“Pertanggungjawabkan perbuatan kamu. Lengkapilah kebahagiaan yang dirasakannya saat ini. Jangan sia-siakan semua pengorbanan dan ketulusannya padamu. Kamu coba pikir, kemanakah ia akan pergi membawa janin kamu jika ia terusir dari rumah. Ia tahu, ia pasti terusir dari rumah tapi begitu besar kerelaan yang ada dalam hatinya menyambut hadiah cintamu yang pernah tercurah padanya. Bayangkan, To, ia menganggap aib itu sebagai hadiah cinta darimu. Masihkah kurang bagimu, usahanya untuk meyakinkanmu dengan cintanya? Aku pikir sudah terlalu berlebihan. Tapi itu semua tergantung kamu. Nilailah itu menurut kamu sendiri.”

Delito masih terdiam, pandangannya jauh ke tengah laut. Pikirannya berkecamuk. Ia tak tau harus berbuat apa. Seberkas penyesalan dan rasa bersalah kembali menelusup di balik hati kecilnya.

“Aku gak maksa kamu. Cuman, berpikirlah secara jernih. Kamu sudah pantas untuk bisa menentukan pilihan yang terbaik, terlebih ini menyangkut dirimu dan perbuatanmu sendiri.”

“Apa bokapnya udah tau?”

“Belum! Kalau sudah ia pasti datang ke rumah karena ia akan terusir.”

“Di mana ia sekarang?”

“Mungkin di rumah!”

“Tolong hubungi dia dan minta untuk datang kemari. Aku pengen ngomong ama dia.”

“Oke!” balas Eza dengan sedikit lega. Dikeluarkannya ponselnya dari saku celananya dan segera dihubunginya Rani. Setelah meminta Rani untuk datang ke tempat mereka berada sekarang, hubungan segera terputus.

“Aku siap menikahinya, Za, dan sebagai buktinya, aku bakal masuk agama kalian, menjadi seorang muslim.” kata Delito pasti dan mantap.

“Kamu yakin?”

“Yakin!”

“Jadi seorang muslim itu gak gampang, lho.”

“Aku siap seberat apapun itu dan aku minta bantuan kalian.”

“Kalau masalah itu, tak mungkin kami membiarkan kamu dengan ketidaktahuanmu padahal kami mengetahuinya. Bisa-bisa kami yang jadi berdosa membiarkan seseorang yang seagama dengan kami dalam ketidaktahuan.”

Sedang asyik ngobrol, dari kejauhan terdengar deru mesin mobil yang cukup akrab di telinga mereka. Setelah suara mobil itu mati, Rani keluar dari mobilnya.

“Ada apa?” tanya Rani sambil membanting pintu mobil dengan pelan.

“Aku mo ngomong ama kamu, Ran.” jawab Delito.

Eza pamit pada keduanya dan mendekati Arby, keduanya sedikit menjauh dari Delito dan Rani.

“Bicara apa, To?”

“Ran, aku udah tau tentang kehamilan kamu dari Eza dan itu adalah janinku. Itulah sebabnya aku nyuruh Eza minta kamu datang.” kata Delito. “Aku akan menikahimu, melengkapi kebahagian yang sekarang ini kamu rasakan, menemanimu mengharungi bahtera kehidupan ini, menemanimu menunggu kelahiran anak kita dan membesarkan serta mendidiknya hingga ia dewasa.”

“Kamu yakin, To?”

“Maksud kamu?”

“Aku gak maksa kamu untuk menikahi aku.”

“Tapi aku harus bertanggung jawab dengan perbuatanku dan aku juga punya hak dengan  janin itu, kan?”

“Iya, tapi kalau kamu belum siap, aku gak maksa kamu.”

“Kenapa? Mau ngina aku, karena aku orang miskin? Ya, kan? Dasar bokap ama anak sama aja.” kata Delito mencet hidung Rani dengan lembut dan sayang, tapi hanya sebentar kemudian dilepas lagi.

“Bukan, tapi....”

Delito meletakkan telunjuknya di bibir Rani. “Aku siap, Ran!” potong Delito. “Bahkan menjadi seorang muslim pun aku sudah siap. Terlalu banyak pengorbananmu untukku, Ran.” kata Delito sambil mengeluarkan kertas dari saku celananya dan menunjukkannya pada Rani. “Aku juga udah tau siapa dibalik uang misterius yang pernah sampai ke aku dan itu kamu. Apa mungkin aku meninggalkanmu begitu saja setelah semuanya kau berikan kepadaku.” kata Delito menarik tubuh Rani ke dalam dekapannya. “Tapi, aku butuh belajar tentang agama kamu, Ran. Kamu bisa kan bantu aku untuk jadi seorang muslim yang sebenarnya?”

“Pasti, To. Meski pun aku tak begitu banyak tau masalah agama. Namun setidaknya aku bisa bantu apa yang aku tau dan nanti jika kita sama-sama tidak tau kita tanya sama ustadz.” balas Rani. “Ma kasih, To, atas kesempurnaan apa yang aku rasakan saat ini. Aku bahagia menjadi pendamping hidupmu. Bawalah aku ke mana saja kamu pergi. Tuntunlah aku dalam kehidupan yang tak mudah ini. Genggamlah tanganku menuju hari esok yang siap menanti kita, menunggu peran kita sebagai orang tua untuk bayi kita.” lanjut Rani sambil mendekap Delito dengan erat. Delito membalasnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Di usapnya kepala Rani dan berulang-ulang dikecupnya.

Esoknya, Rani, Eza, dan Arby menemani delito menemui seorang ustadz untuk menyatakan keislamannya dam di situlah Delito menyatakan keislamannya dengan mengucapkan lafadz Assyhadu alla ilaha illallah wa assyhadu anna muhammadarra-sulullah dan selanjutnya Delito pun di sunat.

Seminggu, Delito baru bisa belajar tentang dasar agama yang baru dianutnya itu kepada ustadz yang membantunya masuk Islam. Delito mengakui sangat berbeda ketika masih menjadi Kristen. Kali ini ia merasa nyaman dan hatinya terasa tenteram.

Akhirnya Delito dan Rani menikah melalui seorang Kyai dan mendaftar di KUA. Rani terpaksa mengaku sebagai anak rantau yang berasal dari Jawa dan mengangkat Eza sebagai saudaranya dan Arby sebagai wali nikahnya. Hingga, tanpa sedikut pun kecurigaan mereka akhirnya dinikahkan .

Delito memutuskan untuk meninggalkan kota Medan dan pindah ke desa, memulai hidup baru di sana, menjadi seorang petani. Rani segera menyetujui usul Delito. Semua fasilitas yang selama ini dimilikinya segera dijualnya, mulai dari mobil, dan barang berharga lainnya, sementara laptop, hp, dan perhiasan lainnya masih ia sisakan beserta sejumlah uang yang diambilnya melalui karti kredit yang dimilikinya. Rani pergi saat kedua orang tuanya sedang berada di Tebing Tinggi mengurusi bisnis barunya.

Dibuatnya sepucuk surat dan diletakkannya di atas ranjang tidurnya. Di dalam suratnya ia menulis kalau ia berada di Kalimantan karena menolak dijodohkan. Ia meminta kepada orang tuanya untuk tidak mencarinya. Ia meminta maaf kalau jalan yang dicarinya adalah salah dan jika ia menunggal, biarlah waktu yang membuatnya terkubur dan membusuk dalam tanah.

Menurutnya inilah jalan tengah, menolak dijodohkan dan menuruti kata papa untuk tidak menikah dengan anak petani sayur itu. Ia juga mengatakan kalau mobil dan segalanya telah dijualnya serta ia mengambil sejumlah uang dengan kartu kreditnya sebagai biaya hidup sebelum memperoleh pekerjaan. Sekali lagi ia menekankan kepada orang tuanya untuk jangan dulu mencarinya, kelak ia akan kembali setelah berhasil atau setelah ia kalah dengan perjuangan hidupnya. Sekali-kali ia berjanji akan menelepon.

Begitu juga dengan Delito, ia meminta orang tuanya untuk tidak mengirim biaya kuliahnya dan ia memberi tau kalau ia mendapat kesempatan untuk menimba ilmu ke Inggris dengan gratis tapi tidak sempat pulang lagi karena sewaktu-waktu yang tidak dapat ditentukan ia akan segera berangkat dalam surat itu ia menunjukkan  bukti jaminan sekolah ke Eropa milik Arby yang telah direkayasanya.

***

Sekian.......

Tunggu Kelanjutan kisahnya dalam Unang Isolsoli 2

Andam Dewi

Rabu, 1 September 2010

Pukul 21.48  WIB 

 

[1] Walu: Delapan

[2] CR7: Julukan Christian Ronaldo pesepak bola asal Portugal

[3] SKS: Arti sebenarnya ‘Sistem Kredit Semester’ tapi banyak mahasiswa mengartikannya ‘Sistem Kebut Semalam’ ini untuk mengerjakan tugas kuliah

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler