Suatu waktu di suatu desa yang terletak di kaki gunung terjadi wabah penyakit. Saat itu Saifulah baru berumur 8 tahun, kedua orang tuanya meninggal karena wabah penyakit yang menular. Di kaki gunung yang sama tinggallah seorang ulama, orang-orang yang mengenalinya biasa memanggilnya Kyai Tapa. Beliau tinggal mengasingkan diri dari keramaian di suatu tempat yang tersembunyi di kaki gunung itu. Ketika wabah berjangkit beliau pun mendengar beritanya, segera ia mendatangi perkampungan penduduk guna memberikan pertolongan.
Melihat keadaan Saifulah yang telah yatim piatu maka tergeraklah hati Kyai Tapa untuk membawanya ke pondok tempat ia tinggal. Selesai menguburkan semua jenazah yang meninggal hari itu maka Kyai Tapa memberi tahu kepada penduduk kampung bahwa ia akan membawa Saifulah, anak sebatang kara itu ke pondoknya.
Tahun demi tahun pun berlalu. Hari demi hari Kyai Tapa mengajarkan banyak ilmu kepada murid tunggalnya, Saifulah. Tanpa terasa 15 tahun pun telah berlalu, Saifulah yang kini telah berumur 23 tahun telah tampil sebagai seorang pemuda gagah dan sangat taat kepada gurunya.
Suatu malam, selesai sholat Isya tiba-tiba Kyai Tapa memanggil Saifulah agar duduk dihadapannya. Rasa heran di dalam hati Saifulah belum hilang ketika Kyai Tapa mulai berkata kepadanya. Ujar Kyai Tapa:"Anakku tanpa terasa 15 tahun engkau berada dalam asuhanku. Rasanya telah banyak ilmu yang kuajarkan kepadamu. Namun masih ada satu ilmu yang maha penting yang belum engkau pelajari. Untuk itu maka aku berikan pedang tumpul kepadamu" ucapnya sambil menyodorkan bungkusan kain putih kepada Saifulah.
Maka Saifulah pun mengambil bungkusan itu dan membukanya. Rasa heran kian bertambah dihatinya, gurunya telah memberinya sebuah pedang pendek yang runcing di ujungnya, namun tumpul di sisi kiri-kanannya. Meski merasa segan namun ia pun tidak berani bertanya lebih jauh tentang maksud gurunya. Belum juga lepas rasa heran di hati Saifulah, Kyai Tapa pun melanjutkan kata-katanya. Ujarnya:"Aku berikan pedang ini karena ada suatu rahasia di dalamnya, berhubungan dengan ilmu yang belum engkau pelajari."
"Mulai esok pagi, selesai sholat subuh aku perintahkan engkau agar turun gunung. Bawalah serta pedang ini, dan jangan kembali menemuiku sebelum engkau menemukan rahasia yang ada di dalam pedang ini!" ujar Kyai Tapa, kata-katanya membuat Saifulah bertambah bingung campur kaget.
Saifulah seorang pemuda yang berhati bersih serta sangat taat campur sayang kepada gurunya. Maka tanpa pikir panjang lagi ia pun meng-iyakan perintah Kyai Tapa. Maka keesokan harinya, selesai Sholat subuh Syaifulah mulai berangkat meninggalkan kaki gunung, meninggalkan Kyai Tapa sendirian di pondoknya.
Sepanjang jalan Saifulah terus berfikir-fikir tentang maksud Kyai Tapa, dan ia pun banyak berfikir tentang ilmu seperti apa yang tersembunyi pada pedang yang dibawanya. Tanpa terasa ia telah berjalan lumayan jauh meninggalkan pondok tempatnya tinggal selama 15 tahun. Ketika lepas tengah hari Saifulah pun mulai merasa lapar. Lalu ia menoleh-noleh tempat yang bisa digunkannya sebagai tempat beristirahat, sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Matanya tertuju pada sebuah batu besar yang tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri. Saifulah segera menghampiri batu itu sembari memikirkan perutnya yang telah merasa lapar. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada tanaman ubi jalar yang tumbuh di sekitar batu. Lalu diperhatikannya keadaan sekeliling, tempat itu ternyata bekas kebun yang tak terurus karena di sana-sini tampak telah tertutup belukar. Maka tanpa ragu-ragu Saifulah pun memutuskan akan mengambil ubi jalar itu sebagai pengganjal perutnya siang ini.
Maka reflek ia mengambil pedang di punggungnya dan menggunakannya untuk mendongkel ubi jalar dari dalam tanah yang bercampr bebatuan. Setelah terkumpul lumayan banyak maka Saifulah pun berfikir akan membakar ubi itu sekaligus menyiapkan bekalnya untuk makan malam.
Ketika tengah menunggu ubinya masak dibakar, tiba-tiba mulai terbuka fikiran Saifulah tentang kegunaan pedang tumpul yang ada ditangannya."Dengan ujung pedang ini aku telah menggali tanah untuk mendapatkan makananku hari ini. Berarti Kyai Tapa telah mengajariku bagaimana cara bertahan hidup, pedang ini hanyalah alat dan aku harus mempergunakannya agar bisa tetap hidup." ujar Saifulah dalam hati.
Merasa mulai mengerti maksud Kyai Tapa memberinya pedang tumpul maka Saifulah pun mulai berfikir bagaimana caranya agar bisa mengasah pedang itu hingga tajam sisi kiri-kanannya. Lalu mulailah ia mengasah sisi-sisi pedang itu dengan batu, sambil terus melanjutkan perjalanannya.
Ketika hari mulai gelap maka Saifulah mencari tempat beristirahat malam. Terpikir tidur di hutan banyak nyamuk maka dikumpulkannya ranting-ranting kering agar bisa dibakar di malam hari. Ketika menjelang larut malam, dalam kantuknya tiba-tiba Saifulah kaget mendengar bunyi ranting kering patah karena ada yang menginjaknya. Sambil memicingkan matanya Saifulah mengintai apa gerangan yang berada didekatnya.
Tercium olehnya bau amis, Saifulah segera menyadari bahwa ada seekor harimau di dekatnya. Harimau belum menampakkan dirinya, perlahan-lahan Saifulah meraih gagang pedangnya lalu menggenggamnya erat-erat, berjaga-jaga kalau harimau itu tiba-tiba menyerangnya. Benar dugaannya, tak lama setelah harimau muncul langsung hewan itu menerkam kepada Saifulah yang bersandar pada pohon. Sebelum harimau sempat menyentuh tubuhnya maka ujung pedang di tangan Saifulah lebih dahulu menembus dada si harimau.
Maka harimau pun mati karena tusukan pedang. Keesokan paginya Saifulah mendekati bangkai harimau dan mencabut pedang yang tertancap di dadanya. Lalu munculah ide dibenaknya mengambil kulit harimau itu untuk dijual atau dipakainya sendiri.
Hari-hari panjang pun berlalu, Saifulah telah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di hutan. Saifulah membangun sebuah pondok kecil dekat sungai di hutan itu. Guna keperluan makannya sehari-hari Saifulah mencari ikan di sungai, dan kadang-kadang ia berburu rusa dan hewan-hewan lainnya dengan bersenjatakan pedang yang ada ditangannya.
Kian hari kian banyak kulit rusa, kulit ular, kulit harimau didalam pondoknya. Kulit-kulit itu telah ia keringkan dan ia pun telah mengeringkan sebagian daging rusa yang ditangkapnya. Lalu mulailah ia berfikir akan menjual kulit-kulit dan daging kering itu.
Lalu dibuatnya sebuah rakit dari bambu yang dijumpainya tumbuh di pinggir sungai. Dengan rakit itu ia pergi ke hilir sungai, dengan membawa barang daganganya. Setelah 3 hari perjalanan dengan rakit maka sampailah ia di suatu kampung yang ramai penduduknya. Tidak perlu menunggu lama maka habis terjual semua dagangannya. Sebelum kembali ke pondoknya Saifulah pun membeli berbagai keperluannya untuk hidupnya sehari-hari. Maka dimulailah babak baru dalam kehidupan Saifulah yakni menjadi pedagang kulit hewan dan daging kering.
Tahun demi tahun maka nama Saifulah mulai banyak dikenal para pedagang. Seiring dengan semakin besar penghasilannya dari berdagang maka Saifulah pun mulai menata kehidupannya sehingga semakin maju dan bertambah kaya, dan kemudian mempersunting putri seorang saudagar kaya yang biasa membawa dagangannya ke luar negri.
Saifulah akhirnya menjadi sangat terkenal, seorang saudagar kaya raya dan berpengaruh di berbagai negri. Hidup dalam kemewahan yang berlimpah tidak membuat seorang Saifulah berubah menjadi lupa diri dan sombong, ia selalu ingat dan memegang teguh segala ajaran yang pernah diterimanya dari Kyai Tapa.
Suatu malam dalam tidurnya Saifulah mendengar suara memanggilnya. "Anakku kemarilah!" ujar suara itu, membuat Saifulah tersentak bangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia jadi teringat kepada gurunya, Kyai Tapa. Ya suara itu sangat jelas suara gurunya terdengar di telinga Saifulah. "Guru telah memanggiku!" ujar Saifulah dalam hati.
Beranjak Saifulah dari tempat tidurnya, lalu diambilnya pedang pendek yang sudah tidak tumpul lagi sisi-sisinya. Dipandanginya pedang itu, terngiang kembali pesan gurunya:" Jangan engkau kembali sebelum engkau menemukan rahasia yang tersembunyi di dalam pedang ini" pesan itu terngiang-ngiang di telinganya. Akhirnya ia memutuskan akan berkunjung ke kaki gunung guna menemui gurunya dan sekaligus berziarah ke makam kedua orang tuanya."Tanpa terasa 30 tahun telah kutinggalkan Kyai Tapa, tanpa kabar berita sama sekali" ujarnya dalam hati.
Berjalan seorang diri, mengendarai seekor kuda Saifulah pun berangkat menemui gurunnya. Setelah menempuh perjalanan jauh selama berminggu-minggu akhirnya Saifulah kembali menginjakkan kakinya ke kampung halamannya. Setelah bertanya ke sana-sini akhirnya Saifulah menemukan makam kedua orang tuanya. Setelah berziarah dan mendo'akan kedua orang tuanya lalu Saifulah berangkat menuju ke pondok Kyai Tapa, tempat ia dididik dan dibesarkan!
Suasana di sekitar kaki gunung sudah banyak berubah, penduduk kian ramai dan rumah-rumah pun semakin banyak. Ketika berjalan menikung di samping sebuah bukit batu, Saifulah melihat tempat itu tetap sepi dan dari kejauhan dilihatnya atap pondok tempat dulu ia pernah tinggal hampir tertutup pohon dan rumput-rumput panjang di sekelilingnya. Hatinya merasa kurang enak, khawatir telah terjadi sesuatu dengan Kyai Tapa. Ketika telah sampai dilihatnya pondok itu kosong dan sebagiannya telah roboh karena lapuk.
Pandangannya tertuju pada sebuah makam di bawah sebuah pohon besar. Buru-buru dihampirinya makam itu, dan dibacanya nama Kyai Tapa tertera di batu nisan makam itu. Meledaklah tangisnya mendapati Kyai Tapa telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Bergumpal rasa sesal dihatinya karena telah melupakan guru sekaligus orang tua angkat yang telah membesarkan dan mendidiknya. Dalam keadaan menangis bercampur rasa sesal di hatinya, tiba-tiba Saifulah melihat sebuah tulisan yang diukir pada sebuah batu, di samping batu nisan yang tengah dipeganginya. Dibacanya tulisan yang tertera di sana: " Anakku Saifulah, seorang bijak hanya diberi pedang tumpul, agar ia belajar bagaimana cara bertahan hidup, agar ia mengerti bagaimana cara mensyukuri hidup, agar ia mengerti bagaimana cara menjadi manusia yang berguna di mata Allah. Dengan memberimu pedang tumpul maka aku telah mengajarimu tentang ilmu hidup dan kehidupan. Suatu saat ketika telah kau temukan rahasia pedang tumpul itu maka kau akan kembali menemuiku, dan ketika kau kembali kedua sisi pedang itu sudah tidak tumpul lagi!".
Komentar
Luar Biasa!
Luar Biasa!
Terima kasih...
Terima kasih Febi Sastra....mudah-mudahan kita sama-sama mendapatkan hikmah dari cerita pendek ini.
Beni Guntarman
mencerahkan!
membuat saya menjadi penasaran bilamana sang Kyai memutuskan untuk memberi sebuah sendok pada Saifulah alih-alih pedang tumpul. dia pasti akan menjadi seorang shinobi yang hebat.
Terima kasih .....
Terima kasih reren....pedang hanyalah sebuah simbol bahwa kita membutuhkan alat guna mencapai suatu tujuan....pedang tumpul diberikan maknanya bahwa guna mencapai suatu tujuan itu harus berfikir dan berjuang keras untuk menggapainya.
Beni Guntarman
Inspiratif!
setelah memahami pesan moral dari kisah di atas, saya kemudian memposting versi reduxnya dengan judul Saif-ul-Tumpul (yang saya posting di situs ini barusan. semoga pak Beni berkenan) sebagai apresiasi pada karya bapak.
terima kasih sebesarnya untuk menginspirasikan saya dalam berkarya.tahniah!
SUPER
ini sebuah pelajaran berharga bagi saya dan semoga dengan membaca cerpen ini hidup akan lebih bermakna bagi diri sendiri dan orang lain....
terima kasih Pak Beni....
=@Sihaloholistick=
semoga karya ini dapat
semoga karya ini dapat memberi pelajaran bagi kita semua.
pedang runcing yang tumpul sisi kanan dan kirinya melambangkan kekohan, kelurusan, kejujuran. ketika pedang tumpul mulai diasah itu melambangkan sebuah upaya, sebuah awal dan pembelajaran. ketika pedang itu menjadi tajam, ia sudah layak untuk digunakan dan tidak perlu lagi diragukan kualitasnya, namun harus hati-hati menggunakannya karena siapa saja bisa terluka kalau terlena :D
Karya yang bagus om Ben!
Salam Sastra
Tulis komentar baru