Skip to Content

Orgas Love

Foto Hidayatul Khomaria

Perempaun bermata violet kala hujan menjatuhkan seluruh kenangan itu membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Hanya dalam hitungan kedipan mata saja dia mampu untuk menakhlukkanku dalam kecup bibirnya. Bibir yang senantiasa merekahkan hasrat untuk selalu menikmatinya. Sebagai laki-laki normal aku ingin melakukan lebih bersamanya, tapi aku tak sanggup. Tanganku tak mampu untuk menggapainya, setiap desahan nafasnya adalah rantai yang terus menjeratku hingga aku tak mampu untuk bernafas.

            Aku adalah laki-laki yang senantiasa memuja perempuan karena tubuhnya, lebih dari tiga perempuan telah menyerahkan darah segarnya untuk aku nikmati di kamar dengan romansa sungai. Tak ada batasan untuk menikmati cinta selagi dua tubuh saling mengikhlaskan. Bukan ingin merenggut hal yang paling berharga dalam diri seorang wanita lantas merobeknya dan meninggalkannya dalam sesal yang belum mereka sadari hingga batas waktunya. Aku hanya ingin mengajari mereka bagaimana menghargai tubuh mereka sendiri. Bagaimana orang lain akan menghargai tubuh mereka?, jika mereka tak menghargai tubuh mereka sendiri.

            “Aku masih perawan dan aku tak ingin menyerahkan keperawananku padamu.” Kata perempuan bermata violet berterus terang padaku.

            Aku hanya mengangguk pelan dan memeluknya dengan dekapan yang mungkin saja dia sangat menikmati. Aku banyak belajar tentang perempuan, banyak buku refrensi tentang mereka yang telah kubaca lalu aku praktikkan dan hasilnya lebih dari tiga perempuan yang telah takhluk dalam pelukkanku.

            “Bolehkah aku mencium tanganmu.”

            “Cium tangan umimu sebelum kau mencium tanganku.” Dia menyubitku dengan mesra.

“Kamu adalah satu-satunya perempuan yang mengingatkanku kepada umi saat-saat seperti ini.” Kataku berterus terang kepadanya.

Perempuan bermata violet hanya tertawa, mendengar kejujuranku. Bagaimanapun juga aku sangat mencintai umi lebih dari apapun.

“Jika kau mencintai umi, kenapa kau mempermainkan banyak perempuan, bukankah umimu juga perempuan. Pernahkan kau berfikir bagaimana sakitnya ketika pedangmu merobek kulit tipis mereka, meski ada kenikmatan yang tak mampu untuk dilisankan, tapi sakit itu ada meski telah bercampur kenikmatan. Sakit itu sama ketika umimu menghadirkanmu ke dunia ini.”

“Kau ini pandai ya dik, pandai membuatku tak sanggup berbicara lagi. Aku mencintaimu dik, lebih dari perempuan-perempuan yang pernah merelakan segalanya untukku.”

“Jangan berbicara tentang cinta, jika tubuhmu masih kau bagi dengan perempuan lain.”

Aku semakin kikuk dengan perempuan yang selalu tersenyum ketika mendengar kisahku dengan perempuan lain selain dirinya. Aku tak pernah melihat api cemburu dalam bening matanya, yang aku lihat hanya cinta yang selalu berusaha dia tutupi.

Tiga bulan sudah aku tak pernah bertemu dengan perempuan bermata violet yang gemar menggodaku di ranjang dengan bibir seksi yang tak pernah mampu aku jamah. Aku benar-benar merindukannya, aku ingin menikmati kejalangannya yang kian liar. Entah kenapa dia selalu menghindar akhir-akhir ini, dia tak pernah menjelaskan padaku apa yang tengah terjadi. Apakah karena kedekatanku dengan Fellin? Apakah perempuan bermata violetku bisa merasakan cemburu?, apakah dia tak ingin bila tubuhku dibagi dengan perempuan lain?, apakah dia kini bersama laki-laki lain yang dicintai dan mencintainya?, apakah dia…

            Aku selalu menanyakan hal itu pada malam, tapi tak pernah ada jawaban. Malam seolah tak lagi peduli dengan keadaanku. Aku mengambil sebotol bir untuk menenangkan hatiku yang sekarat karena perempuan bermata violet. Aku tak mampu untuk membohongi diriku bahwa aku benar-benar merindukannya. Tak ada cara lain aku akan memaksanya ikut denganku besok, aku akan menjemputnya. Apapun yang terjadi nantinya, aku harus membawanya. Fikiranku semakin kacau, aku tak sabar untuk menunggu pagi.

            Jam sepuluh pagi aku bertandang ke kontrakkan perempuan bermata violet, aku tak melihatnya, mugkin dia tengah dibuai mimpi. Aku menunggunya di depan gerbang, tiga puluh menit aku menunggunya, belum ada tanda-tanda bahwa dia di dalam kontrakkan.

            “Vi, ada tamu.” Teriak tetangga di depan kontran.

“Siapa?.” Hatiku semakin bergetar mendengar suara perempuan yang membuatku candu.

“Keluar aja, pasti kau tau.”

“Aku gak mau keluar.” Jawabnya singkat.

Aku memberanikan diri membuka gerbang dan melihat sosok perempuan berdiri di depan cermin dengan gaun merah muda menyisir rambut panjangnya, dia sangat kaget melihat kedatanganku. Dia menghampiriku dan duduk di sebelahku, bibirnya bergetar. Aku berterus terang bahwa aku merindukannya, aku merindukan saat dia menggodaku, dan aku ingin kecupan yang mampu untuk menenangkanku. Dia hanya tersenyum, aku tau bahwa aku salah memiliki harapan bersamanya, sedangkan hatiku telah aku berikan untuk Fellin.

Aku memohon untuk terakhir kalinya agar dia ikut bersamaku, setelah itu aku mempersilahkannya untuk benar-benar pergi dari kehidupanku. Mungkin aku terlalu egois, tapi aku tak ingin terus menyakitinya. Dia mengangguk dan ikut bersamaku.

Aku membawanya ketempat yang penuh dengan romansa hujan, dia tak seperti biasa. Dia hanya tersenyum manis kepadaku, tak ada rona manja dan menggoda dari bibirnya yang meranum. Aku meminta tangan lembutnya, tapi dia tak mengizinkanku untuk menyentuh apalagi mengecupnya. Aku hanya memandanginya dari jarak yang tak begitu jauh.

Aku berusaha menggodanya, tapi tak ada respon darinya. Aku memeluknya, tapi dia menyingkirkan tanganku dari tubuhnya. Aku menyuruhnya naik ke atas tilam, dia tak merespon, dia memilih untuk duduk di lantai. Aku tak memiliki cara untuk meluluhkan hatinya, mungkin karena sakit hatinya terlalu dalam.

Dia mengambil mp3 dan memutar musik, aku tau dia menyindirku dengan lagu itu. Dia tersenyum manis padaku.

“Jangan menggodaku.”

“Siapa juga yang menggodamu.”

Perempuan bermata violet ternyata lebih asyik bermain hp daripada berbicara tentang rindu denganku.

“Jangan bermain hp dan chattingan dengan laki-laki lain saat bersamaku.”

Aku medorong tubuhnya ke kasur, lalu kuhimpit tubuhnya. Dia memberontak, tapi tubuhku lebih kuat dari tubuhnya. Dia meminta maaf padaku dan tak akan mengulangnya lagi. Akhirnya dia menggodaku dengan bibir dan desahan nafas yang membuatku melepaskannya sedikit demi sedikit. Dia berhasil melepaskan dekapanku, dia tersenyum manja padaku. Dia bersandar di dinding kamar.

“Jangan seperti perempuan yang kehilangan perawan saat pertama kali.”

“Sialan, aku masih perawan tau.” Dia mendorongku, tubuhnya kini berada di atas tubuhku.

“Aku merindukan saat seperti ini.” Katanya lembut, ada bening yang menghiasi sudut matanya. Aku mengusap bening matanya, ada sesal yang tak mampu untuk aku terjemahkan. Dia seolah ingin menciumku dengan ciuman yang selama ini aku inginkan.

“Dasar otak mesum, begitu saja birahimu memuncak.” Dia tertawa dan kembali duduk.

“Seandainya aku meminta keperawananmu dan aku memepertanggung jawabkan semua yang aku lakukan padamu bagaimana?.”

“Aku bukan perempuan bodoh yang bisa kamu bodohi seperti perempuan-perempuan lain, iya kalau aku hamil, kalau enggak?. Kamu kan gak akan menikahiku, kau hanya akan ambil keperawananku dan akhirnya kau pergi.”

“Aku mencintaimu.”

“Jangan berbicara tentang cinta, kita seperti ini bukan atas dasar cinta. Jika kamu mencintaiku, kenapa kau membagi tubuhmu dengan perempuan lain?.”

“Aku akan memutuskan mereka semua dan kau berikan keperawananmu.”

“Lebih baik tidak perawan karena menikah lalu cerai, daripada perawan tapi tidak perawan sebelum menikah.”

“Kita menikah siri?”

“Aku tak ingin menikah siri denganmu.”

“Kenapa? Bukankah agama memperbolehkan pernikahan siri?.”

“Jangan berbicara tentang agama denganku.”

“Baiklah aku menyerah.”

“Baguslah, sekarang antarkan aku pulang.”

“Aku ingin lebih lama bersamamu.”

Aku memohon untuk kesekian kalinya agar dia tetap tinggal di sini, karena aku sangat menginginkannya, tak hanya tubuh, tetapi juga hatinya.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler