Skip to Content

Pantai Selatan Lombok

Foto Gellis

Pantai Selatan Lombok

 

Ketika malam menyapa pagi, ayam berkokok di pagi buta merdu dan nyaring bunyi bak irama yang berdendang, sambut menyambut di awal pagi menjelang. Udara terasa segar melapangkan diafragama setiap insan. Bola raksasa kian merangkak dari peraduan, perlahan-lahan naik tapi pasti, sehingga menimbulkan panas yang menyengat. Pagi ini sungguh indah,  rona-rona jingga terpancar jelas di ufuk Timur, kian bersahabat dengan alam, memberikan manfaat bagi makhluk di jagat raya. Kabut putih dikipasi angin membuat suasana pagi ini bertambah indah. Terdengar olehku suara yang sepertinya kukenal, setengah sadar aku coba meyakinkan suara itu. Ya-ya, suara ibu memanggil namaku, pintu kamar diketok tiga kali tok … tok… tok …, aku sadar seketika. Wekerku menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit, “akh… aku kesiangan,” pekikku. Pintu kamar kubuka lebar-lebar dan udara masuk menyisiri sudut kamar yang pengap. Aku check bekal yang akan kubawa pagi ini, empat potong roti segitiga dan sebotol Narmada tanggung, tak lupa novel Jilbab Putih Kekasih buah karya K. Usman yang belum selesai kubaca. “Cuma ini yang aku bawa,” gumamku.

Senam wajah dan tubuh kulakukan setiap hari menjelang pagi, kebugaran menderaku seketika. Pagi ini, tepat jam delapan teng aku mestinya tiba di esde tempat aku bekerja, sebab karya wisata ke pantai selatan Lombok. Adapun mereka yang pergi terlihat beberapa kepala diantaranya; head master, guru, civitas akademika,dan siswa kelas VI pasca UAS dan UAN. Ibu menyiapkan sarapan pagi dengan telor mata sapi kesukaanku, tak lupa segelas kopi ABC untuk ayah tercinta. Betapa bijak ibu pagi ini dengan wajah berseri-seri ibu memberikan petuah yang selalu tersimpan dalam otak kananku. Kasih sayang orang tua sepanjang hayat, do’a anak sepanjang akhir. Ketahuilah Ibu adalah nafas hidupku, penerang jiwaku. Ibu selalu memberi kekuatan dalam setiap langkah, langkah hidupku tentunya. Setelah sarapan, kulihat adik bungsuku masih tertidur pulas. I don’t care, sebab aku tahu hari ini adalah weekend, waktu baginya untuk bersantai setelah deadline tugas perkuliahan. Ibu menyuruhku mengantar kopi ABC kepunyaan ayah di kamar depan dan terlihat olehku ayah tertidur pulas serta terbangun setelah mencium aroma kopi yang semerbak. Bagi ayah kurang mantap kerja tanpa kopi dan selintingan tembakau.

Setelah menghirup kopi beberapa kali, ayah mengantarku menuju esde tempat aku bekerja, disana kami berkumpul menjadi satu sembari menunggu Bis yang akan kami tumpangi. Muslihat sebagai ketua kelompok perjalanan memiliki amanah mengurusi Bis tersebut. Pucat pasi terlihat dari rona wajahnya yang tampak kelelahan. Kami kecewa akibat keterlambatan Bis yang molor terlalu lama. Dua jam lima belas menit baginya mungkin tidak terlalu lama, tetapi bagi kami menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Berbagai alasan diutarakan tetek bengeknya. Kami mahpum sebab rasa kecewa tidak mampu dibendung lagi, namun hal ini tidak seperti yang diinginkan. Diam mungkin jawaban dari semuanya, tetapi diam bukan berarti menyelesaikan masalah, melainkan hikmah yang mampu dipetik dari hal itu.

“Muslihat, ketahuilah kepala sekolah ubanan menunggu akibat ulahmu,” ponisku.

“Ya-ya, kamu bikin malu kami semua,” tambah Indah

Eka tidak banyak komentar lantaran pusing yang dideranya. Aku pikir Eka memberikan ponis yang lebih ekstrim dari kami, tapi justu ia memberikan pembelaan yang berarti.

“Sobat, maafkan ini semua. Aku sudah berupaya seoptimal mungkin, namun supir Bis kluter dua tak kunjung tiba, aku belum breakfast pagi ini,”jawabnya.

“Muslihat, apapun yang kau utarakan aku tidak mempercayainya. Kau pembual!” keluh Martini yang masih jengkel.

“Teman-teman sudahlah, kasihan anak-anak kalau kita bersikukuh seperti ini. Mereka terlalu lama menunggu, mari kita sapa mereka pagi ini,” ajakku.

“Ya-ya, lain kali jangan kecewakan kami lagi,” saran Indah.

“Muslihat, Budi tidak bisa ikut lantaran izin Nyepi,” kata Eka.

“Aku tahu itu,” jawabnya lirih.

Mendengar keluh kesah Muslihat iba juga, tapi kami hanya bersikap tegas. Ia hanya menundukkan kepala pertanda penyesalan. Pikirku tidak ada yang salah di sini, Muslihat telah berupaya seoptimal mungkin, dan kesalahan terletak pada supir bis kluter dua. Miss komuniasi.

Aku memegang pundak kirinya, lantas berucap kata “lupakanlah

Dari kejauhan lambaian tangan pak Gani sekaligus suara megaphone menggema, menyuruh kami berbenah menuju Bis yang akan membawa kami ke pantai selatan Lombok. Kami memberi isyarat, lalu menghampiri mereka. Pertama kali kulakukan adalah memeriksa perlengkapan yang bersifat urgen seperti obat-obatan, plastik hitam, etc.

Aku menuju kluter pertama karena aku ditugasi untuk menjaga anak-anak yang hampir sebagian besar berada di kluter tersebut. Terlihat olehku pak Usman dan mantan kekasihnya yang sekarang mendampingi hidupnya, bu Baiq dan anak sulungnya, bu Lili dengan T-shirt putih perpaduan jeans, serta tak kalah pentingnya kepala sekolah yang berdiri di samping kiri pak sopir. Walaupun dua kluter, ada saja yang tidak mendapatkan tempat duduk, lantas kepala sekolah menyuruh pak Dahri untuk mengambil bangku sebab ketidaktegaan apabila duduk di bawah. Aku berbenah membantu pak Dahri mengambil bangku yang terletak di ruang guru merangkap perpustakaan.

“Dua bangku cukup?” tanya pak Dahri

“Saya rasa begitu,” jawabku.

Kami segera mengangkat bangku tersebut menuju kluter pertama. Sedikit berat beban yang kupikul lantaran tas berisi makanan di samping kananku. Setelah bangku kuletakkan di kluter pertama, bu Lili memintaku mengecek peserta di kluter kedua yang diantaranya guru dan civitas akademika. Apabila masih langgeng sebagian dari kluter pertama bisa pindah ke sana. Setelah aku cek ternyata tidak jauh beda dengan kluter pertama, desak-desakan bahkan ada yang tidak mendapatkan tempat. Suami bu Baiq ditempatkan di kluter pertama dan setelah semua komplit kami tancap gas menuju lokasi.

Kepala sekolah merangkap pemandu wisata memberikan wejangan ketika bis melaju pelan. Pemandu wisata menujukkan hal yang tidak dipahami siswa, contoh “Ini pasar Bertais”. Sedikit dongkol siswa menjawab “sudah tahu,” lantas semua tertawa kecil. Siswa begitu girang menikmati pemandangan alam yang ditumbuhi pepohonan hijau dan terhempas begitu luas di samudera lepas. Bu Lili membisikkan sesuatu di telinga pak supir, lantas membanting stir menuju Bandara Internasional Lombok yang begitu luas jika dijelajahi dengan berjalan kaki. Berhektar-hektar tanah di sekitaran area tersebut memiliki prospek yang baik ke depan. Kami memasuki wilayah tersebut, terlihat penjagaan yang begitu ketat, dan tidak sembarang orang yang mampu memasukinya kecuali tamu, ada hitam di atas putih.

Pak satpam memberikan ID card kepada pemandu wisata sebelum kami benar-benar berada di inti bandara. Aku terkesima akan sesuatu lantas bertanya kepada Indah “Siapa gerangan gadis ayu berjaket pink sebab aku tidak melihatnya saban tadi?.” Ia menjawab dengan senyum simpul “Ayu maksudmu, itu momongan pemandu wisata.” “Oo, Ayu…” aku keheranan. Nama itu mengingatkanku kepada sesorang di masa silam ketika aku beranjak remaja, ketika aku duduk di bangku SMP, Aku terlibat cinta segitiga. Kawanku Ari menyukai seorang gadis yang bernama Ayu tepatnya Ayu Kuswandani. Entah mengapa gadis itu menitipkan salam perkenalan kepadaku melalui perantara Ari sahabatnya. Dia tidak tahu kalu Ari memendam rasa kepadanya. Kejadian itu bermula ketika team kami memenangkan senam poco-poco sebagai peringkat kedua dalam HUT Dikpora NTB. Sungguh indah waktu itu ketika kali pertama aku mengenal seorang gadis.  

“Hey… kok bengong, naksir ya?” Indah mengagetkan.

“Tidak, aku hanya…..”

“Walah, kamu ini g’ usah boong deh. Wajahmu tampak kemerahan.”

Aku terdiam sambil tersenyum  dan berdesis “Kau benar, Indah.”

Wajah ayu itu, siapa gerangan lelaki yang melewatkan kesempatan melihat polesan ayu wajahnya, postur tubuh yang aduhai, sungguh indah dipandang. Ingin rasanya mendekat bertanya sapa, berbagi asa, tapi tentunya pikirannya tidak sama dengan yang aku pikirkan. Aku mencuri-curi pandang, seketika ketika aku melihatnya lantas berpapasan wajah kuberikan senyum termanis yang belum pernah kulakukan sebelumnya, lantas ia membalas manja.

Aku melihat Muslihat yang sedang mengambil adegan guru dan civitas akademika yang sedang berpose, kulihat ia sempat mengambil gambar gadis itu tanpa sepengetahuannya. Aku tidak menggubis hal itu, karena itu hal yang lumrah. Aku menepuk pundaknya dari belakang, sedikit kaget ia menyalami tanganku.  Tiba-tiba ada seorang pria yang tidak kami kenal datang menghampiri, pria itu mengajak kami berbincang. Teryata ia adalah guaide, lantas berkata bahwa investor yang menanamkan modal pembangunan Bandara Internasional Lombok di pulau seribu masjid kabur lantaran barang-barang investasinya dicuri. “Kenapa terjadi hal demikian padahal penjagaan begitu ketat?” tanya kami. “Satpam biang keladinya, bekerja sama dengan pencuri dan sekarang ia telah diberikan surat ucapan terima kasih oleh pihak yang bersangkutan. Mungkin juga terkena kasus pidana.”

Kami mengangguk-angguk lantas berpamitan kepada guide tersebut sebab lambaian tangan Indah mengisyaratkan sesuatu. Aku mencoba menerka dan kami kembali menuju Bis. Sempat aku berpikir kalau pantai selatan Lombok terletak di daerah BIL singkatan dari Bandara Internasional Lombok. Ternyata tidak, masih jauh bermil-mil untuk sampai ke sana. Kedua sopir tersebut ambil posisi dan menggapai tujuan yang hendak dituju. Di tengah perjalanan terlihat oleh kami genangan air yang ditampung dalam wadah yang bernama bendungan, tepatnya bendungan Batujai. Kami melewati bendungan itu dan tiba di pantai selatan Lombok pada siang yang terik lebih kurang dua plus sepuluh. Aku mencocokkan dengan alrojiku, ternyata benar.

Siswa tampak kegirangan untuk kesekian kalinya, raut wajah masih polos berlum ternoda diibaratkan kertas putih yang masih suci. Tabularasa. Ada yang menunaikan kewajiban lima waktu termasuk salah satunya, ada yang menikmati santap siang, ada yang berpose ria, ada yang berdendang, dan ada yang mandi di siang bolong. Segala aktivitas terjadi seketika begitu saja. Aku berbenah mendaki undakan batu karang yang terhempas menjulang ke atas, begitu indahnya. Aku melihat Eka sedang termenung, “Eka, apa yang sedang kau risaukan?” tanyaku.

“Aku sedang menikmati pemandangan ini. Indah sekali, bukan?”

“Ya-ya, kau benar.”

“Sini duduk disampingku!” ajaknya.

Tanpa panjang lebar berpikir aku duduk di samping kanannya dan memulai pembicaraan hangat. Dia share tentang sesuatu yang bersifat urgen. Ya-ya, dalam waktu dekat ia akan get meried lantas aku berpikir apa gerangan yang bisa aku utarakan sebenarnya saat ini ketika aku berada di sampingnya. Dia telah menjadi milik orang lain, orang tersebut terbaik baginya, dan lebih baik dari aku tentunya. “Eka, sebenarnya aku bla bla bla”, belum sempat aku teruskan ucapan, kami kaget setengah mampus ketika Martini menepuk pundakku dan Eka. Kami jengkel seketika, namun ia tidak ambil peduli akan itu.

 “Bercanda, ya-ya bercanda. Jangan kelewatan seperti itu, jantungku mau copot ne,” gumam Eka.

“Iya deh maafin, gitu aja kok marah,” tanggapnya.

“Lain kali jangan diulangi lagi ya!” jawabku.

Martini ikut bergabung dengan kami dan duduk di samping kananku sambil memandangi lautan lepas terhempas luas gelombang nan biru. Eka melanjutkan kisahnya, kisah hidupnya. Setelah panjang lebar membeberkan kisahnya. Dia meminta saran kepada kami. Martini memberi solusi yang cukup bijak namun kurang tepat untuk dilakukan. Aku angkat bicara tentunya memberikan solusi yang paling bijak.

Ketika kami asik berbincang, ada sekawanan anak manusia yang sedang memadu kasih di atas bukit nun jauh. Kami melihat mereka sekilas, lantas aku berucap “mari kita kembali,” mencari alasan untuk tidak melihat hal tersebut.

Ketika kami hendak turun ke bawah terlihat Muslihat sedang asyik bermain sepak bola bersama siswa, siswi asyik mandi dan berenang. Kami melewati dua siswa yang sedang bersenandung ria membawakan lagu buah karya Superman is Dead. Betapa merdu suara itu, bibit unggul harus dibudidayakan. “Martini, tolong foto mereka sebagai kenang-kenangan!” perintahku yang kebetulan Martini sedang membawa handicame. Martini mengambil posisi dan mereka tetap bernyanyi. Dua penyanyi di tengah-tengah, Eka berada di sebelah kiri sedangkan aku berada di sebelah kanan untuk foto yang kedua. “Cepret… cepret, kok tidak ada suaranya, ya?” keluhku. Ya-ya, betapa tidak di abad ke-20 ini teknologi terus berkembang dan semakin berkembang seiring berjalannya waktu akibat adanya globalisasi dan modernisasi jaman.

“Martini, sekarang foto aku sendiri!” pinta Eka.

“Ya-ya, sebelah mana?”

“Pertama backroundnya laut lepas, kedua backroundnya batu karang, dan ketiga backgroundnya perbukitan hijau itu!”

“Okey bos,” jawab Martini

“Aku hanya mematung melihat keduanya sedang asyik berpose. Tidak banyak komentar. Sedikit riskan, Eka meminta aku berfose dengannya.”

“Tidak, Eka. Aku disini aja,” jawabku.

Sedikit agak kecewa terlihat dari rona mata elang itu. Ia tetap menatapku dengan tatapan yang berbeda seperti biasanya. Aku mencoba membaca isyarat tubuhnya, entah mangapa butiran itu jatuh seketika.

“Eka, aku tidak bermaksud untuk …..” belum sempat aku melanjutkan ucapan, Eka tergelincir dan jatuh ke dalam laut, aku berteriak histeris. Ek…ka…! Ia megap-megap tidak mampu berenang.

“Bagaimana ini?”

“Beritahu yang lain!, aku akan menyusul Eka.”

Aku lantas menceburkan diri menolong Eka yang ketika itu hampir tenggelam.

Di dalam air aku cukup kualahan menghadapi buih lautan yang begitu ganas, berguling, menghantam, dan menghujam diriku, aku tidak putus asa. Eka telah tenggelam. Aku menyusul ke dalam. Sedikit perih mataku terkena air asin sehingga membuatnya sedikit kabur. Aku mendapatkan tangannya, seketika kupegang tubuhnya lantas kubawa ia ke permukaan. Jarak kami ke pantai berkisar 2000 meter, cukup jauh memang, dan aku melihat sebuah bukit yang tidak terlalu jauh dari kami. Aku sedikit megap-megap mencoba menggapai bukit itu. Kami tiba disana, dan kulihat Eka tidak sadarkan diri. “Eka....Eka….Eka….” tidak ada jawaban, bisu seketika. Aku mencoba PPGD (pertolongan pertama gawat darurat; kepala ditengadahkan, mulut korban dibuka, beri napas buatan sembari memberi tekanan pada bagian otot perut, dilakukan sampai si korban sadarkan diri). Aku sempat sanksi terhadap apa yang aku lakukan tetapi usahaku berhasil, ia siuman seketika. Ketika melihat itu semua ia menampar pipi kananku. Entah apa yang terjadi saat itu, apa yang telah aku lakukan, aku refleks melakukannya, dalam keadaan bimbang, panik, takut kehilangan orang yang dikasih.

“Eka, apa yang kau lakukan, aku hanya bermaksud menolongmu, tidak lebih. Aku tahu kau adalah milik orang lain dan aku tidak menyentuhmu sedikitpun. Aku hanya…..”

Belum sempat aku melanjutkan ucapakku ia memelukku seketika, memohon khilaf atas perlakuan sebelumnya.

Kepala Sekolah, guru, civitas akademika, dan siswa merasa cemas akan musibah itu. Betapa tidak, dua orang guru yang masih baya belum nampak dan kandas di pantai selatan Lombok. Ibu Lili merasa kwalahan dan mengambil hape lantas menghubungi polisi lautan untuk mencari orang yang hilang.

Polisi lautan menanggapi itu, lantas menuju lokasi alias tempat kejadian perkara.

Waktu itu pukul 03. 00 pm hari menjelang sore, aku dan Eka merasa cemas menunggu pertolongan tiba, tak kunjung jua ada pertolongan. Aku memeriksa saku celanaku. Aku menemukan pluit dan kucoba meniupkan lafal Morse dengan bunyi “tolong kami, kami terdampar disini, siapa yang dengar datanglah!” Pluit ditiup panjang artinya strep dan pluit ditiup pendek artinya titik. Kalimat tersebut aku ulangi beberapa kali hingga ada sebuah boat yang datang menghampiri. Ya-ya, polisi lautan mendengar abjad morse yang aku tiupkan.

Kami diantar kembali ke posisi semula bersama yang lain. Betapa senangnya mereka melihat kami kembali dan mengucapkan syukur pada Azawajalla. Satuan tanya mendera, kami angkat bicara.  Di dalam kluter dua Eka menjelaskan secara runtun permasalahan yang terjadi, sedangkan di kluter satu aku menjelaskan tetek bengeknya saja.

Setelah kejadian itu kami lantas berbenah pulang. Di tengah perjalanan di dalam kluter satu, siswa ada yang muntah, hampir sebagian besar. Bau anyir menyelinap seketika, aku mual, dan aku ingin muntah.  Maria memberi minyak kayu putih, aku merasa lebih baik. “Berhenti disini!” pinta kepala sekolah, mengunjungi Dusun Sade yang konon dusun tersebut kumuh alias ketinggalan jaman terlebih lagi kabar angin mengepel lantai dengan menggunakan tai sapi, gila mereka!

Cerita tersebut aku dapatkan dari Indah karena aku tidak sempat memasuki area dusun tersebut karena Aku menemani Eka yang masih sock di dalam Bis. Dari mereka semua, ada yang membeli supenir, melihat-lihat barang antik, dsb. Aku turun menghirup udara segar tapi tidak menutup kemungkinan mengunjungi dusun tersebut, aku urungkan niatku lantas masuk kembali ke dalam bis. Lima belas menit kemudian kami lekas berbenah menuju bendungan Batujai yang terlewatkan tadi ketika berangkat sebelum kami kembali pulang. Betapa luas dan indah bendungan tersebut. Hamparan yang luar biasa indahnya. Kami keluar dari dalam bis setelah kami tiba di bendungan tersebut. Sungguh mempersona. Kata-kata harum terlontarkan dari mulut setiap insan yang mengagumi ciptaan sang khalik. Luar biasa …

 

 

 

 

 

 

# # #


 


Sumber Tulisan : Dokumen Pribadi.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler