Skip to Content

Parade Semut Hitam

Foto ilham weha

PARADE SEMUT HITAM

Oleh : Ilham Weha

Entah dari mana asalnya gerombolan semut hitam itu. Pertama kali aku melihat hewan yang memiliki kurang lebih 250.000 sel otak itu di tembok samping kamar mandi siswa. Para omnivora itu berjalan teratur beriringan. Berjalan dari bawah menuju atas plafon. Lalu turun di samping pintu, lalu turun lagi ke lantai dan naik lagi ke besi penyangga bangunan. Entah berapa jumlahnya. Mungkin juga ratusan atau ribuan pasang. Yang pasti melimpah.

Kemana tujuan semut-semut itu entah. Apa yang mereka cari juga entah. Yang pasti menurut orang Jawa kehadiran semut hitam itu rejeki. Mungkin itu sebabnya para tukang kebun di sekolahku diam saja. Termasuk ketika semut-semut itu mulai menjelajah pot-pot gantung di depan kelas. Sama sekali mereka tidak mengusirnya.

Awalnya aku tidak mempermasalahkan semut-semut itu. Mereka hanya semut pekerja. Golongan semut ini biasanya berumur 45-60 hari saja. Beda dengan semut ratu yang bisa mencapai 20 tahunan. Pikirku nanti mereka akan mati dan hilang sendiri. Tapi nyatanya sampai lebih dari dari dua bulan mereka masih kulihat disana-sini. Jumlah mereka sepertinya tidak berkurang. Sebaliknya semakin hari semakin melimpah.

Yang paling membuatku heran kenapa murid-murid, teman-teman guru, dan warga sekolah lain seolah tidak tahu kehadiran semut-semut itu.  Mereka cuek saja. Seolah semut-semut itu tidak ada. Padahal jelas di depan mata. Apa mereka pura-pura buta? Kalau iya apa maksudnya?

“Hati-hati, Nak! Kalian berdua jangan berdiri di situ. Pot gantung di atas kalian itu banyak semutnya” begitu kataku suatu kali pada dua orang murid. “Lihat itu !” Kataku lagi sambil menunjuk pot gantung di atas mereka. “Kalau semut-semut itu jatuh ke tubuh kalian bahaya. Kalian bisa digigit. Kalian bisa gatal-gatal”

Dua muridku itu saling berpandangan. Lalu mereka melihat pot gantung di atas. Memang mereka tidak berkata apa-apa. Tapi dari dari mata mereka seolah berkata semut-semut itu sebenarnya tidak ada.

“Permisi, kami masuk kelas dulu” kata mereka setelah bel istirahat terdengar. Mereka mencium tanganku lalu berlarian kecil sambil tertawa-tawa menuju kelas. Ingat kalau aku ada jadwal di kelas 9A, segera aku pun meluncur ke kelas.

Sampai di depan kelas 9A aku tersentak. Kulihat semut-semut hitam yang berdiam di pot-pot gantung depan kelas turun ke bawah. Jumlahnya melimpah. Sebagian memenuhi pintu kelas. Sebagian lagi memenuhi lantai teras kelas. Seolah mereka melarangku masuk kelas. Mereka seperti semut Argentina suka menyerang dan membentuk superkoloni.

Kuambil sapu lidi yang tergeletak di depan taman kelas. Kulibas semut-semut yang memenuhi teras. Termasuk yang di pintu. Kulibas habis mereka. Semut-semut itu pun bergelimpangan. Mereka berlarian kesana kemari.

Tapi dalam hitungan detik mereka berkumpul lagi. Seperti sebelumnya, separuh dari mereka memenuhi teras kelas. Setengahnya lagi memenuhi pintu. Mereka membentuk barisan siap menghadangku datang, Tidak ada pilihan, aku harus main kasar.

Aku berlari ke laboratorium komputer samping kelas 9A. Aku ambil obat semprot pembasmi serangga di gudang. Aku semprot semut-semut itu. Dalam hitungan detik mereka pun berlimpangan. Tubuh mereka kaku tidak bergerak. Mungkin mati. Barangkali pingsan. Yang pasti kejadian selanjutnya sungguh di luar dugaan.  

Semut-semut hitam berdatangan kembali. Segerombolan turun dari pot-pot gantung depan kelas. Segerombolan lagi dari selokan depan kelas. Yang paling banyak berdatangan dari balik retakan tembok kelas.

Sekarang jumlahnya makin melimpah dari sebelumnya. Sekarang mereka tidak sekedar memblokir teras depan kelas dan pintu kelas. Sekarang mereka mendatangiku. Anehnya sekarang mereka lebih kuat. Berkali-kali aku semprot mereka tapi tak ada satupun yang mati. Sebaliknya jumlahnya makin banyak dan makin berani. Mereka maju bersama-sama. Mereka bentuk barisan siap tempur.

Merasa risih akhirnya aku menjauh. Aku ke ruang wakasek. Tujuanku ke wakasek sarana prasarana dan melaporkan masalah ini padanya.

Kebetulan juga yang aku cari ada di tempat. Dia mendengarkan semua cerita yang aku sampaikan. Sama sekali tidak menyela. Beberapa kali handphonenya berdering selama aku bercerita. Tapi tak diangkatnya. Dia memilih mendengarkan ceritaku dengan seksama. Dia benar-benar seorang pendengar yang baik.

“Terima kasih laporannya” katanya usai aku bercerita. “Kami akan segera menindaklanjuti masalah ini. Untuk masalah pot gantung akan segera kami pindah ke bawah biar tidak terjadi resiko. Untuk masalah selokan akan kami kerahkan tenaga kebersihan untuk membersihkan. Sedangkan untuk masalah tembok retak hari ini juga akan kami perbaiki. Jangan kuatir, dana BOSNAS dan BOSDA sudah cair”

Aku diam dengan hati jengkel. Bagaimana tidak? Sama sekali dia tidak menyinggung masalah semut. Padahal itu sumber utamanya. Tapi mengapa tidak bisa memahami penjelasanku tentang itu?

“Terima kasih” kataku juga akhirnya sambil keluar ruangan.

Merasa tidak mendapat solusi, aku langsung ke ruang Kepala Sekolah. Di hadapan Kepala Sekolah aku ceritakan tentang semut-semut itu. Tentang semut-semut yang di pot gantung, yang muncul dari selokan, yang muncul dari retakan tembok kelas, dan yang di kamar mandi siswa.

“Terima kasih laporannya” kata Kepala Sekolah setelah aku selesai bercerita. “Kami akan segera menindaklanjuti masalah ini. Untuk masalah pot gantung akan segera kami pindah ke bawah biar tidak terjadi resiko. Untuk masalah selokan akan kami kerahkan tenaga kebersihan untuk membersihkan. Sedangkan untuk masalah tembok retak hari ini juga akan kami perbaiki. Jangan kuatir, dana BOSNAS dan BOSDA sudah cair”

Aku terdiam dengan mata panas. Jengkel rasanya. Bukan karena jawaban jawaban Kepala Sekolah yang sama persis dengan wakasek sarana prasarana. Aku jengkel karena Kepala Sekolah ternyata juga tidak memahami akar masalahnya.

“Maaf. Yang saya bicarakan ini bukan pot gantung! Bukan selokan juga ! Bukan juga masalah tembok retak ! Yang saya bicarakan semut ! S-E-M-U-T !”

Tanpa menunggu jawaban, aku keluar dari ruang Kepala Sekolah. Aku harus bertindak sendiri. Tidak ada pilihan. Tidak ada yang mendukungku di sekolah ini. Jalan satu-satunya mendapatkan bantuan pihak luar.

Aku telepon Dinas Kebersihan Kota. Kepada penerima telepon aku ceritakan tentang semut-semut itu. Tentang semut-semut yang di pot gantung, tentang yang muncul dari selokan, yang muncul dari retakan tembok kelas, dan semut-semut yang tidak bisa mati oleh obat anti serangga.

“Masalah ini akan kami tangani. Segera personil kami akan ke sekolah anda” jawab penerima telepon dengan meyakinkan.

Sementara itu semut-semut hitam semakin menggila. Jumlahnya makin melimpah. Mereka bertebaran dimana-mana. Mereka menutupi seluruh bangunan sekolah. Mulai dari lantai, tembok sampai atap. Semua pohon-pohon di sekitar sekolah pun  tertutupi semut-semut hitam. Sampai tidak kelihatan lagi batang dan daun-daunnya. Yang tampak hanya semut-semut hitam. Bahkan lapangan basket pun bukan lagi tampak lapangan tapi jadi lautan semut hitam.

Beruntung Dinas Kebersihan Kota yang aku telepon tadi segera bertindak. Beberapa menit setelah aku beri laporan, mereka mengirimkan dua personilnya. Mereka datang lengkap dengan peralatan. Mereka mengenakan baju anti serangga dan membawa semprotan anti serangga di punggungnya.

“Maaf, kami dari Dinas Kebersihan Kota. Informasi dari tata usaha sekolah  katanya anda yang melaporkan tentang semut-semut di sekolah ini. Mana semutnya ?”

“Ya, memang saya yang memberi laporan tadi. Coba anda lihat itu!” aku tunjuk lapangan basket yang penuh semut, tembok-tembok kelas dan atap-atapnya yang dipenuhi semut, juga pohon-pohon di depanku yang tertutupi oleh semut-semut hitam.

“Saya mau anda membasmi mereka” kataku kemudian.

Dua petugas Dinas Kebersihan Kota itu saling pandang keheranan. “Maaf, sepenuhnya kami paham yang dimaksudkan. Sungguh kami paham” kata salah satu petugas. “Memang kita semua membuat narasi berdasarkan apa yang kita anggap penting.  Kita melihat apa yang ingin dilihat. Tapi hanya karena kita tidak melihat sesuatu bukan berarti itu tidak ada. Tapi sekali lagi maaf. Lain kali tolong jangan membuat laporan palsu. Sama sekali tak ada semut di tempat-tempat yang anda tunjuk tadi. Kami tidak melihat satu semut pun di sini. Mana semutnya ? Mana? ”

Mulutku terkunci rapat. Jawaban petugas Dinas Kebersihan Kota itu membuatku terperanga heran. Tak tau lagi aku bagaimana cara meyakinkan mereka tentang semut-semut yang membentang di depan mata.

Aku hanya terdiam dengan kepala pusing. Lalu mendadak kurasakan sekitarku berputar-putar. Awalnya pelan lalu semakin cepat dan cepat. Detik selanjutnya aku tidak ingat apa-apa. Mendadak semuanya gelap.

Aku pingsan.

Bululawang, 10 Oktober 2017

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler